Para ulama saleh terdahulu telah mengetahui bahwa mengerjakan
qiyamul lail merupakan salah satu tanda bahwa ilmu seseorang bermanfaat.
Imam Sufyan bin Uyainah mengatakan: “Bila siangku aku pergunakan untuk
durhaka dan malamku aku pergunakan untuk tidur dan bermalas-malasan,
maka manfaat apa yang kuperoleh dari ilmu yang telah aku tulis?” (Abu
Nu’aim, al-Hilyah, VII: 271)
Qiyamul lail yang
dikerjakan Imam Abu Hanifah sangat menakjubkan. Menurut Abu ‘Ashim
al-Baghdadi, Abu Hanifah sering dijuluki ‘tiang’ karena banyaknya
berdiri mengerjakan shalat dan bermunajat kepada Allah.” (Al-Khatib
al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, III: 153)
Imam Malik bin Anas sebagai
imam di Madinah, shalat malamnya juga sangat menakjubkan. Asyhab bin
Abdul Aziz pernah menceritakan, “Aku pernah keluar pada suatu malam
ketika orang-orang telah tertidur. Aku melewati rumah Malik bin Anas.
Dia tidak tidur, tetapi mengerjakan shalat. Seusai membaca surah
al-Fatihah, ia membaca surah at-Takatsur. Ketika sampai pada ayat
terakhir, “Kemudian kau pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan [yang kamu megah-megahkan di dunia ini]”
ia menangis lama sekali. Ia ulangi lagi surah tersebut dan menangis
lagi. Lamanya tangis Malik bin Anas yang aku dengar itu telah membuat
aku lupa pada kebutuhan yang aku tuju. Ia tetap saja berdiri dan
mengulang-ulang ayat tersebut sambil menangis sampai fajar terbit.
Ketika fajar telah tampak, ia baru rukuk. Aku pun pergi meninggalkan dia
dan pulang ke rumah. Lalu aku mengambil air wudhu dan pergi ke masjid.
Tiba-tiba Malik sudah ada di tempat duduknya di masjid bersama
orang-orang lainnya. Pada waktu pagi, aku melihat wajahnya bersinar.”
(Ibnu al-Kharrath, ash-Shalat wa at-Tahajjud)
Imam Syafi’i tetap mengerjakan qiyamul
lail walaupun sibuk menuntut ilmu. Menurut ar-Rabi bin Sulaiman, salah
seorang muridnya, yakni Imam Syafi’i, membagi malamnya menjadi tiga.
Yang pertama untuk menulis, yang kedua untuk shalat, dan yang ketiga
untuk tidur. (al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa- al-Atsar)
Abu Bakar
al-Marudzi mengatakan: Aku pernah bersama dengan Imam Ahmad dalam satu
pasukan, kira-kira selama empat bulan. Ia tidak pernah meninggalkan
qiyamul lail dan selalu membaca Al-Qur’an pada siang hari. Aku tidak
pernah mengetahui kapan dia mengkhatamkan Al-Qur’an. Ia selalu
menyembunyikannya. (Ibnu al-Jauzi, Manaqib Imam Ahmad)
Muhammad bin Abi Hatim al-Warraq
berkata: Apabila aku bepergian bersama Imam Bukhari dan menginap pada
satu rumah, aku selalu melihat dia bangun pada satu malam sebanyak
limabelas sampai duapuluh kali. Ketika bangun, ia selalu membuat
perapian dan menyalakannya dengan tangannya sendiri, kemudian mentakhrij
(menyeleksi) hadis dan mempelajarinya, lalu meletakkan kepala untuk
tidur sebentar. Pada akhir malam, ia selalu mengerjakan shalat tigabelas
rakaat, di antaranya satu witir. Ia tidak pernah membangunkan aku. Aku
bertanya, “Engkau mengerjakannya ini sendirian dan tidak membangunkan
aku?” Ia menjawab, “Engkau masih muda. Aku tidak senang merusak
tidurmu.” (Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad)
Ada seorang laki-laki
pernah berkata kepada Ibnu al-Mubarak, “Tadi malam aku membaca Al-Qur’an
sampai khatam dalam satu rakaat.” Ibnu al-Mubarak berkata, “Aku malah
mengetahui ada orang yang tadi malam hanya mengulang-ulang surah
at-Takatsur sampai pagi. Jiwanya tidak kuasa melewati surah tersebut.”
(adz-Dzahabi, Sair A’lam an-Nubala’, VIII: 397)
Abi al-Yaman mengatakan: Rumah Ismail
bin Iyasy berada di sebelah rumahku. Ia selalu menghidupkan malamnya
dengan shalat dan membaca Al-Qur’an. Ia membaca Al-Qur’an lalu berhenti,
kemudian kembali membaca lagi mulai dari potongan sebelumnya. Pada
suatu hari aku bertemu dengannya dan bertanya, “Paman, aku lihat engkau
membaca Al-Qur’an demikian dan demikian.” Ia bertanya, “Apa yang kau
tanyakan, anakku?” Aku berkata, “Aku ingin tahu mengapa demikian.” Ia
menjawab, “Anakku, aku mengerjakan shalat dan membaca Al-Qur’an,
kemudian aku menghafal hadis bab per bab yang telah aku takhrij
(teliti). Karena itulah aku memutus shalat untuk menulis hadis tersebut.
Kemudian aku kembali bershalat dan membaca Al-Qur’an mulai dari ayat
yang aku putuskan tadi.” (adz-Dzahabi, Sair A’lam an-Nubala’, VIII: 315)
Abu Abdullah al-Ba’li berkata:
Pada suatu malam ketika sudah larut, aku berada di masjid Jami’
Damaskus. Aku melihat Imam Nawawi berdiri di kegelapan mengerjakan
shalat di bawah tiang. Ia mengulang-ulang ayat “Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS ash-Shaffat: 24) Ia terus membaca ayat tersebut dengan perasaan
takut dan khusyuk, sehingga aku dapat mengambil ilmu yang banyak dari
pemandangan ini.” (as-Sakhawi, al-Imam an-Nawawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar