Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-6

Meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, namun Empu Purwa telah dapat menangkapnya dari wajah muridnya, maka katanya, “Agni. Jangan kau risaukan apa yang sedang dilakukan oleh Brahma, Siwa dan Wisnu sekali pun. Kalau pada suatu saat, orang-orang yang menurut cerita, bersumber pada kekuatan Brahma harus berhadapan dengan orang-orang bersumber pada kekuatan Siwa ataupun Wisnu, itu bukanlah hal yang perlu kau herankan. Sebab baik Siwa, Brahma maupun Wisnu itu sendiri merupakan pancaran dari Maha Kekuasaan Yang Esa. Dan Keesaan Kekuasaan itulah yang mengatur mereka. Apa yang dilakukan Brahma, Wisnu dan Siwa adalah satu rangkaian yang bersangkut paut dengan tujuan tunggal. Apa yang diadakan oleh kekuasaan itu, kemudian dipeliharanya untuk kemudian apabila sampai saatnya dihancurkannya.”
Kini kembali Mahisa Agni menundukkan wajahnya. Ia dapat mengerti apa yang dikatakan oleh gurunya. Dan itulah sebabnya maka gurunya tak mengizinkannya untuk mengejar Ken Arok, yang menurut kata orang adalah pecahan Dewa Brahma itu sendiri.
Kemudian gurunya itu tidak berkata-kata lagi. Mereka berjalan saja menembus malam yang gelap dingin. Dan setapak demi setapak mereka mendekati rumah mereka. Desa Panawijen.
Ketika mereka menjadi semakin dekat semakin dekat, maka lupalah Mahisa Agni kepada Ken Arok, kepada trisula di tangannya, kepada cerita tentang Brahma dan Siwa, serta kepada perkelahian yang baru saja dialami. Yang ada di dalam angan-angannya kemudian adalah kampung halamannya. Kampung halaman di mana ia meneguk ilmu dari gurunya Empu Purwa.
Tetapi kampung halaman itu tidak akan demikian memukaunya, apabila di sana tidak ada orang-orang tersangkut di dalam hatinya, selain gurunya, pendeta tua yang sabar dan tawakal itu.
Yang mula-mula hadir di dalam angan-angannya adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan seperti yang dirindukan oleh bidadari sekali pun. Kadang-kadang Mahisa Agni menjadi heran, apabila dibandingkannya wajah gadis itu dengan wajah ayahnya. Ayahnya bukanlah seorang yang berwajah tampan pada masa mudanya. Entahlah kalau ibunya seorang bidadari yang kamanungsan. Mahisa Agni belum pernah melihatnya. Bahkan anak gadis itu sendiri pun tak dapat mengingat wajah ibunya lagi. Dan gadis yang bernama Ken Dedes itu di matanya, tak adalah yang memadainya. Sehingga tidaklah aneh bahwa setiap mulut yang tersebar dari lereng timur Gunung Kawi sampai ke Tumapel pernah menyebut namanya.
Tetapi gadis itu terlalu bersikap manja kepadanya, seperti seorang adik kepada seorang kakak yang sangat mengasihinya. Mahisa Agni tidak begitu senang pada sikap itu. Seharusnya Ken Dedes tidak menganggapnya sebagai seorang kakak.
Tiba-tiba wajah Agni menjadi kemerah-merahan. Ia tidak berani meneruskan angan-angannya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri.
Perlahan-lahan Mahisa Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terkejut ketika terdengar gurunya berkata, “Agni, sebaiknya kau kembalikan trisula itu kepadaku. Aku mengharap bahwa kelak kau akan dapat memilikinya.”
“Oh,” terdengar sebuah desis perlahan dari mulut Agni. Cepat-cepat ia menyerahkan senjata aneh itu kepada gurunya tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Kemudian mereka pun meneruskan perjalanan mereka. Sudah tidak seberapa jauh lagi. Dari desa di hadapan mereka terdengarlah kokok ayam jantan bersahut-sahutan.
“Hari menjelang pagi,” desis Empu Purwa.
“Kita terhalang di padang Karautan,” sahut Mahisa Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali Mahisa Agni ber-angan-angan. Kini yang hadir di dalam benaknya adalah sahabatnya. Seorang pemuda yang tampan. Bertubuh tinggi tegap, bermata hitam mengkilat. Anak muda itu adalah putra Ki Buyut Panawijen. Hampir setiap hari Mahisa Agni bermain-main bersamanya. Menggembala kambing bersama. Bekerja di sawah bersama. Saling membantu seperti kakak beradik yang rukun. Mereka berdua mempunyai banyak persamaan tabiat. Keduanya senang pada pekerjaan mereka se-hari-hari.
Keduanya bekerja di antara penduduk Panawijen yang rajin. Menggali parit, membuat bendungan di sungai dan membersihkan jalan-jalan desa, memelihara pura-pura dan segala macam pekerjaan. Namun ada yang tak dapat dipersamakan di antara mereka. Mahisa Agni adalah seorang pemuda yang tangguh, yang hampir sempurna dalam ilmu tata bela diri dan tata bermain senjata. Berkelahi seorang diri dan bertempur dalam gelar-gelar perang. Sedang Wiraprana, anak muda putra Ki Buyut Panawijen, adalah seorang anak muda yang tak banyak perhatiannya pada ilmu tata bela diri meskipun dipelajarinya serba sedikit dari ayahnya. Meskipun anak muda itu rajin bekerja namun ia tidak setekun Mahisa Agni dalam menempa diri. Meskipun demikian, karena Agni tidak biasa menunjukkan kelebihannya, maka keduanya dapat bergaul dengan rapatnya.
Mereka memasuki desa mereka pada saat cahaya merah membayang di timur. Di telinga mereka masih menghambur suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Sekali-kali telah terdengar pula gerit senggot orang menimba air dari perigi-perigi di belakang rumah mereka.
Ketika mereka, Empu Purwa dan Mahisa Agni, memasuki halaman rumah mereka yang dikelilingi oleh pagar batu setinggi orang, mereka melihat api menyala di ujung dapur.
“Ken Dedes sudah bangun,” berkata Empu Purwa perlahan.
Mahisa Agni tidak menjawab. Sejak semula ia sudah menyangka bahwa Ken Dedes dan para endanglah yang sedang merebus air sambil menunggu kedatangan mereka.
Sekali mereka berjalan melingkari pertamanan di tengah-tengah halaman yang luas itu. Kemudian mereka berjalan di tanggul kolam yang berair bening. Di siang hari kolam itu dipenuhi oleh itik, angsa dan berati, berenang dengan riangnya.
Kedatangan mereka disambut oleh Ken Dedes dengan penuh kemanjaan. Dengan bersungut-sungut terdengar ia bergumam, “Ayah terlalu lama pergi bersama Kakang Agni. Semalam aku tidak tidur. Ayah berkata bahwa selambat-lambatnya senja kemarin sampai di rumah. Tetapi baru pagi ini ayah sampai.”
“Agni kerasan di Tumapel,” jawab Empu Purwa.
“Ah,” desah Ken Dedes, “barangkali gadis-gadis Tumapel menahannya.”
Mahisa Agni tersenyum ke-malu-maluan. Ia tidak mau disangka demikian, namun ia tidak dapat mengatakan keadaan yang sebenarnya di padang Karautan. Karena itu menyahut, “Aku berburu kelinci di Padang Karautan.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Katanya, “Ayah melewati padang rumput itu?”
Empu Purwa mengangguk.
“Tidaklah Ayah takut kepada hantu yang sering menghadang orang lalu di padang rumput itu?” desak Ken Dedes.
Sekali lagi Empu Purwa menggeleng. Katanya, “Tak ada hantu di sana. Yang ada adalah kelinci-kelinci dan anak-anak rusa.”
Ken Dedes tidak bertanya lagi, tetapi wajahnya nampak ber-sungguh-sungguh. Tiba-tiba Ken Dedes melangkah maju mendekati Mahisa Agni. Ditatapnya sesuatu pada wajah anak muda itu.
“Kenapa wajahmu, Kakang?” bertanya Ken Dedes kemudian sambil meraba pipi Mahisa Agni.
Baru pada saat itu Mahisa Agni merasa wajahnya nyeri. Sebuah jalur kemerah-merahan membujur di wajahnya, di samping noda yang ke-biru-biruan. Sekilas terasalah tangan hantu Karautan menghantam wajahnya itu pada saat ia berkelahi.
“Pipiku tersangkut dahan, pada saat aku merunduk menangkap kelinci,” jawab Agni.
Meskipun Ken Dedes tidak bertanya lagi, namun tampaklah kerut-kerut di keningnya sebagai pertanyaan hatinya. Kemudian tanpa disengajanya Ken Dedes mencibirkan bibirnya.
Sesaat kemudian mereka telah duduk menghadapi minuman hangat. Air daun sereh dengan gula aren telah menyegarkan tubuh mereka.
“Kau terlalu lelah Agni,” berkata Empu Purwa, “Beristirahatlah.”
Sebenarnyalah bahwa Agni terlalu lelah. Perkelahiannya dengan Ken Arok telah memeras hampir seluruh tenaganya. Karena itu ia pun segera beristirahat pula. Karena kelelahan itulah maka ia pun segera jatuh tertidur.
Betapapun lelahnya, namun Agni tidak dapat tidur terlalu lama. Sudah menjadi kebiasaan anak muda itu bangun pagi-pagi sebelum matahari melampaui punggung bukit-bukit di sebelah timur.
Tetapi kali ini Mahisa Agni terlambat juga. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya cahaya matahari telah memanasi dinding-dinding ruang tidurnya. Karena itu segera ia bangkit dan segera pula dengan tergesa-gesa pergi ke belakang membersihkan diri.
Ketika ia melangkah kembali masuk ke ruang dalam, Mahisa Agni terkejut mendengar sapa perlahan-lahan, “Kau kerinan, Agni.”
Agni menoleh. Dilihatnya di sudut bale-bale besar yang terbentang di ruangan itu, Wiraprana duduk bersila. Senyumnya yang segar membayang di antara kedua bibirnya.
Agni pun tersenyum pula. Jawabnya, “Aku terlalu lelah.”
“Kau baru pulang semalam?” bertanya Prana.
“Bukan semalam,” jawab Agni, “pagi ini.”
“Lama benar kau pergi,” sahut Prana.
“Sepekan,” jawab Agni.
“Selesaikan dirimu. Kita pergi ke sawah kalau kau tidak terlalu lelah,” ajak Wiraprana.
Agni tidak menjawab. Segera ia membenahi diri. Sesaat kemudian mereka berdua telah turun ke halaman. Beberapa kali mata Agni mengitari seluruh ruangan dan halaman rumahnya untuk mencari Ken Dedes. Namun gadis itu tak ditemuinya. Ketika di halaman ia berpapasan dengan seorang cantrik, maka ia bertanya, “Ke mana Ken Dedes?”....[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar