Kamis, 27 November 2014

Ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah




Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur’an itu dibahagi atas dua golongan:

1. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.

2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.

Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 86 surah, sedang ayat-ayat Madaniyyah meliputi 11/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 28 surah.

Perbedaan ayat-ayat Makiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah ialah:
1. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang; surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Qur’an ayat-ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al Qur’an jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat. Juz 28 seluruhnya Madaniyyah kecuali ayat (60) Mumtahinah, ayat-ayatnya berjumlah 137; sedang juz 29 ialah Makkiyyah kecuali ayat (76) Addahr, ayat-ayatnya berjumlah 431. Surat Al Anfaal dan surat Asy Syu’araa masing-masing merupakan setengah juz tetapi yang pertama Madaniyyah dengan bilangan ayat sebanyak 75, sedang yang kedua Makiyyah dengan ayatnya yang berjumlah 227.

2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan “Ya ayyuhalladzi na aamanu” dan sedikit sekali terdapat perkataan ‘Yaa ayyuhannaas’, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.

3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti; sedang Madaniyyah mengandung hukum-hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketata negaraan, hukum perang, hukum internasional, hukum antara agama dan lain-lain.

 Makalah Klasifikasi Ayat Al-Qur’an

PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Dalam mempelajari Ilmu Al-Qur’an secara otomatis seseorang minimal harus mengetahui tentang pengklasifikasian yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pentingnya seseorang mengetahui pengklasifikasian dalam al-Qur’an menjadi suatu keharusan. Dimana pengklasifikasian tersebut dapat berfungsi untuk pengkajian lanjut mengenai sebuah Ayat.

Seperti yang kita tahu pengklasifikasian ayat dalam Al-Qur’an terbagi atas 2 yaitu Makkiyah dan Madaniyah. Objek kajian dengan pengklasifikasian tersebut menjadi menarik karena kita akan mendapatkan banyak pertanyaan. Seperti mengapa Al-Qur’an hanya diklasifikasikan kedalam 2 klasifikasi?, bukankah pada Hadits riwayat Ath Thabrani dari Umamah dikatakan bahwa Al-Qur’an juga turun di Negeri Syam?…

Berbagai macam pertanyaan yang terkait dalam klasifikasi Ayat al-Qur’an selalu beragam. Bahkan, ada beberapa Ayat yang belum bisa atau cenderung masih diragukan apakah Ayat tersebut Makkiyah atau Madaniyah?…hal ini kemudian menjadi menarik karena para ‘Ulama pun masih berhati-hati dalam mengklasifikasikan Ayat dalam Al-Qur’an. bukankah cara membedakan antara Ayat Makkiyah dan Madaniyah sudah ada?. .

Maka dari itu kami akan mencoba mendalami dasar-dasar dari pengklasifikasian untuk membantu dalam memahami permasalahan ini.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang kami buat untuk menjelaskan tentang isi makalah, yaitu :

a. Apa yang dimaksud dengan pengklasifikasian Ayat Al-Qur’an? Serta hal ikhwal tentangnya.
b. Apa yang dimaksud dengan Ayat Makkiyah dan Ayat Madaniyah?.
c. Bagaimana ciri-ciri surat Makkiyah dan Madaniyah?.

C. Tujuan
a. untuk memahami pengklasifikasian Ayat dalam Al-Qur’an.
b. memperdalam pengetahuan tentang kelanjutan Ilmu bagian Anatomi dari Al-Qur’an.

PEMBAHASAN
A.   Pengklasifikasian Ayat Al-Qur’an
Seperti yang kita ketahui pengklasifikasian ayat dalam Al-Qu’an terbagi atas 2 yaitu makkiyah dan madaniyah. Pengklasifikasian ayat dalam Al-Qur’an bergantung pada situasi ayat tersebut turun. Para ‘ulama sejak dahulu menggunakan berbagai metode untuk mengetahui apakah suatu ayat termasuk makkiyah atau madaniyah. Menurut Al-Jabiri : “untuk mengetahui makkiyah dan madaniyah surat-surat al-Qur’an ada dua, yaitu: Sama’i (jalan riwayat) dan Qiyasi (jalan membanding-bandingkan yang satu dengan yang lain).” Al-Jabiri menegaskan bahwa yang dmaksud dengan metode sama’i ialah yang berita turunnya kepada kita dengan salah-satu daripada dua jalan itu kemudian dia memberikan contoh dan bukti untuk menentukan suatu surat apakah makkiyah atau madaniyah cara ini disebut ijtihad (Qiyasi). Kemudian adapula beberapa teori pendukung dalam merumuskan pengertian makkiyah dan madaniyah.

Setelah itu dalam penetapan status suatu surat Makkiyah atau Madaniyah digunakan penetapan berdasar pada Mayoritas isi surat dengan ciri Madaniyah atau Makkiyah (penetapan aghlabiyah) dan penetapan berdasar pada surat apakah diawali dengan ayat yang turun di mekkah atau madinah sehingga ditentukan dengan berdasar pada muatan ayat awal pada surat, apakah Makkiyah atau Madaniyah (penetapan kontinuitas)

Masih terkait dengan pengklasifikasian surat dalam Al-Qur’an. Ternyata, banyak manfaat yang didapatkan dalam menekuni pengklasifikasiannya. diantaranya menurut al-Zarqani di dalam kitabnya yang berjudul Manahilul ‘Irfan yaitu “kita dapat membedakan dan mengetahui ayat yang manshuk dan nasikh. Yakni, apabila terdapat dua ayat atau lebih mengenai suatu masalah, sedang hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat itu bertentangan. Kemudian dapat diketahui, bahwa ayat yang satu makkiyah, sedang yang lainnya madaniyah; maka sudah tentu ayat yang makkkiyah itulah yang dinasakh oleh ayat yang madaniyah, karena ayat yang madaniyah adalah yang terakhir turun”.

B.    Pengertian Makkiyah
Dalam merumuskan pengertian Makkiyah kita akan menemukan beberapa teori. Namun, kali ini kita akan menggunakan teori Mulahadhatun Zaman an-Nuzul (teori historis) yaitu teori yang berorientasi pada sejarah waktu turunnya Al-Qur’an. Berdasarkan teori Berdasarkan teori tersebut Maka, Makkiyah adalah ayat-ayat Al-Qur-an yang diturun sebelum hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah. Meskipun ada ayat-ayat yang turun diluar mekkah (Arafah, Mina, dan Hudaibah).

Ada 58 surat (berisi 2.074 ayat) Al-Qur’an yang diyakini sebagai murni Makkiyah. Diantaranya, Al-Fatihah, Yunus, Ar-Radu, Al-Anbiya, Al-Mu’min, An-Naml, Shaad, Fathir, dan surat-surat yang pendek pada juz 30 (kecuali An-Nashr). Kemudian ada 32 surat Makkiyyah (2699 ayat) yang berisi ayat-ayat Madaniyyah. Diantaranya, Al-An’am, Al-A’raf, Hud, Yusuf, Ibrahim, Al-Furqan, Az-zumar, Asy Syura, Al-Waqi’ah dan sebagainya.

C.    Pengertian Madaniyyah
Seperti halnya makkiyah kami pun dalam mendefinisikan madaniyah Berdasarkan pada teori Mulahadhatu Zaman an-Nuzul. Maka, Madaniyah adalah ayat-ayat Al-Qur-an yang turun setelah hijrah Nabi Muhammad saw ke madinah. (meskipun ada yang turun di mekkah atau disekitarnya seperti Badar, Quba, Uhud dan lain-lain).
Ada 18 surat (berisi 737 ayat) yang merupakan Madaniyah murni. Diantaranya, Ali-Imran, An-Nisa’, Al-Hujurat, An-Nur, Al-Ahzab, Al-Mumtahanah, Az-zalzalah dan sebagainya. Kemudian ada 6 surat (762 ayat) yang merupakan surat Madaniyah yang berisi ayat Makkiyah. Yaitu, Al-Baqarah, Al-Maidah, Al-Anfal, At-taubah, Al-Hajju dan Surat Muhammad (Surat Al-Qital).

D.   Ciri-ciri Makkiyah
Ada 2 jenis ciri-ciri dalam Makkiyah, yaitu ciri-ciri yang bersifat qath’i dan yang bersifat aghlabi.

Ciri-ciri khas yang bersifat qath’i

1. Setiap surat yang terdapat ayat sajdah di dalamnya, adalah surat Makkiyah. Sebagian ulama mengatakan, bahawa jumlah ayat sajdah ada 16 ayat.

2. Setiap surat yang di dalamnya terdapat lafal “kalla”, adalah Makkiyah Al-Ummani dalam kitabnya, al-Mursyidu fil Waqfi ‘Inda Tilaawatil Qur’an, menerangkan bahwa bagian separuh Al-Qur’an yang terakhir itu sebagian besar turun di Mekah, dan sasarannya pada umunya golongan-golongan yang keras kepala atau yang apriori menentang ajaran Islam, maka lafal “kalla” digunakan untuk member peringatan yang tegas dan keras kepada mereka.

3. Setiap surat yang terdapat di dalamnya lafal: dan ada yaaa ayyuhannasu tidak ada yaa ayyuhalladziina aamanuu adalah Makkiyah, kecuali surat Al-Hajj. Surat Al-Hajj ini sekalipun pada ayat 77 terdapat yaa ayyuhalladziina aamanuu, tetapi surat ini tetap dipandang Makkiyah.

4. Setiap surat yang terdapat di dalamnya kisah para Nabi dan umat manusia yang terdahulu, adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah.

5. Setiap surat yang terdapat di dalamnya kisah Nabi Adam dan Iblis
adalah Makiyah, kecuali surat al-Baqarah.

6. Setiap surat yang dimulai dengan huruf Tahajji (huruf abjad), adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imran.

Ciri-ciri khas yang bersifat aghlabi
1. Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek-pendek (ijaz), nada perkataannya keras dan agak bersajak.

2.Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah dan hari kiamat dan menggambarkan keadaan surga dan neraka.

3.Mengajak manusia untuk berakhlak yang mulia dan berjalan di atas jalan yang baik (benar).

4.Membantah orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan kepercayaan dan perbuatannya.

5. Terdapat banyak lafal sumpah.

E.    Ciri-ciri Madaniyah
Ada 2 jenis ciri-ciri dalam Madaniyah, yaitu ciri-ciri yang bersifat qath’i dan yang bersifat aghlabi.


Ciri-ciri khas yang bersifat qath’i
1. Setiap surat yang mengandung izin berjihad (berperang) atau menyebut hal perang dan menjelaskan hukum-hukumnya, adalah Madaniyah.

2. Setiap surat yang memuat penjelasan secara rinci tentang hukum pidana, faraid (warisan), hak-hak perdata, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata (civil), kemasyarakatan dan kenegaraan, adalah Madaniyah.

3. Setiap surat yang menyinggung hal ikhwal orang-orang munafik adalahMadaniyah, kecuali surat al-Ankabut yang diturunkan di Mekah. Hanya sebelas ayat yang pertama dari surat al-Ankabut ini adalah Madaniyah, dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.

4. Setiap surat yang membantah kepercayaan/pendirian/tata cara keagamaan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) yang dipandang salah, dan mengajak mereka agar tidak berlebih-lebihan dalam menjalankan agamanya, adalah Madaniyah. Seperti surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Nisa’, al-Maidah dan al-Taubat.

Ciri-ciri khas yang bersifat aghlabi
1.Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya pun panjang-panjang (Ithnab) dan gaya bahasanya cukup jelas di dalam menerangkan hukum-hukum agama.

2. Menerangkan secara rinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukkan hakikat keagamaan.

PENUTUP
Pada intinya pengertian surat Makkiyah maupun Madaniyah sejak dahulu sulit untuk dirumuskan. Hal ini berkaitan dengan penggunaan berbagai Metode para ‘ulama dalam merumuskannya berbeda.

Kemudian dalam menentukan surat yang termasuk kedalam makkiyah atau madaniyyah pun sangat beragam. Hasilnya bisa ditebak jika antara satu ‘ulama dan ‘ulama lainnya berbeda baik dalam hal perumusan, jumlah surat dalam Makkiyah-Madaniyah dan perbedaan tentang status surat apakah Makkiyah atau Madaniyah. Dalam Hadits riwayat yang tekait masalah tentang status surat saja sudah berbeda. Seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin Abu Thalhah, dan Qatadah. Dimana pada Ali bin Abu Thalhah terdapat 24 surat Madaniyah sedangkan Qatadah terdapat 26 surat Makkiyah dengan sisanya adalah surat Makkiyah. Selain itu sebagian ‘Ulama juga mengatakan, bahwa terdapat sekitar 94 surat Makkiyah dan Madaniyyah sekitar 20 surat. Sebagiannya lagi sekitar 84 surat Makkiyah dan 30 surat Madaniyah. dari contoh sederhana seperti ini kita bisa berkomentar ternyata persoalan dalam pengklasifikasian secara penetapan saling berbeda. Antara satu ‘Ulama dengan yang lain.
Terlepas dari penetapan yang beragam tersebut kita akan dapat berkesimpulan dengan melihat uraian penjelasan pada sub-pembahasan diatas. Bahwa ternyata, unsur utama dalam pengklasifikasian ternyata sangat vital dan bersentuhan langsung dalam menentukan hikmah kedudukan sebuah hukum dalam Al-Qur’an (Hikmatut Tasyri). Maka dari itu pengetahuan tentang pengklasifikasian Al-Qur’an sangat dibutuhkan sehingga esensi dari Maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an akan bisa kita temukan. Demikian, semoga dapat bermanfaat.


8. Makkiyah Madaniyyah
Berdasarkan tempat dan peristiwa turunnya, ayat-ayat al-Qur’an dibedakan menjadi ayat makkiyyah dan madaniyyah. Ayat-ayat makkiyah dapat diketahui dari ciri kasnya sebagai berikut:

a. Diturunkan di Mekkah dan sekitarnya
b. Di dalamnya mengandung sajdah
c. Mengandung kata Yaa ayyuhannaas

d. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumen terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyyah

e. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlaq mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zholim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.

f. Suku katanya pendek-pendek disertai dengan kata-kata yang mengesankan sekali. Pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terasa sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun menyakinkan dengan diperkuat lafadz-lafadz sumpah.

Adapun ayat-ayat madaniyyah dapat diketahui berdasarkan ciri sebagai berikut:
a. Diturunkan di madinah dan sekitarnya (sesudah hijrah)
b. Setiap yat berisi kewajiban atau had (sanksi)
c. Menjelaskan tentang ibadah, mu’amalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik di waktu damai maupun perang, ketatanegaraan, kaidah hukum dan masalah undang-undang

d. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dengan gaya bahasa yang memantapkan syari’at serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.




Surat Al Fatihah adalah surat pembuka dalam Al Quran yang terdiri dari 7 ayat, surat ini adalah surat yang pertama diturunkan secara lengkap di antara surat-surat yang lain di dalam Al Quran, di sebut juga “Ummul Qur’an” (induk Al Qur’an) atau “Ummul Kitab” (Induk Al Kitaab) karena surat ini merupakan induk dari semua ayat Al Qur’an serta menjadi intisari dari kandungan Al Qur’an, karena itu di wajibkan membacanya pada tiap rakaat shalat. Surat Al Fatihah dinamakan juga “As Sab’ul matsaany” (tujuh yang berulang-ulang) karena ayatnya ada tujuh dan di baca berulang-ulang pada setiap rakaat shalat.

Surat ini di turunkan di Mekkah dan termasuk dalam golongan Surat Makkiyah, surat Makkiyah umumnya berisi ayat-ayat yang pendek, jumlah ayat surat makkiyah seluruhnya berjumlah 4.780 ayat, di dalam surat makkiyah selalu berbunyi “Yaa ayyuhannaas” ini berbeda dengan Surat Madaniyah yang selalu berbunyi “Ya Ayyuhalladzina aamanu” dan ayat-ayat makkiyah umumnya selalu berbicara tentang keimanan, ancaman dan pahala, serta kisah-kisah umat terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti.

Surat Al Fatihah mengandung berbagai macam unsur pokok yaitu :
1. Keimanan
Di awal-awal surat Al Fatihah sudah sangat jelas mengandung unsur keimanan, yaitu segala puji bagi Allah, dan disini ada unsur kepercayaan bahwa Allah lah yang selalu ir mi nikmat dan sumber segala nikmat dalam ir mini.

2. Hukum-hukum
Jalan kebahagiaan dan bagaimana seharusnya menempuh jalan kebahagiaan itu, jalan itu si sebut sebagai “hidayah” yang datang dari Allah

3. Kisah-kisah
Tunjukkilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat,
sebagian besar dari ayat-ayat Al Quran memuat kisah-kisah para nabi dan kisah-kisah orang dahulu yang menentang Allah.

Membaca Surah Al Fatihah Dalam Shalat Para Imam mazhab sepakat bahwa membaca surah Al Fatihah baik bagi imam maupun shalat sendirian hukumnya wajib pada dua rakaat shalat shubuh dan 2 rakaat shalat lain. Sedang pada rakaat lain, para imam mazhab berbeda pendapat tentang bacaan surat Al Fatihah.

Imam Syafi’I dan Imam Hambali mewajibkan membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat shalat fardu. Sedang Imam Hanafi membaca surat Al Fatihah tidak wajib, kecuali pada dua rakaat pertama di setiap shalat fardu, dan Imam Maliki terdapat dua pendapat, yang pertama sama dengan pendapat Imam Syafi’I dan Imam Hambali, dan yang kedua jika tertinggal membaca surat Al Fatihah pada salah satu rakaat selain shalat shubuh hendaklah sujud sahwi. Sedangkan jika pada shalat shubuh maka shalatnya harus di ulang kembali.

Sedang membaca surat Al Fatihah bagi makmum, para imam mazhab berbeda pendapat, Imam Hanafi berpendapat tidak wajib membaca surat Al Fatihah, baik bacaan imam shalat itu di keraskan (jahar) maupun tidak di keraskan ( ir). Bahkan, tidak disunnahkan membacanya di belakang imam secara mutlak. Imam Maliki dan Imam Hambali tidak wajib membaca surat Al Fatihah di belakang imam secara mutlak, dan Imam Maliki makmum makruh membacanya apabila imam apabila imam membacanya dengan keras, baik ia mendengar bacaan imam itu maupun tidak mendengarnya.

Kalau imam shalat membaca surat Al Fatihah secara perlahan, maka pendapat para imam mazhab diantaranya, Imam Syafi’I berpendapat bahwa makmum wajib membaca surat Al Fatihah apabila imam shalat membacanya secara perlahan, Imam Hambali di sunnahkan makmum membaca surat Al Fatihah di belakang imam, bahkan pendapat yang paling kuat dari Imam Syafi’I makmum wajib membaca surat Al Fatihah dalam shalat jahar.

Perbedaan pendapat para imam mazhab ini bukan untuk menyempitkan di dalam agama, namun merupakan rahmat bagi umat, dari semua bidang ilmu yang dikaji dalam islam, Ilmu Fiqihlah yang paling banyak diperhatikan dan juga melahirkan perbedaan pendapat, karena masing-masing mazhab mempunyai dalil dan argumentasi sendiri, maka sikap terbaik yang diambil adalah menerima perbedaan pendapat ini, sesuai dengan sabda Rasulullah saw “Perbedaan pendapat dikalangan umatku adalah rahmat”.

Fiqih bagaikan lautan tak bertepi, sebab satu masalah dalam fiqih berkembang dan bercabang menjadi banyak, sudah umum diketahui bahwa berbagai mazhab Fiqih mempunyai pandangan yang berbeda dan beragam tentang satu masalah yang sama, bahkan boleh jadi perbedaan itu muncul di kalangan ulama yang semazhab, tugas kita adalah terus menuntut ilmu sesuai dengan petunjuk Al Quran dan Assunnah dengan membandingkan berbagai perbedaan pendapat tersebut dan mengambil apa yang paling kita yakini.



1. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.

2. Meresapi gaya bahasa al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi, merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makkiyyah dan Madaniyyah dalam al-Qur’an pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai fikiran dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada di dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan tata cara, keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara al-Qur’an menyeru berbagai golongan: orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik dan ahli kitab.

3. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat al-Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah saw. sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik pada periode Makkah maupun periode Madinah, sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Al-Qur’an adala sumber pokok bagi peri kehidupan Rasulullah. Perjalanan hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan al-Qur’an; dan al-Qur’an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.

Untuk mengetahui dan menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah para ulama bersandar pada dua cara utama: simaa’i naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan qiyaasi ijtihaadi (kias hasil ijtihad). Cara pertama didasarkan pada riwayat shahih dari para shahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu; atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para shahabat; bagaimana dan dimana serta peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makkiyyah dan Madaniyyah itu didasarkan pada cara pertama ini. Namun demikian, tentang hal ini tidak diperoleh sedikitpun keterangan dari Rasulullah saw. karena ia tidak termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Qadi Abu Bakar Ibnu Tayyib al-Baqalani dalam al-Intisaar menegaskan: “Pengetahuan tentang Makkiyyah dan Madaniyyah itu mengacu pada hafalan para shahabat dan tabi’in. Tidak ada suatu keterangan pun yang datang dari Rasulullah saw. mengenai hal ini, sebab ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan mengenai hal itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagai pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nas dari Rasulullah saw.

Cara kedua adalah cara qiyaasi ijtiHaadi didasarkan pada ciri-ciri makkiyyah dan Madaniyyah. Apabila dalam surah makkiyyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat madaniyyah atau mengandung peristiwa madaniyyah, maka dikatakan bahwa ayat itu madaniyyah. Dan apabila dalam surah Madaniyyah terdapat ayat yang mengandung sifat makkiyyah atau mengandung peristiwa makkiyyah, maka ayat tadi dikatakan sebagai ayat makkiyyah. Demikian pula apabila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Madaniyyah, maka surah itu dinamakan surah madaniyyah. Inilah yang disebut qiyaasi ijtiHaadi. Oleh karena itu para ahli mengatakan: “Setiap surah yang di dalamnya mengandung kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, maka surah itu adalah makkiyyah. Dan setiap surah yang mengandung kewajiban atau ketentuan, surah itu adalah madaniyyah. Dan begitu seterusnya.” Ja’bari mengatakan: “Untuk mengetahui Makkiyyah dan madaniyyah ada dua cara, yaitu sima’i (pendengaran) dan qiyyasi (kias).” Sudah tentu sima’i pegangannya adalah berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang pada penalaran. Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode penelitian ilmiah.

Ketentuan Makkiyyah dan Ciri Khas Temanya
1. Setiap surah yang di dalamnya mengandung “sajdah”
2. Mengadung lafal “kallaa”. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari al-Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
3. Mengandung kalimat “yaa ayyuHan naas” dan tidak mengandung kalimat “yaa ayyuHalladziina aamanuu.” Kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat “yaa ayyuHalladziina aamanur ka-‘uu wasjuduu.” Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah Makkiyyah.
4. Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu, kecuali surah al-Baqarah.
5. Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki, kecuali surah al-Baqarah.
6. Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti alif laam miim dan lain-lain, kecuali surah al-Baqarah dan Ali ‘Imraan. Sedang surah ar-Ra’du masih diperselisihkan.

Ciri Tema dan Gaya Bahasa Makkiyyah:
1. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumen terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.

2. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dhalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.

3. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah saw. sehingga beliau tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.

4. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah; seperti surah-surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.

Ketentuan Madaniyyah:
1. Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi)
2. Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik kecuali surah al-Ankabuut.
3. Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab

Ciri khas dan gaya bahasa Madaniyyah:

1. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
2. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.

3. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisa kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.

Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran dan sendi-sendi kebudayaannya. Demikian juga umat Islam amat memperhatikan kelestarian risalah Muhammad yang memuliakan semua umat manusia. Itu disebabkan risalah Muhammad bukan sekedar risalah ilmu dan pembaruan yang hanya memperhatikan sepanjang diterima akal dan mendapat respons manusia; tetapi, di atas itu semua, ia agama yang melekat pada akal dan terpateri dalam hati. Oleh sebab itu kita dapati para pengemban petunjuk yang terdiri atas para shahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya meneliti dengan cermat turunnya al-Qur’an ayat demi ayat, baik dalam hal waktu ataupun tempatnya. Penelitian ini merupakan pilar kuat dalam sejarah perundang-undangan yang menjadi landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode dakwah, macam-macam seruan, dan pentahapan dalam penetapan hukum dan perintah. Mengenai hal ini antara lain seperti dikatakan oleh Ibnu Mas’ud ra:

“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, setiap surah al-Qur’an kuketahui dimana surah itu diturunkan; dan tiada satu ayatpun dari kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan. Sekiranya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu daripadaku mengenai kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku, pasti aku pacu untaku kepadanya.”

Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi segala kerusakan akidah, perundang-undangan dan perilaku. Beban dakwah itu baru diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan fondasi kuat telah dipersiapkan untuk membawanya. Dan asas-asas perundangan dan aturan sosialnya juga baru digariskan setelah hati manusia dibersihkan dan tujuannya ditentukan, sehingga kehidupan yang teratur dapat terbentuk atas dasar bimbingan dari Allah.

Orang yang membaca al-Qur’anul Karim akan melihat bahwa ayat-ayat Makkiyyah mengandung karakteristik yang tidak ada dalam ayat-ayat Madaniyyah, baik dalam irama maupun maknanya; sekalipun yang kedua ini didasarkan pada yang pertama dalam hokum-hukum dan perundang-undangannya.

Pada zaman jahiliyah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir dan mereka mengatakan: a idzaa mitnaa wa kunnaa turaaban wa ‘idhaaman a innaa lamab’uutsuun (“Apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, benarkah kami akan dibangkitkan kembali?”) (ash-Shaaffaat: 16)
“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu.” (al-Jaatsiyah: 24)

Mereka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata pedas dan retorika yang luar biasa. Sehingga wahyu makkiyyah (yang diturunkan di Makkah) juga berupa goncangan-goncangan yang mencekam, menyala-nyala seperti api yang member tanda bahaya disertai argumentasi sangat tegas dan kuat. Semua itu dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kepada agama tauhid. Dengan demikian tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek, begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan contoh-contoh kehidupan akhirat; surga dan neraka yang terdapat di dalamnya. Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan kebiasaan retorika tinggi, ditantang agar membuat seperti apa yang ada dalam al-Qur’an, dengan mengemukakan kisah-kisah para pendusta terdahulu sebagai pelajaran dan peringatan.

Demikianlah akan kita lihat al-Qur’an surah Makkiyyah itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga, huruf-hurufnya seolah melontarkan api ancaman dan siksaan, masing-masing sebagai penahan dan pencegah, sebagai suara pembawa malapetaka, seperti dalam surah al-Qaari’ah, al-Ghaasyiyah dan al-Waaqi’ah, dengan huruf-huruf hijaiyyah pada permulaan surah. Dan ayat-ayat berisi tantangan di dalamnya, nasib umat-umat terdahulu, bukti-bukti alamiah dan yang dapat diterima akal. Semua itu ciri-ciri al-Qur’an surah Makkiyyah.

Setelah terbentuk jamaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan Rasul-Nya, kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya, serta aqidahnya telah diuji dengan berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada kesenangan hidup duniawi –maka di saat itu kita melihat ayat-ayat Madaniyyah yang panjang-panjang membicarakan hukum-kukum Islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkurban di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundang-undangan, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, hubungan internasional dan antar bangsa. Juga menyingkapkan aib dan isi hati orang-orang munafik, berdialog dengan ahli kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum al-Qur’an yang Madaniyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar