Kemudian Agni merasa tangan-tangan yang berkeriput itu
membelai rambutnya dan kemudian menepuk pundaknya, "Bangkitlah Mahisa
Agni. Duduklah supaya orang tidak melihat kejanggalan ini."
Mahisa Agni pun kemudian bangkit dan duduk di samping emban tua itu.
Tetapi wajahnya masih ditundukkannya, memandang dalam-dalam ke dalam
gambaran-gambaran di benaknya. Wajah perempuan itu, matanya, hidungnya,
dahinya. "Ah," desah Agni di dalam hati kenapa aku tidak melihatnya
sebelumnya. Hampir saya aku melukai hatinya."
Yang terdengar kemudian ibunya berkata, "Agni. Sekarang kau melihat,
apakah sebabnya aku menggantungkan harapan masa depanku sejalan dengan
keadaanmu. Namun anakku, bahwa apa yang terjadi sebenarnya adalah satu
peristiwa timbal balik, hutang piutang dan sebab akibat. Kau yang sama
sekali tidak bersalah, kini harus menerima akibat dari
kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan sebelumnya. Aku telah
mengecewakan hati laki-laki, bahkan dua orang sekaligus. Dan kini kau,
anakku, agaknya telah dikecewakan oleh seorang gadis pula."
Agni masih menundukkan wajahnya. Ia tidak membantah lagi. Tidak
seharusnya ia menyembunyikan perasaannya kepada ibunya. Ibu yang
meskipun baru saja dikenalinya.
"Tetapi anakku," berkata ibunya, "kau telah mendengar cerita tentang
ibumu, ayahmu dan laki-laki yang merantau itu. Meskipun kau kini
mengalami nasib yang mirip dengan laki-laki itu, tetapi kau jangan
kehilangan masa depanmu. Kau dapat memilih satu di antara dua. Namun
dengan ikhlas dan jujur. Merebut gadis itu atau melepaskan dengan
ikhlas. Sudah temu kau tidak akan mengorbankan hubunganmu sebagai
seorang murid terhadap gurunya yang telah bertahun-tahun memeliharamu.
Tidak saja sebagai seorang murid, namun sebagai seorang anak yatim
piatu. Nah Agni, aku ingin mendengar dari mulutmu, apakah yang akan kau
lakukan?"
Agni masih diam menekurkan kepalanya. Ia tidak merasa tersinggung lagi
kini. Bahkan serasa ia mendapat saluran yang wajar untuk meluapkan
perasaannya. Karena itu maka ia pun menjawab, "Ibu. Aku sudah memutuskan
untuk melepaskannya dengan ikhlas. Sebab aku merasa, bahwa aku tidak
akan dapat memaksanya untuk mengalihkan perasaannya dengan paksa.
Meskipun seandainya aku berhasil berbuat sesuatu yang dapat memaksa
gadis itu mengubah pendiriannya, namun aku tidak yakin, apakah gadis itu
tidak akan tersiksa sepanjang hidupnya. Dan apakah aku tidak tersiksa
pula karena aku hanya dapat memiliki tubuhnya, namun bukan hatinya."
Perempuan tua itu mengangguk-angguk. "Syukurlah," katanya. Tetapi kau
jangan mengorbankan masa depanmu yang panjang. Kalau kau sudah menerima
keadaan itu, jangan kau bunuh hari depanmu dengan keputus-asaan."
Agni menggeleng lemah. "Tidak ibu," jawabnya.
"Demikianlah, Anakku," sahut ibunya, "terimalah akibat ini. Akibat dari perbuatan ibumu."
"Karma," desah Agni di dalam hatinya. Dan terdengar ibunya melanjutkan, "Dan akibat itu datang terlampau cepat."
Ibunya diam untuk sesaat. Tetapi kemudian ia berkata pula, "Sepeninggal
ayahmu Agni, aku telah mencarimu. Akhirnya aku temukan kau dalam asuhan
orang lain yang baik hati kepadamu. Tetapi aku tidak dapat mengambil kau
sebagai seorang ibu mengambil anaknya. Karena itu, apabila selama masa
pembuangan diri itu aku mengabdikan diriku di sini, di padepokan Empu
Purwa maka aku minta dengan sangat, supaya Empu Purwa mengambil seorang
anak laki-laki kecil sebagai muridnya. Tentu aku tidak mengatakan, bahwa
laki-laki itu adalah anakku. Tetapi aku berhasil membujuknya dengan
mengungkit rasa belas kasihannya."
Kini Agni menjadi jelas. Dan terasa kemudian, betapa emban Ken Dedes itu
sangat baik kepadanya. Mula-mula ia menyangka bahwa emban itu baik hati
kepadanya, karena ia murid Empu Purwa, yang seakan-akan telah menjadi
saudara kandung putrinya. Namun kalau demikian halnya maka sikap emban
itu agak berlebih-lebihan. Dan kini perempuan itu meneruskan
kata-katanya, "Aku menjadi cemas dengan keadaanmu sejak semalam. Tetapi
kini aku sudah mendengar dari mulutmu sendiri. Karena itu aku menjadi
berlega hati. Nah, Agni, sebagai emban Ken Dedes, maka biarlah aku minta
kepadamu. Sampaikan permintaan yang telah kau ketahui itu kepada
Wiraprana. Demi kelangsungan masa depanmu dengan perguruanmu. Sudah
tentu kau tak akan mengatakan kepada siapa pun juga, siapakah sebenarnya
aku ini."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Dan terdengar ia berkata lirih, "Senja nanti Wiraprana akan datang kemari."
Perempuan tua itu tersenyum. Sekali lagi ditepuknya bahu Mahisa Agni. Katanya, "Aku harap kau berjiwa besar."
"Mudah-mudahan," jawab Mahisa Agni.
Emban tua itu pun kemudian bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar.
Namun di muka pintu ia berhenti sejenak, berpaling dan berkata, "Aku
akan pergi kepada gadis putri Empu Purwa itu. Mengatakan kepadanya,
bahwa Mahisa Agni telah menyanggupinya, menyampaikan pesannya kepada
Wiraprana. Begitu?"
Mahisa Agni mengangguk lemah.
"Baiklah," gumam ibunya. Dan sesaat kemudian perempuan tua itu telah hilang di balik pintu.
Kini kembali Mahisa Agni seorang diri di dalam biliknya. Bilik yang
semula. Tetapi terasa betapa ada perbedaan di dalam dirinya. Kini ia
tidak lagi merasa terlalu sepi. Tiang-tiang, dinding dan sudut-sudut
biliknya tidak setegang tadi. Dan terasa oleh Mahisa Agni, bahwa
padepokan itu masih mengikatnya kembali. Ibunya berada di padepokan itu
pula. Dengan demikian, maka masih diharapkannya untuk tinggal di tempat
ini. Mudah-mudahan ia memberikan baktinya kepada ibunya itu. Meskipun
ibunya seakan-akan tak pernah berbuat sesuatu untuknya, namun perempuan
itu telah berjuang melawan maut pada saat melahirkannya, kemudian
menyusuinya dengan penuh harapan, bahwa bayinya akan dapat hidup terus
dan menjadi besar. Dan kini ia telah menjadi besar. Lalu apakah yang
akan dilakukan untuk ibunya itu?
Beberapa saat berselang, ibunya memberinya beberapa petunjuk dan
pesan-pesannya. Pesan seorang ibu. Dan tiba-tiba hati Mahisa Agni
menjadi besar. Dengan dada tengadah ia menanti kedatangan Wiraprana,
"Aku akan berkata kepadanya. Mudah-mudahan akan dapat memberinya
kegembiraan."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kembali ia meletakkan tubuhnya di
pembaringannya. Betapa penat telah menjalari seluruh tubuhnya. Namun ia
tidak dapat memejamkan matanya. Kini ia sedang mereka-reka, bagaimana
ia harus mengatakan kepada Wiraprana.
Matahari di langit berjalan di dalam garis edarnya. Semakin lama semakin
condong ke barat. Cahaya-cahaya merah telah bertebaran di atas
pohon-pohon kelapa dan mewarnai lereng-lereng perbukitan. Burung-burung
seriti beterbangan menangkapi belalang di padang-padang rumput. Dan hari
yang cerah itu pun berangsur-angsur menjadi suram.
Menjelang senja Mahisa Agni telah membersihkan dirinya. Mandi di sumur
belakang rumah gurunya. Kemudian duduk dengan gelisahnya di regol
halaman menunggu Wiraprana. Ia harus segera menyampaikan pesan itu
sebelum ia bertemu dengan gurunya. Mungkin gurunya pun akan bertanya
kepadanya, apakah pesan putrinya telah sampai kepada anak buyut
Panawijen itu. Meskipun ia sadar, bahwa gurunya pun akan memaksa dirinya
sendiri untuk menuruti permintaan putri satu-satunya. Tetapi, ada juga
kemungkinan lain. Ken Dedes sama sekali tidak mengatakan kepada ayahnya
sampai pada suatu ketika ayahnya mengadakan permainan sayembara pilih
kembali.
"Biarlah, apa yang akan dilakukan," berkata Agni di dalam hati, "namun aku harus menyampaikannya kepada Wiraprana.
Hati Mahisa Agni menjadi berdebar-debar ketika dari kejauhan ia melihat
anak muda yang ditunggunya itu datang. Karena itu segera ia pun berdiri.
Sesaat ia tegak di tengah-tengah regol itu, namun kemudian ia melangkah
menepi bersandar pada tiang pintu. Tetapi sesaat lagi ia telah berjalan
hilir mudik melintasi jalan di muka regol halaman itu.
Wiraprana yang berjalan ke arahnya itu pun tidak kalah gelisahnya. Anak
muda itu melihat Mahisa Agni berjalan hilir mudik, berdiri tegak,
kemudian berjongkok kembali. Karena itu maka Wiraprana pun tak ada
habis-habisnya berpikir, "Apakah aku telah berbuat suatu kesalahan
kepadanya, atau kepada Ken Dedes?"
Tetapi ia berjalan terus. Apapun yang dihadapinya, akan diterimanya
dengan baik. Seandainya ternyata ia bersalah, maka adalah menjadi
kewajibannya untuk minta maaf. Baik kepada Mahisa Agni maupun kepada Ken
Dedes.
Akhirnya Wiraprana itu pun sampai di regol itu pula. Dilihatnya Mahisa
Agni tersenyum dan kemudian berkata, "Aku menunggumu sejak tadi
Wiraprana."
Wiraprana pun tersenyum pula. "Bukankah kau minta aku datang sesudah senja?"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Wiraprana, apakah sudah mengairi sawahmu?"
Wiraprana mengangguk. "Sudah," jawabnya.
"Bagus," jawab Agni, "kalau demikian kau tidak akan tergesa-gesa."
Dada Wiraprana berdesir. Selama ini ia selalu datang ke rumah ini. Tidur
di sini, makan di sini. Kenapa tiba-tiba kini Mahisa Agni bersikap
demikian. Apalagi kemarin ia tampak terlalu tergesa-gesa. Namun ia
menjawab juga, "Semua pekerjaanku sudah selesai Agni."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Marilah kita pergi ke bendungan."
Wiraprana mengangguk. Meskipun terasa betapa canggungnya pertemuannya
kali ini. Berpuluh kali ia telah pernah mendengar Mahisa Agni
mengajaknya ke bendungan, namun kali ini hatinya berdebar-debar juga.
Meskipun demikian Wiraprana mengangguk juga sambil menjawab, "Marilah."
Agni tidak berkata apa-apa lagi. Keduanya kemudian berjalan bersama-sama
ke bendungan. Kemarin, dua hari yang lampau, tiga hari yang lampau,
lima, sepuluh dan beratus-ratus kali di saat-saat lampau, keduanya
sering pula berjalan ke bendungan. Tetapi kali ini keduanya seperti
asing. Mereka berjalan sambil berdiam diri. Cepat-cepat seperti takut
terlambat.
Ketika mereka telah tegak di bedungan, berkatalah Mahisa Agni, "Duduklah Wiraprana."
"Hem," desah Wiraprana. "Agni memang aneh akhir-akhir ini," katanya di
dalam hati, "biasanya tak pernah ia mempersilahkan demikian. Apakah aku
akan berjungkir balik, atau akan terjun sekalipun, tak pernah ia
menegurku."
Meskipun terasa betapa kaku pertemuan itu, namun Wiraprana kemudian
duduk juga di samping Mahisa Agni. Untuk sejenak mereka masih berdiam
diri. Wiraprana memandang jauh-jauh ke kelokan sungai, memandang air
yang berputar-putar dan kemudian lenyap seperti ditelan hantu, hilang di
balik kelokan.
Beberapa kali Mahisa Agni menarik nafas. Ketika melihat warna-warna yang
semakin kelam di ujung pepohonan ia menjadi gelisah. Sebenarnya Mahisa
Agni ingin langsung menyampaikan pesan Ken Dedes. Namun ia tidak segera
menemukan cara untuk memulainya. Tetapi ia sadar, lambat atau cepat ia
harus berkata. Karena itu akhirnya di cobanya juga berkata, "Wiraprana,
kali ini aku ingin menyampaikan sebuah pesan untukmu."
Wiraprana kemudian berpaling. Ditatapnya wajah Agni yang menunduk.
Karena Mahisa Agni tidak segera meneruskan kata-katanya maka Wiraprana
pun menyahut, "Agni. Sudah terasa betapa janggal sikapmu akhir-akhir
ini. Supaya aku tidak selalu berteka teki, maka sudah sepantasnya kalau
kau mengatakan sesuatu kepadaku. Apakah aku telah berbuat kesalahan,
atau apapun yang mengecewakanmu atau mengecewakan Ken Dedes."
"Tidak!" Mahisa Agni menggeleng, "Kau tidak mengecewakan siapa pun. Aku tidak, Ken Dedes apalagi."
Mahisa Agni diam sesaat. Dicobanya mengatur perasaannya. Ia harus
mengatakan sesuatu yang dirasakannya terlalu pahit. Namun ketika
diingatnya pesan ibunya, maka ia pun menjadi agak tenang. Maka katanya,
"Sudah lama aku mengenalmu, dan sebaliknya. Kau pun telah mengenal
seluruh keluarga kami. Guruku, aku dan Ken Dedes. Wiraprana, hampir
setiap hari kau berkunjung ke rumah guru. Apakah benar-benar hanya
karena aku ada di sana?"
Wiraprana terkejut mendengar pertanyaan itu. Sahutnya, "Apakah maksudmu Agni?"
Agni menarik nafas. Dengan sangat berhati-hati ia mengulangi supaya
tidak menimbulkan salah mengerti, "Wiraprana, maksudku, apakah
kehadiranmu setiap hari di rumah Empu Purwa itu benar-benar karena kau
ingin menemui aku?"
"Tentu!" jawab Wiraprana cepat-cepat. Wajah anak muda itu pun menjadi
merah, dan hatinya semakin berdebar-debar, "Apakah kau menyangka lain,
Agni?"
"Tidak," sahut Agni, "mula-mula aku tidak menyangka lain, namun sekarang aku mengharap, semoga kau mempunyai maksud yang lain."
"Ah," desah Wiraprana, "aku tidak mengerti, jangan membuat aku bingung, Agni. Katakanlah."
"Prana," berkata Mahisa Agni, "betapa berat pesan yang dititipkan
kepadaku untukmu. Sebagai seorang kakak, aku wajib memenuhinya. Namun
aku mengharap kau tidak menjadi kecewa, justru karena pesan itu. Kau
jangan salah menilai, bahwa seorang gadis sedemikian berani memberikan
pesan yang tak ternilai harganya kepada seorang anak muda. Prana, besuk
atau lusa kau akan tahu sebabnya. Kini, dengarlah pesan dari adikku itu.
Ia mengharap kehadiranmu dalam perjalanan hidupnya."
Kembali Wiraprana terperanjat. Dan kembali warna merah membersit di
wajahnya. Karena itu ia menjadi seakan terbungkam. Mahisa Agni telah
memberitahukan pesan itu terlalu langsung. Agni pun kemudian merasakan
pula kekakuan kata-katanya. Namun untuk mengucapkannya ia sudah harus
berjuang di dalam dirinya. Karena itu ia tidak dapat berbuat lebih baik
daripada apa yang telah dilakukannya.
Sejenak kemudian keduanya dicengkam oleh debar yang cepat di dada
masing-masing. Wiraprana bahkan menjadi bingung. Apakah yang dapat
dikatakannya? Sedang Mahisa Agni sibuk menguasai perasaannya. Dengan
sekuat tenaga ia berjuang untuk menenangkan diri. Baru kemudian ia dapat
berkata pula, "Wiraprana, jangan menyangka bahwa Ken Dedes dengan
tiba-tiba saja merendahkan dirinya dengan pesannya itu. Ia tidak akan
berbuat demikian seandainya, sikapmu, kata-katamu sebelumnya tidak
meyakinkannya. Setidaknya menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Sehingga
pada saat gadis itu terdesak oleh keadaan, seperti yang terjadi dengan
Kuda Sempana, ia harus menjatuhkan pilihan."
Wiraprana mengangkat wajahnya. Kemudian dengan gemetar ia bertanya, "Kenapa pilihan itu jatuh atasku?"
Agni menarik nafas. Kemudian ia meneruskan, "Sudah aku katakan, sikapmu
dan kata-katamu menumbuhkan harapan di hati adikku. Ketika Ken Dedes
mengeluh atas keadaannya, atas sikap Kuda Sempana dan lamaran-lamaran
lain yang datang kepada ayahnya, namun tak seorang pun sesuai dengan
hatinya, maka aku nasihatkan kepadanya untuk segera menentukan pilihan.
Wiraprana, adikku itu telah lama mengenalmu. Aku pun telah mengenalmu
pula, hampir segenap watak dan tabiatmu. Karena itu, aku nasihatkan
kepada Ken Dedes, supaya ia bersedia menerima kehadiranmu di dalam
masa-masa hidupnya yang akan datang. Agaknya kami, aku dan Ken Dedes
sependapat, bahwa tak ada orang lain yang lebih baik dari padamu. Karena
itu, apakah Ken Dedes akan memberikan pesan untukmu atau tidak, suatu
saat aku pasti akan mengatakannya kepadamu."
Terasa sesuatu bergelora di dalam dada Wiraprana. Kini ia tidak dapat
berbohong lagi. juga kepada dirinya sendiri. Sejak lama terasa sesuatu
di dalam sudut hatinya. Tetapi ia tidak berani melihatnya. Ia merasa
bahwa tak sepantasnya ia berangan-angan tentang seorang gadis putri
pendeta yang menenggelamkan hidupnya dalam pengabdiannya terhadap sumber
hidupnya. Ia merasa, bahwa dirinya akan terlalu kasar untuk itu.
Wiraprana merasa, bahwa ia tidak lebih dari seorang petani yang lebih
mengenal dirinya sendiri, alam dan semesta ini pada wadagnya. Karena itu
ia telah bertekad untuk menekan segenap perasaan yang timbul di dalam
dadanya. Namun demikian, setiap kali selalu timbul keinginannya untuk
datang ke rumah guru sahabatnya itu. Karena itu, tiba-tiba timbul pula
pertanyaan di hatinya, "Apakah aku datang setiap hari mengunjungi Mahisa
Agni itu benar-benar karena aku ingin bertemu dengan anak itu?"
Wiraprana menjadi malu sendiri. Agni pun bertanya demikian kepadanya. Dan ia tidak dapat menjawabnya.
Wiraprana kemudian menundukkan wajahnya. Di dalam dadanya bergolak
berbagai perasaan. Terkejut, gelisah namun tebersit pula kegembiraan di
dalam hatinya. Karena itu, selagi ia sibuk dengan persoalannya sendiri,
maka ia tidak melihat betapa Mahisa Agni berjuang untuk menguasai
perasaannya. Di dalam dadanya pun bergelora pula berbagai perasaan.
Pedih, sakit dan kecewa. Namun ia sudah bertekad untuk menghayatinya.
Gemericik air di bendungan terdengar seperti sebuah lagu yang lincah.
Nadanya meloncat-loncat dalam irama yang cepat. Ketika Wiraprana
memandang ke dalamnya, tampaklah bayangan bintang-bintang di langit
seakan-akan meloncat-loncat dipermainkan oleh getaran permukaan air yang
riang.
"Agni," tiba-tiba ia berkata. Agni mengangkat wajahnya, dan ditatapnya wajah Wiraprana yang cerah.
"Adakah kau berkata sebenarnya?" bertanya anak muda itu.
"Tentu," jawab Agni.
"Apakah Ken Dedes benar-benar bermaksud demikian? Agni, aku takut kalau
Ken Dedes sekedar menuruti permintaanmu," Wiraprana menegaskan.
Agni menarik nafas. Terasa dadanya menjadi sesak. Namun ia menjawab,
"Tidak Ken Dedes benar-benar menyadari pesannya itu." "Ah," desah
Wiraprana.
Kembali mereka berdiam dari. Wiraprana kini melihat masa depan yang
cerah terbentang di hadapannya. Nanti ia akan berkata kepada ayahnya apa
yang didengarnya dari Mahisa Agni. Ayahnya segera pasti akan memenuhi
adat itu. Datang kepada ayah Ken Dedes dengan sebuah upacara. "Hem,"
katanya di dalam hati, "Bukankah ayahku Buyut Panawijen? Seharusnya aku
tak perlu merasa terlalu kecil untuk melakukannya?.
Dan tiba-tiba Wiraprana itu tersenyum sendiri. Meskipun demikian,
Wiraprana masih ingin meyakinkan. Karena itu ia bertanya, "Agni,
bagaimanakah pendapatmu tentang pesan itu. Apakah sudah sepantasnya aku
menerimanya?"
Sekali lagi sebuah goresan melukai hati Mahisa Agni. Tetapi ia menjawab,
"Tentu Wiraprana. Seharusnya kau penuhi permintaan itu. Pandanglah
dirimu dengan jujur, apakah tak ada perasaanmu untuk melakukannya.
Jangan hiraukan tanggapan orang lain tentang dirimu, tentang gadis itu
dan tentang masa depan kalian berdua. Kebahagiaan kalian di masa
mendatang tergantung kepada kalian sendiri. Tidak kepada orang lain dan
tidak pula tergantung kepadaku."
Wiraprana mengangguk-angguk. Senyumnya kembali membayang di wajahnya.
Katanya, "Terima kasih Agni. Aku tidak menyangka bahwa aku akan tertimpa
ndaru. Aku sebenarnya gelisah melihat sikapmu yang aneh akhir-akhir
ini. Tetapi kini aku menjadi sangat berterima kasih kepadamu."
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi kemudian ia mengatupkan giginya. Desahnya di dalam hati, "Berbahagialah kau, anak muda."
Tetapi Wiraprana tak melihat luka di dalam dada Agni. Yang dilihatnya
adalah keriangannya sendiri. Dan tiba-tiba ia berkata, "Agni. Marilah
kita pulang. Aku akan mengatakannya kepada Ayah. Supaya Ayah segera
dapat melakukannya. Besok atau lusa."
Mahisa Agni mengangguk. Tetapi ia masih belum ingin pulang. Maka jawabnya, "Pulanglah dahulu, Prana. Aku masih akan ke sawah."
Wiraprana tidak dapat merasakan apapun selain keinginannya untuk segera
menyampaikan kabar itu kepada ayahnya. Ayahnya pasti tidak akan
menolaknya. Meskipun ia harus meyakinkan, bahwa keluarga Ken Dedes
seluruhnya telah menerima kehadirannya apabila dikehendaki. Karena itu,
maka katanya, "Baiklah, aku pulang dahulu."
Mahisa Agni mengangguk, "Pulanglah. Aku segera menyusul."
Wiraprana tidak berkata apa-apa lagi. Segera ia melangkah dari batu ke batu. Kemudian meloncat dan berjalan cepat-cepat pulang.
Mahisa Agni kemudian berdiri. Dipandangnya Wiraprana yang berjalan
tergesa-gesa itu. Semakin lama semakin dalam membenam di hitamnya malam.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas. Perlahan-lahan pandangan matanya
berkisar di seputar bendungan. Air di grojoggan masih memercik beruntun.
Di langit ujung timur, Mahisa Agni melihat semburat kuning membayang di
atas ujung-ujung pepohonan. Bulan sesaat lagi akan melambung di langit
yang biru.
Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan menuruni bendungan.
Dilangkahinya anak-anak tangga di tebing kali. Sehingga akhirnya
sampailah ia di pinggir belumbang kecil.
"Di sinilah aku telah menyelamatkan kedua-duanya," desisnya.
Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika ia melihat wajahnya di air
belumbang yang terang itu, seakan-akan dilihatnya masa-masa lampaunya
yang penuh dengan keprihatinan. Tetapi justru karena itulah, maka Mahisa
Agni mampu menahan arus perasaannya, betapapun sakitnya.
Ketika bulan telah tersembul di atas punggung bukit, Agni teringat bahwa
gurunya memerlukannya. Karena itu dengan langkah yang berat, seberat
beban di hatinya, ia melangkah pulang. Ketika dilewatinya sawah gurunya
itu, diperlukannya membuka tutup pematang, untuk mengalirkan air ke
dalamnya.
Ketika ia memasuki regol halaman rumahnya, dilihatnya halaman rumah itu
sangat sepi. Lampu-lampu minyak telah menyala di setiap ruang di dalam
rumah. Seseorang telah menyalakan lampu di biliknya pula. Di pendapa
Agni melihat seorang cantrik melintas. Kepadanya Agni bertanya, "Di
manakah Empu Purwa sekarang?"
"Di pringgitan," jawabnya.
Mahisa Agni mengangguk. Ia ingin langsung menemui gurunya. Mungkin ada
sesuatu yang penting Mungkin ada hubungannya dengan Ken Dedes mungkin
pula tidak.
Perlahan-lahan Mahisa Agni membuka pintu. Dilihatnya gurunya duduk
bersila. Di hadapannya terhidang bintang, teko dan sebuah mangkuk kecil.
"Marilah, Agni," berkata gurunya. Dan Agni pun kemudian berjongkok dan
duduk di muka Empu Purwa. Meskipun telah berbilang ribuan ia duduk
menghadap gurunya namun kali ini hatinya berdebar-debar juga.
Tetapi debar jantung Agni pun menjadi semakin kusut ketika ia melihat wajah gurunya yang bening tenang.
"Marilah, Agni. Mumpung masih hangat," ajak gurunya sambil menyodorkan mangkuk kecil untuknya.
Mahisa Agni pun mengangguk, dan seperti biasanya segera ia meraih teko
dan kemudian segumpal gula kelapa. Adalah menjadi kebiasaan gurunya,
mengajaknya minum bersama. Menurut gurunya minum bersama terasa jauh
lebih nikmat daripada sendiri.
Ketika setengah mangkuk kecil telah terminum, Mahisa Agni meletakkannya kembali di dalam nampan kuningan.
Sejenak mereka berdua masih berdiam diri. yang terdengar kemudian
hanyalah bunyi-bunyi jangkrik dan angkup-angkup nangka yang
meringkik-ringkik di kejauhan.
Kemudian Empu Purwa itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku mencarimu tadi pagi, Agni. Tetapi tak ada keperluan apa-apa. Aku
hanya ingin minum bersama seseorang. tetapi ternyata kau tidak ada. Tak
seorang pun yang melihat. Aku sangka kau sedang pergi sawah."
Kembali Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ditundukkannya kepalanya,
dan dibiarkannya gurunya berkata meneruskan, "Apakah kau benar-benar
pergi ke sawah?"
Mahisa Agni menjadi bingung. Meskipun demikian ia menjawab, "Baru saja aku pulang dari sawah guru."
Empu Purwa tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Apakah padimu telah merunduk?"
"Hampir Empu, tidak sampai berbilang hari," jawab Mahisa Agni.
"Ah, syukurlah," sahut orang tua itu, "mudah-mudahan tanaman itu dijauhkan dari hama den kerusakan."
"Mudah-mudahan," gumam Mahisa Agni.
"Kalau demikian, Agni," berkata Empu Purwa, "itu sudah hampir sampai
masanya kau membuat gubuk untuk menjaga sawahmu dari gangguan burung."
"Ya, Empu," jawab Agni, "sebentar lagi akan aku buat."
Empu Purwa mengangguk-angguk. Dipandangnya wajah Mahisa Agni dengan
seksama, seakan-akan ada sesuatu yang aneh pada anak muda itu. Sehingga
ketika Mahisa Agni menyadarinya, maka ia pun menjadi gelisah. Dan
kembali wajahnya terpaku di dalam anyaman tikar yang didudukinya.
Sesaat kemudian Empu Purwa itu berkata pula, "Agni. Adalah menjadi hak
kita untuk mengusir setiap burung yang akan mencuri padi kita di sawah,
sebab kitalah yang menanamnya, memeliharanya dan dengan tertib berbuat
untuk kepentingan tanaman itu."
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Kata-kata gurunya itu agak
mengherankannya. Bukankah hal itu sudah wajar. Tak ada sesuatu yang
terasa baru pada kata-kata itu.
Empu Purwa melihat pula wajah Agni yang memancarkan berbagai pertanyaan
itu. Maka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Empu Purwa berkata,
"Kita akan merasa kehilangan Agni, apabila meskipun hanya sebutir padi
kita yang dimakan oleh burung-burung pipit liar itu. Karena itu kita
akan selalu mengusirnya apabila mereka datang."
Mahisa Agni menjadi semakin heran. Namun ia tidak bertanya. Bahkan kembali ia menundukkan wajahnya.
"Tetapi Agni,," sambung gurunya. Suaranya menjadi berat dan dalam, "Padi
yang kita pertahankan dari serbuan burung-burung pipit, dan
kadang-kadang kita harus bekerja siang dan malam, apabila hujan lebat
dan parit-parit menjadi melimpah itu, ada kalanya tidak sampai ke
lumbung-lumbung kita."
Empu Purwa berhenti sejenak, lalu katanya seterusnya, "Meskipun kita
tidak mengikhlaskan sebutir padi pun kepada burung-burung pipit Agni,
namun kadang-kadang kita berikan tidak hanya sebutir, bahkan lebih dari
itu, seikat, kepada orang lain, apabila kita yakin orang itu
membutuhkannya. Dan kita yakin karena itu maka orang itu menjadi
berbahagia karenanya."
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata gurunya itu. Sekejap ia
mengangkat wajahnya, namun sekejap kemudian wajah itu pun terkulai
kembali dengan lemahnya. Kini ia tahu, apakah yang akan dikatakan
gurunya itu.
"Agni," berkata Empu Purwa, "aku tidak dapat menolak apabila seseorang
yang kelaparan datang kepadaku, dan minta supaya aku memberinya padi.
Sedang padi itu ada padaku."
"Tentu saja Agni. Aku dapat memberikannya kepada siapa saja sesuka
hatiku, tetapi bagaimanakah kalau yang dapat aku berikan itu sangat
terbatas?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika teringat pesan ibunya,
maka Mahisa Agni pun segera dapat menguasai perasaannya. Karena itu
berangsur-angsur kegelisahannya pun menjadi lenyap. Bahkan kini
ditengadahkannya wajahnya, dan didengarnya kata-kata gurunya itu dengan
hati yang terang.
Maka gurunya itu pun berkata, "Ah, Anakku. Aku tidak dapat menyamakannya
dengan butiran padi itu. Mungkin orang lain berbuat demikian. Tetapi
aku tidak. Kadang-kadang aku mengingat juga lumbung-lumbung atau tempat
penyimpanan orang yang datang itu. Bahkan lebih dari itu, Agni"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak gelisah.
Karena itu ketika Empu Purwa bertanya kepadanya, maka dengan tatag ia
menjawabnya.
Berkatalah empu tua itu, "Agni. Ternyata kau turut memelihara sawahku
itu dengan tekun. Bahkan kaulah yang setiap saat melakukannya.
Bagaimanakah pendapatmu, kalau suatu ketika hasil sawah itu aku serahkan
kepada rakyat Panawijen, atau orang yang dapat mewakilinya?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kini ia tidak
menundukkan wajahnya. Bahkan dengan tenang ia menyahut, "Guru, adalah
menjadi kewajibanku untuk ikut memelihara setiap milik guru. Sawah,
ladang, halaman ini bahkan dengan segala isinya. Dan apabila kemudian
Empu mempunyai keputusan tentang itu semuanya, adalah sudah seharusnya
aku pun menjadi bergembira karenanya."
Empu Purwa itu pun tersenyum, katanya, "Tetapi, Agni. Bagaimanakah kalau
lumbung kita sendiri menjadi kosong. Dan apakah kita tidak takut, suatu
ketika kita sendiri akan menjadi lapar?"
Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata gurunya. Tetapi ia telah
menjadi tenang benar. Karena itu sama sekali tak tampak kegelisahan dan
perubahan di wajahnya. Selalu diingatnya pesan ibunya. Cerita ibunya
tentang dirinya dan ayahnya. Maka jawabnya, "Guru, apabila kita masih
mencemaskan keadaan diri sendiri, maka pemberian kita itu menjadi tidak
dilambari dengan keikhlasan."
"Hem," Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan
ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan penuh haru. Maka terdengar ia
berkata, "Kau telah menemukan nilai-nilai dirimu Mahisa Agni.
Nilai-nilai yang hampir rontok dalam usia mudamu. Usia yang paling
berbahaya dalam hidup ini."
Kini Mahisa Agni benar-benar terkejut. Apakah gurunya tahu, betapa ia
hampir menjadi gila mendengar pengakuan Ken Dedes di hadapan ibunya?
Tetapi Mahisa Agni justru menjadi terbungkam karenanya. Kemudian ia
mendengar gurunya itu berkata pula, "Agni, pagi tadi aku ikuti kau
bertamasya."
"Oh," Mahisa Agni mengeluh. Gurunya benar-benar mengetahui apa yang
sudah terjadi. Dan gurunya itu masih berkata, "Aku melihat kau
hampir-hampir kehilangan keseimbangan, Anakku."
Ketika Agni akan menjawab, Empu Purwa mendahului, "Jangan kau
sembunyikan perasaanmu. Orang setua aku, Agni, adalah orang-orang yang
pernah mengalami masa-masa semuda kau. Dan apa yang kau lakukan adalah
wajar. Sewajar orang mengusir burung pipit di sawahnya. Aku melihat
sejak kau bermain-main dengan serulingmu. Aku melihat Ken Dedes datang
kepadamu. Aku melihat, betapa kau menempelkan telingamu, untuk mendengar
apa yang dikatakan Ken Dedes kepada pemomongnya. Dan aku ikut
berlari-lari sepanjang tengah malam itu. Dan aku mendengarkan semua
percakapanmu dengan hantu di padang rumput itu, Agni. Aku tidak akan
berani mengatakan semua ini kepadamu, apabila kau masih belum menemukan
nilai-nilai yang tersimpan di hatimu. Meskipun apa yang dikatakan oleh
Ken Arok itu membantumu, namun keikhlasan yang terpancar di wajahmu,
membayangkan betapa kau memiliki nilai-nilai di dalam hatimu melampaui
dugaanku."
Mahisa Agni mendengar kata-kata gurunya dengan hati yang berdebar-debar.
Namun satu hal yang tak diketahui oleh gurunya, ibunya kini telah hadir
pula di dalam hatinya. Namun Mahisa Agni tak berkata sepatah kata pun.
Sesaat kemudian terdengar gurunya berkata, "Agni. Seorang setia berkata
bahwa wanita sana harganya dengan curiga. Dan sama pula harganya dengan
nyawanya. Aku tidak keberatan Agni. Namun aku ingin memberinya arti yang
agak berbeda dengan arti yang pernah diberikan oleh anak-anak muda.
Wanita, curiga, pusaka dan sebagainya adalah lambang dari cita-cita.
Setiap cita-cita memang mempunyai nilainya sendiri-sendiri. Kalau
cita-cita itu dinilai sama dengan nyawa kita, maka adalah sudah
seharusnya kita mengejar cita-cita itu sepanjang umur kita. Dan kau
telah sampai pada nilai-nilai yang lebih tinggi dari nilai-nilai
wadagnya Agni."
"Bukan wanita dalam wadagnya, tetapi wanita sebagai lambang yang
memancarkan kehalusan, yang memancarkan sifat-sifat pengabdian pada
anak-anaknya, pada penerus hidup kita. Pengabdian bagi masa yang akan
datang. Wanita tidak sekedar hidup untuk hidupnya, tetapi wanita hidup
untuk hidup masa mendatang. Dan adakah kita telah melakukannya. Adakah
kita telah menerapkan hidup kita tidak sekedar untuk hidup kita sendiri.
Adakah kita sudah menempatkan diri kita dalam pengabdian bagi masa
datang?"
"Agni, curiga dan pusaka yang harus kita udi pun, janganlah dinilai
sebagai bentuk wadagnya. Keris, tombak, bahkan segala jenisnya. Namun
setiap kita menempatkan pusaka apapun di hati kita, maka kita menilainya
dari setiap unsur yang dapat kita lihat daripadanya. Unsur yang
dipancarkan olehnya. Kejantanan, keperkasaan dan keluhuran budi. Atau
apapun menurut penilaian kita atasnya."
Empu Purwa itu pun berhenti sejenak. Dicobanya untuk mengetahui, apakah
kata-katanya itu dapat dimengerti oleh muridnya yang masih muda itu.
Agni kini menekurkan kepalanya. Didengarnya semua nasihat gurunya itu.
Dan dicobanya untuk mencernakannya di dalam hatinya.
Seterusnya gurunya itu berkata perlahan-lahan, namun langsung menyusup
ke jantung Mahisa Agni, "Agni. Betapapun juga, aku menyadari, bahwa ada
sesuatu yang hilang dari hatimu. Hanya orang-orang yang tabah, dan telah
menemukan nilai-nilai kemanusiaannyalah yang dapat menghadapi peristiwa
semacam itu dengan tenang dan berhati terang. Dan kau telah
melakukannya dalam umur mudamu. Karena itu mudah-mudahan kau selalu
diselamatkan oleh Maha Pencipta. Namun, meskipun demikian Agni, aku akan
mencoba mengurangi tekanan-tekanan yang berat itu. Meskipun kau pasti
akan kuat memanggulnya, namun sebaiknya, aku, gurumu, ikut pula
membantumu. Maksudku, aku tidak akan mengubah pendirian anakku, sebab
dengan demikian aku akan merampas kebahagiaannya. Dan menurut
penilaianku, kau telah memaafkannya."
"Dan kini, aku akan memberimu imbangannya. Sebuah pusaka."
Mahisa Agni tersentak sehingga ia bergeser madu. Diangkatnya wajahnya,
dan dipandangnya wajah gurunya yang sejuk bening. Dan didengarnya
gurunya itu meneruskan kata-katanya, "Agni, kau pernah melihat sebuah
trisula yang kecil itu? Sudah pernah aku katakan kepadamu, pusaka itu
diberikan turun temurun dari guru kepada muridnya yang tepercaya. Dan
kini, aku telah mengambil keputusan untuk memberikannya kepadamu. Namun,
ingatlah Agni. Pusaka yang berbentuk senjata itu bukan alat pembunuh.
Pusaka itu adalah alat untuk menegakkan sendi-sendi kebenaran dan
kemanusiaan menurut Sumbernya. Jadi menurut sumbernya, Agni. Bukan
menurut kehendakmu dan kepentinganmu. Meskipun kau tak akan mengerti
seluruhnya, kebenaran menurut Sumbernya itu, namun kau harus berusaha
mendekatkan diri pada-Nya. Kalau kau menemui keingkaran pada kebenaran
itu Agni, yang pertama-tama kau lakukan adalah melenyapkan keingkaran
itu. Bukan melenyapkan seseorang. Jangan kau lenyapkan seseorang yang
mengingkari kebenaran, selagi kau melihat kemungkinan untuk melenyapkan
keingkarannya tanpa mengorbankan orangnya."
Kini Mahisa Agni menundukkan wajahnya dalam-dalam. Meskipun gurunya
pernah berkata kepadanya di padang rumput Karautan, bahwa pusaka
berbentuk trisula itu adalah pusaka turun temurun, dan bahkan gurunya
pernah berkata pula, bahwa suatu ketika pusaka itu akan diberikan
kepadanya, namun pada sangkanya, tidak secepat yang terjadi. Justru
karena itu, maka dada Mahisa Agni terasa menjadi sesak oleh berbagai
perasaan yang bergulat di dalamnya. Bahkan kemudian terasa matanya
menjadi panas, dan terasa sesuatu menyumbat mulutnya.
Demikianlah, malam itu, dengan penuh keharuan dan terima kasih, Mahisa
Agni menerima sebuah pusaka dari gurunya. Apapun bentuknya, namun itu
adalah suatu pertanda bahwa gurunya telah menumpahkan kepercayaan
kepadanya. Kepercayaan pada ilmu yang telah dimilikinya, dan kepercayaan
pada pengalaman yang akan dilakukannya.
Dalam keharuannya, sekilas Mahisa Agni teringat kepada gadis putri
gurunya itu. Karena itu hatinya berdesir. Tetapi kemudian perasa hatinya
menjadi tenang kembali setelah disadarinya, bahwa sebagai gantinya,
telah didapatnya dua penemuan yang sangat berarti dalam hidupnya. Ibunya
dan sebuah pusaka.
Maka, meskipun tak terucapkan, namun betapa Mahisa Agni mengucapkan
syukur di dalam hatinya kepada Maha Pengasih atas karunianya yang tak
ternilai.
Ketika malam telah menjadi semakin malam, dan bulan di langit telah
membuat garis-garis tegak di atas padepokan, maka Empu Purwa melepaskan
Mahisa Agni kembali ke biliknya.
Di samping pendapa Mahisa Agni melihat sebuah bayangan di bawah rimbun
daun kemuning, Pandangan matanya yang tajam segera mengenalinya. Orang
itu adalah ibunya.
"Apa yang terjadi?" bisik ibunya, ketika Mahisa Agni telah dekat di sampingnya.
Dengan bangga Mahisa Agni menceritakan kepercayaan gurunya kepadanya.
Dan dengan bangga pula ditunjukkannya pusakanya kepada ibunya. Namun
ibunyalah yang lebih berbangga dari Mahisa Agni sendiri. Sedemikian
bangganya sehingga perempuan itu tak dapat menguasai perasaannya.
Setetes demi setetes, air matanya menitik. Tetapi ia tidak bersedih.
Bahkan dengan sebuah senyum ia berkata, "Berbahagialah kau Agni, dan aku
pun berbahagia pula. Pandanglah hari depanmu dengan penuh gairah di
dalam dadamu."
Malam itu adalah malam yang tak akan dilupakan oleh Mahisa Agni. Namun
demikian, anak muda itu tidak menjadi takabur. Dengan tekun ia justru
menempa dirinya. Setiap saat ada kesempatan, dengan tekad, bahwa nama
perguruannya, nama gurunya dan kepercayaan yang telah dilimpahkan
kepadanya, harus dijunjungnya tinggi-tinggi. Dan karena itu pulalah maka
Empu Purwa pun berbangga pula karenanya. Ternyata muridnya benar-benar
seorang anak muda yang baik.
Karena itu, maka Empu Purwa pun untuk selanjutnya telah menempa Mahisa Agni dalam tataran ilmunya yang tertinggi.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Agni tenggelam dalami penekunan tanpa
henti atas ilmunya, maka Wiraprana telah pula berhasil meyakinkan
ayahnya. Sehingga akhirnya Buyut Panawijen itu pun tak dapat berbuat
lain daripada memenuhi permintaan anaknya.
Ternyata semuanya berlangsung seperti yang diharapkan, Empu Purwa tidak
mau menunda persoalan itu berlarut-larut. Ketika ia menerima sebuah
utusan dari Buyut Panawijen, maka dilambari dengan penuh pengertian atas
hasrat yang tersimpan di dalam dada anaknya, maka dipanggillah Ken
Dedes menghadapnya.
"Ken Dedes," berkata Empu Purwa kemudian, "pengikut sayembara kali ini
hanya seorang, Wiraprana, putra Buyut Panawijen. Bagaimanakah
pendapatmu?"
Ken Dedes menundukkan wajahnya dalam-dalam. Berbagai perasaan bergolak
di dadanya. Ia gembira, menerima pertanyaan itu, tetapi ia tidak kuasa
untuk menganggukkan kepalanya. Karena itu ia menjawab lirih, "Ayah.
Terserahlah kepada Ayah."
Empu Purwa tersenyum. Seorang yang telah berumur lanjut, segera
mengetahui isi hati seorang gadis yang telah ditunggunya setiap saat.
Ken Dedes tidak menolak.
"Nah, Anakku," kata ayahnya, "aku harap kau tidak menemui
persoalan-persoalan yang sulit di kemudian hari, seperti apa yang telah
terjadi. Sebab segera semua orang di Panawijen akan mendengar kabar,
bahwa lamaran Buyut Panawijen telah diterima. Kita tinggal
memperhitungkan hari yang sebaik-baiknya untuk keperluanmu itu."
Ken Dedes tidak menjawab. Kepalanya masih ditundukkannya dalam-dalam. Namun ia berdoa, mudah-mudahan semuanya segera selesai.
Ketika ayahnya mengizinkannya pergi, Ken Dedes langsung berlari-lari ke
bilik Mahisa Agni. Dengan serta-merta ia mengguncang-guncang tubuh Agni
yang sedang berbaring, setelah dengan sekuat tenaga memeras diri dalam
latihannya.
Betapa terkejutnya anak muda itu. Segera ia bangkit bertanya, "Ada apa Ken Dedes?"
"Kakang," berkata gadis itu terbata-bata, namun wajahnya tampak betapa
cerahnya, secerah bintang pagi, "Ayah telah menerima lamaran dari Buyut
Panawijen."
"He?" Agni tersentak. Dan warna merah tiba-tiba tebersit di wajah Ken
Dedes. Ia menjadi malu kepada kakaknya, dan malu kepada diri sendiri.
Karena itu, kemudian ia terduduk di samping Agni sambil menundukkan
wajahnya.
Sesaat darah Agni bergolak. Namun hanya sesaat. Kemudian terasa darahnya
mendingin kembali. Dengan tenang ia berkata, kata-kata yang sudah
sewajarnya diucapkan oleh seorang kakak kepada adiknya yang berbahagia,
"Syukurlah, Ken Dedes. Wiraprana tidak mengecewakan kita."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya perlahan-lahan, "Aku berterima kasih kepadamu, Kakang."
"Bukankah sudah menjadi kewajibanku Ken Dedes? Kau adalah adikku. Adalah
menjadi kewajiban saudara tua untuk mendengarkan tangis adiknya," jawab
Mahisa Agni, kemudian ia meneruskan, "Kalau kau berbahagia adikku, aku
pun berbahagia pula karenanya. Mudah-mudahan Wiraprana dapat menempatkan
diri, dan mudah-mudahan kau pun dapat menyesuaikan dirimu pula."
Di hari-hari berikutnya, tampaklah betapa cerah wajah Ken Dedes. Ia kini
tidak mengurung diri lagi di dalam biliknya. Dengan rajin ia bekerja
seperti dahulu, sebelum hatinya menjadi murung. Mencuci pakaian,
membersihkan halaman dan bekerja di dapur bersama-sama gadis-gadis
pembantunya.
Kini Ken Dedes tidak pernah membuang waktunya dengan berbagai pekerjaan
tak berarti. Setiap kali ia sibuk membersihkan rumah dan biliknya.
Seakan-akan besok pagilah perhelatan perkawinannya akan diselenggarakan.
Mahisa Agni pun telah berusaha sekuat-kuatnya untuk melupakan luka-luka
yang pernah ada di hatinya. Diusahakannya untuk berbuat seperti apa yang
selalu dilakukan. Ke sawah, mencangkul halaman, belumbang,
tanaman-tanaman dan petak-petak di belakang rumahnya.
Namun, sama sekali tak pernah diketahuinya, bahwa setiap kali gurunya,
mengawasinya diri sudut sanggarnya sambil menyilangkan tangannya di
dadanya. Dengan pandangannya yang penuh iba, kadang-kadang orang tua itu
bergumam, "Kasihan kau, Anakku. Mudah-mudahan kau mendapat karunia,
kesabaran."
Kabar tentang hubungan yang telah diikat antara Wiraprana dan Ken Dedes
itu pun segera tersebar di segala sudut-sudut padukuhan Panawijen.
Ramailah anak-anak muda membicarakannya. Bunga di kaki Gunung Kawi itu
kini akan dipetik orang. Sambil tertawa-tawa, kawan-kawan Wiraprana
selalu mengganggunya. Di rumah, di sawah di bendungan bahkan di mana
saja mereka bertemu.
"Mahisa Agni," berkata salah seorang dari mereka, "kenapa bukan aku yang kau ambil menjadi adikmu?"
Mahisa Agni tersenyum. Betapa pedih luka di hatinya. Namun dijawabnya
sambil tertawa, "Kau bukan Wiraprana. Namun kau belum pernah berkelahi
dengan Kuda Sempana."
Yang mendengar jawaban itu pun tertawa riuh. Sambil menunjuk wajah
kawannya itu mereka bersorak, "Kalau menjadi adik Mahisa Agni, dan Kuda
Sempana itu datang kembali, apa katamu?"
"Lari," jawabnya sambil tertawa pula.
Wiraprana sendiri tak pernah menyahut. Ia hanya tersenyum-senyum saja.
Meskipun kadang-kadang ia mengeluh atas gangguan kawan-kawannya, namun
sebenarnya ia berbangga juga.
Tetapi sejak saat itu Wiraprana tidak pernah lagi mengunjungi Mahisa
Agni di rumah Empu Purwa. Ia menjadi segan, dan adalah kurang baik
apabila ia datang ke rumah itu, sebab Ken Dedes berada di rumah itu
pula. Bahkan Mahisa Agnilah yang selalu datang kepadanya. Mahisa Agni
sama sekali tidak mau mengubah hubungan yang telah berlangsung
bertahun-tahun. Mereka masih saja bergaul seperti biasa, ke sawah, ke
bendungan dan membersihkan parit bersama kawan mereka. Tak ada kesan
apapun dalam tingkah laku Mahisa Agni. Dan karena itu Wiraprana tidak
pernah mengetahuinya, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan
sahabatnya itu.
Berita tentang hubungan yang telah disetujui bersama antara Wiraprana
dan Ken Dedes itu ternyata tidak saja menggemparkan desanya sendiri,
namun berita itu kemudian tersebar sampai jauh di luar daerah pergaulan
mereka. Lebih-lebih bagi mereka yang pernah mengirimkan utusan untuk
melamar gadis itu.
Berbagai tanggapan telah tumbuh di dada anak-anak muda itu. Ada di antara mereka yang acuh tak acuh.
"Biarlah," katanya di dalam hati, "gadis di dunia ini tidak hanya seorang Ken Dedes saja."
Namun ada juga yang kemudian dengan sedihnya meratapi nasibnya.
Mengurung diri di dalam biliknya. Kerjanya siang dan malam
menggurat-gurat rontal untuk menumpahkan kepedihan hatinya.
Berhelai-helai. Dan disimpannya rontal itu di bawah bantalnya.
Tetapi di antara mereka ada juga yang mempunyai tanggapan lain pula.
Ketika kabar itu sampai di telinganya, maka seakan-akan telinganya itu
terjilat api.
"Benarkah?" geramnya.
Tetapi kabar itu benar-benar meyakinkannya, bahwa Ken Dedes telah
menerima lamaran dari seorang anak muda. Bukan dirinya. Sehingga
akhirnya datanglah kepadanya, utusan Empu Purwa, yang mengabarkan, bahwa
dengan rendah hati dan permintaan maaf yang sebesar-besarnya lamarannya
tak dapat diterima.
Anak muda itu adalah Mahendra. Putra sahabat Empu Purwa di Tumapel.
Seorang anak muda yang tangkas dan tanggon. Dengan wajah yang merah
membara ia datang kepada ayahnya. Katanya, "Ayah, Bukankah penolakan itu
berarti penghinaan bagi keluarga kita?"
Ayahnya menggeleng lemah, jawabnya, "Tidak, Anakku. Seharusnya kau
sadari, seandainya datang dua tiga lamaran. Apakah yang harus dilakukan
oleh Empu Purwa itu, Tentu ada di antaranya yang harus ditolak. Dan itu
sama sekali bukan suatu penghinaan."
"Ayah," sahut Mahendra, "kalau Ken Dedes itu menolak kami, tetapi ia
kemudian menerima orang lain yang lebih tinggi tingkat dan derajatnya,
maka aku tak akan tersinggung karenanya. Tetapi Ken Dedes itu telah
menerima lamaran seorang anak muda yang bernama Wiraprana yang menurut
pendengaranku tidak lebih dari anak Buyut Panawijen. Tidakkah itu suatu
Penghinaan?"
Kembali ayahnya menggeleng. Katanya, "Ken Dedes adalah gadis Panawijen. Anak itu adalah anak muda Panawijen."
Mahendra terdiam. Namun hatinya masih berbicara terus. "Siapakah
gerangan anak muda yang bernama Wiraprana itu? Apakah ia seorang maha
sakti tak ada bandingnya di seluruh daerah Tumapel?"
Ayahnya melihat betapa dendam menjalar di dada enaknya. Tetapi ia tidak
berkata-kata lagi. Anaknya adalah anak yang sukar dikendalikan. Tetapi
ia tidak menyangka bahwa anak itu tidak saja merasa terhina, dan
mengumpatnya habis-habisan, namun anak itu benar-benar berhasrat untuk
menilai anak muda yang bernama Wiraprana.
Karena itu, maka pada suatu malam, tanpa setahu ayahnya, Mahendra pergi
meninggalkan rumahnya. Dengan dikawani oleh dua orang saudara
seperguruannya ia pergi ke Panawijen.
"Dengan tekad yang teguh. Kita bertukar darah, Wiraprana!" gumamnya.
Mereka sampai ke Panawijen menjelang senja berikutnya. Tetapi mereka
tidak segera menciri rumah Buyut Panawijen. Mereka menunggu sampai malam
tiba. Di malam yang kelam, tak ada orang yang akan mengganggu pertemuan
itu.
Awan yang kelabu, mengalir seperti lembaran-lembaran kapuk yang
diterbangkan angin. Bintang satu demi satu mulai menyala di langit yang
biru.
Ketika seorang petani tua berjalan pulang dari sawahnya, Mahendra
menghentikannya dan berkata, "Kaki, apakah Kaki kenal dengan Wiraprana?"
Petani tua itu mengamat-amati ketiga anak muda itu dengan seksama, kemudian ia pun bertanya, "Siapakah Angger bertiga?"
"Kami datang dari jauh, Kami adalah sahabat-sahabat Wiraprana," jawab Mahendra,
Orang tua itu mengangguk-angguk, katanya, "Adakah yang Anakmas maksud itu putra Buyut Panawijen?"
"Ya," jawab Mahendra pendek.
"Apakah Angger akan menemuinya?"
"Ya."
"Marilah, biarlah Anakmas bertiga saya antarkan ke rumahnya."
Mahendra menggeleng. Jawabnya, "Tidak Kaki. Aku tidak akan datang ke
rumahnya. Tolonglah sampaikan kepadanya sahabatnya dari Tumapel
menunggunya. Namanya Mahendra."
Orang tua itu memandangnya dengan heran. Maka bertanyalah orang tua itu, "Kenapa Anakmas tidak mau datang ke rumahnya?"
"Tidak apa-apa," jawab Mahendra singkat, "kami menunggu di sini."
Orang tua itu tidak bertanya lagi. Diangguk-anggukkannya kepalanya sambil berkata, "Baiklah, nanti aku sampaikan kepadanya."
Meskipun demikian, petani tua itu pun tak habisnya berpikir, "Aneh, tamu
yang datang sedemikian jauhnya, tetapi tidak mau diantarkannya ke
rumahnya."
Namun petani tua itu memenuhi pula permintaan ketiga anak-anak muda dari
Tumapel itu. Ia tidak langsung pulang ke rumahnya, tetapi diperlukannya
singgah ke rumah Buyut Panawijen. Di muka regol halaman dilihatnya
Mahisa Agni. Karena itu orang tua itu pun berkata, "Mahisa Agni, apakah
Wiraprana ada di rumahnya?"
"Ada Kaki," jawab Mahisa Agni, "kita berjanji akan pergi ke sawah
bersama. Dan aku sedang menunggunya. Apakah Kaki akan menemuinya?"
"Oh. Tidak," berkata orang itu pula, "aku hanya ingin menyampaikan pesan
untuknya. Nah, Katakanlah kepadanya Agni. Tiga orang anak-anak muda
dari Tumapel menunggunya di ujung desa."
"Tumapel?" bertanya Mahisa Agni dengan herannya.
Orang tua itu mengangguk. "Ya," jawabnya, "namanya Mahendra."
"Mahendra?" ulang Agni. Dan dada Mahisa Agni ini menjadi berdebar-debar.
Ia pernah mendengar nama itu. Mahendra, adalah salah sebuah nama yang
pernah disebut-sebut oleh gurunya. Karena itu segera ia menghubungkannya
dengan Ken Dedes.
"Nah Agni," berkata petani tua itu, "bukankah kau sedang menunggu Wiraprana? Sampaikanlah pesan itu kepadanya."
"Baik. Baik Kaki," sahut Agni terbata-bata. Sedang angan-angannya masih sibuk dengan anak muda yang bernama Mahendra itu.
Sepeninggal petani tua itu. Mahisa Agni sibuk berpikir, "Apakah
keperluan Mahendra dengan Wiraprana?" bertanya Mahisa Agni di dalam
hatinya, "Ada dua kemungkinan."
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri, "Mungkin Mahendra akan memberikan
ucapan selamat kepada Wiraprana. Tetapi ada kemungkinan lain. Anak muda
itu membawa dendam yang membara di hatinya."
Namun anak muda yang telah banyak mengenyam berbagai pengalaman itu,
mempunyai firasat, bahwa kemungkinan yang terakhirlah yang akan terjadi.
Kalau anak-anak muda dari Tumapel itu, bermaksud baik, maka mereka
pasti akan datang ke rumah ini.
"Bagaimanapun juga, Wiraprana harus berhati-hati," desisnya.
Dalam pada itu Wiraprana pun telah turun dari pendapa rumahnya. Dengan
senyumnya yang selalu memancar di wajahnya, ia berjalan seenaknya
melintasi halaman rumahnya.
"Apakah kau tidak singgah dahulu," bertanya Wiraprana.
Agni menggeleng. Jawabnya, "Nanti, apabila pekerjaan kita sudah selesai."
"Baiklah," jawab Wiraprana, "marilah kita pergi."
"Tetapi Wiraprana," berkata Agni kemudian, "seseorang memberikan pesan untukmu. Tiga anak-anak muda dari Tumapel."
"Dari Tumapel?" bertanya Wiraprana sambil mengangkat alisnya, "Apakah keperluannya?"
"Tak disebutkan," jawab Mahisa Agni, "mereka menunggu di ujung desa."
Wiraprana berpikir sejenak. "Aneh," gumamnya.
"Kenalkah kau dengan anak muda yang bernama Mahendra?" bertanya Agni.
Wiraprana menggeleng.
"Mahendra adalah salah seorang yang pernah melamar Ken Dedes pula," berkata Agni seterusnya.
"Oh," desis Wiraprana, "lalu apakah keperluannya dengan aku? Bukankah aku tidak mempunyai persoalan dengan anak itu?"
"Demikianlah Wiraprana," sahut Mahisa Agni, "tetapi tidak semua orang
berpikir seperti itu. Mungkin ia mempunyai tanggapan tersendiri. Karena
itu, berhati-hatilah."
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Direnunginya malam yang gelap
seakan-akan ada yang sedang dicarinya. Kemudian terdengar ia berkata,"
Baiklah aku menemuinya Agni. Aku tak pernah merasa membuat persoalan
dengan siapa pun. Karena itu, di antara aku dan anak muda itu pun tak
pernah terdapat persoalan apa-apa."
Tiba-tiba Mahisa Agni pun teringat, apa yang pernah dilakukan pada malam
ia mendengar pengakuan Ken Dedes terhadap emban tua yang ternyata
adalah ibunya. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tidak mustahil
bahwa orang lain pun akan berbuat serupa itu. Bahkan diingatnya pula
anak muda yang bernama Kuda Sempana. Apakah salah seorang dari ketiga
anak muda itu Kuda Sempana?
"Ah," bantahnya sendiri, "pasti bukan. Kalau demikian anak itu pasti sudah dikenal."
Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata, "Wiraprana, aku akan ikut dengan kau."
Wiraprana mengangkat alisnya. Katanya, "Apakah kehadiranmu tidak akan mengganggu pertemuan itu?"
"Mungkin Wiraprana, namun mungkin pula tidak. Bukankah mereka datang bertiga?" jawab Agni.
Wiraprana berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, "Baiklah. Kita pergi bersama-sama."
Maka pergilah mereka berdua ke ujung desa. Dengan hati yang dirisaukan
oleh berbagai pertanyaan Mahisa Agni berjalan di samping Wiraprana.
Namun ia hampir pasti, bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan yang
menyenangkan.
"Apakah sangkamu maksud kedatangan anak-anak muda itu Agni," bertanya Wiraprana.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Jauh di relung hatinya terdengar
sebuah suara yang sumbang, "Biarkanlah Agni. Biarlah Wiraprana
menyelesaikan masalahnya sendiri. Biarlah ia mengetahui, bahwa seorang
istri itu memerlukan perlindungannya. Apakah ia akan mampu melakukan?
Apalagi seorang istri seperti Ken Dedes yang telah menggerakkan hampir
setiap hati anak-anak muda di lereng Gunung Kawi ini. Biarlah ia belajar
untuk tidak mengenyam nangkanya saja, tetapi juga berlumur getahnya.
Kalau karena pertemuan ini Wiraprana ditelan oleh bencana, syukurlah.
Pintu untukmu terbuka kembali."
Suara itu terdengar melengking berulang-ulang, meskipun perlahan-lahan.
Karena itulah maka wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Dan tiba-tiba ia
menggelengkan kepalanya keras-keras sambil bergumam, "Tidak, Tidak."
"Apa yang tidak?" bertanya Wiraprana.
"Oh?" Mahisa Agni tersadar. Jawabnya, "Aku sedang berpikir tentang mereka bertiga."
"Ya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan?"
"Aku tak dapat menebaknya dengan pasti Prana. Tetapi firasatku mengatakan, bahwa kau harus berhati-hati."
Wiraprana tersenyum, "Kita adalah manusia-manusia yang beradab. Yang
memiliki tata pergaulan dalam hubungan kita antara manusia. Karena itu
seandainya ada persoalan antara aku dan Mahendra itu, maka tidak perlu
kita risaukan. Kita akan dapat menyelesaikannya dengan baik."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Apabila setiap
orang berpikir seperti kau Prana, aku sangka dunia ini akan lekas
mengenyam perdamaian yang dirindukan oleh hampir setiap manusia. Tetapi
orang lain ternyata berpendapat lain. Kadang-kadang orang ingin
menyelesaikan persoalan tanpa memikirkan kepentingan orang lain.
Seseorang mengulurkan tangan kanannya untuk bersahabat, namun di tangan
kirinya digenggamnya senjata sambil berkata, "Marilah kita selesaikan
persoalan kita dengan baik. Dan marilah kau turuti saja sekehendakku.
Dengan demikian tak ada masalah lagi di antara kita’."
Wiraprana menundukkan wajahnya. Seakan-akan ia sedang menghitung jumlah
batu-batu yang dilampaui kakinya. Sedang terdengar Mahisa Agni berkata
terus, "Ternyata Wiraprana, kau pernah bertemu dengan anak muda yang
bernama Kuda Sempana."
Wiraprana menganggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih bergumam
di dalam hatinya, "Ah. Apapun yang akan dilakukan, apabila aku tak
melayaninya, aku sangka tak akan timbul peristiwa yang tak diinginkan."
Kemudian mereka berdua itu pun saling berdiam diri. Mereka berjalan
sambil berangan-angan. Masing-masing diliputi oleh berbagai pertanyaan
yang melingkar-lingkar di dadanya.
Ketika mereka sampai di ujung desa, hati Mahisa Agni pun menjadi
berdebar-debar. Ditatapnya jalan yang menjelujur di hadapannya. Dan
hatinya kemudian berdesir ketika dilihatnya tiga anak muda sedang duduk
dengan tenangnya di tanggul parit di tepi jalan. Di samping mereka,
kuda-kuda mereka terikat pada batang-batang perdu liar yang tumbuh di
atas tanggul.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni menggamit, Wiraprana, sehingga mereka berdua itu pun berhenti.
"Mengapa," bertanya Wiraprana.
"Jangan terlampau tergesa-gesa. Tak ada gunanya. Waktumu masih panjang," jawab Agni.
Sementara itu, Mahendra pun telah melihat kehadiran mereka. Karena itu,
maka serentak mereka bertiga berdiri, berjajar tegak dengan kaki
renggang.
Mahisa Agni menarik nafas. Sikap itu tidak menyenangkannya. Kenapa
mereka bertiga segera bersikap demikian, seakan-akan mereka sedang
menanti lawan-lawan mereka yang sudah bertahun-tahun dilumuri dendam.
Karena itu Mahisa Agni berbisik, "Wiraprana, sambutan mereka benar-benar
tidak menyenangkan. Karena itu sekali lagi, hati-hatilah."
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun hatinya berkata, "Apa saja yang akan mereka lakukan. Aku harus bersikap baik."
Selangkah demi selangkah Wiraprana dan Mahisa Agni pun berjalan maju.
Dan ketiga anak muda itu kini telah berdiri benar-benar di tengah jalan,
seakan-akan mereka ingin menutup jalan itu, supaya Wiraprana tidak
lewat melampauinya.
Tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari anak muda itu bertanya, "Adakah di antara kalian bernama Wiraprana."
"Hem," Agni menarik nafas, "jarak mereka masih cukup jauh. Kenapa anak muda itu ber-teriak-teriak?"
Tetapi Wiraprana itu pun menjawab juga, "Ya, akulah Wiraprana."
"Bagus," sahut suara itu, "aku adalah Mahendra. Ternyata kau jantan juga."
"Oh," desah Mahisa Agni. Kemudian ia berbisik, "Sambutan yang benar-benar menyenangkan."
Wiraprana menggigit bibirnya. Kemudian gumamnya, "Aku tidak peduli, apa yang akan dilakukan . Aku harus menemuinya."
Namun Mahisa Agni pun sekali lagi menggamitnya. Dan ketika mereka
berhenti, mereka tiba-tiba terkejut. Mahendra telah mulai menggertak
dengan gerakan yang mengagumkan. Sekali ia meloncat, dan diraihnya
sebuah cabang pohon cangkring yang tegak di tepi jalan. Dengan satu
renggutan, cabang itu patah berderak-derak. Kemudian dengan lantangnya
ia berkata, "Aku telah mendapat senjata, apa senjatamu?"
Mahisa Agni dan Wiraprana masih tegak di tempatnya. Dada mereka pun
menjadi berdebar-debar karenanya. Maka bisik Mahisa Agni, "Apakah mereka
dapat diajak berbicara?"
"Apakah sebenarnya yang mereka kehendaki," gumam Wiraprana.
"Perkelahian," sahut Mahisa Agni.
"Hem," Wiraprana menarik nafas, "Akan aku coba untuk menghindarkannya."
"Tak mungkin," jawab Agni, "kau lihat sendiri, apa yang telah dilakukannya."
"Mengagumkan," desahnya, "setan manakah yang telah memberinya kekuatan."
Sejenak mereka berdiam diri. Wiraprana pun menjadi bimbang. Kekuatan
yang ditunjukkan Mahendra benar-benar mengejutkan. Anak muda itu tidak
kalah berbahayanya dari Kuda Sempana. Tetapi kini ia tidak dapat
menggantungkan diri kepada orang lain. Ken Dedes adalah tanggung
jawabnya. Apapun yang terjadi, namun tidak sepantasnya ia bergantung
kepada Mahisa Agni seperti pada saat ia di lumpuhkan oleh Kuda Sempana.
Namun meskipun demikian Wiraprana masih berpikir, "Tidakkah aku dapat
menemuinya dan berbicara dengan baik?"
Wiraprana terkejut ketika dengan lantang Mahendra itu berkata, "Siapakah
di antara kalian yang bernama Wiraprana. Marilah kita berkenalan.
Inilah Mahendra yang sudah kau hinakan. Apakah benar-benar kau berhak
berbuat demikian."
Sekali lagi dada Wiraprana berguncang. Namun ia tidak dapat berbuat lain daripada menyambutnya.
Sedang Mahisa Agni masih berdiri seperti patung. Dengan melihat kekuatan
Mahendra, maka Mahisa Agni segera dapat mengetahuinya, bahwa Mahendra
adalah seorang yang luar biasa. Bahkan mungkin melampaui Kuda Sempana.
Namun dalam pada itu, suara di relung hatinya yang jauh, kembali
terdengar mengganggunya, "Biarkan saja Agni, biarlah."
Di depan mereka kembali terdengar Mahendra bertanya, "Ayo, yang manakah yang bernama Wiraprana?"
Hampir saja Wiraprana melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu. Tetapi
ia terkejut bukan kepalang. Bahkan ia menjadi bingung dan tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Yang dirasakannya, adalah tangan Mahisa Agni
menahannya, kemudian mendorongnya ke samping. Kemudian sahabatnya itulah
yang melangkah maju sambil menjawab lantang, "Inilah Wiraprana."
"Ha," sahut Mahendra, "ternyata kau benar-benar jantan. Majulah. Kita
melihat, apakah benar-benar kau berhak menghinakan Mahendra. Kalau kau
berhasrat meniadakan hadirnya Mahendra dalam kehidupan Ken Dedes, maka
seharusnya kau berkenalan dengan orang itu. Nah. jangan buang-buang
waktu. Apakah senjatamu?"
"Oh. Apakah aku harus bersenjata? Aku tak tahu, apakah gunanya senjata.
Bukankah kita tidak memerlukannya. Mahendra, aku ingin mempersilakan kau
datang ke rumahku. Bukankah perkenalan itu menjadi lebih akrab."
Meskipun Mahisa Agni hampir yakin, bahwa Mahendra tidak dapat diajaknya
berbicara, namun ia mencobanya juga, seperti apa yang akan dilakukan
oleh Wiraprana, supaya anak itu menyalahkannya kelak.
Tetapi ternyata, Mahendra yang sejak dari rumahnya sudah dibekali oleh
hasrat untuk berkelahi dan memamerkan kelebihannya dari anak-anak muda
sebayanya, tak mau mendengarkannya. Yang ada di dalam dadanya adalah,
memaksa Wiraprana untuk membatalkan niatnya, memetik bunga di kaki
Gunung Kawi itu.
Karena itu, ketika ia mendengar jawaban Mahisa Agni, ia menyahut,
"Wiraprana, aku datang dari Tumapel untuk melihat, betapa anak Panawijen
mampu menjaga kembang di halamannya. Ayo, jangan merengek seperti
anak-anak. Aku sudah siap dengan dahan ini."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling kepada Wiraprana,
seakan-akan berkata, "Nah, kau lihat? Orang itu benar-benar tidak dapat
diajak berbicara."
Wiraprana masih tegak mematung. Berbagai perasaan bergolak di dalam
dadanya. Tetapi ia tidak dapat melangkah surut. Namun Agni itu pun telah
melangkah pula beberapa langkah maju. Katanya untuk meyakinkan dirinya
sendiri dan Wiraprana, " Mahendra, aku hormati kedatanganmu. Seorang
yang berhati jantan dan penuh dengan rasa harga diri. Namun perkelahian
tak akan dapat mengubah hati seseorang. Apakah kalau kau memenangkan
perkelahian ini dengan tiba-tiba saja hati gadis itu tertarik kepadamu?"
"Ha," sahut Mahendra, "ternyata aku salah sangka. Aku kira kau adalah
seorang laki-laki jantan. Ternyata kau seorang banci yang tak tahu diri.
Wiraprana, seorang gadis pun pasti akan dapat menghargai kejantanan.
Nilai seseorang juga dapat ditentukan dengan nilai-nilainya sebagai
seorang laki-laki."
"Mahendra," jawab Agni, "nilai-nilai kemanusiaan pasti akan lebih tinggi
dari setiap bentuk perbuatan kita. Ingatlah, gadis itu adalah putri
seorang pendeta? Apakah ia akan dapat menghargai kekasaran dan kekerasan
jiwa, betapa pun dapat dikatakan sebagai sikap kejantanan?"
"Omong kosong!" bantah Mahendra, "kau jangan menggurui aku. Jangan kita
bicarakan lagi perasaan orang lain. Marilah kita bicarakan nilai-nilai
kita sendiri. Ayo, Wiraprana, katakanlah bahwa kita akan bertaruh. Siapa
yang kalah, harus melepaskan niatnya untuk mendapatkan gadis itu."
Tiba-tiba dada Agni itu seperti terbakar mendengar kata-kata Mahendra,
Ken Dedes seakan-akan dianggapnya sebagai benda yang mati, yang hanya
dapat dijadikan barang taruhan. Dan tiba-tiba pula, Mahisa Agni lupa
pada keadaannya. Seakan-akan dirinya sendirilah yang kini sedang
mempertahankan gadis yang dicintainya itu dari kerakusan hati seorang
laki-laki. Karena itu, maka gigi Mahisa Agni terkatup rapat, dan matanya
memancarkan sinar kemarahan yang membakar jantung. Ketika ia melihat
Mahendra itu melangkah maju. Agni pun maju pula beberapa langkah sambil
menggeram, "Mahendra. Jangan kau hinakan gadis itu. Ken Dedes bukan
sekedar barang taruhan. Nilainya sama dengan nilai nyawaku sendiri."
Dada Mahendra berdesir mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Ternyata
laki-laki yang disangkanya Wiraprana itu benar-benar jantan. Dilihatnya
Mahisa Agni telah benar-benar bersiap untuk bertempur. "Pasti ia akan
bertempur mati-matian," berkata Mahendra di dalam hatinya. Tetapi ia
sendiri sudah lama bersiap. Sejak ia berangkat dari Tumapel, telah bulat
tekad di dalam dadanya. Bertempur.
"Apakah yang dapat dilakukan oleh anak-anak desa seperti Wiraprana itu,"
pikirnya, "Ia hanya memiliki keberanian, tetapi ia tidak akan mampu
melihat, bahwa Mahendra adalah seorang anak muda yang tidak saja
memiliki kekuatan tubuh, namun memiliki pula pengetahuan yang luas dalam
tata perkelahian."
Maka terdengar sekali lagi Mahendra berkata, "Ayo, Wiraprana, mana senjatamu?"
Agni menggeleng. Sahutnya, "Tak ada gunanya senjata bagiku."
Dada Mahendra menggelegar mendengar jawaban itu. Benar-benar suatu
penghinaan. Anak desa Panawijen itu begitu sombongnya sehingga dengan
beraninya ia melawannya tanpa senjata. Karena itu Mahendra pun berteriak
pula, "Baik. Kau takut melihat senjata."
Dan terkejutlah mereka yang menyaksikan. Dahan kayu cangkring itu dengan
serta-merta ditekankannya pada lututnya dan patah berderak-derak.
Kemudian kedua potongan itu pun dilemparkannya jauh-jauh. Demikian
jauhnya sehingga mereka tidak dapat melihat lagi, di mana kedua potongan
kayu itu terjatuh. Benda-benda itu seakan-akan terbang dan lenyap
ditelan awan yang kelam.
Wiraprana melihat semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Sebuah
pameran kekuatan yang mengerikan. Dan kini ia merasakan kebenaran
kata-kata Mahisa Agni. Laki-laki yang sedang dibakar oleh kekecewaan
yang berlebih-lebihan itu tak dapat diajaknya berbicara.
Mahendra dan Mahisa Agni itu pun kini telah maju pula beberapa langkah.
Dengan dada yang bergelora oleh kemarahan yang membakar dada
masing-masing, mereka mempersiapkan diri.
Kedua orang saudara seperguruan Mahendra pun kini telah berdiri
berseberangan. Mereka memperhatikan keadaan dengan seksama. Sedang
Wiraprana pun telah berdiri mendekat. Seperti tonggak ia tegak di
tengah-tengah jalan.
"Nah," berkata Mahendra, "berjanjilah. Siapakah yang kalah di antara kita, akan membatalkan niatnya."
"Persetan dengan igauan itu!" sahut Agni dengan marah.
"Kau menolak perjanjian itu?"
"Sudah aku katakan, Ken Dedes bukan barang taruhan."
"Bagus, kalau demikian nyawa kita yang kita pertaruhkan."
"Mahendra!" tiba-tiba terdengar salah seorang saudara seperguruan itu mencegahnya, "Jangan!"
Tetapi Mahendra tidak mendengarnya. Apalagi ketika kemudian Agni pun menjawab, "Bagus. Lebih baik nyawa kita, kita pertaruhkan."
Mahendra telah benar-benar kehilangan pengamatan diri. Demikian ia
mendengar jawaban Mahisa Agni, segera ia melontarkan diri dengan
cepatnya menyerang lawannya. Namun Mahisa Agni pun telah bersiap pula.
Karena itu, dengan tangkasnya pula ia berhasil membebaskan dirinya dari
serangan itu. Namun Mahendra yang sedang dibakar oleh kemarahannya,
segera melepaskan serangan beruntun. Geraknya sedemikian cepat dan
lincah, dilambari oleh suatu keyakinan, bahwa tulang-tulang lawarnya,
anak desa Panawijen yang disangkanya hanya mengenal cangkul dan bajak
itu, akan segera dipatahkannya.
Tetapi Mahendra terkejut. Betapa anak desa itu dengan kecepatan yang
mengagumkan, selalu berhasil mengelakkan serangan-serangannya. Karena
itu, Mahendra menjadi semakin marah. Dilepaskannya serangan-serangan
yang semakin berbahaya, menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh Mahisa
Agni. Sehingga sesaat kemudian Mahendra itu pun seakan-akan tinggal
sebuah bayang-bayang yang melontar melingkar-lingkar dengan cepatnya.
Tetapi lawannya adalah Mahisa Agni, Seorang anak muda yang hampir
sempurna dalam menekuni ilmu yang mengalir dari gurunya, Empu Purwa.
Karena itu, betapapun juga, Mahisa Agni menghadapinya dengan ketabahan
dan ketenangan. Lawannya yang melandanya seperti angin pusaran itu tidak
berhasil membingungkannya. Bahkan, Mahisa Agni semakin lama menjadi
semakin tangguh. Setangguh seekor banteng muda yang perkasa.
Demikianlah kedua anak muda itu bertempur semakin lama semakin sengit.
Mahendra adalah seorang anak muda yang berhati keras dan memiliki harga
diri yang berlebih-lebihan. Namun setelah ia bertempur beberapa saat,
terasa bahwa lawannya, anak desa Panawijen itu bukan sekadar anak-anak
yang hanya mampu menggerakkan cangkul saja, tetapi anak itu ternyata
memiliki bekal yang cukup untuk melawannya. Karena itu, kemarahan
Mahendra menjadi semakin menyala.
"Gila!" umpatnya di dalam hati, "anak ini benar-benar melawan dengan kemampuan yang baik."
Tetapi Mahendra telah bertekad untuk bertempur mati-matian. Telah
dibulatkannya tekad di dalam hatinya. Anak Panawijen itu harus
dilumpuhkannya, Apabila terpaksa anak itu terbunuh karenanya, maka
beberapa saksi telah mendengar, adalah menjadi persetujuan mereka
berdua, bertempur sampai mati.
Itulah sebabnya Mahendra kemudian mengerahkan segala kemampuan yang ada
padanya, apapun yang akan terjadi dengan lawannya. Apakah lawannya itu
akan hancur lumat, atau akan luluh sekali pun.
Tetapi kedua saudara seperguruan Mahendra itu melihat suatu keanehan
pada lawan Mahendra itu. Betapapun Mahendra menyerangnya, namun lawannya
itu selalu dapat menghindarkan dirinya, dan bahkan semakin lama
tampaklah betapa anak Panawijen itu dapat bergerak semakin cepat. Mahisa
Agni ternyata kemudian tidak membiarkan dirinya dihujani oleh
serangan-serangan beruntun. Ketika ia telah berhasil melihat,
titik-titik kekuatan dan titik-titik kelemahan lawannya, segera ia mulai
dengan serangan-serangannya yang membadai. Kini keduanya bertempur
dengan riuhnya. Semakin lama semakin seru. Mahendra akhirnya merasa
perlu untuk menunjukkan kekuatan-kekuatan tubuhnya, sehingga dengan
sengaja ia membenturkan kekuatannya dengan serangan Mahisa Agni yang
datang seperti tatit menyambarnya.
Mahisa Agni, yang sedang menyerang lawannya itu melihat, bahwa Mahendra
sama sekali tak berusaha menghindari serangannya. Karena itu, segera
Mahisa Agni tahu, bahwa anak muda dari Tumapel itu siap melawan
serangannya dengan kekuatannya yang penuh. Maka Mahisa Agni pun segera
memusatkan tenaganya untuk menggempur lawannya.
Terjadilah kemudian suatu benturan kekuatan yang dahsyat. Sedang
akibatnya pun mengejutkan pula. Mahisa Agni terdorong beberapa langkah
surut. Dengan susah payah ia mempertahankan keseimbangan tubuhnya,
sehingga ia tidak terpelanting jatuh. Sedang akibat yang dialami oleh
Mahendra ternyata lebih berat daripadanya. Anak muda itu terlempar
beberapa langkah, dan kemudian terbanting di tanggul parit di tepi
jalan. Ketika Mahendra mencoba untuk melenting berdiri, kaki kirinya
terperosok dan tergelincir masuk ke dalam air.
Sesaat kemudian Mahendra telah tegak berdiri di dalam parit dengan
pakaian yang basah kuyup. Tubuhnya yang kokoh itu menggigil. Bukan
karena kedinginan, tetapi karena kemarahan yang meluap di dalam dadanya.
Maka terdengarlah anak muda itu menggeram, "Dahsyat kau Wiraprana. Namun
aku telah berjanji, nyawa kita menjadi taruhan. Nah, marilah kita
mengadu keprigelan olah senjata."
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia maju selangkah ketika dilihatnya
Mahendra dengan lincahnya meloncat ke atas tanggul di tepi jalan. Tetapi
Mahisa Agni terkejut ketika dilihatnya Mahendra menggenggam senjata di
tangannya. Sebilah keris yang seakan-akan dapat menyala di malam hari.
Ketika Agni masih berdiam diri, terdengar sekali lagi Mahendra menggeram, "Carilah senjata!"
Mahisa Agni tidak membawa senjata. Tetapi menilik nafsu lawannya yang
meluap-luap agaknya ia benar-benar harus bertempur mati-matian.
Belum lagi Mahisa Agni tahu, apa yang dilakukan, tiba-tiba Mahendra
meloncat dengan tangkasnya ke arah salah seorang temannya, dan
terdengarlah ia berkata lantang, "Berikan kerismu!"
Kawannya terkejut. Sama sekali tak diduganya, Mahendra akan menarik
kerisnya dengan serta-merta. Karena itu ia tidak dapat mencegahnya,
sehingga dengan demikian di kedua sisi tangan Mahendra tergenggam dua
bilah keris.
"Wiraprana," berkata Mahendra, "pilihlah, manakah yang kau sukai?"
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, "Aku tidak pandai memilih."
"Jangan merajuk," sahut Mahendra, "sebelum kau terbunuh, aku beri
kesempatan kau berbuat yang sama. Supaya perkelahian ini adil dan
jujur."
Mahisa Agni memandang kedua senjata itu dengan seksama. Keduanya adalah
senjata-senjata yang baik. Karena itu maka dijawabnya, "Kalau kau ingin
bertempur dengan senjata, Mahendra. Berikan kepadaku, mana yang tidak
kau sukai."
Kemarahan Mahendra menjadi semakin memuncak. Dengan wajah yang menyala ia berkata, "Bagus. Inilah!"
Dengan baiknya Mahendra melemparkan keris di tangan kirinya kepada
Mahisa Agni. Senjata itu meluncur cepat, dan dengan baiknya pula Mahisa
Agni berhasil menangkapnya.
Demikian tangan Agni menggenggam keris itu, demikian ia mendengar
Mahendra berkata lantang, "Kita tentukan nasib kita sebelum fajar."
Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandangnya lawannya dengan tajamnya.
Dilihatnya setiap geraknya dan didengarnya setiap kata-katanya. Anak itu
benar-benar anak yang memiliki keteguhan hati, namun sayang, agaknya ia
masih terlalu muda. Terlalu muda dalam menanggapi setiap persoalan
meskipun umurnya sebaya dengan umurnya sendiri.
Mahisa Agni melihat Mahendra telah siap untuk menyerangnya. Karena itu
ia pun segera bersiap pula. Sesaat kemudian dilihatnya anak muda dari
Tumapel itu meluncur menyerangnya, langsung mengarah ke dadanya. Dengan
tangkasnya Mahisa Agni mengelakkan serangan itu. Tangannya sendiri pun
mampu mempermainkan segala jenis senjata. Maka keris di tangannya itu
pun menjadi sangat berbahaya karenanya.
Kembali perkelahian itu menjadi sengit. Kira mereka sudah sampai ke
puncak ilmu masing-masing. Mereka menyerang dalam setiap kesempatan.
Setiap gerak masing-masing benar-benar diperhitungkan, sehingga setiap
gerak tangan mereka seakan-akan mereka menaburkan biji kematian.
Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam membenam dalam tambah
banyak. Namun mereka berdua yang sedang bertempur itu masih saja
bertempur dengan sepenuh tenaga.
Tetapi semakin lama, betapapun Mahendra memiliki kekuatan melampaui
kekuatan tangan sesamanya serta ketangkasannya olah senjata, namun kini
ia bertemu dengan anak muda yang sama sekali tak diduganya. Anak muda
yang disangkanya hanya mampu mengayunkan cangkul itu ternyata memiliki
ketangguhan dan kelincahan yang luar biasa.
Demikianlah Mahendra harus melihat kenyataan. Keris di tangan Mahisa
Agni itu seakan-akan mematuknya dari segenap penjuru. Bahkan seakan-akan
menjadi bersayap dan menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya. Mahisa
Agni tidak saja menyerang dengan tangan kanannya, namun keris itu
seperti meloncat-loncat dari satu tangan ke tangan lainnya dan dengan
cepatnya pula meluncur ke perut lawannya.
Dengan demikian maka mau tidak mau Mahendra lebih banyak bertahan
daripada menyerang. Setiap kali ia terpaksa melangkah surut, menghindari
sentuhan keris kawannya di tangan Mahisa Agni. Karena ia pun
menyadarinya, sentuhan keris itu pasti akan berakibat maut, seperti
seandainya ia berhasil menyentuh tubuh lawannya. Namun karena keduanya
harus berhati-hati dan menghindari setiap sentuhan, maka perkelahian itu
seakan-akan tidak akan berakhir. Seperti anak-anak yang asyik dengan
permainan yang menyenangkan sehingga mereka lupa segala-galanya.
Tetapi semakin lama, menjadi semakin jelas, bahwa perkelahian itu akan
menuju ke akhirnya. Ternyata semakin lama Mahendra semakin terdesak.
Mahisa Agni seolah-olah menyimpan nafas rangkap di dadanya, sehingga
ketika lawannya telah mulai diganggu oleh pernafasannya, maka Agni pun
masih tetap segar sesegar ketika mereka baru mulai.
Mahendra yang mencoba untuk bertahan mati-matian itu, benar-benar telah
memeras tenaganya, sehingga segenap kekuatannya telah dicurahkannya.
Dengan demikian, maka tenaganya itu pun lebih dahulu surut daripada
Mahisa Agni. Meskipun demikian, Mahendra yang keras hati itu masih saja
bertempur mati-matian. Ia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya. Dan
akan diakhirinya perkelahian ini dengan jantan.
Tetapi Mahisa Agni pun bertempur dengan seluruh kemampuannya. Sehingga
anak muda itu benar-benar dapat bergerak secepat sikatan menyambar
belalang namun mampu pula bertahan setangguh batu karang.
Maka akhirnya ternyatalah bahwa Mahisa Agni mampu menguasai lawannya.
Dengan suatu tusukan rendah, Agni memaksa lawannya untuk menghindar ke
samping, namun Agni kemudian memutar kerisnya dan menyambar lambung.
Mahendra melihat sambaran yang cepat itu. Dihindarinya keris itu dengan
memutar tubuhnya, dan ketika Agni belum sempat menarik tangannya,
Mahendra berusaha menggurat pergelangan tangan Agni dengan ujung
kerisnya. Tetapi Agni dapat bergerak melampaui lawannya, sehingga
tangannya dapat dibebaskannya, bahwa dengan tak terduga-duga, tangan
kiri Agni dengan cepatnya menyambar pergelangan tangan Mahendra.
Sambaran tangan itu demikian cepat dan kerasnya, sehingga Mahendra tidak
sempat mengelakkannya. Terdengarlah sebuah seruan tertahan dan dalam
pada itu semua mata yang mengikuti perkelahian itu melihat dengan dada
yang gemuruh. Keris Mahendra terlepas dari tangannya. Mahendra sendiri
terkejut bukan buatan, sehingga ia melangkah surut. Namun Agni segera
meloncat dan ujung kerisnya telah melekat di dada lawannya.
Kini keduanya tegak dengan tegangnya. Mahendra menunggu apa yang akan
dilakukan oleh Mahisa Agni. Sedang saudara-saudara seperguruannya pun
tegak seperti patung. Demikian pula Wiraprana. Perasaannya telah
bergelora dan seakan-akan menjadi sedemikian kacaunya, sehingga ia tidak
mampu untuk melakukan sesuatu apapun.
Mahisa Agni berdiri tegak dengan keris di dalam genggamannya. Ujungnya masih mengarah ke dada lawannya.
"Apa yang kau tunggu," geram Mahendra. Meskipun ia tidak bergerak, namun matanya menyalakan kemarahan yang membakar dadanya.
Tetapi Mahisa Agni tetap tidak bergerak. Ketika ia memandang wajah
Mahendra yang membara itu, seakan-akan dilihatnyalah wajahnya sendiri
pada saat ia mendengar pengakuan Ken Dedes kepada ibunya.
"Hem," Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Perasaan itu sangat
mengganggunya. Karena itu maka kemarahannya pun menjadi semakin susut.
Ia akan dapat melakukan apa saja yang dikehendaki atas anak muda yang
bernama Mahendra itu. Tetapi apakah akan dilakukannya?
Sesaat Mahisa Agni terbenam dalam kebimbangan. Dan sesaat itu dilihat
oleh Mahendra. Mahendra adalah seorang anak muda yang keras hati. Karena
itu, ketika dilihatnya wajah Agni yang ragu, Mahendra dapat
mempergunakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan tidak disangka-sangka
oleh Mahisa Agni. Mahendra dengan cepatnya merendahkan dirinya, dan
dengan satu tendangan yang keras pada pergelangan tangan Agni, maka
Mahendra telah berhasil melemparkan keris di tangan lawannya.
Mahisa Agni terkejut bukan main. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa
hal itu akan dilakukan oleh Mahendra. Karena itu maka ia tidak kuasa
untuk mempertahankan kerisnya. Dilihatnya keris itu melambung tinggi dan
kemudian jatuh beberapa langkah daripadanya.
Tetapi Agni tidak sempat berbuat lain, karena Mahendra telah mulai
menyerangnya beruntun dengan kakinya. Untunglah bahwa Mahisa Agni adalah
seorang anak muda yang terlatih matang. Dengan demikian, meskipun
dengan lontaran yang panjang ia berhasil membebaskan dirinya dari
serangan Mahendra yang mengalir seperti banjir bandang.
Mahisa Agni menjadi semakin terkejut pada saat ia mendengar salah
seorang kawan Mahendra itu berkata nyaring, "Mahendra, inilah
senjatamu!"
Mahisa Agni masih sempat melihat anak muda itu meloncat dengan
tangkasnya memungut keris Mahendra yang terlepas, kemudian
dilontarkannya kepada Mahendra. Dada Mahisa Agni berdesir melihat
kecurangan itu. Tetapi ia dikejutkan pula oleh kawan Mahendra yang
seorang lagi. Anak muda itu pun meloncat dengan lincahnya, lebih lincah
dari yang lain. Tangannya dengan cepatnya menyambar keris yang sedang
meluncur ke arah Mahendra itu. Ketika keris itu sudah ditangkapnya,
terdengar ia berkata, "Jangan Kebo Ijo!"
Semuanya terkejut melihat peristiwa-peristiwa yang berturut-turut itu.
Mahisa Agni, Mahendra dan anak muda yang disebutnya Kebo Ijo dan
Wiraprana. Anak muda yang menyambar keris itu berdiri tegak di antara
mereka sambil memandang berkeliling. Katanya, "Jangan menodai nama
perguruan kami."
"Bukankah itu keris Mahendra sendiri," bantah Kebo Ijo.
"Keris itu sudah terlepas dari tangannya. Biarlah ia memungut kerisnya sendiri apabila mampu."
Mahendra memandang saudara seperguruannya itu dengan penuh pertanyaan.
Apakah sudah tidak ada rasa kesetiakawanan lagi di antara mereka. Maka
katanya, "Apakah salahnya ia menolong aku?"
"Tidak adil," sahut anak muda itu, "akulah yang tertua di antara kalian.
Aku tidak rela melihat kecurangan itu. Meskipun aku bersedih karena
Mahendra tidak dapat memenangkan perkelahian ini, namun aku akan lebih
bersedih lagi, apabila kalian berbuat curang."
Mahendra tidak menjawab dan Kebo Ijo itu pun menundukkan wajahnya.
Kemudian terdengar anak muda itu berkata kembali, "Mahendra kau kalah."
Mendengar kata-kata kakak seperguruannya, yang seakan-akan merupakan
keputusan tentang kekalahannya itu, wajah Mahendra menjadi merah
membara. Terdengar giginya gemeretak dan matanya seakan-akan memancarkan
api. Maka jawabnya, "Kakang, aku masih hidup. Kekalahan bagiku hanya
ditandai dengan kematian."
Kakak seperguruannya itu menarik alisnya, katanya, "Kau benar-benar
seorang anak muda yang berani Mahendra, yang tak mengenal takut meskipun
menghadapi kematian sekali pun. Namun keberanianmu itu belum sempurna.
Kau masih memiliki ketakutan."
"Tidak!" sahut Mahendra, "Aku tidak takut apapun yang terjadi. Sudah aku
katakan, mati pun aku tidak takut. Apalagi? Apakah yang lebih jauh dari
mati itu?"
Kakak seperguruannya menarik nafas. Katanya, "Mahendra, kau masih takut melihat kenyataan."
Mahendra tersentak mendengar jawaban itu. Dipandanginya wajah kakak
seperguruannya dengan tajamnya, namun ketika kakak seperguruannya itu
memandang langsung ke biji matanya, maka Mahendra pun menundukkan
wajahnya.
"Mahendra," berkata kakaknya itu pula, "seorang yang jantan tidak perlu
membunuh dirinya dalam perkelahian. Seorang yang berjiwa besar harus
dapat melihat kenyataan. Dan kenyataan yang terjadi sekarang, kau kalah.
Apakah yang lebih jantan dari melihat kenyataan itu? Adakah yang lebih
besar dari mengakui kekalahan? Mahendra, kaudapat bertempur mati-matian,
bahkan sampai tetes darahmu yang terakhir. Namun dalam persoalan yang
berbeda. Persoalan di mana hakmu dilanggar oleh sesama. Tetapi sekarang
kau menghadapi persoalan yang lain. Hakmu dan hak Wiraprana itu sama
jauhnya. Bahkan secara jujur harus kauakui, bahwa hak Wiraprana untuk
berkelahi lebih besar dari padamu."
Mahendra tidak menjawab. Wajahnya yang membara itu pun menjadi semakin
tunduk. Namun hatinya masih juga bergelora. Sedang Kebo Ijo tidak begitu
senang mendengar kata-kata kakak tertuanya itu. Katanya, "Kakang,
Mahendra datang lebih dahulu kepada gadis itu. Apakah bukan haknya untuk
mempertahankannya. Bukankah dengan demikian Wiraprana telah merampas
masa depannya?"
"Bukan salah Wiraprana," sahut kakak seperguruannya itu, "apakah
Mahendra datang yang pertama kepada gadis itu. Kalau ada orang lain yang
lebih dahulu, apakah Mahendra tidak melanggar haknya pula?"
Kebo Ijo terdiam. Namun usianya yang muda itu masih belum dapat mengerti
kata-kata kakak seperguruannya. Bahkan dengan agak memaksa ia kemudian
berkata, "Perkelahian ini belum selesai. Wiraprana datang berdua.
Biarlah kami berdua melawannya."
"Bagus," sambut Mahendra.
Kakak seperguruannya ternyata seorang yang berpandangan tajam. Segera ia
mengetahui, bahwa kawan anak muda yang disangkanya bernama Wiraprana
itu tidak memiliki kemampuan berkelahi seperti Kebo Ijo dan Mahendra.
Karena itu maka sekali lagi ia menyesal atas sikap adik-adik
seperguruannya itu. Maka katanya, "Tidak ada gunanya. Kawan Wiraprana
itu tak mempunyai sangkut paut dengan perkelahian ini."
"Ada," sahut Kebo Ijo, "ia datang bersama Wiraprana, seperti aku datang
bersama Mahendra. Meskipun tak ada persoalan apapun dengan gadis itu,
biarlah kita melihat, apakah perguruan kami tidak mampu melawan
anak-anak Panawijen yang sombong itu."
Dada Wiraprana pun berdebar-debar pula. Telah dilihatnya, betapa
Mahendra mampu bertempur seperti seekor harimau lapar. Maka saudara
seperguruannya itu pun pasti tidak terpaut jauh. Apabila ia harus
melawannya, maka apakah yang dapat dilakukan? Namun Wiraprana tidak
takut menghadapi apapun, meskipun ia sadar, bahwa pada serangan yang
pertama, pasti ia sudah tidak akan dapat bangkit kembali.
Tetapi Wiraprana itu terkejut mendengar jawaban saudara seperguruan
Mahendra. Bukan saja Wiraprana, tetapi Mahisa Agni, dan bahkan Mahendra
dan Kebo Ijo sendiri. Katanya, "Kebo Ijo, kalau kau akan memaksakan
perkelahian, karena hanya kau ingin berkelahi, maka baiklah kita
hadapkan kalian berdua dengan Wiraprana berdua. Tetapi Wiraprana berdua
dengan aku sendiri."
"Kakang?" potong Kebo Ijo, "Apakah katamu itu?"
"Aku di pihak Wiraprana," sahut arak muda itu, "biarkan kawan Wiraprana menjadi saksi."
Kebo Ijo dan Mahendra terdiam. Betapa ia melihat kakak seperguruannya
itu benar-benar marah kepada mereka. Karena itu maka mereka pun
menundukkan wajah-wajah mereka.
Dalam pada itu dada Mahisa Agni pun bergelora melihat sikap yang
mengagumkan itu. Sikap yang benar-benar jantan. Tidak saja jantan dalam
menghadapi bahaya apapun namun kejantanan dalam menghadapi kebenaran.
Diam-diam Mahisa Agni bergumam di dalam hatinya, "Sebenarnyalah lebih
mudah menghadapi kematian daripada menghadapi kebenaran."
Sesaat mereka dicengkam kesepian. Kesepian yang tegang. Namun tiba-tiba
terdengar kakak seperguruan Mahendra itu berkata, "Marilah kita pulang!
Persoalanmu sudah selesai Mahendra."
Mahendra dan Kebo Ijo saling berpandangan. Namun mereka tidak berkata
apapun. Per lahan-lahan mereka memungut keris yang masih tergeletak di
tanah, dan kemudian berjalan ke kuda-kuda mereka, dan kakak seperguruan
Mahendra itu pun berkata kepada Mahisa Agni, "Selamat tinggal.
Mudah-mudahan kau berbahagia. Kembang di kaki gunung Kawi itu telah
mendapatkan juru taman yang tangguh dan berhati jantan. Selamat."
Mahisa Agni melihat anak muda itu pun kemudian berjalan meninggalkannya.
Ketika mereka bertiga meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan
lenyap ditelan gelap malam, maka gemuruhlah dada Mahisa Agni. Pesan
kakak seperguruan Mahendra itu menghantam dadanya melampaui tangan
Mahendra. Kini ia sadar, bahwa apa yang dilakukan itu, bukanlah untuk
dirinya sendiri. Ia telah mempertahankan Ken Dedes dengan bertaruh
nyawa. Tetapi nama yang dipergunakannya adalah Wiraprana. Ya, Wiraprana.
Tiba-tiba wajah Mahisa Agni pun terkulai dengan lemahnya. Tetapi
tiba-tiba Mahisa Agni terkejut mendengar tegur Wiraprana, "Agni, sungguh
mengagumkan."
Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya wajah Wiraprana yang
tegang memandang jauh ke dalam gelap, ke arah anak-anak muda dari
Tumapel itu lenyap. Sesaat kemudian Wiraprana itu menarik nafas
dalam-dalam sambil bergumam, "Bukan main. Aku menjadi bertanya-tanya di
dalam hati, betapa kecilnya Wiraprana berada di antara kau dan anak-anak
itu."
"Semuanya sudah lampau. jangan kau pikirkan lagi, Prana," jawab Agni,
"Masa-masa berbahaya telah lewat. Apakah masih ada di antara mereka yang
akan datang pula seperti Mahendra? Aku sangka tidak. Dan mudah-mudahan
sebenarnya tidak."
"Agni," perlahan-lahan terdengar Wiraprana berkata, namun terasa
memancar dari sudut hatinya yang paling dalam, "telah dua kali kau
menyelamatkan nyawaku."
"Jangan kau sebut-sebut itu Prana. Adalah menjadi kewajibanku untuk menyelamatkan hubunganmu dengan adikku itu," jawab Agni.
Wiraprana tidak menjawab. Matanya yang selalu riang, kini tampak sayu.
"Marilah kita pulang, Prana. Lupakan semuanya," ajak Agni.
Wiraprana tidak menjawab. Tetapi ia melangkah perlahan-lahan di samping
Agni. Mereka berjalan pulang ke rumah Ki Buyut Panawijen.
Malam yang sudah semakin malam itu ditandai oleh kokok ayam jantan
bersahut-sahutan. Angin yang dingin mengalir perlahan menggerakkan
daun-daun padi yang basah oleh embun. Di kejauhan terdengar lamat-lamat
bunyi kentongan beruntun.
"Tengah malam," gumam Mahisa Agni.
Wiraprana mengangkat wajahnya. Dilihatnya bintang-bintang di langit
berhamburan seakan-akan biji-biji mutiara yang ditaburkan di atas
permadani yang biru gelap. Bulan tua masih tampak bertengger di ujung
gunung. Cahayanya yang suram memancar kekuning-kuningan mewarnai
dedaunan yang hijau.
Ketika mereka hampir memasuki desa Panawijen, tiba-tiba Wiraprana
berhenti. Dengan pandangan yang suram ditatapnya wajah Mahisa Agni.
Kemudian terdengar ia berkata lirih, "Agni. Adakah aku berhak atas gadis
itu?"
Mahisa Agni terkejut. Katanya, "Apa yang sedang kaupikirkan Wiraprana?
Persoalanmu sudah selesai. Jangan membuat persoalan-persoalan baru."
Wiraprana menundukkan wajahnya. Dan tiba-tiba ia berkata, "Agni, bukankah gadis itu bukan adikmu."
Dada Agni pun menjadi berdebar-debar karenanya. Dan didengarnya
Wiraprana meneruskan, "Agni. Tidakkah pernah timbul di dalam hatimu
untuk mengubah hubunganmu dengan gadis itu? Tidak sebagai kakak beradik
seperti sekarang ini?"
"Prana!" potong Agni. Namun terasa betapa nafasnya menekan jantungnya.
Katanya kemudian, "Jangan mempersulit keadaanmu. Jangan berpikir tentang
sesuatu yang tak pernah ada. Prana, aku adalah kakaknya. Meskipun aku
bukan kakak yang dilahirkan dari kandungan seorang ibu yang sama, namun
demikianlah keadaan kami sekarang. Berapa tahun aku tinggal di rumah itu
sebagai seorang anak yatim piatu, di bawah asuhan Empu Purwa yang baik
hati."
"Dijadikannya aku anak laki-lakinya yang tunggal dan dipersaudarakannya
aku dengan Ken Dedes. Nah, Wiraprana. Apakah dengan demikian Ken Dedes
itu bukan adikku? Adakah dengan demikian akan dapat timbul di dalam
hatiku untuk memutuskan ikatan persaudaraan itu menjadi ikatan yang
lain?" Agni menekankan kata demi kata untuk meyakinkan kebenaran
pendapatnya itu. Namun sebenarnya, kata-kata itu lebih banyak ditujukan
kepada dirinya sendiri. Dicobanya untuk menekan hatinya yang bergolak
dengan kata-katanya itu.
Wiraprana menundukkan wajahnya dalam-dalam. Namun ia tidak
bertanya-tanya lagi. Hanya nafas mereka berdualah yang terdengar di
antara gemeresik daun-daun ditiup angin,
"Marilah kita pulang, Prana," ajak Agni.
Wiraprana mengangguk, dan kembali mereka berjalan memasuki jalan yang
gelap oleh rimbunnya daun-daun di atas mereka. Hanya kadang-kadang saja
mereka masih melihat bulan dan bintang-bintang di antara sela-sela
dedaunan.
Tak seorang pun penduduk Panawijen yang tahu, apakah yang pernah terjadi
dengan Wiraprana dan Mahisa Agni. Adalah kebetulan bahwa pada malam itu
tak seorang pun yang pergi ke sawahnya. Karena itu, maka Wiraprana pun
lambat laun berhasil menghilangkan kenangan pahit itu. Meskipun
Wiraprana sama sekali bukan seorang pengecut namun, apakah yang dapat
dilakukan di antara orang-orang berilmu seperti Mahisa Agni dan
Mahendra. Karena itu, maka timbullah keinginannya untuk setidak-tidaknya
dapat menambah ilmunya. Mungkin pada suatu saat akan berguna. Tetapi
dalam pada itu selalu diingatnya pula kata-kata kakak seperguruan
Mahendra, bahwa seseorang akan dapat berjuang sampai tetes darah yang
penghabisan, namun untuk mempertahankan haknya yang dilanggar oleh
sesama. Dan berjanjilah ia di dalam dirinya, bahwa ilmu yang kelak akan
dimilikinya, bukanlah alat untuk melanggar hak orang lain.
Ketika maksudnya itu disampaikannya kepada Mahisa Agni, Mahisa Agni pun menjadi gembira.
"Bagus," katanya, "kita akan berlatih setiap malam di bendungan."
"Kau menjadi guruku," berkata Wiraprana.
Agni menggeleng, "Tidak. Aku tidak berhak menjadi guru sebelum guruku
mengizinkannya. Kita hanya dapat berlatih bersama. Itu pun kalau guru
memperkenankan."
Demikianlah mereka berjanji untuk melakukan latihan-latihan itu, namun
Mahisa Agni telah memesan kepada sahabatnya, bahwa apa yang diketahuinya
itu adalah suatu yang tidak perlu diberitahukannya kepada siapa pun
juga.
Ketika Mahisa. Agni berhasrat untuk menghadap gurunya, untuk
menyampaikan maksud Wiraprana, itu tiba-tiba ditemuinya Ken Dedes datang
kepadanya.
"Kakang," berkata gadis itu, "Ayah memanggilmu. Sekarang!"
"Oh. Apakah ada sesuatu yang perlu?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku tidak tahu. Baru saja seorang tamu meninggalkan sanggar. Sahabat ayah. Lalu Ayah memanggilmu."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Siapakah tamu itu?"
Ken Dedes menggeleng, "Entahlah. Sahabat ayah."
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Siapakah sahabat gurunya itu? Ia menjadi
cemas, apakah seseorang telah datang dan menuntut atas kekalahan
Mahendra oleh seorang yang disangkanya bernama Wiraprana, namun yang
sebenarnya adalah Mahisa Agni. Mau tidak mau Agni pun melihat kesalahan
di dalam dirinya. Kakak seperguruan Mahendra tidak mau melihat seseorang
membantu adik seperguruannya itu, bahkan saudara mereka pula. Namun
apakah yang dilakukannya? Jauh lebih banyak dari membantu. Bahkan ialah
yang bertempur melawan Mahendra. Apakah sikap itu dapat disebut sikap
yang jantan. Namun Mahisa Agni mempunyai pertimbangan lain. Ia telah
bersedia jawaban yang akan diberikannya kepada gurunya yang penting
baginya bukan siapakah yang harus bertempur, namun bagaimana ia
mempertahankan hak Ken Dedes dalam menentukan pilihannya sendiri.
Jangankan Mahendra, bahkan suara hatinya sendiri pun telah ditindasnya.
Mahisa Agni sadar ketika ia mendengar suara Ken Dedes, "Kakang, Ayah menunggumu!"
"Oh, baiklah," sahut Mahisa Agni cepat-cepat.
Ketika Ken Dedes telah meninggalkannya, kembali Mahisa Agni menjadi
berdebar-debar. Selangkah demi selangkah ia pergi kepada gurunya yang
masih berada di bagian depan dari sanggarnya. Detak jantungnya serasa
semakin cepat mengalir ketika ia melihat gurunya duduk menantinya.
Wajahnya yang bening tampaknya seakan-akan sedang disaput oleh mendung
yang tebal. Suram.
Ketika ia melihat Mahisa Agni, Empu Purwa itu pun tersenyum. Namun
terasa oleh Agni, senyum yang lain dari senyumnya sehari-hari.
"Duduklah Agni," gurunya itu mempersilakan.
Agni pun kemudian duduk bersila di hadapannya. Wajahnya yang tegang ditundukkannya dalam-dalam.
"Udara terlalu panas," gumam gurunya.
"Ya, Empu," sahut Agni.
"Agaknya mendung di langit akan menjadi semakin tebal."
"Mungkin Empu. Awan mengalir dari selatan."
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia memandang ke
halaman. Bayangan mendung di langit tampak mengalir dihanyutkan angin.
Sesaat sinar matahari menjadi buram karena awan yang kelam membayangi
wajahnya.
Dan tiba-tiba Empu Purwa itu berkata, "Aku baru saja menerima seorang tamu Agni. Sahabatku dari Tumapel."
Mahisa Agni tersentak. Apakah dugaannya tenang peristiwa beberapa hari yang lalu itu benar?
Dan didengarnya gurunya itu berkata pula, "Sahabat yang baik. Ia tahu apa yang benar dan apa yang salah."
Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi hatinya masih tegang. Apalagi ketika
Empu Purwa itu meneruskan, "Tamuku adalah ayah Mahendra, Agni."
Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir. Apakah yang telah dikatakan
oleh tamu itu tentang dirinya. Dicobanya mencuri pandang atas wajah
gurunya. Ia mencoba untuk mendapat kesan daripadanya. Apakah gurunya
sedang marah, kecewa atau sedih. Tetapi ia tidak dapat menemukan kesan
apapun dari wajah itu. Yang dilihatnya bahwa wajah itu suram, sesuram
langit yang sedang dilapisi awan itu. Ketika gurunya itu berkata pula,
Mahisa Agni kembali menundukkan wajahnya.
"Agni," berkata Empu Purwa pula. Nadanya rendah, namun jelas kata demi
kata, "tamuku itu bercerita tentang peristiwa yang terjadi beberapa hari
yang lalu di ujung desa kita ini."
Wajah Mahisa Agni pun menjadi semakin tunduk. Dan didengarnya gurunya
meneruskan, "Agni, apakah Wiraprana bertengkar dengan Mahendra?"
Mulut Mahisa Agni serasa terkunci. Karena itu untuk beberapa lama ia
tidak menjawab, sehingga gurunya berkata pula, "Aku sangka kau tahu atau
setidak-tidaknya pernah mendengar peristiwa itu karena hubunganmu yang
erat dengan Wiraprana."
Mahisa Agni masih tenggelam dalam kebingungan dan kebimbangan. Hanya tiba-tiba saja mulutnya berkata, "Aku mendengar guru."
"Nah, kalau demikian peristiwa itu benar-benar pernah terjadi. Menurut
ayahnya, Mahendra menjadi sakit hati, karena lamarannya ditolak. Bahkan
kemudian ia berhasrat untuk mengadakan semacam sayembara tanding.
Begitu?"
"Ya guru," jawab Mahisa Agni tergagap. Namun ia berusaha untuk menutupi
kesalahan yang mungkin akan dilimpahkan kepadanya. Katanya, "Namun
apakah Mahendra berhak mengadakan sayembara semacam itu?"
"Tentu tidak, Agni," jawab gurunya, "Tetapi tantangan itu diterima oleh Wiraprana."
"Ya," jawab Agni.
"Dan mereka pun berkelahi."
"Ya."
"Menurut ayah Mahendra, Mahendra dapat dikalahkan."
"Ya."
"Oleh Wiraprana?"
Mahisa Agni terdiam. Gejolak di dalam dadanya serasa melanda jantungnya,
sehingga akan meledak. Ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun
sehingga gurunya berkata, "Agni, Mahendra adalah seorang anak yang
tanggon. Aku telah mengenal anak itu, sebab ayahnya adalah sahabatku.
Aku tidak menyangka bahwa Wiraprana dapat mengalahkannya."
Empu Purwa berhenti sejenak. Kemudian orang tua itu berkata pula,
"Menurut ayah Mahendra, Wiraprana itu datang berdua. Apakah kau ikut
serta?"
Kini Agni tidak dapat menyimpan sesuatu lagi di dalam dadanya yang
hampir pecah itu. Karena itu maka seperti bendungan yang pecah
meledaklah jawabnya, "Ampun guru. Wiraprana sama sekali tak berkelahi
melawan Mahendra. Tetapi aku terpaksa melawannya, meskipun aku memakai
nama Wiraprana."
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk
ditatapnya muridnya itu dengan mata yang sayu. Sebenarnya ia telah
menduga bahwa demikianlah yang terjadi. Namun ketika ia mendengar
pengakuan itu, hatinya masih juga terharu. Terharu karena ia tahu, apa
sebenarnya yang bergolak di dalam dada muridnya. Perasaan apakah yang
telah melandanya terhadap anak gadisnya.
Mahisa Agni sama sekali tak berani mengangkat wajahnya. Ia duduk tumungkul memandang ibu jari kakinya.
"Kenapa kau Agni?" tiba-tiba terdengar gurunya bertanya.
Mahisa Agni tidak dapat menjawab pertanyaan itu. jawaban yang telah
disusunnya tiba-tiba seperti hilang dari ingatannya. Sehingga yang
terdengar adalah kata-kata gurunya pula, "Mahendra adalah anak yang
tangkas. Menurut ayahnya, ia agak keras kepala. Apakah dengan demikian
kau tidak mempertaruhkan nyawamu untuk itu?"
Mahisa Agni tidak tahu apa yang tersimpan di hati gurunya. Tetapi
pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawabnya. Maka setelah sesaat ia
berjuang, maka jawabnya, "Ya guru. Terpaksa aku harus menghadapinya."
"Ya, kenapa? Kenapa kau mempertaruhkan nyawamu untuk itu?"
Mahisa Agni mencoba menenangkan hatinya. Kemudian jawabnya, "Aku tidak
dapat melihat, kemungkinan lain guru. Sebab mereka mempertaruhkan Ken
Dedes dalam perkelahian itu. Kalau Wiraprana kalah, akibatnya akan tidak
baik bagi Ken Dedes."
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya muridnya itu
dengan penuh kekaguman di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak membiarkan
Wiraprana dilumpuhkan untuk mendapat kesempatan menjadi pahlawan.
Dengan demikian maka kemungkinan bagi dirinya sendiri akan menjadi lebih
baik.
Sejenak kemudian Empu Purwa itu pun berkata kepada Mahisa Agni, "Mahisa
Agni, jangan cemas. Ayah Mahendra yang baik itu datang untuk minta maaf
kepadaku atas kelakuan anaknya."
Mahisa Agni terkejut, sehingga tak disengajanya ia mengangkat wajahnya.
Dilihatnya Empu Purwa itu tersenyum. Meskipun senyum yang hambar. Dan
orang tua itu meneruskannya, "Ia sama sekali tidak marah atas kekalahan
anaknya. Malahan ia mengharap, bahwa dengan demikian anaknya akan
melihat, bahwa di dunia ini ada orang-orang lain yang tak dapat
dikalahkannya. Mudah-mudahan ia menyadari keadaannya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dugaannya keliru. Ayah
Mahendra sama sekali tidak menuntut atas kekalahan anaknya, bahkan ia
telah minta maaf atas perbuatan Mahendra. Sekali lagi dada Mahisa Agni
berdesir. Seandainya, dirinya sendiri yang telah melakukan seperti apa
yang dilakukan oleh Mahendra itu, siapakah yang akan minta maaf
untuknya? Tiba-tiba diingatnya ibunya yang tua. Yang selama ini
seakan-akan telah hilang dari hidupnya. Maka bersyukurlah Mahisa Agni di
dalam hatinya, bahwa yang Maha Agung telah mempertemukannya dengan
ibunya, dan membekalinya dengan ketabahan dan kesabaran menghadapi
cobaan dalam usianya yang masih muda itu. Dengan demikian maka telah
pula ditemuinya suatu pelajaran yang bermanfaat bagi hidupnya kelak.
Ternyata Mahendra itu telah mengagumkan baginya. Ternyata kekaguman
seorang laki-laki tidak saja ditujukan kepada mereka yang dengan berani
memainkan pedangnya dan bahkan yang telah berhasil membunuh
lawan-lawannya dengan sikap-sikap yang disangkanya jantan. Namun sikap
ayah Mahendra itu pun tak kalah jantannya. Memang kejantanan seseorang
tidak dapat diukur dengan senjata, tetapi diukur dengan tujuan dan cara
untuk mencapai tujuan itu.
Ruangan itu sejenak menjadi sepi. Di langit awan masih mengalir lambat. Dan mendung pun menjadi semakin tebal di langit.
"Agni," berkata Empu Purwa kemudian, "ternyata kau sekali lagi telah
menyelamatkan anakku dari kehancuran. Kau telah berjuang dan meskipun
tidak secara langsung, ikut serta membina masa depannya. Mahisa Agni,
masa depan gadisku satu-satunya itu adalah masa depanku sebagai seorang
ayah. Karena itu, betapa aku berbesar hati atas sikapmu itu. Aku tidak
menilai, apakah dengan demikian perkelahian itu wajar, namun aku menilai
dari segi lain. Aku melihat pengorbananmu yang tanpa pamrih."
Mahisa Agni mendengar pujian itu dengan hati yang berdebar-debar.
Tiba-tiba terasa betapa dadanya menjadi sesak. Ia pun terharu karenanya.
Ternyata gurunya tidak memarahinya, bahkan dengan tulus telah
menyatakan kebesaran hatinya atas sikapnya.
"Karena itu Agni," berkata gurunya pula, "aku harus memberimu pertanda
dari terima kasihku. Sebagai seorang ayah, aku menggantungkan masa
depanku kepada Ken Dedes, namun sebagai seorang guru dalam olah
kanuragan jaya kesantikan, aku menggantungkan harapanku kepadamu. Dengan
demikian Agni, maka sudah sampai saatnya kini aku memberikan
kesempurnaan ilmu kepadamu. Kesempurnaan yang aku miliki. Kesempurnaan
manusia yang selalu tidak sempurna. Kau mengerti maksudku itu?"
Mahisa Agni masih menundukkan wajahnya. Betapa hatinya menjadi
bergejolak mendengar kata-kata gurunya. Sebagai seorang murid, maka
kesempurnaan ilmu gurunya itu selalu didambanya. Kini, setelah dengan
tekun ia mesu diri dalam pengabdian kepada gurunya itu, gurunya berkata
bahwa kesempurnaan ilmunya itu akan diberikannya kepadanya. Meskipun
kesempurnaan seorang manusia yang selalu tidak sempurna, yang selalu
masih jauh daripada kesempurnaan yang sejati. Namun apa yang akan
diterimanya itu akan dapat menjadi bekal yang tak ternilai bagi
hidupnya.
Namun tiba-tiba Agni menjadi bimbang. Kalau kesempurnaan ilmu gurunya
itu telah diterimanya, apakah yang akan dilakukannya. Apakah ia akan
pergi ke segenap penjuru negeri. Berkelahi dengan orang-orang sakti
untuk menunjukkan kemampuannya? Apakah ia akan menjadi seorang prajurit
yang akan selalu memenangkan setiap pertempuran? Dan apakah kesaktian
itu kelak tidak akan membawanya ke dalam lembah ketakaburan. Ia
bersyukur bahwa ia menyadarinya. Ia bersyukur bahwa
pertanyaan-pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Sebab dengan
demikian, ia akan selalu ingat pula kepada jawabnya.
Kemudian didengarnya gurunya itu berkata pula kepadanya, "Agni. Aku
pernah memberimu sebuah pusaka. Namun pusaka itu sama sekali bukan alat
pembunuh. Pusaka itu tak akan dapat kau pergunakan untuk menyobek
jantung lawan. Dan kini aku akan memberimu sebuah senjata yang lain.
Kelengkapan dari pusaka yang aneh itu. Namun pusaka itu tidak akan dapat
berdiri sendiri. Trisula itu bermanfaat bagimu, meskipun tak ada
rangkapannya. Namun rangkapannya itu sama sekali tak berarti tanpa
trisula yang kecil itu."
Mahisa Agni mendengarkan kata-kata gurunya itu dengan seksama.
Disadarinya kemudian, bahwa pusaka yang diberikan kepadanya itu belum
sempurna.
Kemudian gurunya melanjutkan, "Tetapi Agni. Ketahuilah, bahwa pusaka
yang aku janjikan itu kini belum berada di padepokan Panawijen."
Mahisa Agni menengadahkan wajahnya. Terbayanglah suatu pertanyaan pada
cahaya matanya. Karena itu Empu Purwa menjelaskannya, "Agni. Pusaka yang
aku katakan itu, masih harus dicari. Aku hanya dapat menunjukkan
kepadamu, tempat dan bentuknya. Semoga kau akan dapat menemukannya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sadarlah ia kini, bahwa
gurunya memberinya kepercayaan untuk mencari sebuah pusaka yang tak
ternilai harganya. Lebih-lebih lagi, apabila ia dapat menemukan, maka
pusaka itu akan dimilikinya. Tetapi Mahisa Agni masih berdiam diri.
Maka gurunya itu meneruskan, "Apabila kau berhasil Agni, maka kedua
pusaka itu akan menjadi pasangan pusaka yang tak ternilai. Pusaka itu
akan menjadi sedemikian saktinya, sehingga orang yang mempergunakannya
akan kalis dari kekalahan. Siapa pun lawannya. Kau mengerti?"
Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam. Hatinya tergetar mendengar
keterangan gurunya itu. Apabila ia memiliki kedua pusaka itu
bersama-sama, maka ia akan menjadi manusia yang pilih tanding.
"Hem," Mahisa Agni bergumam. Kemudian katanya di dalam hatinya, "Suatu
anugerah yang tak terduga. Dengan pusaka-pusaka itu, maka banyak
persoalan yang dapat aku atasi. Tetapi persoalan-persoalan apa?
Pusaka-pusaka itu adalah alat untuk bertempur dan berkelahi. Haruskah
aku mengatasi semuanya dengan perkelahian dan pertempuran?"
Namun kemudian ditemukannya jawabnya, "Suatu ketika aku harus
mempergunakan pusaka-pusaka itu. Tetapi untuk persoalan-persoalan yang
imbang. Memang kadang-kadang ada hal-hal yang tak dapat diatasi dengan
cara lain. Mudah-mudahan aku dapat membedakannya."
Kemudian Mahisa Agni mendengar gurunya berkata pula, "Agni. Aku ingin
mendengar jawabanmu. Adakah kau bersedia mencari pusaka-pusaka itu?"
Mahisa Agni mengangguk kembali, jawabnya dengan penuh kesungguhan hati,
"Tentu guru. Aku bersedia apapun yang Empu perintahkan. Jangankan sebuah
pusaka untukku sendiri. Apapun akan aku lakukan dengan keikhlasan."
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya muridnya dengan
tajam. Kemudian katanya, "Mahisa Agni. Kau harus menempuh sebuah
perjalanan yang jauh. Perjalanan yang mungkin sama sekati tidak
menyenangkan bagimu."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dengan demikian berarti bahwa ia
harus meninggalkan Panawijen. Meninggalkan kampung halaman untuk waktu
yang lama. Meninggalkan rumah gurunya dan ibunya. Dada Mahisa Agni
menjadi berdebar-debar karenanya. Namun adalah menjadi kewajibannya
untuk melakukan perintah-perintah gurunya. Apalagi perintah untuk
kepentingannya sendiri.
Karena itu, maka jawabnya, "Apapun yang harus aku lakukan guru, bagiku
tak ada yang lebih menggairahkan daripada menjalankannya dengan senang
hati."
"Bagus," sahut gurunya, "kalau kau temukan rangkapan pusakamu itu, kau
akan menjadi seorang laki-laki yang sakti. Sukar untuk mencari tanding.
Kau akan dapat melakukan semua kehendakmu. Siapa pun yang menghalangimu,
maka itu tak akan banyak berarti. Karena itu, pusaka itu harus kau
temukan. Apapun rintangan yang akan kau temui."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Akan aku coba untuk melakukannya."
"Nah Agni," berkata gurunya, "dengarlah. Perjalanan yang harus kau
tempuh adalah cukup jauh. Kau harus melingkari Gunung Semeru. Bukankah
kau pernah pergi ke kaki gunung itu dari arah timur bersama aku?"
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya. Perjalanan itu pernah
ditempuhnya tiga tahun yang lalu. Perjalanan yang berat di antara
belukar dan lereng-lereng gunung. Hanya kadang-kadang saja ditemuinya
padukuhan-padukuhan kecil atau kelompok-kelompok penduduk yang tidak
menetap, yang berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain untuk
mencari tanah yang mungkin diusahakan oleh mereka. Kini ia harus
menempuh perjalanan itu kembali.
Mahisa Agni kemudian menekurkan kepalanya. Dicobanya untuk mengingat
kembali jalan-jalan yang pernah dilaluinya. Hutan-hutan dan
lereng-lereng terjal. Kemudian diingatnya pula, apa yang pernah
dilihatnya pada kaki Gunung Semeru itu, sebagai pertanda yang akan dapat
dipergunakannya untuk menemukan jalan kembali.
"Agni," terdengar gurunya itu menyambung kata-katanya, "mungkin kau akan
dapat mengingatnya kembali jalan-jalan yang pernah kau tempuh. Kalau
tidak Agni, maka kau dapat mencari jalan lain. Namun kau dapat menandai
daerah yang pernah kita kunjungi di kaki Gunung Semeru itu. Kau pernah
melihat sebuah rawa yang luas bukan?"
Mahisa Agni mengangguk.
"Kau melihat batu karang di tengah rawa-rawa itu?"
"Ya, Guru," jawab Agni.
"Agni," berkata gurunya, "aku harap rawa-rawa itu masih ada sekarang.
Aku mengharap bahwa batu karang itu pun masih dapat kau temukan. Nah.
Apabila batu karang itu kau temukan, maka kau akan menempuh jalan yang
pendek. Kau dapat menyusurinya ke barat dan kau akan sampai pada sebuah
dinding yang terjal, dinding yang gundul. Kau ingat?"
"Ya, Guru," jawab Agni.
"Agni," nada suara gurunya menjadi semakin rendah, "Ketahuilah bahwa di
dalam gua, yang pernah kita kunjungi itu, yang terdapat di tengah-tengah
dinding yang gundul, terdapat benda yang sangat berharga itu."
Mahisa Agni menarik nafas dalam sekali. Pada saat itu ia hanya dapat
melihat gua itu. Tetapi ia tidak dapat mencapainya. Ia pada waktu itu
tidak sanggup untuk mendaki tebing yang gundul dan curam.
Dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Pada tiga tahun
yang lampau, ia hanya dapat melihat gurunya itu mendaki tebing yang
sengat curam dan berbahaya. Dan ditinggalkannya ia sendiri menanti di
bawahnya.
Dan sekarang ia sendiri harus mendaki tebing itu, untuk mencapai gua di tengah lereng gundul di kaki Gunung Semeru.
"Suatu perjalanan yang berat," desisnya di dalam hati.
Gurunya yang melihat wajah Mahisa Agni itu menjadi suram segera berkata
pula, "Agni, kesempatan ini akan menjadi satu ujian bagimu. Ketika kau
berhasil Agni, maka hidupmu di kemudian hari akan penuh ditandai dengan
kemenangan-kemenangan dalam setiap persoalan. Kau akan menjadi seorang
jantan yang namamu akan ditakuti oleh setiap orang yang mendengarnya.
Sedang apa yang akan kau lakukan kemudian tergantung kepada keadaanmu
dan tujuan hidupmu. Sebab sesudah taraf yang terakhir ini, maka aku
tidak akan dapat ikut serta menarik garis yang melingkari hidupmu. Kau
adalah seorang murid yang sudah dewasa, yang seharusnya sudah lepas dari
induknya. Hitam putih namamu tergantung padamu sendiri."
Mahisa Agni masih menekurkan kepalanya. Dengan penuh kecermatan ia
mengamati persoalannya. Namun tak ada yang dapat dilakukan selain
melakukan tugas itu. Meskipun demikian, sempat juga ia merenungkan
kata-kata gurunya itu, dan yang terakhir, ‘Hitam putih namamu tergantung
padamu sendiri’.
Tetapi terasa pula di dada Mahisa Agni sesuatu yang agak lain dari
kebiasaan gurunya. Gurunya yang penuh dengan pengabdian dan kebaktian
diri kepada sumber hidupnya itu tiba-tiba memberinya beberapa petunjuk
yang seakan-akan hanya diwarnai oleh tata lahiriahnya saja. Ia akan
menjadi seorang yang sakti. Seorang yang hampir tak akan dapat
dikalahkan. Seorang yang hidupnya akan ditandai oleh
kemenangan-kemenangan dalam setiap persoalan. Mahisa Agni tidak mengerti
seluruhnya apa yang dimaksudkan oleh gurunya. Apakah hanya itu? Namun
ia tidak berani bertanya. Mungkin ada sesuatu yang perlu direnungkannya.
"Pada suatu ketika aku akan menemukan jawabnya," pikirnya.
Yang kemudian dikatakan oleh gurunya adalah, "Mahisa Agni. Sejak hari
ini kau harus mempersiapkan dirimu. Lahir batin untuk menempuh
perjalaran itu. Kamu harus menguasai setiap persoalan yang akan kau
temui di sepanjang perjalananmu. Amati persoalan itu dengan seksama.
Baru kemudian kau cari pemecahannya."
Mahisa Agni mengangguk dengan khidmatnya. Jawabnya, "Ya, Guru."
"Mungkin kau harus mengalami gangguan lahir batin. Nah. kemudian
tergantung kepadamu, karena kau akan pergi seorang diri. Ingatlah,
perjalanan itu akan merupakan ujian bagimu. Kalau kau berhasil
memecahkan persoalan-persoalan yang diberikan oleh pengujimu sesuai
dengan maksudnya, maka pasti kau akan lulus dalam ujian itu. Namun kalau
tidak, maka kesempatan itu tidak akan terulang kembali."
"Aku akan melakukan dengan kesungguhan hatiku," jawab Agni, "Mudahkan yang Maha Agung memberikan tuntunan kepadaku."
"Mudah-mudahan," sahut gurunya. Terdengar suara menjadi serak. Dan
ketika Agni mencoba melihat wajah gurunya, ia terkejut. Wajah itu
sedemikian sayunya, dan bahkan ketika terpandang olehnya mata gurunya
itu, bergolaklah perasaan Mahisa Agni. Dilihatnya meskipun hanya
sekejap, bahwa sepasang mata gurunya itu menjadi basah.
"Apakah yang sebenarnya terjadi?" pertanyaan itu timbul di dalam
hatinya. Bahkan timbul pula prasangka di dalam dadanya, "Apakah
sebenarnya Guru marah kepadaku? Apakah sebenarnya yang diminta oleh ayah
Mahendra?"
Dan tiba-tiba saja mengianglah di sudut hatinya, "Apakah aku sedang dibuang oleh guruku?"
Tidak, dicobanya untuk mengatasi perasaannya yang sedang bergelora
dengan riuhnya di dalam dirinya. Timbullah bermacam-macam prasangka.
Namun akhirnya ia mendapatkan suatu kesimpulan. "Guru akan memberikan
hadiah itu kepadaku. Adalah wajar kalau aku harus mengambilnya sendiri.
Kalau guru akan menghukumku atas permintaan ayah Mahendra, maka guru
pasti akan berterus terang kepadaku. Sebab aku adalah muridnya sejak
kecilku."
Mahisa Agni tersadar dari renungannya ketika gurunya berkata dengan nada
yang dalam, "Agni. Masih ada beberapa pesanku untukmu. Apabila sudah
kau temukan rawa-rawa itu dan kau temukan batu karang di dalamnya, maka
untuk seterusnya kau harus menempuh jalan di malam hari sampai kau capai
dinding yang gundul itu. Kemudian baru kau akan mendakinya di siang
hari."
Syarat itu bertambah memberatinya. Karena itu maka debar jantung Agni
pun bertambah-tambah pula. Meskipun demikian jawabnya, "Ya. Guru, akan
aku lakukan semuanya."
"Bagus Agni. Sekarang beristirahatlah. Kau tentukan sendiri kapan kau akan berangkat," kata gurunya pula.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. kemudian ia mohon diri untuk
beristirahat. Ia sudah tidak ingat lagi akan permintaan Wiraprana untuk
memberinya beberapa petunjuk tata bela diri.
Mahisa Agni langsung pergi ke biliknya. Perlahan-lahan ia berbaring di
pembaringannya. Ditatapnya kayu-kayu yang malang melintang di atap
rumahnya. Dan akhirnya ia menarik nafas panjang-panjang.
"Ujian," desisnya. Dan diulanginya, "ujian yang berat."
Dicobanya untuk membayangkan apa yang kira-kira akan dialaminya dalam
perjalanan itu. Binatang buas. Kelompok-kelompok orang jahat yang akan
dapat ditemuinya di perjalanannya. Berjuang melawan alam yang garang.
Kalau itu semua dapat diatasinya, maka akan didapatnya kesaktian.
"Aku berguru dalam olah kanuragan untuk mendapatkan kesaktian,"
gumamnya, "dengan kesaktian banyak yang dapat aku lakukan. Aku akan
dapat mencapai dan menegakkan nilai-nilai kebenaran, melawan
kesaktian-kesaktian yang akan memaksakan kemungkaran dan kejahatan."
"Hem," Agni menarik nafas. Katanya kepala dirinya sendiri, "Tetapi kau
harus ingat, hitam putih namamu ditentukan oleh perbuatanmu."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, namun terdengar kata-kata di
dalam dirinya, "Apapun yang akan aku lakukan, kalau aku orang yang maha
sakti, adakah yang akan merintanginya?"
Wajah Mahisa Agni pun kemudian menjadi tegang. Kata-kata itu kembali
terngiang di hatinya, "Aku akan menjadi seorang yang maha sakti.
Betapapun hitam namaku kelak, namun apa peduliku. Tak seorang akan
berani menghalangi aku. Seandainya aku ingin membunuh Wiraprana,
Mahendra, bahkan siapa saja, siapakah yang dapat menuntut aku? Kekuasaan
Tumapel tak akan berarti bagiku, juga kekuasaan Kediri. Semua akan
hancur oleh kesaktianku."
Dada Mahisa Agni menjadi bergemuruh karenanya. Kesaktian, kekuatan
berarti kekuasaan. Kalau kesaktian dan kekuatan ini tak terkalahkan,
maka kekuasaannya pun tak akan tergoyahkan.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang masuk ke
dalam biliknya. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya ibunya. Seorang
emban yang sudah tua.
Agni pun kemudian bangkit dan duduk di tepi pembaringannya.
"Adakah kau menghadap gurumu Agni?" bertanya ibunya sambil duduk di sisinya.
"Ya, Ibu," jawab Agni.
"Kau menghadap seperti biasa, ataukah ada sesuatu yang penting?"
"Ada sesuatu yang penting. Bahkan penting sekali bagi masa depanku."
"Apakah itu?"
"Sekali lagi guru memberi aku hadiah."
"Hadiah?" ibunya mengerutkan keningnya.
Mahisa Agni mengangguk. Lalu diceritakannya apa yang baru saja
didengarnya untuk mengambil rangkapan pusaka di kaki Gunung Semeru.
"Oh," ibunya menarik nafas panjang, "Apakah gunanya pusaka itu?"
Agnilah yang kemudian menjadi terkejut. Ditatapnya wajah ibunya yang
telah mulai berkeriput oleh garis-garis umur. Maka katanya, "Bukankah
pusaka itu idaman setiap lelaki? Aku berguru pada Empu Purwa karena aku
ingin mendapatkan kesaktian sebagai bekal hidupku kelak. Kini aku akan
mendapat pusaka rangkapan trisula itu, dan aku akan menjadi seseorang
laki-laki yang pilih tanding. Bukankah itu satu kebahagiaan bagiku. Apa
yang aku kehendaki akan berlaku."
"Itu saja?" bertanya ibunya pendek.
Kembali Agni terkejut. Ia tidak tahu maksud ibunya. Sehingga terdengar pertanyaannya, "Apakah yang ibu maksudkan?"
"Kau berguru kepada Empu Purwa hanya untuk mendapat kesaktian, sehingga semua kehendakmu akan berlaku?"
"Apa lagi?"
"Oh," ibunya mengeluh. Dan Mahisa Agni menjadi bingung.
"Agni," berkata ibunya, "adakah Empu Purwa tidak memberimu pesan, apa
yang harus kau lakukan setelah kau mendapat pusaka-pusaka itu?"
Mahisa Agni menggeleng. Tetapi kemudian ia berkata, " Empu Purwa hanya
sekedar memberi aku peringatan, ‘Hitam putih namaku tergantung atas
perbuatanku’."
Ibunya mengangguk-angguk. Namun ia bergumam, "Nah, kata-kata itu pendek saja. Cobalah mengerti artinya."
Mahisa Agni mengangkat keningnya. Katanya, "Tetapi kalau aku seorang
yang tak ada bandingnya, apakah artinya pesan itu? Apapun kata orang
tentang diriku, tentang namaku, namun mereka tak akan dapat berbuat
apapun atasku. Sebab aku tak akan terkalahkan."
Sekali lagi ibunya terkejut. Dengan wajah yang tegang perempuan tua itu
bertanya, "Agni. Apakah sebenarnya yang dikatakan oleh gurumu? Hanya itu
saja? Mengambil pusaka supaya kau menjadi sakti tanpa tanding? Kemudian
membiarkan kau menentukan namamu sendiri?"
Mahisa Agni mengangguk.
"Aneh?" gumam ibunya.
"Kenapa aneh?" bertanya Mahisa Agni. Namun pertanyaan itu memang sudah
tersimpan di dalam dirinya, sejak ia mendengar gurunya memberinya
beberapa petunjuk mengenai letak tempat-tempat yang harus ditujunya.
Perempuan tua itu pun merasakan sesuatu yang agak berbeda dari kebiasaan
Empu Purwa. Kali ini Empu itu hanya memandang persoalannya dari sudut
lahiriah. Pusaka dan kesaktian. Apakah itu sudah cukup?
"Mahisa Agni," berkata ibunya kemudian, Perlahan-lahan, namun penuh
dengan tekanan sebagai seorang ibu, "aku senang mendengar kau akan
menerima pusaka rangkapan dan kau akan menjadi seorang yang sakti. Namun
sebagai seorang ibu, aku pun mencemaskan nasibmu. Perjalanan itu bukan
perjalanan yang menyenangkan. Namun yang lebih mencemaskan aku adalah,
bagaimanakah kau sesudah memiliki pusaka-pusaka itu, Agni."
"Kenapa?"
"Kalau kau salah langkah, maka kau akan terjerumus ke dalam satu dunia yang penuh dengan pertentangan dan permusuhan"
"Bukankah kalau aku menjadi seorang yang tak terkalahkan, aku tak usah
cemas, meskipun seandainya orang di seluruh dunia ini memusuhi aku?"
"Benar Agni. Tetapi apakah kau sangka bahwa kau tak perlu mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatanmu itu?"
"Bertanggung jawab kepada siapa? Akuwu Tumapel? Maharaja Kediri atau
siapa? Mereka tak akan mampu mengalahkan aku meskipun semua laskarnya
dikerahkan."
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya keragu-raguan memancar
di mata anaknya. Karena itu ia menjadi gembira. Katanya, "Kau tidak
yakin akan kata-katamu Agni. Aku menjadi berbahagia karenanya. Karena
masih ada suara lain di dalam hatimu Nah, Agni. Aku ingin mempertegas
suara hatimu yang lain itu. Kau tidak akan bertanggung jawab kepada
Akuwu Tumapel atau kepada Maharaja Kertajaya. Mereka adalah
manusia-manusia biasa. Kalau kau menjadi sakti tanpa tanding dan
melampaui kesaktian-kesaktian mereka, malahan, kau akan dapat mengusir
mereka dari kedudukannya, dan kesaktianmu benar-benar dapat membentuk
kekuasaan melampaui kekuasaan mereka itu."
"Lalu kepada siapa?"
"Kekuasaan yang tak dapat dilampaui oleh kekuasaan apapun, Yang Maha Agung."
"Oh," Mahisa Agni mengeluh.
Dan wajahnya pun kemudian ditundukkannya dalam-dalam. Ia tidak pernah
melupakan Yang Maha Agung, yang telah menjadikannya. bahkan seluruh alam
dan isinya. Namun kadang-kadang gelora jiwa jantannya sering
mengganggunya. Kerinduannya pada kesempurnaan ilmu kanuragan
kadang-kadang telah membawanya ke alam yang penuh dengan kekerasan dan
permusuhan. Kadang-kadang direka-rekanya juga permusuhan-permusuhan yang
akan terjadi.
"Kalau tidak ada permusuhan-permusuhan, kapankah aku dapat menunjukkan kesaktianku dan kapankah orang lain akan mengagumi aku?"
Namun setiap kali ia berhasil menyadari kesalahannya, meskipun baru di dalam angan-angan.
Maka kemudian didengarnya ibunya berkata pula, "Agni, sebenarnyalah
bahwa kesaktian dan kekuatan yang dipancarkannya, kemenangan dalam
setiap pertentangan dan permusuhan, bukanlah kekuasaan. Apabila
demikian, maka hidup manusia ini tidak akan lebih baik dari kehidupan
binatang-binatang di dalam rimba. Harimau yang kuat, dan memiliki
senjata yang kuat, pula pada tubuhnya, kuku, gigi dan taring-taringnya
akan dapat memaksakan kehendaknya kepada binatang-binatang yang lemah.
Kijang, rusa dan sebagainya, yang hanya memiliki kesempatan untuk
melarikan diri apabila mampu. Bahkan sampai merampas nyawanya sekali
pun. Namun binatang tidak memiliki kesadaran akan ‘adanya dan
diadakannya’. Karena itulah maka binatang tidak memiliki sifat-sifatnya
yang langgeng. Hidup sesudah hidup ini. Di mana akan diperhitungkan
semua perbuatan dan tingkah laku manusia. Itulah sebabnya manusia
mengenal nilai-nilai hidupnya. Nilai-nilai hidup kemanusiaan. Nah, Agni.
Apakah sekarang artinya kesaktian dan kekuasaan duniawi ini?"
Wajah Agni menjadi semakin tunduk. Kata-kata ibunya itu mengetuk-ngetuk
dadanya. Sudah sering kali ia mendengar nasihat-nasihat gurunya tentang
hidupnya dan hidup di masa-masa langgeng. Namun ketika ibunya sendiri
yang mengucapkannya berasa seakan-akan meresap sampai ke tulang
sumsumnya.
"Agni," berkata ibunya, "aku hidup di padepokan ini telah
bertahun-tahun. Karena itu aku telah sering kali mendengar Empu Purwa
mengatakannya itu semua, meskipun tidak kepadaku. Mungkin kepada
anaknya, atau kepada muridnya, kau. Atau kadang-kadang aku mendengarnya
diri balik dinding apabila ada beberapa orang tamu, sahabat-sahabat Empu
Purwa yang kadang-kadang mengadakan sarasehan."
"Karena itu apa yang aku katakan, mungkin telah kaudengar langsung dari
gurumu. Namun aku adalah ibumu. Umurku telah berlipat dari umurmu.
Karena itu aku ingin mengatakannya kembali kepadamu. Aku sangka umur
mudamu kadang-kadang masih mengganggumu."
Agni tidak menjawab. Namun kepalanya masih tunduk. Diangguk-anggukkannya
kepalanya perlahan-lahan dan dengan penuh minat ibunya berkata pula,
"Karena itu Anakku. Kesaktian baru bermanfaat apabila ia dipergunakan
untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Kalau ada
kekuasaan di muka bumi ini, kekuasaan manusia, maka ia harus dilambari
atas nilai-nilai itu pula, nilai-nilai hidup bersama yang ditentukan
bersama pula dalam pergaulan hidup yang memberikan kebahagiaan bersama.
Nah, terhadap kekuasaan yang demikian itulah kesaktian wajib diamalkan
untuk menegakkannya. Bukan untuk merampasnya."
Ibunya berhenti sejenak. Ditatapnya anak laki-lakinya yang bertubuh
kokoh kuat dengan jalur-jalur ototnya menjalar di seluruh permukaan
kulitnya.
Kemudian terdengar kembali perempuan itu berkata, "Nah, Agni. Pergilah
ke kaki Gunung Semeru. Usahakan supaya perintah gurumu dapat kau penuhi.
Dan sadarilah apa yang akan kau perbuat kelak sesudah pusaka-pusaka itu
berada di tanganmu."
"Baik, Ibu," jawab Mahisa Agni lirih, namun sampai ke dasar hatinya.
Ibunya menganggukkan kepalanya. Kemudian sambil berdiri ia berkata,
"Kalau sampai saatnya kau pergi anakku, pergilah dengan tekad yang
bulat. Dengan janji di dalam hati, bahwa apa yang kau capai semata-mata
untuk tujuan yang baik, maka Yang Maha Agung akan selalu memberkahi."
"Baik, Ibu," sahut Mahisa Agni sambil mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
berdiri pula dan melepaskan ibunya pergi dari mulut pintu biliknya.
Kata-kata ibunya itu merupakan penegasan dari segenap perasaan-perasaan
yang bergolak di dalam dadanya. Dan ia bersyukur karenanya. Maka
kemudian dibulatkannya tekad di dalam dadanya, "Aku akan pergi ke Gunung
Semeru."
Kepada Wiraprana, Mahisa Agni terpaksa membatalkan janjinya untuk
sementara, katanya, "Prana, besok kalau aku kembali dari perantauan ini,
aku berjanji akan memenuhi permintaan itu. Bukankah aku menjadi
bergembira pula dengan hasratmu itu. Tetapi sayang aku terpaksa
menundanya."
Wiraprana pun menjadi kecewa karenanya. Tetapi ia menyadari bahwa pasti
ada sesuatu yang penting dalam perjalanan yang akan ditempuh oleh
sahabatnya itu.
"Mudah-mudahan kau lekas kembali Agni. Apakah perjalanan itu jauh?"
Agni menggeleng. "Tidak. Tidak begitu jauh."
Wiraprana memandang wajah Agni dengan penuh pertanyaan. Tetapi
pertanyaan itu tak diucapkannya. Ia sadar, bahwa bukan menjadi haknya
untuk mengetahui segala persoalan sahabatnya itu. Namun kepergian itu
pasti akan memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga dengan demikian,
Panawijen akan terasa sepi baginya. Meskipun banyak anak-anak muda yang
lain, tetapi di samping Mahisa Agni,Wiraprana merasa tenang dan sejuk.
"Ah," katanya di dalam hati, "aku harus dapat menyejukkan hatiku
sendiri. Kelak kalau aku sudah meyakini diriku sendiri sesudah Mahisa
Agni kembali, maka aku akan tegak di atas kemampuan sendiri."
Setelah sampai saatnya Mahisa Agni merasa dirinya siap untuk berangkat
menempuh perjalanan itu, maka sekali lagi ia menghadap gurunya.
Diharapkannya gurunya akan memberinya pesan-pesan terakhir yang
bermanfaat bagi perjalanannya lahir dan batin. Namun Mahisa Agni menjadi
kecewa. Gurunya tidak memberinya pesan-pesan baru kepadanya, selain
bentuk dari benda yang dicarinya.
Mahisa Agni mendengarkan setiap kata-kata gurunya dengan tekun, supaya
ia kelak tidak keliru. Setelah ia menempuh perjalanan yang sulit itu ia
tidak ingin menemukan benda yang sama sekali bukan benda yang
dikehendakinya.
"Agni," berkata gurunya, "benda itu tampaknya memang tidak berharga sama
sekali. Bentuknya tidak lebih dari sebatang akar wregu. Namun akar itu
berwarna putih. Panjangnya kurang lebih hanya dua cengkang. Benda itu
terbalut kain berwarna merah muda bertepi putih."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa ia menjadi heran.
Sebatang akar wregu berwarna putih dan sudah dibalut dengan kain.
Siapakah yang meletakkannya di sana?
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, tetapi Empu Purwa dapat
merasakan perasaan itu. Maka katanya, "Tak seorang pun yang tahu,
siapakah yang meletakkan benda itu di sana. Dan mungkin pula tak seorang
pun yang tahu, bahwa ada benda itu di sana. Aku mengetahuinya dari
sebuah mimpi. Dan aku pernah membuktikannya melihat sendiri benda itu
beberapa tahun yang lampau. Namun pada saat itu aku belum dapat
mengambilnya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ingin ia bertanya kenapa
pada saat itu gurunya belum dapat mengambilnya. Tetapi ia tidak berani.
"Ah. Pasti ada sebab-sebab yang penting," katanya di dalam hati.
"Agni," berkata gurunya pula. Nadanya menjadi semakin dalam, "Ingat!
Apabila kau telah menemukan batu karang itu, kau harus menempuh
perjalananmu di malam hari. Ada banyak sebabnya. Yang terpenting,
perjalananmu tidak boleh dilihat oleh seorang pun. Meskipun hanya oleh
seorang pencari kayu sekali pun. Namun aku sangka daerah itu tak pernah
dikunjungi orang."
"Ya, Guru," jawab Agni, "akan aku penuhi semua perintah."
"Bagus," sahut Empu Purwa sambil mengangguk-anggukkan kepala, "mudah-mudahan kau berhasil."
"Pangestu Guru untukku," pinta Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah pada wajahnya yang
suram, sepasang matanya yang sayu. Setelah ia berdiam diri sejenak, maka
katanya, "Agni, bawalah obat penawar racun ini. Mungkin kau aku bertemu
dengan ular-ular berbisa, atau serangga yang tak kalah tajam bisanya.
Sebuah sengatan sudah cukup untuk membunuhmu dalam waktu sekejap."
Diberikannya oleh Empu Purwa sebuah tabung kecil. Ketika tabung itu dibuka dilihatnya di dalamnya beberapa gelintir ramuan obat.
"Agni," berkata gurunya, "aku membuat param itu dari akar-akar dan
beberapa jenis racun. Kalau kau akan mempergunakannya, cairkanlah param
itu dengan air. Kemudian gosokkanlah pada seluruh tubuhmu. Atau apabila
kau telah terlanjur tergigit ular atau terkena racun apapun, gosokkanlah
obat itu di lukamu. Tetapi kalau racun itu masuk ke dalam tubuhmu
melalui mulutmu Agni, maka pakailah ramuan yang lain."
Empu Purwa itu berhenti sejenak. Sebuah tabung yang lain diberikannya
pula kepada Mahisa Agni. Di dalam tabung itu pun terdapat beberapa
butiran ramuan obat-obatan. Namun jauh lebih kecil dari butiran-butiran
obat yang pertama.
"Ingat Agni," berkata gurunya, "Jangan sampai keliru! Kalau kau keliru
mempergunakan, maka akibatnya akan sebaliknya. Obat yang pertama hanya
boleh kau gosokkan di tubuhmu, sedang obat yang kecil itu, harus kau
telan."
"Ya, Guru," sahut Mahisa Agni.
Empu Purwa memandang muridnya dengan pandangan yang aneh. Sedang Mahisa
Agni masih saja menundukkan wajahnya. Tetapi tiba-tiba wajahnya itu pun
menjadi tegang ketika gurunya berkata pula, "Mahisa Agni. Tinggallah
kini pesan terakhir bagimu. Dalam perjalanan yang berbahaya itu Agni,
sebaiknya trisulamu kau tinggalkan saja di padepokan ini."
Mahisa Agni terkejut mendengarnya justru dalam perjalanan yang berbahaya
itu diperlukannya kawan dalam perjalanannya. Bukankah pusaka itu dapat
dijadikannya kawan yang baik apabila ia berhadapan dengan bahaya. Tetapi
sebelum ia berkata apapun didengarnya gurunya meneruskan, "Agni.
Trisula itu adalah benda yang sangat berharga. Karena itu apabila pusaka
itu hilang, maka hilanglah semuanya bagi padepokan kita. Semua
perjuangan masa lampau akan lenyap bersamanya apalagi harapan bagi masa
mendatang. Karena itu janganlah hal itu terjadi. Kau ingin menemukan
rangkapannya, namun pusaka itu sendiri jangan sampai lepas dari tangan
kita."
Mahisa meng-angguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak tahu seluruh
persoalannya. Namun ia tidak berani membantahnya. Ia percaya saja kepada
gurunya yang tentu jauh lebih bijaksana daripadanya. Meskipun
kadang-kadang juga timbul prasangkanya, namun segera perabaan itu
dihimpitnya ke dasar hatinya. Ayah Mahendra, sahabat guru sama sekali
tidak marah atas kekalahan anaknya. Berkali-kali ia menegaskan kepada
dirinya sendiri karena itu guru pun sama sekali tidak marah kepadaku.
Demikianlah maka sampailah pada saatnya Mahisa Agni meninggalkan
padepokan itu. Di pagi yang cerah, ketika matahari membangunkan wajah
bumi yang tetap, Mahisa Agni mohon diri kepada ibunya. Perempuan itu
memandang wajah anaknya yang teguh sambil tersenyum, namun di matanya
menitik beberapa butir air mata. Diciumnya kening anak itu sambil
berbisik, "Pergilah, Anakku. Mudah-mudahan kau capai cita-citamu.
Harapan masa depanmu masih panjang."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar