Mahisa Agni yang berlutut di muka ibunya itu meneium pada
tangan ibunya yang dingin. Katanya, "Ibu, doakan aku, semoga Yang Maha
Agung memberkahi."
"Tentu anakku, yang Maha Agung memberkahi perjalananmu."
Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri. Diambilnya sebuah bungkusan dari
pembaringannya. Bungkusan bekal di perjalanannya. Beberapa potong
pakaian, bahan-bahan makanan dan sebuah keris peninggalan ayahnya,
buatan pamannya Empu Gandring. Dihiburnya dirinya sendiri dengan pusaka
ayahnya itu, karena Trisulanya harus ditinggalkannya di padepokan.
Setelah sekali lagi Agni mencium tangan ibunya, maka melangkahlah ia meninggalkan biliknya.
Di muka pintu bilik itu Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya air mata
ibunya semakin deras mengalir di pipinya yang berkeriput. Namun
perempuan itu tersenyum kepadanya. Dianggukkannya kepalanya sambil
bergumam, "Selamat jalan anakku."
Terasa sesuatu merambat di tenggorokkan Mahisa Agni. Matanya pun menjadi
panas sehingga ditengadahkannya wajahnya memandang langit-langit rumah
Empu Purwa itu. Baru kemudian ia menjawab, "Terima kasih ibu."
Di pendapa Agni melihat gurunya dan Ken Dedes berdiri memandang cahaya
matahari pagi. Ketika mereka melihat Agni dengan sebuah bungkusan kecil
yang diikatnya di ujung tongkat kayu, gurunya menggigit bibirnya.
Kemudian katanya, "Perjalanan yang berat, Agni. Mudah-mudahan kau berhasil."
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Juga tangan gurunya itu diciumnya.
"Mudah-mudahan aku berhasil memenuhi harapan guru," berkata Mahisa Agni.
Suaranya seakan-akan tertahan di dadanya.
"Aku selalu berdoa untukmu Agni."
"Terima kasih, Guru."
Ken Dedes yang berdiri seperti patung, tiba-tiba mengusap matanya yang
basah. Dengan terbata-bata ia bertanya, "Apakah perjalananmu akan
memerlukan waktu yang panjang Kakang?"
Mahisa Agni memandang wajah gurunya, seakan-akan ia akan bertanya
kepadanya. Namun gurunya berdiam diri sambil menyilangkan tangannya di
dadanya.
Karena itu, maka Mahisa Agni menjawabnya, "Mudah-mudahan tidak terlalu lama, Ken Dedes."
Ken Dedes menganggukkan kepalanya, namun tangannya masih saja sibuk mengusap matanya.
"Nah, Agni," berkata gurunya, "mumpung hari masih pagi. Selamat jalan."
"Terima kasih, Guru," sahut Agni, yang kemudian dengan hati yang berat
dilangkahinya satu persatu tangga pendapa yang sudah bertahun-tahun
didiaminya.
Ketika sekali lagi ia berpaling, hatinya berdesir. Ia hanya sempat
melihat gurunya berjalan tergesa-gesa meninggalkan pendapa langsung
masuk ke sanggarnya. Yang berdiri di pendapa itu kini tinggal Ken Dedes
dan di belakangnya embannya, perempuan tua yang memandang Agni dengan
mata berkaca-kaca.
—–
Ken Dedes yang berdiri seperti patung, tiba-tiba mengusap matanya yang
basah. Dengan terbata-bata ia bertanya, "Apakah perjalananmu memerlukan
waktu yang panjang, Kakang?"
—–
Ketika Agni sudah sampai di halaman, didengarnya Ken Dedes berteriak,
"Lekaslah kembali Kakang, supaya padepokan ini tidak menjadi sepi."
Mahisa Agni berpaling sekali lagi. Perlahan-lahan ia mengangguk. Jawabnya, "Tentu. Tentu aku akan segera kembali."
Agni menarik nafas panjang. Gadis itu benar-benar telah menumbuhkan
seribu macam persoalan pada dirinya. Mahisa Agni terkejut ketika ia
mendengar sebuah tangis yang meledak. Ketika ia menoleh, dilihatnya Ken
Dedes menangis di pelukan embannya yang tua. Tetapi Mahisa Agni tidak
berhenti. Dengan tetap ia melangkah meninggalkan rumah itu, betapa pun
berat hatinya. Di rumah itu tinggal gurunya yang telah menempanya siang
malam pada tingkat yang mula-mula sekali, kemudian berturut-turut
membuatnya menjadi seorang yang teguh lahir dan batin. Juga di rumah itu
tinggal seorang gadis yang hampir-hampir saja menghancurkan masa
depannya. Apalagi kemudian diketahuinya, bahwa ibunya berada di rumah
itu pula. Ibunya yang telah melahirkannya.
"Aku pergi untuk kembali," gumamnya seorang diri.
Akhirnya dilangkahinya regol halaman, dan dengan tergesa-gesa ia
membelok menurut jalan desanya hampir melekat pagar. Dengan demikian
maka ia akan segera lenyap dari pandangan mata orang-orang yang
mengikutinya dari halaman dan pendapa rumahnya.
Tetapi kembali hatinya berdebar-debar. Dilihatnya dari kejauhan dengan
tergesa-gesa Wiraprana datang kepadanya. Anak muda itu sudah beberapa
lama tidak pernah datang ke rumah itu, justru karena hubungannya dengan
Ken Dedes.
"Agni," katanya hampir berteriak, "benarkah kau berangkat pagi ini?"
Mahisa Agni mengangguk.
"Aku mendengar dari seorang cantrik di sudut desa. Kenapa kau tak memberitahukan kepadaku?"
"Aku bermaksud singgah sebentar di rumahmu Prana," sahut Mahisa Agni.
"Oh. Marilah," ajak Wiraprana.
"Kita sudah bertemu di sini.
"Lalu?"
"Aku tak usah singgah ke sana."
"Oh," Wiraprana menjadi kecewa.
"Sampaikan baktiku kepada Bapa Buyut Panawijen. Aku mohon diri untuk beberapa lama."
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baik. Baik," katanya, "Tetapi apakah kau tidak singgah meskipun hanya sebentar?"
"Terima kasih Prana, terima kasih," jawab Agni.
Wiraprana benar-benar menjadi kecewa. Ditatapnya wajah sahabatnya. Kemudian katanya,"Selamat jalan Agni."
Mahisa Agni tersenyum. Senyum yang memancar dari berbagai perasaan di
dalam dirinya. Terdengar anak muda itu berkata perlahan-lahan, "Prana,
meskipun kau belum menjadi suami Ken Dedes, tetapi jagalah dia dari
jarak yang ada sekarang. Kalau kau mengalami kesulitan-kesulitan apa
pun, terutama apabila terjadi kekerasan karena persoalan gadis itu,
sampaikanlah secepatnya kepada ayahnya."
Wiraprana mengerutkan keningnya. Timbullah pengakuan di dadanya atas
kekurangannya, sehingga orang lain harus menolongnya dalam persoalan
yang seharusnya ditanggungkannya. Karena itu maka katanya, "Kepergianmu
sangat mengecewakan aku, Agni. Keinginanku untuk mendapatkan kemampuan
setidak-tidaknya untuk menjaga diriku tertunda karenanya. Namun aku tak
dapat mementingkan diriku sendiri. Aku menghormati kepentinganmu pula.
Karena itu mudah-mudahan kau lekas kembali."
Akhirnya Wiraprana dan Mahisa Agni pun berpisah pula. Diantarkannya Agni
sampai ke sudut desa, kemudian dilepasnya sahabatnya itu dengan hati
yang berat.
"Aku hanya pergi untuk beberapa lama," berkata Mahisa Agni, "Jangan
risaukan aku. Sampaikan kepada Ken Dedes apabila kau sempat bertemu,
juga kepada pemomongnya, perempuan tua itu. Aku tidak sedang berangkat
perang. Tetapi hanyalah sebuah perjalanan biasa. Mungkin akan merupakan
sebuah tamasya yang menyenangkan. Melihat lembah dan ngarai yang belum
pernah aku lihat."
Wiraprana tersenyum. Senyum yang masam. Jawabnya, "Apakah bedanya
perjalananmu dengan sepasukan prajurit yang sedang berangkat ke medan
perang? Mungkin daerah pertempuran yang kau jumpai jauh lebih luas dari
daerah peperangan. Mungkin musuh yang kau jumpai pun jauh lebih banyak
dari musuh setiap prajurit dolan peperangan."
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Kemudian katanya, "Nah, Selamat tinggal
Wiraprana, selamat tinggal sahabat-sahabat yang lain. Sampaikan salamku
kepada mereka."
Wiraprana mengangguk, dan Mahisa Agni pun kemudian memutar tubuhnya, dan
berjalan dengan hati yang tetap meninggalkan padukuhan yang telah
bertahun-tahun didiaminya.
Ketika Mahisa Agni menengadahkan wajahnya, memandang langit yang biru
bersih, dilihatnya burung-burung manyar beterbangan. Awan yang putih
sehelai-sehelai hanyut dalam arus angin yang lembut.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya di sekitarnya, alam
yang maha luas. Pepohonan, burung-burung di udara, air dan
binatang-binatang di dalamnya, rumput dan perdu. Terasalah betapa tangan
yang Maha Agung telah memelihara semuanya itu. Dan karena itulah maka
Mahisa Agni menjadi semakin berbesar hati. Ternyata di segala sudut
bumi, di antara hutan-hutan belukar, di antara lembah dan ngarai, di
segala tempat, bahkan di manapun yang diangan-angankannya, hadirlah Yang
Maha Agung itu. Dan pada-Nya Mahisa Agni memperoleh ketenteraman.
Mahisa Agni berjalan terus dengan cepat. Tujuannya adalah ukup jauh,
sehingga setiap saat harus dimanfaatkannya. Ketika ia berpaling,
lamat-lamat dilihatnya padukuhan Panawijen. Anak muda itu menarik nafas
dalam. Padukuhan itu seakan-akan melambai kepadanya. Tanpa sesadarnya
Mahisa Agni mengangguk-angguk. "Aku akan segera kembali padamu
Panawijen.
Tetapi tiba-tiba terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa Agni. Mahisa
Agni sendiri terkejut karenanya. Ketika ia memandang berkeliling tak
dilihatnya apa pun, selain dataran, sawah yang sudah semakin tipis,
pepohonan dan di kejauhan gunung yang biru.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Tetapi kemudian dihiburnya hatinya
sendiri. "Ah, alangkah cengengnya aku ini. Aku adalah seorang laki-laki
yang dewasa. Sudah sepantasnya aku melakukan perjalanan-perjalanan yang
berbahaya."
Namun terdengar suara di hatinya, "Aku tidak mencemaskan perjalanan ini,
tetapi justru mencemaskan nasib Panawijen, nasib Ken Dedes."
Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahisa Agni teringat pada mimpinya
beberapa waktu yang lalu. Mimpinya tentang Ken Dedes yang meloncat ke
dalam sebuah perahu. Namun akhirnya, baik Ken Dedes sendiri mau pun
perahunya tenggelam ditelan oleh ombak yang ganas.
Mahisa Agni tiba-tiba menggeram. Namun kemudian diingatnya pula gurunya
berkata, "Mimpimu adalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur,
Agni."
"Mudah-mudahan," gumamnya, "mudah-mudahan mimpiku hanyalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur."
Meskipun demikian ia masih menjadi gelisah karenanya. Bahkan tiba-tiba timbullah keinginannya untuk kembali ke Panawijen.
"Hambatan yang pertama," katanya menggeram, "memang hambatan yang paling
sulit di atasi, adalah hambatan- hambatan yang timbul dari diri
sendiri."
Karena itu, segera Agni berusaha untuk membulatkan tekadnya kembali.
Digelengkan kepalanya seperti akan melepaskan setiap kenangan yang akan
dapat menghambatnya. Dan kembali Mahisa Agni berjalan cepat-cepat
menjauhi Panawijen.
Matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi, dan Mahisa Agni pun
semakin lama menjadi semakin jauh dari desanya. Kini telah dilampauinya
daerah-daerah persawahan yang paling jauh sekali pun. Di hadapannya
terbentang sebuah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-gerumbul
perdu.
Mahisa Agni pun masih berjalan terus. Ia dapat menempuh jalan yang
berbeda-beda. Yang mana pun tak ada bedanya. Namun arahnyalah yang harus
dijaganya supaya ia tidak tersesat. Gunung Semeru. Dan ia harus
melingkari Gunung itu dan mencapai kakinya dari arah timur. Ia tidak
tahu berapa hari perjalanannya itu berlangsung.
Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin berjalan lewat padang rumput
Karautan. Ia tidak tahu, kenapa padang rumput itu menariknya. Sebenarnya
ia dapat menempuh jalan lain, lewat Talrampak atau Kaligeneng. Meskipun
telah diketahuinya bahwa kini hantu yang bernama Ken Arok itu telah
tidak ada di sana, namun sebuah kenangan yang aneh telah menariknya.
Sebelum Mahisa Agni menyadari, ia telah berjalan menurut jalan ke padang
rumput Karautan. Meskipun betapa panasnya. Ditaruhnya bungkusan
bekalnya di atas kepalanya, untuk mengurangi panas yang seakan-akan
membakar rambutnya.
Tetapi padang rumput itu tampaknya masih sepi. Jalan yang menjelujur di
antaranya masih belum tampak banyak dilewati orang, bahkan masih
ditumbuhi oleh rumput-rumput liar. Hanya rombongan- rombongan yang
besarlah yang berani lewat di padang rumput itu.
"Jalan ini sebenarnya sudah aman," gumamnya, "tetapi belum juga banyak
orang yang berani lewat di sini. Ah, mungkin para pedagang masih
meragukan kebenaran berita, bahwa hantu Karautan telah berpindah
tempat." Agni tersenyum sendiri. Alangkah lucunya seandainya ia sendiri
menggantikannya di sini. "Kalau saat itu aku bunuh Ken Arok, mungkin
sekali aku menjadi penghuni di padang rumput ini."
Tetapi kini padang rumput itu telah tidak menakutkan lagi. Meskipun
masih terlalu sepi. Mahisa Agni berjalan dengan langkah yang cepat dan
tetap. Matahari yang terik semakin lama telah semakin condong ke barat.
Sebuah kenangan yang aneh telah menyentuh perasaan Mahisa Agni ketika ia
berjalan di antara gerumbul-gerumbul di mana hantu Karautan sering
bersembunyi. Di antara gerumbul-gerumbul itu pulalah ia mendengar Ken
Arok berkata kepadanya, bahwa jalan yang benar itu terlalu sempit dan
jelek, sedang jalan ke arah yang salah itu selalu licin dan lapang.
"Hem," Mahisa Agni menarik nafas. Kata-kata itu disimpannya di dalam hatinya.
Akhirnya, ketika senja turun, Mahisa Agni telah melampaui padang rumput
yang sepi itu. Dilewatinya beberapa buah padukuhan kecil dan akhirnya ia
sampai ke tepi sebuah hutan yang rindang. Hutan yang setiap hari
dikunjungi orang yang sedang mencari kayu. Di situlah Mahisa Agni
berhasrat untuk beristirahat. Hutan itu telah sering dilewatinya dengan
gurunya. Dengan setiap kali ia pergi ke daerah-daerah yang agak jauh
bersama gurunya, maka diajarinya ia mencari tempat-tempat untuk
bermalam.
Demikianlah Mahisa Agni telah melampaui perjalanannya untuk satu hari.
Namun apa yang dicapainya barulah sebuah permulaan yang pendek. Di
hadapannya masih terbentang perjalanan yang berlipat-lipat jauhnya.
Malam itu Mahisa Agni tidur dengan nyenyaknya. Perjalanan itu
seakan-akan betapa lancarnya. Di pagi harinya, dengan sebuah bandil Agni
berusaha untuk berburu binatang. Dan ternyata Agni adalah seorang anak
muda yang tangkas. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia telah
mendapatkan buruannya untuk makan paginya.
Demikianlah, Agni melampauinya hari demi hari. Perjalanannya semakin
lama menjadi semakin berat. Hutan yang kadang- kadang sedemikian
rapatnya ditumbuhi oleh segala jenis tumbuh- tumbuhan. Sungai-sungai
yang deras dan apa pun yang melintang di hadapannya.
Tetapi di samping itu perjalanan Agni pun tidak sepi dari
persoalan-persoalan yang sudah diduganya sejak semula. Binatang buas,
dan orang-orang jahat yang dijumpainya. Namun karena ketabahan hatinya,
satu demi satu semuanya berhasil diatasinya.
Akhirnya, sampailah pada suatu ketika, Mahisa Agni mencapai kaki Gunung
Semeru. Kaki gunung yang tak terkirakan tingginya. Hutan-hutan yang
padat tumbuh melingkarinya.
Ketika dilihatnya pohon-pohon raksasa yang tumbuh di hutan-hutan itu,
serta daun-daunnya yang menjulang ke langit, Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Telah banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di
perjalanan. Telah banyak penderitaan yang dialami. Namun kini keadaan
yang terakhir terbentang di hadapannya. Apakah ia akan berhasil menempuh
ujiannya?
Mahisa Agni berhenti sejenak. Ditatapnya gunung yang tegak di
hadapannya. Pohon-pohonan yang seakan-akan mendaki tebingnya.
Perlahan-lahan namun pasti, akhirnya sampai juga menutupi lambung bukit
itu.
Tetapi perjalanannya masih belum akan berhenti. Meskipun gunung itu
seakan-akan telah tegak di hadapannya, namun perjalanan yang harus
ditempuhnya masih jauh. Apalagi ia harus menemukan sebuah rawa-rawa di
lereng sebelah timur gunung itu. Sehingga dengan demikian ia masih harus
berjalan melingkar.
Kembali Mahisa Agni melangkahkan kakinya. Kini ia tidak berjalan terlalu
cepat. Perlahan-lahan, sedang berbagai persoalan membelit hatinya. Ia
merasa, betapa kecil dirinya di antara pohon-pohon raksasa, batu-batu
besar dan gunung yang menjulang itu. Dan betapa kecil pula dirinya,
lebih-lebih lagi dihadapkan kepada yang telah menciptakan alam ini.
Namun, betapa pun juga, Mahisa Agni merasa bersyukur bahwa sebagian
perjalanannya telah dilampauinya. Jarak yang ditempuhnya telah melampaui
jarak yang akan dilaluinya.
Kini Mahisa Agni mencoba untuk menghindari hutan-hutan yang lebat itu,
meskipun jaraknya menjadi agak jauh. Diselusupnya daerah-daerah yang
tidak begitu padat, yang tidak terlalu sulit dilaluinya. Meskipun
jaraknya makin jauh, namun dengan demikian ia mengharap, perjalanannya
menjadi semakin cepat.
Di daerah- daerah yang demikian, Mahisa Agni tidak melupakan pesan
gurunya. Setiap saat ia akan dapat digigil ular-ular kecil yang
berkeliaran di tanah, dan serangga- serangga yang berbisa. Karena itu,
tubuhnya dilumurinya dengan param pemberian Empu Purwa. Sekali ia
merasakan pula, sentuhan-sentuhan pada tubuhnya oleh binatang-binatang
kecil. Namun binatang-binatang itu segera meloncat menghindar. Mungkin
di dalam ramuan param itu, terdapat berbagai ramuan yang tak disukai
oleh jenis-jenis serangga berbisa.
Setelah Mahisa Agni bermalam satu malam lagi, sampailah ia di daerah
sebelah timur Gunung Semeru. Dilewatinya padang- padang rumput dan
perdu, kemudian Mahisa Agni menarik nafas, ketika ia sampai pada suatu
daerah yang berpenghuni. Dilihatnya ladang- ladang hijau ditumbuhi oleh
berbagai tanaman. Meskipun sama sekali kurang teratur, namun Agni yakin,
bahwa tanaman-tanaman itu ditanam orang.
Dugaannya ternyata benar. Tidak sedemikian jauh lagi, dilihatnya sebuah
padukuhan kecil. Padukuhan yang dipagari oleh pagar batu setinggi orang.
Rumah-rumah kecil dan batang-batang semboja di halaman. Tempat-tempat
sesajen dan kandang-kandang sederhana.
Ketika Mahisa Agni menghampiri padukuhan itu, dilihatnya beberapa orang
laki-laki dan perempuan lagi sibuk bekerja di halaman masing-masing, di
ladang-ladang dan di sawah-sawah.
"Penduduk yang rajin," katanya di dalam hati.
Ketika mereka melihat kedatangan Mahisa Agni, tampaklah keheranan
membayang di wajah mereka. Mereka satu dengan yang lain saling
berpandangan, seakan-akan mereka ingin bertanya, "Siapakah orang asing
yang datang ini?"
Dengan demikian Mahisa Agni mengetahuinya, bahwa daerah ini adalah daerah yang jarang-jarang didatangi orang lain.
Meskipun demikian, Mahisa Agni pun telah memaksa dirinya untuk mendekati
salah seorang di antaranya. Ia ingin menanyakan apakah di sekitar
daerah itu terdapat sebuah rawa-rawa seperti yang pernah dilihatnya
dahulu.
Tetapi, sudah barang tentu Mahisa Agni tidak dapat bertanya berterus
terang. Sebab selalu diingatnya pula gurunya berkata, bahwa jangan
seorang pun yang tahu akan kedatangannya ke gua di lereng gundul Gunung
Semeru itu.
Orang yang di dekati oleh Mahisa Agni adalah seorang tua, berambut putih
dan berjenggot putih. Dengan sinar mata yang keheran-heranan ia
memandang Mahisa Agni dari ujung kepalanya sampai ke ujung kakinya.
Serta ketika Mahisa Agni mengangguk hormat padanya, maka dengan
tergopoh-gopoh orang itu pun menganggukkan kepalanya pula.
"Bapak," berkata Mahisa Agni kemudian, "apakah aku dapat bertanya kepada Bapak?"
Orang tua itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab dengan serta-merta, "Tentu,tentu Ngger, tentu."
Mahisa Agni menarik nafas. Melihat sikap orang tua ini, maka segera
Mahisa Agni menduga, bahwa penduduk padukuhan ini, atau setidak-tidaknya
orang tua itu adalah seorang yang ramah. Karena itu maka ia bertanya,
"Apakah aku boleh mengetahui Bapak, apakah nama padukuhan ini?"
"Tentu Ngger," jawab orang itu pula, kemudian katanya meneruskan, "nama padukuhan ini adalah Padukuhan Kajar."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dicobanya untuk
mengingat-ingat, apakah beberapa tahun yang lampau, dilaluinya juga
Padukuhan Kajar ini? Tetapi nama itu belum pernah didengarnya, dan
agaknya daerah ini pun belum pernah dilihatnya.
Sebelum Mahisa Agni bertanya lagi, terdengarlah orang tua itu berkata,
"Siapakah Angger ini? Dari mana atau ke manakah tujuan Angger?"
"Namaku Mahisa Agni, Bapak," jawab Agni, "aku datang dari daerah yang jauh. Dari kaki Gunung Kawi."
"Oh," orang tua itu terkejut, "alangkah jauhnya." Tetapi kemudian orang
itu tersenyum, "Ah, tidak begitu jauh. Seseorang pernah lewat di
padukuhan ini. Ketika kami tanyakan kepadanya, dari mana ia datang,
katanya ia datang dari kaki Gunung Merapi."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Gunung Merapi terletak jauh sebelah
barat dari Gunung Kawi. Tiba-tiba ia tertarik pada keterangan itu,
sehingga ia bertanya, "Siapakah orang itu Bapak?"
Orang itu mencoba mengingat-ingat, namun beberapa saat ia belum juga
menjawab. Akhirnya ia berkata, "Aku telah tidak ingat lagi namanya."
"Apakah keperluannya?" bertanya Mahisa Agni.
Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, katanya, "Tak seorang pun
yang mengetahuinya. Ia hanya lewat dan lenyap lagi dari antara kita."
"Kapankah itu terjadi?" bertanya Mahisa Agni pula.
"Belum lama. Tiga hari yang lampau?"
Dada Mahisa Agni tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Tiga hari yang
lampau. "Apakah tak ditanyakan sesuatu kepada Bapak atau kepada
seseorang?"
Orang tua itu menggeleng. "Tidak," katanya.
Mahisa Agni tiba-tiba mencoba menghubungkan kedatangan orang itu dengan
akar wregu di dalam gua seperti yang ditunjukkan gurunya. Tetapi ia
tidak dapat menanyakannya kepada orang tua itu. yang ditanyakan kemudian
adalah, "Ke manakah orang itu pergi Bapak?"
"Ke selatan," jawabnya.
"Sampai ke manakah jalan yang ke selatan ini?" bertanya Mahisa Agni.
"Jalan itu buntu, Ngger," jawab orang itu.
"Lalu ke manakah orang dari kaki Gunung Merapi itu pergi?"
Orang tua itu menggeleng. Katanya, "Entahlah. Yang kami ketahui jalan ke selatan ini akan menuju ke rawa-rawa."
"Ke rawa-rawa?" Mahisa Agni mengulang.
Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian menjadi heran. Mahisa Agni ternyata menaruh minat pada keterangannya.
"Apakah rawa-rawa itu masih jauh?"
"Tidak terlalu jauh," jawabnya, "tidak sampai sehari Angger akan sampai ke rawa-rawa itu."
Dahi Mahisa Agni pun kemudian tampak berkerut-kerut. Orang dari Gunung
Merapi itu benar-benar menarik perhatiannya. "Ah, mudah-mudahan orang
itu mempunyai keperluan yang lain," katanya di dalam hati.
Kemudian terdengar Mahisa Agni bertanya pula, "Bapak, apakah masih ada padukuhan lain di sekitar padukuhan ini?"
"Ada Ngger. Di sebelah utara," jawab orang itu.
"Yang lebih dekat di bawah kaki Gunung Semeru?"
Orang itu menggeleng. Jawabnya, "Hutan itu masih terlampau padat. Tak
seorang pun yang ingin menebangnya. Di daerah-daerah lain, tanah masih
berlimpah-limpah."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Baiklah
Bapak. Aku hanya ingin lewat di padukuhan ini. Lima enam hari lagi,
mungkin aku akan kembali lewat jalan ini pula."
Orang tua itu pun menjadi bertambah heran. Katanya, "Apakah Angger juga akan pergi ke selatan?"
Mahisa Agni mengangguk.
"Ke rawa-rawa itu?"
Mahisa Agni ragu-ragu sebentar. Namun kemudian ia mengangguk pula sambil menjawab, "Aku hanya ingin melihat rawa itu."
Tampaklah sinar mata yang aneh memancar dari wajah orang tua itu.
Gumamnya, "Aneh. Rawa itu sangat berbahaya. Banyak binatang-binatang
berbisa di sekitarnya. Dan tak ada sesuatu yang menarik untuk dilihat."
"Apakah Bapak pernah mengunjungi rawa itu?"
"Tentu. Setiap laki-laki di daerah ini harus mengenal daerah-daerah di
sekitarnya. Aku pernah juga mendaki kaki gunung itu meskipun begitu
tinggi. Tetapi seperti yang aku katakan, bagi Angger, tak ada yang dapat
menarik perhatian."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Terima
kasih, Bapak. Mungkin tak ada yang akan menarik perhatian setelah aku
melihatnya. Namun aku ingin membuktikannya."
Orang tua itu pun menjadi bertambah heran. Katanya pula, "Angger hanya
akan membuang-buang waktu saja. Atau apakah Angger mengenal orang dari
Gunung Merapi itu?"
Mahisa Agni menggeleng. "Tidak," jawabnya, "Aku sama sekali tidak
mempunyai kepentingan dengan orang itu, juga dengan rawa-rawa di sebelah
selatan. Aku adalah seorang perantau. Aku hanya ingin melihat apa
saja."
"Aneh," gumam orang tua itu, "Tetapi terserahlah kepada Angger. Namun
kami, penduduk Kajar, ingin mempersilakan Angger untuk mampir di
padukuhan kami."
Mahisa Agni mengangguk. Katanya, "Terima kasih Bapak. Nanti apabila aku kembali."
Orang tua itu tidak berhasil mempersilakan Agni untuk singgah di
kampungnya. Mahisa Agni tiba-tiba menjadi tergesa-gesa. Orang yang lewat
tiga hari yang lalu sangat mempengaruhi perasaannya. "Adakah orang lain
yang pernah mendengar pula tentang akar wregu yang berwarna putih itu?"
katanya di dalam hati.
Karena itu dengan tergesa-gesa Mahisa Agni meneruskan perjalanannya lurus ke selatan.
Tiba-tiba setelah ia berjalan beberapa lama, segera ia tertegun.
Dilihatnya sebuah sungai yang curam menjalar di tepi jalan setapak yang
semakin lama menjadi semakin sempit. Dilihatnya pula sebatang pohon
mahoni raksasa di tepi lereng sungai yang curam itu. Dan tiba-tiba saja
tumbuh kembali dalam ingatannya. Daerah ini pernah dilihatnya. Dengan
serta-merta ia meloncat ke bawah pohon Mahoni raksasa itu. Beberapa
tahun lampau ia pernah menggoreskan pedang pada batang mahoni itu. Dan
Mahisa Agni tersenyum. Dilihatnya goresan bersilang itu masih ada,
meskipun tidak begitu jelas lagi. Namun ia masih melihat dan
mengingatnya. Goresan bersilang itu telah dibuatnya dengan pedangnya.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditepuk-tepuknya batang
mahoni raksasa itu seakan-akan menepuk pundak seorang sahabat yang telah
bertahun-tahun tak berjumpa. Pohon mahoni itu ternyata telah mengungkap
segenap ingatannya kembali. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya
batang-batang pohon raksasa yang pernah dilihatnya dahulu.
"Ah," gumamnya seorang diri, "aku telah mengambil jalan yang lain. Dahulu aku sampai ke tempat ini dari jurusan yang berbeda."
Dan suaranya itu disaut oleh gemeresik daun-daun kering yang berjatuhan
dihembus angin yang semakin lama menjadi semakin keras. Sejalan dengan
kegembiraan itu, maka Mahisa Agni pun mengucap syukur di dalam hatinya
kepada Yang Maha Agung. Jalan yang akan ditempuhnya sudah tidak begitu
sulit lagi dicarinya.
Kemudian Mahisa Agni pun segera berjalan kembali. Satu-satu masih dapat
dikenalnya. Batu-batu besar, pohon-pohon raksasa. Lereng-lereng yang
curam dan beberapa macam benda yang lain.
"Belum banyak perubahan yang terjadi," katanya kepada diri sendiri,
"Mudah-mudahan rawa-rawa dan batu karang itu masih ada di tempatnya
pula."
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar ketika akhirnya terasa tanah di
bawah kakinya semakin lama menjadi semakin basah. Dilihatnya beberapa
jenis tumbuh-tumbuhan air telah banyak bertebaran di antara
rumput-rumput dan pohon-pohon perdu yang tumbuh di antara batang-batang
raksasa. Dan hutan pun menjadi semakin lama semakin padat.
Tetapi kalau ia berjalan ke arah yang benar, maka ia akan sampai ke
daerah rawa-rawa. Daerah yang menampung arus sungai di lereng timur
Gunung Semeru.
Perjalanan Mahisa Agni pun semakin dipercepat. Meskipun tumbuh-tumbuhan
menjadi semakin padat, namun dengan tekad yang menyala, semuanya itu
sama sekali tidak memperlambat perjalanannya. Sehingga ketika matahari
telah hampir tenggelam, maka sampailah Mahisa Agni di tempat yang dapat
dipergunakannya sebagai ancar-ancar untuk menemukan titik tujuannya.
Mahisa Agni menjadi semakin gembira, ketika dalam keremangan senja
dilihatnya sebuah bayangan yang kehitam-hitaman. Kini Mahisa Agni
menjadi semakin tidak sabar lagi. Meskipun matahari telah lenyap di
balik gunung, namun Mahisa Agni sama sekali tidak menghiraukannya.
Bahkan ia kemudian berlari-lari kecil, melompati pohon-pohon perdu dan
menyusup batang-batang menjalar yang tersangkut, di pepohonan. Semakin
dekat, menjadi semakin jelaslah, bahwa bayangan raksasa yang
kehitam-hitaman di tengah rawa-rawa itu adalah sebuah batu padas yang
menjulang ke atas, seakan-akan batu karang yang kokoh di tengah-tengah
lautan.
Mahisa Agni menarik nafas. Sekali lagi ia bersyukur di dalam hatinya.
Kini jalan yang harus ditempuhnya tidak begitu jauh lagi. Ia harus
menyusur tepi-tepi rawa ke arah barat. Dan nanti akan ditemuinya sebuah
lereng yang gundul, seakan-akan sebuah dinding raksasa yang membatasi
dua dunia yang berlainan.
Tetapi tiba-tiba diingatnya kembali pesan gurunya. Seterusnya ia harus
berjalan malam hari. Banyak alasan yang menyebabkan gurunya berpekan
demikian kepadanya. Dan ia pun percaya sepenuhnya, bahwa apabila tak ada
sesuatu yang sedemikian pentingnya, maka tak akan gurunya berpesan
demikian kepadanya.
Ketika Mahisa Agni menebarkan pandangannya, dilihatnya daerah sekitarnya
pun menjadi semakin kelam. Bahkan kemudian warna-warna yang hitam
seakan-akan turun dari langit menyelimuti seluruh permukaan bumi.
Namun Mahisa Agni masih ingin beristirahat. Duduklah ia di atas sebuah
batu yang cukup besar. Diurainya bungkusan bekalnya. Masih ditemukannya
beberapa jenis buah-buahan yang didapatnya di perjalanannya.
"Sebentar lagi aku harus berjalan kembali," katanya di dalam hati,
"kalau aku beristirahat malam ini, maka ini berarti bahwa malam besok
aku baru dapat berjalan kembali. Dengan demikian aku akan banyak
kehilangan waktu."
Dan kembali hatinya berdesir ketika diingatnya kata-kata orang tua di
Kajar, bahwa seseorang telah berjalan ke rawa-rawa ini tiga hari yang
lalu. "Apakah orang itu juga akan mengambil akar wregu di gua itu?"
Pertanyaan itu melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dan karena itu maka
tiba-tiba Agni berdiri. Katanya, "Ah aku harus berangkat sekarang."
Sekali lagi Mahisa Agni menebarkan pandangannya berkeliling. Gelap dan
yang dilihatnya hanyalah warna-warna hitam, seakan-akan dunianya telah
dibatasi oleh dinding hitam kelam.
Mahisa Agni itu pun kemudian membenahi bungkusan-bungkusannya kembali.
Kini bungkusan itu tidak disangkutkannya lagi di tongkatnya.
Dipergunakannya tongkatnya untuk meraba-raba jalan yang akan dilaluinya.
"Ah," desahnya, "aku rasa jalan sudah tidak terlampau jauh. Namun
gelapnya bukan main. Mudah-mudahan sebelum pagi aku telah mencapai
dinding gundul itu."
Mahisa Agni pun kemudian mulai melangkahkan kakinya kembali. Perasaan
penatnya tiba-tiba tersapu oleh kegelisahannya. Gelisah karena seseorang
pun telah pergi ke daerah rawa-rawa ini.
"Kalau orang itu pergi juga ke gua itu, maka pasti ia belum kembali. Aku
sangka, ia pun akan kembali lewat jalan ini, sebagaimana ia datang,"
katanya di dalam hati untuk menghibur kegelisahannya sendiri.
Sementara itu, setapak demi setapak Mahisa Agni itu maju juga. Alangkah
sulitnya berjalan di malam hari di daerah-daerah yang hampir tak
dikenalnya. Untunglah bahwa gurunya telah membekalinya dengan sejenis
param yang dapat menghalau binatang berbisa dari tubuhnya.
Malam itu kelamnya bukan main. Seleret ia melihat bayangan
bintang-bintang dan sinar dari kutub yang dipantulkan oleh wajah air
rawa yang kotor. Selebihnya hitam.
Namun Mahisa Agni mencoba untuk tidak tersesat. Ia berusaha berjalan
sepanjang pinggir rawa-rawa yang tidak begitu dapat ditumbuhi pepohonan.
Bahkan kemudian sampailah ia di satu dataran yang luas, yang hanya
ditumbuhi oleh rumput liar dan beberapa jenis perdu.
"Tetapi," katanya kemudian, "daerah seberang padang rumput ini adalah
daerah yang terjal. Aku harus sangat berhati-hati, supaya aku tidak
terguling masuk ke dalam rawa."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. "Suasana ujian yang berat,"
gumamnya. Namun hatinya yang bulat itu sama sekali tak tergerak oleh
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Sebab sadar, bahwa taruhannya pun
sangat berharga.
Kemudian katanya kepada diri sendiri, "Apakah aku akan dapat mencapai lereng gundul itu sebelum pagi?"
Kemudian dijawabnya sendiri, "Aku tidak perlu tergesa-gesa. Besok atau lusa tak ada bedanya."
"Tetapi orang yang lewat tiga hari yang lalu itu?" terdengar sebuah
pertanyaan di sudut hatinya. Karena itu, maka kegelisahan di hati Mahisa
Agni menjadi semakin melonjak-lonjak. Dan karena itu, ia berusaha untuk
mempercepat langkahnya.
"Kalau orang itu pergi juga ke sana," katanya di dalam hati, "semoga aku sempat menyusulnya."
Dan Mahisa Agni pun berusaha untuk berjalan lebih cepat. Dilihat
bintang- bintang di langit supaya ia tetap pada arahnya. Bintang Gubug
Penceng yang menolongnya menentukan arah perjalanannya.
Tetapi tiba-tiba langkah Mahisa Agni terhenti. Perlahan-lahan ia
mendengar gemeresik daun di dalam gerumbul perdu. Mahisa Agni mencoba
untuk mempertajam pendengarannya. Dan gemeresik itu didengarnya kembali.
Ketika ia memandang daun-daun di sekitarnya, ternyata angin tidak cukup
kencang untuk menimbulkan bunyi itu, sehingga segera diketahuinya bahwa
pasti ada sesuatu di dalam gerumbul itu. Binatang atau manusia.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun segera bersiaga untuk menghadapi setiap
kemungkinan yang dapat datang. Kalau yang bersembunyi itu binatang,
maka akan sangat menggelikan sekali. Namun ingatannya sealu saja
tersangkut kepada orang yang lewat tiga hari yang lalu di daerah ini.
Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba didengarnya sebuah suara
yang aneh. Namun kemudian ia pasti, suara itu adalah suara seseorang
yang sedang mengerang. Maka, dengan gerak naluriah Mahisa Agni segera
meletakkan bungkusannya dan bersiaga untuk menghadapi setiap
kemungkinan.
Sesaat kemudian meledaklah suara tertawa dari dalam gerumbul itu.
Semakin lama semakin jelas. Nadanya tinggi melengking memekakkan
telinga. Semakin lama suara itu menjadi semakin keras. Bahkan kemudian
terasa seperti menghentak-hentak pada Mahisa Agni. Dengan demikian
Mahisa Agni pun harus memusatkan segenap daya tahannya. Lahir dan batin
untuk melawan suara tertawa itu. Suara yang pengaruhnya seakan-akan
dapat mengguncangkan kesadarannya.
Dengan mendengar suara itu Mahisa Agni segera dapat meraba-raba betapa
berbahayanya orang yang bersembunyi itu. Suara tertawanya sudah mampu
mengguncangkan dadanya tanpa menyentuhnya. Apalagi tangannya. Namun
Mahisa Agni telah dibekali dengan berbagai ilmu oleh gurunya, sehingga
dengan demikian, maka betapa pun ia masih mampu untuk mempertahankan
kesadaran dan keseimbangan perasaannya. Bahkan kemudian terdengar Mahisa
Agni itu berkata lantang, "Ah tuan ternyata menunggu aku di sini."
Suara tertawa itu tiba-tiba berhenti. Dan meloncatlah dari dalam
gerumbul itu sebuah bayangan hitam yang tidak begitu jelas di dalam
malam yang kelam. Namun Mahisa Agni masih juga dapat melihat ujud dan
bentuk rubuh itu. Tidak terlalu tinggi, namun tampaknya dadanya lebar
dan perutnya besar. Tetapi ia tidak dapat melihat tubuh itu dengan
jelas. Yang terdengar kemudian orang itu berkata dengan suaranya yang
parau, "He, akhirnya kau lewat juga di sini setelah berbulan-bulan aku
menunggumu."
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata orang itu. Berbulan-bulan ia
menunggu. Dengan demikian maka orang ini sama sekali bukan orang yang
digelisahkannya, yang tiga hari yang lampau berjalan mendahuluinya.
Meskipun demikian Mahisa Agni masih harus mencoba mengetahui, siapakah
yang sedang dihadapinya itu.
Orang itu, yang baru saja meloncat dari dalam gerumbul itu, kemudian
berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Dalam malam yang gelap itu, jelas
dapat dilihat oleh Mahisa Agni bahwa orang itu berjalan agak timpang.
Meskipun demikian nampaknya orang timpang, itu cukup tangkas dan lincah.
Beberapa langkah di hadapan Mahisa Agni, orang timpang itu berhenti.
Ditatapnya wajah Agni dan kemudian dengan suaranya yang parau ia
bertanya, "Nah, anak muda. Akhirnya kau datang juga."
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar mendengar sapa itu. Jawabnya, "Apakah kau sedang menunggu seseorang di sini?"
"Ah, jangan berpura-pura. Aku sudah menunggumu sejak berbulan-bulan yang
lalu. Hampir aku menjadi putus asa. Namun akhirnya kau datang juga,"
sahut orang timpang itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian tiba-tiba ia berkata
menyentak, "Jangan bohong! Kau baru tiga hari datang di tempat ini.
Bukankah kau baru datang dari Gunung Merapi?"
Orang timpang itu terkejut. Sesaat ia berdiam diri. Namun tiba-tiba
terdengar kemudian tawanya berderai. Jawabnya, "Jangan mengada-ada.
Apakah kau sedang bermimpi?"
Mahisa Agni pun tertawa. Ia tidak mau tenggelam dalam pembicaraan yang
melingkar-lingkar, yang seakan-akan ingin menyeretnya dalam persoalan
yang tak dimengertinya. "Orang ini sedang menjebak aku," katanya di
dalam hati. Karena itu ia menjawab, "Apakah kau melihat aku sedang
tidur?"
Orang timpang itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia menatap wajah
Mahisa Agni dengan seksama. Gumamnya, "Sayang, malam begini gelap. Namun
aku dapat menduga bahwa kau adalah seorang anak muda yang tampan.
Siapakah namamu?"
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia menjadi ragu-ragu sejenak. Apakah
orang itu perlu mengetahui namanya? Maka sebelum persoalannya menjadi
jelas, maka ia tidak ingin menyebut namanya. Karena itu ia tidak
menjawab pertanyaan orang timpang itu, bahkan terdengar ia bertanya,
"Siapakah kau?"
Orang itu menjadi heran mendengar pertanyaan Agni. Katanya, "He, anak
muda. Kau benar-benar tidak mengenal sopan santun pergaulan. Meskipun
telah berbulan-bulan aku menyingkir dari pergaulan, namun aku masih
menerapkannya. Apakah kau sangka meskipun di dalam rimba yang sepi ini,
di antara kita, manusia-manusia ini, sudah tidak perlu lagi tata
kesopanan?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tertawa pendek ia
menjawab, "Apakah kau memperkenalkan dirimu dengan sopan kepadaku?
Apakah suara tertawamu itu pun menunjukkan tata pergaulan orang-orang
beradab? Ki Sanak, aku telah mencoba menyesuaikan diriku dengan caramu
menyambut kedatanganku."
Terdengar orang timpang itu menggeram. Suaranya yang parau menjadi
semakin parau. Dalam keremangan malam itu, semakin lama Mahisa Agni
menjadi semakin jelas melihat wajah orang timpang itu. Wajahnya pun
agaknya telah berkerut-kerut dan beberapa bagian tampaknya telah menjadi
cacat.
"Hem," sahut orang timpang itu, "jangan terlalu sombong."
"Tidak," jawab Agni, "pertemuan kita adalah pertemuan yang aneh. Apakah
dalam pertemuan yang demikian kau perlu mengenal namaku? Kalau kau
merasa, bahwa kedatangan seseorang yang telah kau tunggu-tunggu, maka
aku sangka kau telah mengenal aku."
"Kau memang pandai berbicara anak muda," berkata orang timpang itu,
"tetapi kepandaianmu berbicara belum mencerminkan kejantananmu, meskipun
aku yakin, bahwa kau pasti bukan orang kebanyakan. Ternyata kau telah
berani penempuh perjalanan ini."
"Nah, sekarang katakan, apa perlumu?" bertanya Agni tiba-tiba.
Kembali orang itu terkejut. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian ia menjawab, "Kau belum menjawab, siapa namamu."
"Pertanyaanmu tak akan kujawab. Kau pun menyembunyikan beberapa
persoalan. Kau sama sekali belum lama berada di daerah ini. Kenapa kau
katakan telah berbulan-bulan."
"Aku memang telah berbulan-bulan berada di tempat ini. Ketahuilah, orang
yang kau katakan, yang datang tiga hari yang lampau ke daerah ini, dan
datang dari Gunung Merapi itu, selamanya tidak akan kembali lagi."
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar jawaban itu. Matanya tiba-tiba
menjadi semakin tajam memandang wajah orang timpang yang menyeramkan
ini. Dan tiba-tiba saja, Mahisa Agni telah bersiap menghadapi setiap
kemungkinan. Yang terdengar kemudian ia bertanya, "Ke mana orang itu?"
"Orang itu pun terlalu sombong seperti kau. Ia tidak mau menyebut
namanya, selain asalnya itu, dari Gunung Merapi. Nah, sekarang tak
seorang pun yang tahu, mayat siapakah yang telah terapung-apung di
rawa-rawa itu."
"Orang itu kau bunuh?"
"Ya. Ia menjengkelkan sekali seperti kau."
"Hanya karena itu sudah cukup alasan bagimu untuk membunuh?"
"Tentu. Orang itu tidak mau menjawab pertanyaanku. Karena itu, aku
menyangka bahwa orang itulah yang aku tunggu-tunggu selama ini. Namun
akhirnya setelah orang itu mati, ternyata yang aku cari tak ada
padanya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Orang ini agaknya benar-benar
orang yang telah menjadi buas. Namun ia masih bertanya, "Apakah
sebenarnya yang kau cari?"
"Baik, aku akan memberitahukan kepadamu. Tetapi kalau bersikap seperti
orang Gunung Merapi itu kau pun akan mengalami nasib yang sama," orang
itu berhenti sejenak. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, "Kau datang dari
mana?"
Mahisa Agni berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,Aku datang dari kaki Gunung Kawi."
"Hem," gumam orang itu, "orang-orang dari berbagai gunung datang ke kaki
Gunung Semeru. Nah, sekarang katakan kepadaku, apakah kau akan
mengambil akar di dalam gua di lereng itu?"
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Mahisa Agni. Ternyata bahwa
selain gurunya ada orang lain yang mengetahui akar wregu putih di dalam
gua tersebut. Namun Mahisa Agni bukan menjadi bingung karenanya.
Jawabnya, "Apakah orang yang kau bunuh itu juga mencari benda yang
kausebutkan itu?"
—–
"Orang itu kau bunuh?"
"Ya, ya menjengkelkan sekali seperti kau."
"Hanya karena itu sudah cukup alasan bagimu untuk membunuh?"
—–
"Jangan membuat aku marah!" bentak orang itu, "Kau tidak pernah menjawab
pertanyaanku. Kau selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Sekarang jawab pertanyaanku, apakah kau juga sedang mencari akar wregu
putih itu?"
"Kau juga jangan membuat aku marah," jawab Agni dengan berani.
Perjalanan telah ditempuh sekian lamanya. Kini gua itu sudah di depan
hidungnya. Karena itu, apa pun yang akan dihadapinya ia tidak akan
gentar.
Mendengar jawaban Mahisa Agni, orang timpang itu menjadi bertambah
heran. Terdengar ia menggeram, "Alangkah beraninya kau anak muda. Apakah
kau belum pernah mendengar sebuah nama yang cukup terkenal di sekitar
daerah Gunung Semeru ini. Akulah yang bernama Empu Pedek."
Dada Mahisa Agni bergetar mendengar nama itu. Meskipun nama itu belum
pernah didengarnya, namun terasa sesuatu yang telah menggetarkan
dadanya. Meskipun demikian ia tetap pada sikapnya. Siap menghadapi
segala kemungkinan. Bahkan jawabnya, "Hem. Baru sekarang kau mau
menyebut namamu. Tetapi kau belum menyebut apakah yang sebenarnya sedang
kau cari, sehingga kau bunuh orang dari kaki Gunung Merapi itu."
Orang timpang itu memandang Mahisa Agni seperti hendak membelah dadanya
dengan sinar matanya. Kepalanya dimiringkannya ke kanan, dan kemudian
terdengar suaranya parau, "Ternyata kau pun akan mengalami nasib yang
sama. Orang dari Gunung Merapi itu pun akan mengambil akar wregu putih
itu. Tetapi ia benar-benar orang gila. Akar itu sendiri tak akan
bermanfaat bagi seseorang. Sekarang katakan kepadaku hai anak muda,
supaya nyawamu aku biarkan tinggal di dalam tubuhmu. Manakah trisula
itu?"
Dada Mahisa Agni seakan-akan tertimpa guruh yang langsung menyambar
dirinya. Pertanyaan itu benar-benar mengejutkannya. Ternyata orang yang
menamakan diri Empu Pedek itu, tidak saja mengetahui akar wregu putih di
dalam gua yang sedang ditujunya, namun ia tahu juga tentang trisula,
rangkapan akar wregu itu. Karena itu, kini Mahisa Agni pun menjadi
semakin pasti, bahwa ia tidak akan dapat meninggalkan tempat itu tanpa
beradu kesaktian. Karena itu, maka segera diaturnya perasaannya.
Disiapkannya segala ilmu yang telah dimilikinya, untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Tidak mustahil, bahwa Empu Pedek ini adalah seorang yang
sakti. Dan ia sama sekali tidak dapat menduga, apakah ia akan mampu
untuk menahan kemarahan orang timpang itu..
Namun betapa pun juga, Mahisa Agni pantang surut. Telah banyak bahaya
yang diatasinya di sepanjang perjalanan. Namun ia sadar bahwa bahaya
kali ini, jauh lebih berarti dari segenap rintangan yang pernah
ditemuinya.
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka kembali terdengar suara parau Empu Pedek, "He anak muda. Manakah trisula itu?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia menjawab, "Ternyata bukan aku yang sedang bermimpi, tetapi kau."
"Setan!" sahut orang itu. Suaranya yang parau itu bergetar. Mahisa Agni
merasakan, betapa orang timpang itu mengendalikan kemarahannya. Katanya,
"Anak muda. Bagimu akan berakibat sama. Kau pasti akan kehilangan
trisula itu. Hidup atau mati."
"Trisula apakah yang sedang kau katakan itu?"
"Jangan bohong seperti orang Gunung Merapi itu. Kau pasti memiliki
sebuah trisula kecil yang bernama kekuning-kuningan. Kalau tidak, tak
akan kau cari akar wregu itu."
"Apakah orang dari Gunung Merapi itu juga berbohong?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian sambil membentak ia berkata, "Apa pedulimu? Orang itu telah mati."
"Dan trisula itu tak ada padanya," potong Agni.
"Karena itu pasti ada padamu."
"Kau akan membuat kesalahan untuk kedua kalinya. Aku tidak membawa Trisula itu," jawab Agni.
Mata orang timpang itu tiba-tiba menjadi liar. Sekali-kali ia memandang
wajah langit yang biru gelap, kemudian merayap ke segenap penjuru. Namun
akhirnya kembali hinggap di wajah Mahisa Agni.
"Aku tidak peduli. Akan aku bunuh semua orang yang lewat di sini. Akan aku cari pada mayatnya, trisula itu."
Betapa pun kata-kata itu membuat bulu-bulu Mahisa Agni meremang. Bukan
karena ia menjadi ketakutan, namun betapa orang yang dihadapinya itu
benar-benar telah menjadi buas. Karena itu maka hatinya justru menjadi
semakin teguh. Dan bahkan tiba-tiba ia berkata, "Empu Pedek. Sebenarnya
di antara kita tidak ada persoalan. Aku minta kepadamu supaya kau
batalkan niatmu."
Terdengar Empu Pedek itu tertawa nyaring. Sedemikian nyaringnya sehingga
seakan-akan daun-daun pepohonan menjadi bergoyang karenanya. Bahkan
semakin lama menjadi semakin keras dan memuakkan. Perlahan-lahan terasa
di dada Mahisa Agni getaran-getaran aneh yang merayap-rayap seakan-akan
melibat jantungnya. Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkan jantungnya
menjadi beku. Ia sadar, bahwa orang timpang itu telah mulai
menyerangnya. Karena itu ia harus mengadakan perlawanan. Namun karena
orang timpang itu belum menyerang dengan tubuhnya, Mahisa Agni pun masih
ingin bertahan dengan kekuatan batinnya Dalam keadaan yang demikian,
betapa Agni berterima kasih kepada gurunya. Ilmu diberikan kepadanya
ternyata telah cukup banyak, sehingga ia telah berhasil mengatasi
sebagian dari rintangan-rintangan di dalam perjalanannya. Bukan saja
perjalanan kali ini, namun perjalanan seluruh hidupnya, yang pasti akan
ditemuinya rintangan-rintangan yang tak kalah beratnya. Juga Mahisa Agni
kini menyadari kebenaran perhitungan gurunya, supaya trisulanya tidak
dibawanya serta. Ternyata setidak-tidaknya Empu Pedek ini pun telah
mengetahuinya, kedahsyatan pusaka rangkap itu.
(hilang beberapa paragraph)
….. bersiaga penuh. Dengan tangkasnya ia menghindari serangan itu, dan
setangkas itu pula Mahisa Agni membalas serangan itu dengan sebuah
pukulan pada tengkuknya selagi ia masih ditarik oleh tenaga serangannya.
Namun orang itu pun cekatan pula. Dengan cepat ia merendahkan tubuhnya,
meskipun kemudian ia harus berguling sekali. Tetapi dengan lincahnya ia
melenting berdiri tegak. Bahkan sudah siap pula dengan
serangan-serangannya. Sekali lagi Mahisa Agni melihat jari-jari tangan
orang itu mengembang seperti hendak mencengkeram. Dan sekali lagi Mahisa
Agni melihat orang itu dengan kasarnya menyerangnya dengan satu
terkaman. Kali ini pun Mahisa Agni sempat menghindarkan diri dan bahkan
membalasnya dengan serangan kaki yang mendatar, namun dengan menggeliat
orang timpang itu pun berhasil lepas dari garis serangannya.
Demikianlah mereka akhirnya terlibat dalam perkelahian yang sengit.
Meskipun kaki Empu Pedek itu timpang namun tandangnya bukan main. Keras
dan kasar. Serangan-serangannya datang beruntun seperti ombak yang
menghentak-hentak pantai. Tak henti-hentinya memukul-mukul dengan
dahsyatnya. Namun Mahisa Agni pun mampu mengimbanginya dengan kelincahan
dan ketangkasan yang mengagumkan. Seperti seekor burung yang
bermain-main di atas ombak lautan. Sekali menukik menyentuh gelombang
lautan dengan sayap-sayapnya, namun kemudian dengan tangkasnya
menghindarkan diri apabila gelombang yang deras melandanya.
Mahisa Agni pernah bertempur melawan hantu padang rumput Karautan yang
dengan kasar menyerangnya. Namun kekuatan mereka berbeda. Hantu padang
Karautan itu sama sekali bukan seorang yang tangkas dan mampu
menghindari serangan-serangan lawannya, namun tubuhnyalah yang
seakan-akan menjadi kebal. Tetapi hantu kaki Gunung Semeru ini
benar-benar memiliki ketangkasan dan kecepatan bergerak. Namun
kekuatannya tidak sebesar hantu Karautan. Sekali-sekali apabila kekuatan
mereka berbenturan, maka Empu Pedek itu pun terdorong surut meskipun
Mahisa Agni pun tergetar pula. Tetapi sekali-kali Mahisa Agni mendengar
orang timpang itu berdesis menahan sakit seperti dirinya yang
kadang-kadang harus menyeringai oleh sengatan-sengatan tangan orang
timpang itu.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dalam malam yang
kelam itu, keduanya seolah-olah telah menjelma menjadi bayangan-bayangan
kabut yang berputar-putar karena angin pusaran. Masing-masing melihat
lawannya dari arah yang membingungkan, meskipun mereka berdua
kadang-kadang terpelanting pula, terbanting di atas tanah yang lembab
itu.
Meskipun mereka masing-masing telah berkelahi dengan segenap tenaga,
namun tak seorang pun di antara mereka yang mengalahkan lawannya. Orang
timpang itu ternyata bertenaga sekuat tenaga seekor harimau belang,
namun Mahisa Agni pun mampu bertempur setangguh banteng jantan.
Namun betapa pun mereka berdua memiliki tenaga yang melampaui tenaga
orang kebanyakan, serta betapa mereka mampu mengungkit tenaga-tenaga
cadangan yang tak dapat dilakukan oleh orang lain, namun karena mereka
telah memeras diri dalam perkelahian itu, maka tenaga mereka pun semakin
lama menjadi semakin susut. Tidak saja karena mereka kehilangan banyak
tenaga, namun tubuh mereka pun telah menjadi merah biru dan perasaan
nyeri hampir membakar segenap tulang daging mereka.
Demikianlah, maka perkelahian yang dahsyat, yang seolah-olah benturan
dari dua angin pusaran yang berlawanan arah itu, semakin lama menjadi
surut. Dengan sisa-sisa tenaga mereka yang terakhir mereka mencoba untuk
menenangkan perkelahian itu.
"Gila!" terdengar Empu Pedek mengumpat, "kau mampu bertahan melampaui orang dari Gunung Merapi itu?"
Mahisa Agni tidak menjawab. Namun ia pun menggeram, "Bukan main. Tetapi jangan coba halangi aku."
"Kembalilah sebelum tulang-tulangmu remuk."
"Tulangku tak selunak lempung," sahut Mahisa Agni.
Orang itu menggeram pula. Sekali-kali ia masih menyerang dengan gerak
yang berbahaya. Namun kecepatan telah jauh berkurang, sehingga meskipun
Mahisa Agni pun telah kelelahan, namun ia masih mampu untuk setiap kali
menghindarinya. Bahkan Agni pun masih juga sempat membalasnya dengan
serangan-serangan yang tidak kalah berbahayanya. Malahan kemudian dengan
sisa-sisa tenaganya yang terakhir, Mahisa Agni masih mampu untuk
mengenainya beberapa kali. Dengan sebuah sambaran kaki mendatar, Mahisa
Agni berhasil menghantam lambung orang timpang itu. Empu Pedek tidak
menyangka bahwa hal demikian masih bisa terjadi. Karena itu, tiba-tiba
ia terdorong beberapa langkah surut.
Mahisa Agni tidak melepaskan kesempatan itu. Betapa pun kakinya terasa
berat, namun dipaksanya juga ia meloncat dua loncatan, kemudian tangan
kanannya terayun deras sekali mengenai dagu Empu Pedek. Terdengarlah
sebuah rintihan yang patah, dan wajah itu pun terangkat dan sekali lagi
sebuah sentakan tangan Agni mengenai perutnya. Kini Empu Pedek sekali
lagi terdorong surut, dan kepalanya tertarik ke depan. Namun orang
timpang itu tidak mau mukanya jadi hancur sama sekali. Ketika ia melihat
tangan Mahisa Agni menyambar sekali lagi, orang itu sempat memiringkan
kepalanya, sehingga tangan itu meluncur di samping telinganya. Demikian
kerasnya Agni mengayunkan tangannya dengan sisa-sisa tenaganya maka kini
ia terhuyung-huyung oleh tarikan tenaganya sendiri. Empu Pedek pun tak
membiarkannya memperbaiki keseimbangannya. Sebuah pukulan menyentuh
tengkuk Mahisa Agni. Tidak terlalu keras, karena tenaga orang timpang
itu telah hampir habis pula, namun sentuhan itu telah cukup
mendorongnya, sehingga Mahisa Agni jatuh terjerembab. Mahisa Agni yang
telah kehilangan sebagian besar dari tenaganya itu, tidak mampu lagi
untuk segera melenting berdiri, sehingga karena itu, maka segera ia
berguling dan melihat apa yang akan dilakukan oleh Empu Pedek itu.
Empu Pedek yang melihat Agni terjerembab, dan kemudian berguling
menengadah, tiba-tiba menyeringai mengerikan sambil tertawa liar.
Katanya hampir berteriak, "Akhirnya aku pun berhasil membunuhmu."
Mahisa Agni masih menyadari keadaannya sepenuhnya. Ia mendengar orang
timpang itu berkata demikian. Karena itu, maka segera Agni pun
mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, dan menanti apakah yang akan
dilakukan oleh Empu Pedek itu.
Ternyata Empu Pedek itu segera bersikap, kedua tangannya terjulur ke
depan dengan jari-jari mengembang. Dengan dahsyatnya ia berteriak.
Kemudian dengan satu loncatan panjang ia menerka m Mahisa Agni. Tetapi
loncatannya telah tidak sedemikian garang. Namun Agni pun tidak
setangkas semula, sehingga ia tidak mampu menghindari terkaman itu.
Dengan jari-jari tangannya Empu Pedek berusaha untuk mencekik leher
Mahisa Agni. Namun Mahisa Agni tidak membiarkannya kuku-kuku orang
timpang itu menembus kulit lehernya. Dengan secepat yang dapat d
lakukan, Agni memasukkan kedua tangannya di antara tangan-tangan Empu
Pedek. Dengan satu gerak yang menyentak ia mengembangkan tangannya.
"Setan!" teriak Empu Pedek. Dengan serta-merta tangannya itu pun
terlepas, sehingga hampir saja wajahnya terjerembab menghantam wajah
Mahisa Agni.
Meskipun demikian, Empu Pedek tak mau melepaskan Mahisa Agni. Dengan
serta-merta pula, orang timpang itu melingkarkan tangannya ke leher
Agni, sehingga dengan sebuah tekanan yang kuat, leher anak muda itu
terjepit di antara kedua bagian tangan lawannya. Dengan kedua tangannya
Agni mencoba melepaskan jepitan itu. Namun sia-sia Bahkan terasa
tangannya seakan-akan telah lenyap.
Karena itu, maka kemudian Agni pun berbuat serupa. Dilingkarkannya
tangannya ke leher Empu Pedek, dan dengan sisa-sisa tenaganya, ia pun
menjepit leher itu dengan kedua bagian tangannya.
Kini mereka berdua ber-guling-guling di tanah yang lembab becek itu.
Tangan mereka masing-masing seakan-akan telah terkunci di leher lawan.
Dengan segenap tenaga-tenaga yang dikenal sehari-hari, tenaga ungkapan
dari ilmu-ilmu mereka, serta tenaga-tenaga cadangan telah mereka
kerahkan. Seandainya peristiwa itu terjadi pada saat-saat mereka baru
mulai, mungkin kedua-duanya tak akan mampu untuk meneruskan perkelahian
itu, sebab nafas-nafas mereka akan terputus karenanya. Tetapi kini
mereka telah kelelahan, sehingga tenaga mereka pun telah jauh berkurang.
Dalam keadaan yang demikian itu, dalam keadaan yang seakan-akan tak
berakhir itu, Agni sempat menyentakkan tangannya. Terdengar lawannya
berdesah, namun tiba-tiba lawannya itu memekik keras, dan dengan sebuah
sentakan ia menggeliat, dan melepaskan diri dari jepitan tangan Agni
setelah tangannya sendiri dilepaskannya.
Mahisa Agni terkejut. Ia berusaha menangkap kembali orang timpang itu,
namun Empu Pedek segera berguling-guling. Mahisa Agni pun segera
menggulingkan dirinya pula. Tetapi ia terlambat beberapa saat. Dengan
terhuyung-huyung Empu Pedek berdiri dan dengan serta-merta ia berlari
tertatih-tatih masuk ke dalam semak-semak yang rimbun.
Mahisa Agni pun segera berdiri pula. Tetapi kakinya serasa seberat
timpah. Beberapa langkah ia maju mengejar Empu Pedek, tetapi ketika
kakinya terperosok sebuah lekukan tanah yang kecil, ia kehilangan
keseimbangan dan hampir saja ia jatuh kembali.
Namun ia masih mendengar Empu Pedek itu berkata dari balik rimbunnya
daun-daun belukar, "Sekarang kau memenangkan perkelahian ini anak muda.
Namun jangan mengharap kau dapat kembali. Aku akan menunggumu sampai kau
turun dari gua itu."
"Kenapa kau licik?" teriak Agni yang marah, "marilah kita selesaikan
persoalan kita sekarang. Jangan besok atau lusa atau kapan pun."
Tetapi Empu Pedek tidak menyahut. Yang terdengar kemudian adalah nafas
Mahisa Agni sendiri. Terengah-engah dan serasa hampir putus di dadanya.
Bahkan kembali terasa Mahisa Agni kehilangan keseimbangan. Kepalanya
menjadi pening dan dunia ini seakan-akan berputar. Ternyata anak muda
itu telah memeras habis segenap tenaganya, sehingga ia hampir-hampir
menjadi pingsan karenanya.
Mahisa Agni menyadari keadaannya. Segera ia duduk di atas tanah yang
becek di samping bungkusannya. Dipejamkannya matanya, dan dipusatkannya
kekuatan batinnya untuk menemukan kembali setiap tenaga yang ada di
dalam tubuhnya. Perlahan-lahan Mahisa Agni mencoba mengatur
pernafasannya. Ditenangkannya getaran-getaran di dalam dadanya yang
bergelora
Akhirnya, meskipun lambat sekali, namun Mahisa Agni berhasil menguasai
kesadarannya sepenuhnya. Nafasnya perlahan-lahan menjadi teratur kembali
dan getaran-getaran di dadanya pun menjadi berkurang. Darahnya kini
telah tersalur sewajarnya. Namun betapa lemahnya ia setelah dengan
matian-matian ia mengerahkan segenap kemampuannya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia bersyukur atas karunia Yang
Maha Agung. Ternyata ia telah dapat membebaskan dirinya dari orang yang
menamakan dirinya Empu Pedek itu. Seandainya, ya seandainya Empu Pedek
mampu bertahan untuk sesaat saja, maka keadaannya pasti akan sangat
berbeda. Sesaat lagi, apabila ia masih harus memeras tenaganya, mungkin
ia akan menjadi benar-benar pingsan. Apabila demikian, betapa pun
lemahnya Empu Pedek, tetapi ia akan dapat membunuhnya tanpa perlawanan.
Namun agaknya orang timpang itu pun telah kehabisan tenaga seperti
dirinya. Karena itu, nasibnya menjadi lebih baik dari nasib orang dari
Gunung Merapi yang datang tiga hari sebelumnya.
Ketika getar di dadanya telah benar-benar menjadi tenang, Mahisa Agni
menggeliat. Digerak-gerakkannya tangan dan kakinya perlahan-lahan untuk
menyalurkan darahnya secara wajar. Dengan hati-hati ia berjongkok,
kemudian dijulurkannya kaki-kakinya berganti-ganti.
Apabila tubuhnya terasa sudah wajar kembali, meskipun kekuatannya sama
sekali belum pulih, maka kembali Mahisa Agni duduk di samping
bungkusannya. Di dalam bungkusan itu masih ditemukannya beberapa
buah-buahan segar. Dengan buah-buahan itu Mahisa Agni berusaha untuk
menyegarkan tubuhnya kembali. Tubuhnya yang seakan-akan telah dilolosi
segala tulang belulangnya.
"Hem," Mahisa Agni menarik nafas. Buah-buahan itu terasa betapa segarnya
dan tubuhnya pun terasa semakin segar pula. Namun demikian keringatnya
masih saja mengalir tanpa henti-hentinya. Dari dahi dan keningnya,
menitik di pangkuannya. Dari punggungnya, dari seluruh wajah kulitnya.
Belum pernah Mahisa Agni bertempur seperti apa yang baru saja
dilakukannya. Bahkan ia menjadi heran atas tenaganya sendiri. Dengan
tekad yang menyala-nyala, serta taruhan yang sangat berharga, ia telah
berjuang seakan-akan melampaui kemampuan yang wajar. Seakan-akan
dorongan tekadnya telah menambah kemampuannya bahkan berlipat-lipat.
Kini Mahisa Agni sempat mengenangkan orang timpang itu kembali sambil
beristirahat. Orang itu bertempur kasar dengannya. Untunglah ia mampu
bertahan, meskipun ia tidak dapat mengalahkan lawannya dengan mudah. Dan
kini lawannya itu sempat melarikan dirinya.
"Ke manakah larinya?" ia bertanya kepada diri sendiri. Ia menyesal bahwa
orang itu tidak dikejarnya. Namun ketika disadarinya keadaannya, maka
hal itu tak akan mungkin dilakukannya. Apalagi mengejarnya, bahkan
berdiri pun ia hampir tidak mampu lagi.
Tetapi kemudian timbullah beberapa pertanyaan lain di dalam benaknya.
Orang timpang itu mungkin pergi mendahuluinya ke gua tempat penyimpanan
akar wregu putih itu.
"Orang itu adalah orang ketiga setelah gurunya dan aku sendiri yang
mengetahui persoalan akar wregu putih itu. Mungkin orang dari Gunung
Merapi itu pun mengetahuinya pula, namun orang itu kini telah tidak ada
lagi," gumamnya seorang diri. Tetapi tiba-tiba ia menjadi cemas.
"Apakah akar wregu itu benar-benar masih berada di dalam gua itu?
Mungkin orang yang bernama Empu Pedek itu telah mengambil lebih dahulu."
"Hem," Mahisa Agni menggeram. Kalau demikian maka perjalanannya yang
panjang, serta segala macam kesulitan-kesulitan yang pernah dilampauinya
itu akan menjadi tanpa arti.
"Aku harus membuktikannya dahulu," gumamnya, "apabila di dalam gua itu
telah tidak dapat aku temukan akar wregu putih itu, maka pekerjaanku
akan berganti. Aku harus menemukan orang timpang yang bernama Empu Pedek
itu. Dan bernama Empu Pedek itu. Dan akan kembali ke Panawijen tanpa
akar wregu putih itu. Biar pun puluhan tahun, bahkan sepanjang umurku
sekali pun."
Tiba-tiba saja dada Mahisa Agni bergelora kembali. Meskipun tubuhnya
masih lemah sekali, serta persendian tulang-tulangnya masih terasa
sakit, dan bahkan pedih-pedih di hampir segenap tubuhnya, namun dengan
susah payah ia berdiri. Diikatkannya bungkusan kecilnya pada pundaknya,
serta dengan tongkat di tangannya. Mahisa Agni melangkah meneruskan
perjalanannya. Tertatih-tatih, bertelekan tongkat dalam malam yang
gelap.
Namun Mahisa Agni sama sekali tidak menyesal, bahwa ia telah menempuh
perjalanannya yang berat itu. Apapun yang akan terjadi adalah satu
akibat yang wajar dari perjuangannya. Karena itu, maka betapa pun
beratnya, betapa perasaan sakit dan nyeri menjalar hampir di seluruh
tubuhnya, betapa penat dan lelahnya, bahkan betapa jiwanya
dipertaruhkan, namun hatinya telah bulat. Akar wregu putih itu harus
ditemukan.
Kini ia berjalan setapak demi setapak maju. Dalam kelamnya daun-daunan
hutan. Dengan tongkatnya Mahisa Agni meraba-raba jalan, dan dengan
pandangan matanya yang tajam ia mencari arah. Untunglah, meskipun belum
sempurna, namun Mahisa Agni telah cukup terlatih, sehingga ia dapat
membedakan, tanah yang gembur berlumpur, tanah yang rapuh dan tanah yang
cukup keras.
Dalam perjalanannya yang sangat lambat itu, Mahisa Agni selalu mencoba
untuk menduga-duga, apakah akar wregu putih itu masih berada di
tempatnya, atau telah hilang diambil oleh orang timpang yang menamakan
dirinya Empu Pedek itu.
Demikianlah, setiap kegelisahannya melonjak di dadanya, maka kakinya pun
seakan-akan ingin meloncat berlari. Namun Agni tak dapat melakukannya.
Kakinya masih lemah, selemah tangkai bunga yang kehabisan air. Lesu.
Sedang jalan yang terbentang di hadapannya sangat gelapnya.
Batang-batang pohon liar. Perdu berduri den segala macam tumbuh-tumbuhan
yang buahnya dapat dimakan, sampai tumbuh-tumbuhan beracun dan
buah-buahan makanan ular.
Tetapi Mahisa Agni pantang mundur. Ia berjalan terus dalam gelapnya
malam. Di selatan ia masih melihat bintang Gubug Penceng yang dapat
menuntunnya mencari arah. Ia harus berjalan lurus ke barat apabila ia
tidak ingin tersesat. Apa pun yang ada di jalan yang akan dilampauinya.
Binatang buas, orang-orang jahat atau apa pun, meskipun seandainya
hantu-hantu yang menghadangnya, maka ia pun tak akan dapat digentarkan.
Jalan itu pun semakin lama menjadi semakin sulit. Setelah lapangan yang
sempit. Mahisa Agni sampai ke daerah yang berlereng curam. Dengan
demikian ia harus lebih berhati-hati. Kadang-kadang Mahisa Agni
merangkak, kadang-kadang bahkan berjalan sambil berjongkok. Dan bahkan
kadang-kadang ia terduduk dengan nafas terengah-engah.
Di kejauhan masih terdengar auman harimau berebut mangsa, dan
sekali-kali salak anjing-anjing hutan menyobek sepi malam. Dan setiap
suara yang terdengar, rasa-rasanya menyentuh sampai ke ulu hati. Tetapi
semuanya itu sama sekali tidak menarik perhatian Mahisa Agni. Pikirannya
bulat-bulat ditelan oleh gua, akar wregu putih dan orang timpang.
Meskipun sangat lambat namun Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin
dekat pula dengan lereng gundul yang ditujunya. Ketika embun malam
menitik setetes di tubuhnya, terasa betapa segarnya.
Ketika Mahisa Agni menengadahkan wajahnya, dilihatnya cahaya semburat
merah membayang di timur. Bintang Gubug Penceng kini telah berguling ke
barat dan hampir hilang dibalik cakrawala.
"Hampir fajar," desis Mahisa Agni. Namun kemudian ia menjadi ragu-ragu.
Apakah ia dapat meneruskan perjalanannya di siang hari? Gurunya berpesan
mewanti-wanti kepadanya, supaya ia berjalan di malam hari sejak batu
padas di tengah rawa-rawa itu. Baru setelah sampai di lereng gundul ia
boleh mendakinya di siang hari. Karena itu, sebelum hari menjadi terang,
Mahisa Agni berusaha mempercepat langkahnya. Tetapi kecepatan yang
dapat dicapainya sangat terbatas. Dengan demikian Mahisa Agni menjadi
cemas, seakan-akan takut dikejar oleh matahari yang segera akan timbul
di timur. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat mencegah matahari itu. Bahkan
ternyata bahwa matahari itu datang terlampau cepat dari yang diharapkan.
Ketika cahayanya yang pertama terlempar di atas daun-daun pepohonan dan
menyangkut di atas ujung-ujung batang-batang raksasa, Mahisa Agni
menarik nafas. Sekali ia menggeliat dan kemudian ia menguap. Lelah dan
sakit-sakit di punggungnya masih terasa. Namun kesegaran fajar telah
menyegarkannya pula.
Ketika ia memandang ke selatan, ia masih melihat di antara pepohonan
yang tidak begitu pekat dan dari atas ujung-ujung pepohonan yang tumbuh
di lereng-lereng, jurang-jurang yang dalam. Kemudian tampaklah sebuah
dataran hutan yang lebat.
Mahisa Agni menarik nafas. Alam di sekitarnya adalah alam yang dipenuhi
oleh warna-warna hijau segar. Daun yang hijau, rumput-rumput yang hijau
dan batang-batang perdu yang hijau. Tetapi ketika kemudian ia berpaling
ke barat, ke arah yang akan ditujunya, Mahisa Agni terkejut bukan
kepalang. Dari balik kabut pagi, Mahisa Agni melihat seakan-akan muncul
di hadapannya sebuah dinding raksasa yang berwarna kemerah-merahan.
Dinding batu padas dan tanah liat yang terbentang sedemikian luas.
Mahisa Agni tegak seperti tonggak. Dilihatnya dinding itu dengan dada
yang bergelora. Ternyata dinding yang dicarinya itu seolah-olah
tiba-tiba saja muncul tidak jauh lagi di hadapannya.
Karena itulah, maka tiba-tiba Mahisa Agni menjadi sangat gembira. Ia
tidak usah menunggu sampai besok. Tidak usah menunggu malam datang.
Apakah jarak yang sudah tinggal beberapa langkah lagi itu harus
ditempuhnya malam nanti dan membiarkannya hari ini lewat? Tidak. Jarak
yang pendek itu akan segera dicapainya.
Mahisa Agni pun kemudian melangkah pula. Semakin cepat yang dapat
dilakukan. Kini ia dapat melihat jalur-jalur yang dapat dilewatinya,
sehingga dengan demikian perjalanannya pun benar-benar menjadi semakin
cepat. Kakinya yang luka-luka oleh ber-macam-macam duri dan batu-batu
yang runcing sama sekali tak terasa. Yang ada di dalam hatinya adalah
gua itu. Selebihnya tak dihiraukannya. Karena itu maka apapun yang
terjadi padi tubuhnya seakan-akan tak terjadi padanya.
Ketika matahari telah menjadi semakin tinggi, dan ketika hari menjadi
semakin terang, Mahisa Agni kini dapat melihat, sebuah lubang yang hitam
pada dinding raksasa itu.
Kini dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Gua di lereng yang gundul itulah yang harus didaki.
Mahisa Agni itu pun berhenti sejenak. Sekali lagi ditatapnya seluruh
permukaan dinding raksasa itu. Alangkah besar kekuasaan yang mampu
membangunkannya. Ketika kemudian Mahisa Agni memandang kepada dirinya
sendiri, maka ia tidak lebih dari sebuah anak-anakan yang sangat kecil
dibanding dengan kebesaran alam yang dihadapinya. Apalagi dengan Maha
Penciptanya.
Tetapi tiba-tiba disadarinya pula, bahwa dirinya adalah sebagian dari
alam itu, justru merupakan ciptaan yang paling berharga di antara
segenap isi alam ini. Ia adalah manusia. Dan Maha Pencipta telah
menciptakan manusia untuk memelihara dan memanfaatkan alam yang
diciptakannya pula. Bahkan sebagai wadah dan sekaligus dikuasainya. Maka
sebenarnyalah Maha Pencipta menciptakan alam dan manusia di dalamnya
dengan sifat Maha Cintanya seolah-olah menempatkan seorang juru taman
dalam pertamanan yang indah. Namun bukan pertamanan sendiri. Apa yang
dilakukan seharusnya berdasarkan atas kehendak pemilik taman itu, bukan
atas kehendak juru taman itu sendiri, meskipun juru taman itu wenang
melakukan apa pun atas pertamanan yang diserahkan kepadanya. Ia dapat
melakukan pekerjaan yang bermanfaat, namun ia dapat juga mengkhianati
dan merusak taman yang diserahkan kepadanya. Ia dapat mempergunakan
hasil taman itu untuk melakukan hal-hal yang menggembirakan pemiliknya,
namun ia dapat juga berbuat sebaliknya. Akibatnya, pemilik taman itu
dapat berterima kasih dan bersenang hati kepadanya, atau sebaliknya
pula.
Dan kini Mahisa Agni tegak di hadapan dinding raksasa itu seperti
seorang juru taman tegak di antara tanaman-tanaman yang maha luas. Ialah
yang wenang melakukan apa pun atas tanaman-tanaman itu, bukan
sebaliknya. Dan kini Mahisa Agni pun merasakan dirinya sebagai manusia
yang berhadapan dengan alam. Alam itu harus ditundukkannya.
Demikianlah, maka kini Mahisa Agni memandang lereng yang curam gundul
dan berbatu-batu itu sebagai suatu tantangan yang harus diatasinya.
Betapa pun sulitnya, ia tidak boleh menyerah melawan
kesulitan-kesulitan, namun kesulitan itu harus ditundukkannya.
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dada Mahisa Agni. Tekadnya yang
bulat kini menjadi semakin mantap. Dengan dada tengadah ia berdoa di
dalam hatinya, semoga Yang Maha Agung memberkahinya.
Karena itu, maka seakan-akan menjalarlah suatu kekuatan baru di dalam
tubuhnya. Kekuatan yang mengalir dari pusat kehendaknya. Dari pusat
kehendaknya, dari pusat tekad yang menyala di dalam dadanya. Sehingga
dengan demikian segera Mahisa Agni melangkahkan kakinya kembali. Kini
lebih mantap dan lebih cepat. Apa pun yang akan dihadapinya kelak, Empu
Pedek, atau apa saja. Meskipun seandainya Empu Pedek itu datang bersama
seorang kawannya, dua orang, sepuluh atau berapa pun.
Mahisa Agni kini seolah-olah berlari-lari mengejar tantangan yang dihadapinya. Lereng yang terjal itu akan didakinya. Sekarang.
Mahisa Agni tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai lereng
yang curam itu. Sebelum matahari sampai ke pusat langit, Mahisa Agni
telah sampai di bawah tebing gundul itu. Sekali lagi ia mengagumi
dinding raksasa itu. Ditengadahkannya wajahnya, memandang jauh ke atas.
Tinggi, tinggi sekali. Demikian tingginya seakan-akan dinding itu akan
roboh menimpanya.
Ketika tangan Mahisa Agni meraba dinding itu, terasa di tangannya betapa
dinding itu sekeras batu. Tetapi beberapa ujung yang runcing menjorok
seperti tonggak kayu yang aus.
Sekali-kali Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa tahun
lampau ia pernah mengagumi dinding itu pula. Bahkan saat itu ia lebih
kagum lagi. Kini ia sudah semakin dewasa. Dan kini ia telah
berkeyakinan, bahwa betapapun curam dan terjalnya, namun dinding harus
ditaklukkannya.
Sekali lagi Mahisa Agni meraba-raba lereng yang gundul itu. Kemudian
dilepasnya bungkusan yang tersangkut di pundaknya. Disangkutkannya pada
batang-batang perdu beserta tongkat kayunya.
Mahisa Agni kemudian tegak seperti seseorang yang siap menunggu seorang
lawan yang akan menerkamnya. Kedua kakinya merenggang dan tangannya
tergantung lurus di samping tubuhnya. berpegangan pada pahanya,
seakan-akan takut kakinya akan terlepas. Ditatapnya batu-batu padas,
batu-batu yang hitam kemerah-merahan serta sebuah lubang yang hitam
hampir di tengah-tengahnya. Kemudian dipandangnya matahari yang kini
telah tegak di atas kepalanya.
"Hem," bergumam Agni seorang diri, "aku akan menjadi silau karenanya.
Biarlah aku menunggu sampai matahari itu lewat di balik dinding ini."
Namun Mahisa Agni masih tegak di tempatnya. Ia menunggu matahari condong
sedikit, sehingga matanya tidak menjadi silau pada saat ia mendakinya.
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Agni itu terloncat seperti didorong hantu.
Langsung ia berjongkok di bawah tebing yang curam dan tinggi itu. Dengan
mata terbelalak ia mengamati sesuatu yang sangat menggetarkan hatinya.
Telapak kaki manusia.
"Apakah artinya ini?" geramnya. Dan sekali lagi ia mengamati telapak
kaki itu. Satu, dua dan beberapa lagi dapat ditemukannya di sekitar
tempat itu. Apalagi akhirnya Mahisa Agni melihat, telapak kaki itu
hilang timbul di kaki lereng gundul itu. Pada tanah yang agak liat ia
melihat telapak itu condong ke atas. Dan sekali lagi Mahisa Agni
menggeram. Dari sini seseorang pasti pernah naik ke gua ini.
"Pasti bukan telapak guru beberapa tahun yang lalu," katanya di dalam hati.
"Pasti," ulangnya. Dan Mahisa Agni pun memang pasti seperti apa yang sebenarnya, telapak itu masih agak baru.
Dada Mahisa Agni menjadi semakin berguncang karenanya. Kini ia pasti
bahwa seseorang telah naik ke gua itu. Dugaannya yang pertama adalah
Empu Pedek.
"Kalau orang itu memanjat setelah kami bertempur, maka orang itu pasti
masih berada di dalam gua ini," pikirnya, "karena itu aku harus mendaki
sekarang juga."
Mahisa Agni kini tidak mau menunggu apapun lagi. Kegelisahannya telah
mendorongnya untuk segera mendaki tebing itu. Dengan tergesa-gesa ia
meloncat meraih bungkusannya. Diambilnya keris pusaka peninggalan
ayahnya, yang kemudian diselipkannya di pinggangnya. Dengan keris itu ia
sudah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Mungkin ia
harus membunuh, meskipun karena terpaksa apabila ia tidak mau dibunuh.
Mungkin ia harus berbuat hal-hal yang belum pernah dilakukannya. Dan
kemungkinan yang paling pahit, ia tidak akan keluar lagi dari gua itu.
Bungkusan dan tongkat kayu Mahisa Agni itu pun ditinggalkannya. Selain
keris dan tubuhnya, tidak ada lagi yang perlu dalam perjalanannya yang
berbahaya itu.
Ketika tubuh dan jiwanya telah siap benar-benar, maka mulailah Mahisa
Agni dengan pendakian itu. Kini ia telah sampai pada taraf terakhir dari
ujiannya. Mendaki tebing, menghadapi orang yang telapak kakinya telah
ditemukannya. Namun mungkin belum yang sebenarnya terakhir. Di
perjalanan pulang pun masih mungkin pula ditemuinya berbagai
kesulitan-kesulitan.
Kini Mahisa Agni telah mulai dengan pendakian itu. Seperti seekor semut
ia merayap-rayap berpegangan dari satu batu yang menjorong ke batu yang
lain. Dengan hati-hati kakinya setiap kali mencari pancadan yang kuat.
Setapak demi setapak. Untunglah bahwa matahari segera melampaui titik
tertinggi di pusat langit, sehingga kini Mahisa Agni telah tidak
sedemikian silaunya. Dengan pemusatan tenaga lahir batin, Mahisa Agni
merambat terus di tebing yang hampir tegak itu. Beberapa kali kakinya
telah menganjak batu yang salah, sehingga batu-batu itu berguguran jatuh
ke bawah. Namun Mahisa Agni cukup ber-hati-hati, sehingga ia sendiri
selalu dapat menghindarkan kakinya sebelum terlambat.
Tetapi batu-batu itu ada yang terlalu runcing dan tajam, sehingga
kaki-kaki Mahisa Agni pun kemudian menjadi sakit dan pedih Tangannya
telah luka di beberapa tempat. Meskipun demikian Mahisa Agni masih tetap
mendaki terus. Ia harus mencapai mulut gua itu sebelum malam menjadi
terlalu kelam.
Mahisa Agni yang muda itu ternyata memiliki kekuatan melampaui manusia
kebanyakan. Meskipun tenaganya hampir terperas habis setelah ia
bertempur melawan orang timpang yang menamakan dirinya Empu Pedek, namun
dengan waktu istirahat yang pendek itu, ia telah mampu membawa dirinya
pada suatu pendakian yang berbahaya. Bahkan di sana sini batu-batu padas
yang menjorok itu menjadi basah oleh tetesan-tetesan mata-mata air yang
kecil di dinding terjal itu. Dengan demikian maka pekerjaan Mahisa Agni
menjadi semakin berbahaya.
Sekali-kali Mahisa Agni pun melihat pula, batu-batu padas yang patah di
atas kepalanya. Dengan melihat bekas-bekasnya, Mahisa Agni mengetahui,
bahwa bekas-bekas itu masih sangat baru. Dengan demikian maka ia menjadi
semakin pasti, bahwa seseorang telah mendaki tebing ini sampai ke gua
di atas itu.
Mahisa Agni menjadi semakin gelisah karenanya. Tetapi kegelisahannya itu
mendorongnya untuk merayap semakin cepat. Tetapi Mahisa Agni tidak
membiarkan dirinya kehilangan pengamatan atas alam yang sedang
dihadapinya.
Tubuh Mahisa Agni itu pun semakin lama menjadi semakin tinggi melekat
padat tebing yang curam itu. Apabila ia sekali-kali menengok ke bawah,
dilihatnya pohon-pohon sudah berada di bawah kakinya. Sekali-kali ia
terpaksa berhenti merapatkan tubuhnya pada lereng yang terjal itu untuk
sekedar beristirahat. Betapapun besar hasratnya untuk segera sampai ke
mulut gua itu, namun tenaganya pun terbatas. Dan Mahisa Agni tidak bisa
mengingkarinya apabila ia ingin selamat sampai ke mulut gua itu.
Demikianlah perjalanan Mahisa Agni itu menjadi lambat, tetapi ia tetap maju menuju sasaran.
Matahari di langit semakin lama menjadi semakin condong juga. Sinarnya
yang putih tampak berkilat-kilat menampar wajah mega-mega yang putih
pula. Di kejauhan tampak berbagai warna bertebaran di permukaan bumi.
Warna-warna hijau segar, padang rumput yang kekuning-kuningan dan hutan
belantara yang menyeramkan. Beberapa batang sungai tampak seperti
ular-ular raksasa yang menjalar ke pegunungan.
Mahisa Agni masih merambat terus. Perlahan-lahan namun pasti. Betapa
lelahnya dan betapa sulit perjalanan itu. Seluruh tubuhnya telah basah
oleh keringat. Dan tangan dan kakinya pun berkeringat pula. Sekali-kali
ia merasakan pula kaki dan tangannya menjadi pedih. Namun hanya sesaat,
kemudian apabila teringat olehnya akar wregu putih dan telapak- telapak
kaki di bawah lereng ini serta beberapa bekas batu-batu yang berguguran,
maka perasaan pedih dan lelahnya itu seperti lenyap disapu angin dari
selatan yang bertiup perlahan-lahan.
Semakin dekat Mahisa Agni dengan mulut gua itu, hatinya menjadi semakin
berdebar-debar. Kalau orang itu masih di dalam gua, dan menunggunya di
mulut gua itu, maka keadaan itu akan sangat berbahaya baginya. Apalagi
kalau orang itu, orang timpang yang baru saja bertempur melawannya.
Dengan satu sentuhan kecil, maka ia sudah akan terpelanting jatuh ke
bawah yang tingginya beberapa puluh depa itu.
Dengan demikian, dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan
itu, maka Mahisa Agni tidak langsung menuju ke mulut gua itu. Ia menuju
beberapa depa di sampingnya,untuk kemudian mendekati gua itu dari arah
samping. Dengan demikian ia dapat menghindari atau setidak-tidaknya
mengurangi kemungkinan yang dapat sangat menyulitkannya.
Sebelum Mahisa Agni mendekati gua itu, ia berhenti pula untuk
beristirahat. Ketika didapatinya bongkahan batu yang baik, maka ia pun
berdiri di atas batu itu untuk beberapa saat sambil bersandar lereng
itu. Dicobanya untuk mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Mungkin
masih akan dihadapinya bahaya yang lebih besar lagi justru di mulut gua
itu. Mungkin seseorang menunggunya dan menyentuhnya, supaya ia terlempar
jatuh.
Kini Mahisa Agni tidak perlu tergesa-gesa lagi. Ia telah berdiri
beberapa langkah di samping mulut gua itu. Baru ketika kekuatannya
terasa telah tumbuh kembali meskipun lambat, ia merayap pula semakin
dekat semakin dekat.
Mahisa Agni itu pun kemudian telah berdiri dekat di samping mulut gua
itu. Sekali lagi ia berhenti. Dicobanya untuk menangkap setiap suara
yang ada di dalam gua. Namun yang didengarnya hanyalah siul angin yang
bertiup semakin kencang.
Dengan sangat hati-hati Mahisa Agni berusaha untuk melihat gua itu.
Alangkah gelapnya. Namun mulut gua itu tidak terlalu gelap. Cahaya yang
tidak langsung betapa lemahnya, yang bertebaran di mulut gua itu telah
cukup untuk meneranginya. Dan Mahisa Agni tidak melihat apa pun. Apalagi
seseorang.
Kembali dada Mahisa Agni berdebar-debar. Dan kembali ia memusatkan
segenap panca inderanya. Namun ia tetap tidak menangkap sesuatu yang
mencurigakan. Gua itu tetap sepi.
Maka Mahisa Agni itu pun segera bersiap. Diaturnya segenap geraknya
untuk menghadapi setiap kemungkinan. Dengan gerak yang cepat Mahisa Agni
menggeser dirinya, sehingga tiba-tiba ia telah berada di dalam gua itu
bersandar dinding tepinya, dengan penuh kesiagaan untuk menghadapi
setiap kemungkinan.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata tak seorang pun yang
berada di mulut gua itu. Dengan demikian ia bergeser semakin dalam.
Tetapi ia belum berani untuk langsung masuk ke dalam gelapnya gua itu.
Sebab firasatnya mengatakan kepadanya bahwa sesuatu pasti akan
dihadapinya. Dan firasat itu telah diperkuat oleh telapak- telapak kaki
yang ditemukan di bawah tebing ini.
Kini Mahisa Agni duduk tepekur. Dicobanya untuk memulihkan tenaganya
lebih dahulu. Sebab kemungkinan yang dihadapinya adalah sama gelapnya
dengan gua itu sendiri. Mungkin ia harus bertempur mati-matian, dan
mungkin pula, ia harus berkubur di dalam gua ini.
Ketika nafasnya telah teratur kembali dan tenaganya telah sebagian besar
dimilikinya, maka Mahisa Agni pun bersiap pula. Sekali lagi ia berdoa
kepada yang Maha Agung, semoga perjalanannya kali ini akan berhasil.
Mahisa Agni itu pun kemudian perlahan-lahan berdiri. Sekali-kali
dirabanya keris dilambungnya. Kemudian perlahan-lahan pula ia melangkah
memasuki gua yang semakin pekat. Namun lambat laun, matanya menjadi
biasa pula dalam kegelapan, sehingga semakin lama, meskipun hanya
remang-remang ia dapat juga melihat beberapa bagian dari gua itu.
Apalagi mata Mahisa Agni yang cukup terlatih itu. Dilihatnya pula
dinding-dinding gua yang seolah-olah bergerigi tajam. Beberapa ujung
yang runcing menjorok mengerikan.
Kaki Mahisa Agni semakin pedih juga. Luka-luka yang ditimbulkan oleh
ujung-ujung batu dan karang telah melukai kakinya, tetapi luka-luka itu
kemudian tak terasa lagi, ketika segenap perhatiannya terpusat pada
pusat gua yang gelapnya bukan kepalang.
Ternyata gua itu cukup dalam. Namun terasa oleh Mahisa Agni bahwa
jalur-jalur di dalam gua itu semakin lama semakin menanjak. Ternyata gua
itu bertambah naik. Bahkan kadang-kadang terasa Mahisa Agni seakan-akan
naik di atas tingkatan tangga yang dibuat oleh tangan manusia.
"Hem," desahnya, "ternyata guruku bukan satu-satunya orang yang pernah mengunjungi gua ini."
Tetapi kemudian anak muda itu bergumam pula, "Atau mungkin guru pula yang membuat anak tangga ini?"
Tetapi kemudian segenap perhatian Mahisa Agni pun tenggelam dalam
keasyikannya mendaki tangga-tangga yang lebih sulit lagi. Semakin lama
semakin tinggi. Dan jalur-jalur gua itu masih menghunjam terus
seakan-akan menembus ke pusat Gunung Semeru.
Mahisa Agni tidak tahu, sudah berapa dalam ia masuk ke dalam lubang
tanah yang menganga seperti mulut seekor ular raksasa itu. Ia berjalan
terus dan bahkan kadang-kadang harus merangkak dengan susah payah.
Bahkan kemudian Mahisa Agni masih terpaksa beristirahat untuk beberapa
saat lamanya.
Ketika kemudian Mahisa Agni berjalan kembali, ia terkejut melihat cahaya
di hadapannya. Gua itu pun semakin lama menjadi semakin terang.
"Aneh," katanya di dalam hati, "apakah aku sudah akan sampai ke ujung yang lain?"
Namun pertanyaan itu segera terjawab. Ternyata gua itu telah jauh
menanjak, sehingga kemudian tampaklah oleh Mahisa Agni sebuah lubang
yang tegak lurus ke atas. Dari lubang itulah sinar yang tak langsung
menusuk ke dalam gua itu. Meskipun demikian, setelah sekian lama Mahisa
Agni tersekap di dalam kegelapan, maka sinar yang lemah itu terasa
betapa nyamannya. Terasa seakan-akan ia baru saja terlepas dari satu
kungkungan yang menjemukan. Dari lubang itu Mahisa Agni dapat memandang
langit yang biru. Meskipun lubang itu tidak begitu besar, bahkan karena
panjangnya, maka ujung lubang itu seakan-akan terkatup, namun
daripadanya, Mahisa Agni segera dapat mengetahuinya bahwa hari sudah
menjelang senja. Dilihatnya sepintas awan yang bergerak di langit,
diwarnai oleh sinar yang kemerah-merahan.
Tetapi karena itu Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau
sebentar kemudian malam tiba, maka gua itu akan menjadi semakin gelap.
Karena itu, maka kemudian Mahisa Agni itu pun berusaha mempercepat
langkahnya. Secepat yang dapat dilakukannya. Dengan berpegangan dinding
gua ia berjalan setapak demi setapak. Seperti yang sudah dilakukannya,
kadang-kadang ia harus merangkak, sebab gua itu masih cenderung naik.
Lubang yang tegak menembus lambung Gunung Semeru itu ternyata tidak
hanya sebuah. Di mukanya, kembali Mahisa Agni melihat cahaya yang
kemerah-merahan. Ia pasti, bahwa cahaya itu pun jatuh dari lubang yang
serupa dengan lubang yang pernah dilihatnya.
Tetapi langkah Mahisa Agni itu pun segera terhenti. Dalam cahaya yang
kemerah-merahan itu, dilihatnya sesuatu yang bergerak-gerak. Sebuah
desir yang tajam menggores dada anak muda itu. Benda yang bergerak-gerak
itu tampak remang-remang di seberang cahaya yang kemerah-merahan
sehingga Mahisa Agni tidak dapat segera melihatnya dengan seksama. Namun
kemudian anak muda itu melonjak. Dan terdengar nyaring di dalam hati,
"Seseorang telah mendahului aku."
Mahisa Agni itu pun menggeram, Kini ternyata dugaannya benar. Tapak kaki
yang dilihatnya serta bekas-bekas guguran batu-batu padas itu bukanlah
sekedar karena angan-angannya saja. Kini orang itu telah berada beberapa
langkah di hadapannya.
Namun agaknya orang itu belum melihat kehadiran iya. Karena itu Mahisa
Agni pun berhenti di tempatnya. Bahkan ia kemudian duduk di lantai gua
yang lembab itu.
"Syukurlah, aku yang lebih dahulu melihatnya," pikir Mahisa Agni.
Kini ia benar-benar menenangkan dirinya. Ia hanya tinggal mengawasi
orang itu. Sementara itu ia sempat untuk memulihkan kembali segenap
tenaganya setelah ia bertempur melawan Empu Pedek, dan setelah ia
memeras sisa tenaganya untuk mendaki lereng gundul di kaki Gunung Semeru
itu.
Mahisa Agni telah bertekad untuk tidak menyapanya lebih dahulu. Ia masih
memerlukan waktu untuk memulihkan tenaganya kembali. Mungkin orang itu
telah beristirahat pula sehingga orang telah memiliki kesegaran
tenaganya kembali. Bahkan mungkin telah dua tiga hari ia berada di
tempat itu, atau bahkan mungkin ia telah berhasil mengambil akar wregu
putih itu.
Bahkan kemudian timbul pula pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang
itu Empu Pedek yang timpang? Kalau demikian, maka ia harus mengulangi
pertempuran sekali lagi seperti yang pernah terjadi. Namun kali ini ia
tidak akan menanggung akibat dari kekalahannya melawan orang timpang
itu. Karena itu tiba-tiba ia meraba hulu kerisnya. Meskipun keris itu
tidak sesakti trisula kecil pemberian gurunya, namun kerisnya adalah
pusaka yang berbentuk senjata, yang benar-benar dapat dipergunakannya
untuk bertempur dan menyobek dada lawannya. "Kalau aku harus bertempur
sekali lagi, maka aku terpaksa mempergunakannya," katanya di dalam hati,
"sebab akar wregu itu pun sebuah pusaka rangkapan yang tak ternilai
harganya."
Di samping itu timbul pula berbagai pertanyaan di dalam dadanya. Menurut
gurunya, akar wregu putih itu adalah rangkapan sebuah pusaka lain yang
berbentuk trisula, seperti yang dikatakan oleh Empu Pedek pula. Namun
ternyata yang mencari akar wregu itu terdapat seorang yang datang dari
Kaki Gunung Merapi pula. Apakah di samping sebagai pusaka rangkapan
trisula, akar wregu putih itu mempunyai nilai yang lain pula?"
Tetapi Mahisa Agni tidak mau diganggu oleh berbagai pertanyaan itu. Apa
pun yang akan dihadapinya, namun ia telah bertekad untuk mendapatkan
benda itu. Ia sudah siap menghadapi kemungkinan yang paling pahit.
Berkubur di dalam gua ini.
—–
Namun kali ini ia tidak akan menanggung akibat dari kekalahannya melawan
orang timpang itu. Karena itu tiba-tiba ia meraba hulu kerisnya.
—–
Cahaya yang kemerahan itu pun semakin lama semakin pudar. Gua itu pun
semakin lama menjadi semakin kelam. Dengan demikian Mahisa Agni tidak
akan dapat menyelesaikan pekerjaannya kini, kecuali apabila terpaksa.
Karena itu, maka kemudian ia hanya dapat menggeser dirinya, duduk tepat
di tengah-tengah gua itu. Apapun yang dilakukan oleh orang yang
dilihatnya itu, namun apabila orang itu akan meninggalkan gua, maka
pasti ia melampauinya. Dalam kesempatan itu ia akan dapat mencegahnya.
Demikianlah malam yang kelam turun menyelimuti Gunung Semeru itu. Yang
terdengar kemudian adalah siulan angin pada lubang-lubang di
lereng-lereng gunung raksasa itu.
Mahisa Agni masih saja duduk tepekur di tempatnya. Ia mencoba untuk
menunggu sampai besok. Meskipun gua itu hampir tak ada bedanya antara
siang dan malam, namun di siang hari, masih juga betapa pun lemahnya,
samar-samar yang dapat membantunya. Di siang hari, mata Mahisa Agni yang
tajam itu, masih dapat melihat walaupun sama sekali tidak jelas, setiap
bayangan yang ada di dalam gua itu. Apalagi, ternyata bahwa di dalam
gua itu terdapat lubang-lubang yang dapat menampung sinar-sinar matahari
yang jatuh menghambur di lambung Gunung Semeru itu.
Tetapi terasa betapa panjangnya waktu. Mahisa Agni merasa bahwa
seakan-akan malam itu tidak akan berujung. Akhirnya ia menjadi jemu.
Menunggu baginya adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan.
Karena itu timbul dalam pikirannya, untuk mendekati orang yang
dilihatnya siang tadi. Mungkin ia dapat menangkap desah nafasnya atau
bunyi apa pun yang ditimbulkannya. Karena Mahisa Agni telah melihatnya
lebih dahulu, maka ia akan dapat lebih hati-hati daripada orang itu. Ia
akan dapat mengatur gerak dan pernafasannya sehingga tidak menimbulkan
bunyi.
Demikianlah akhirnya Mahisa Agni tidak dapat menunda keinginannya itu.
Perlahan-lahan sekali ia menggeser dirinya mendekati bayangan seseorang
yang dilihatnya tadi. Semakin lama semakin dekat. Namun kadang-kadang
timbul pula keragu-raguan di hati Mahisa Agni. Apakah orang itu masih
berada di tempatnya?
Tetapi kemudian dada Mahisa Agni itu pun menjadi berdebar-debar.
Akhirnya didengarnya juga desah nafas orang yang dicarinya itu.
Perlahan-lahan sekali dan betapa nafas itu sangat teratur.
"Orang itu tertidur," bisik Agni di dalam hatinya.
Tiba-tiba timbullah keinginan di dalam hati Mahisa Agni untuk mendahului
orang itu. Namun ia menjadi ragu-ragu. Kalau orang itu Empu Pedek, maka
betapa pun untuk tidak menimbulkan suara, namun pasti pendengaran orang
itu cukup baik, sehingga maksudnya tak akan dapat dilakukannya.
"Aku dapat membinasakannya selagi ia masih tertidur," terdengar suara di
sudut hatinya, namun terdengar suara yang lain, "Pengecut!"
Dalam keragu-raguan itu, Mahisa Agni terduduk kembali. Ia menjadi bingung apa yang akan dilakukannya.
Tetapi ia terkejut ketika ternyata suara nafas yang didengarnya itu
semakin lama semakin jauh. Ternyata orang itu sama sekali tidak
tertidur. Bahkan orang itu ternyata sedang berjalan semakin dalam masuk
ke dalam gua ini.
Hati Mahisa Agni berdesir karenanya. Dan tiba-tiba pula ia pun berdiri.
Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan akar wregu putih
itu. Karena itu ia pun berjalan pula dengan hati-hati menelusuri tepi
gua mengikuti suara nafas orang yang telah berjalan mendahuluinya.
Kini hati Mahisa Agni tidak tenggelam lagi dalam kejemuan, namun kini
hati itu menjadi tegang. Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan ia
mengikuti suara nafas orang di hadapannya, namun karena malam demikian
kelam, apalagi di dalam relung gua itu, maka Mahisa Agni belum berhasil
melihat orangnya. Tetapi karena pendengaran Mahisa Agni yang tajam, maka
ia dapat mengira-ngira apa yang sedang dilakukan oleh orang itu.
Mahisa Agni berjalan cepat apabila engah nafas itu pun berjalan cepat
pula, dan ia terpaksa berhenti apabila orang itu pun berhenti.
Dalam pada itu Mahisa Agni pun mencoba untuk menduga-duga, apakah orang yang berjalan itu telah mengetahui kehadirannya pula
Dalam ketegangan itu, Mahisa Agni telah lupa akan peredaran waktu. Ia
tidak tahu lagi saat dan waktu. Apakah ia telah berada di pertengahan
malam, sebelumnya atau sesudahnya. Tetapi ia merasa bahwa kakinya telah
menjadi penat pula dan pedih-pedih di telapak kaki dan tangannya menjadi
semakin pedih. Namun ia tidak akan berhenti sebelum akar wregu putih
itu dikuasainya.
Ternyata bahwa ketegangan yang mencengkeram dada Mahisa Agni itu telah
merampas segenap perhatiannya atas apa saja. Ternyata kemudian Mahisa
Agni terkejut bukan kepalang, ketika tiba-tiba saja dilihatnya di
kejauhan bayangan yang meremang. Cahaya yang suram yang jatuh ke dalam
gua itu
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Katanya di dalam hati, "Ternyata hari
telah pagi." Dan sejalan dengan itu, tubuhnya pun terasa semakin lemah.
Tetapi desah nafas orang itu masih saja didengarnya semakin dalam masuk
ke pusat gua. Dan karena itu, berapa pun penatnya, Mahisa Agni tidak
juga mau berhenti. Bahkan akhirnya Mahisa Agni siap untuk mengambil
keputusan, menentukan nasibnya di antara mereka berdua. Mahisa Agni
tidak akan membiarkan tenaganya menjadi terperas habis, baru kemudian
menghadapi orang itu. Kini selagi masih cukup tenaga padanya, apa pun
yang akan terjadi akan segera dihadapinya.
Karena itu, maka Mahisa Agni segera mempercepat langkahnya. Semakin lama
semakin mendekati orang itu. Desah nafas orang itu pun semakin
terdengar nyata. Namun tidak teratur seperti yang didengarnya
sebelumnya. Maka katanya di dalam hati, "Orang itu pun kelelahan."
Mahisa Agni kemudian membiarkan orang itu sampai di bawah sinar
keremangan pagi yang menembus dari lubang-lubang dalam gua itu. Namun
karena cahaya itu masih demikian lemahnya, maka yang dilihatnya hanyalah
sebuah bayangan yang kelam.
Tetapi bayangan itu sudah cukup mengejutkan dada Mahisa Agni. Ternyata
bayangan itu bukanlah seorang yang timpang dan berperawakan mirip dengan
Empu Pedek. Orang itu ternyata seorang yang bongkok meskipun tidak
timpang. Ia berjalan tersuruk-suruk berpegangan pada dinding gua. Bahkan
nafasnya pun terdengar semakin terengah-engah.
Tetapi Mahisa Agni hanya dapat melihatnya untuk sesaat. Sebab sesaat
kemudian orang itu pun telah lenyap kembali dalam kelamnya relung gua.
Sesaat Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Kini datanglah gilirannya untuk
menyeberangi daerah yang remang-remang itu. Namun ia telah bertekad
untuk menghadapi setiap kemungkinan, dan bahkan ia ingin mempercepat
penyelesaian yang mendebarkan itu. Karena itu, tiba-tiba terdengarlah
Mahisa Agni itu berkata nyaring, dan suaranya menggelegar memukul-mukul
dinding gua, seolah-olah melingkar-lingkar di dalamnya.
"He, Ki Sanak," katanya, "berhentilah!"
Mahisa Agni tidak melihat orang itu. Namun tiba-tiba ia melihat bayangan
itu muncul kembali dalam keremangan cahaya pagi yang jatuh ke dalam gua
itu.
"Siapakah kau?" terdengar orang itu bertanya dengan suara yang lemah.
"Aku!" jawab Mahisa Agni. Dan kemudian ia bertanya pula, "Dan siapa kau ini?"
Orang itu tidak segera menjawab. Ia masih mencoba memandang ke arah
Mahisa Agni. Namun agaknya orang itu masih belum melihat Mahisa Agni.
Mahisa Agni menjadi heran, ketika ia melihat orang bongkok itu berjalan
tersuruk-suruk, maju mendekatinya tanpa prasangka apapun. Bahkan
kemudian terdengar ia berkata, "Di manakah kau?"
Mahisa Agni justru mundur beberapa langkah. Ia melihat bayangan itu
menjadi semakin dekat. Mahisa Agni berdiri di tempat yang lebih baik,
namun ia harus cukup waspada. Dari tempatnya berdiri ia yakin bahwa
orang itu belum melihatnya.
Meskipun demikian Mahisa Agni berkata pula, "Berhenti di tempatmu!"
"He?" ternyata orang itu terkejut ketika tiba-tiba itu mendengar suara
Agni telah begitu dekat di mukanya. Karena itu ia pun segera berhenti
pula. Katanya, "Siapakah kau?"
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Dengan cermatnya ia mencoba melihat keseluruhan dari orang itu. Namun ia masih terlalu lemah.
Sesaat gua itu menjadi sepi. yang terdengar hanyalah desah nafas orang
bongkok itu terengah-engah. Tangannya pun tampak berpegangan pada
dinding gua untuk menahan berat badannya. Dan sekali lagi tanpa
prasangka apa pun ia maju selangkah. Namun langkahnya tampak betapa
beratnya. Dan terdengar ia bertanya pula, "Siapakah kau?"
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Namun ia masih belum merasa perlu
menyatakan dirinya. Bahkan kemudian terdengar ia pun bertanya, "Siapakah
kau?"
Orang bongkok itu mengangguk-angguk. Nafasnya masih terengah-engah dan
bahkan kemudian ia bergumam, "Aku lelah sekali. Biarlah aku duduk di
sini."
Kembali Mahisa Agni menjadi keheranan. Orang itu sekali tidak
berprasangka. Orang itu sama sekali tidak dalam keadaan bersiap untuk
menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan dengan tenangnya ia duduk
bersandar dinding.
Terdengarlah orang itu menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, "Ah. Betapa lelahnya."
Namun Mahisa Agni tidak mau terjerat oleh keadaan yang belum
diketahuinya benar. Mungkin orang itu adalah seorang yang sakti, yang
merasa dirinya tak terkalahkan, sehingga ia tidak perlu berkecil hati,
siapa pun yang akan dihadapinya. Mungkin pula orang itu sedang
memancingnya untuk menghilangkan kewaspadaannya untuk kemudian dengan
serta-merta menyerangnya dan sekaligus membinasakannya. Karena itu,
Mahisa Agni masih tetap berdiri tegak dalam kesiagaan penuh.
Ketika kemudian Mahisa Agni melihat orang itu masih saja duduk
seakan-akan tak ada sesuatu yang dipikirkannya, maka terdengarlah ia
sekali lagi bertanya, "He, Ki Sanak. Siapakah kau ini?"
Orang itu tersentak. Kemudian terdengar ia menjawab, "Oh. Hampir aku
lupa akan kehadiranmu Ki Sanak. Aku adalah Buyut Ing Wangon."
"Buyut dari Wangon?" ulang Mahisa Agni.
"Ya," sahut orang itu. Kemudian ia menggeser duduknya menghadap ke arah
suara Mahisa Agni, "Siapakah kau Ki Sanak. Marilah, duduklah di sini.
Kenapa kau berada di dalam gelap?"
Sekali lagi Mahisa Agni menjadi heran. Kata-kata orang itu pun seperti
sikapnya pula. Tanpa prasangka. Namun Mahisa Agni pun yang masih tetap
berprasangka. Karena itu maka ia tidak segera menjawab pertanyaan orang
itu. Bahkan kemudian terdengar ia bertanya pula, "Apakah maksud Ki Buyut
Wangon datang kemari?"
Orang itu mengangkat alisnya. Tampaklah dalam keremangan pagi yang
semakin terang, orang bongkok itu menggerakkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Kemarilah Ki Sanak. Duduklah, biarlah kita dapat
bercakap-cakap dengan baik. Aku sama sekali belum melihat bayanganmu. Di
sini, meskipun tidak jelas, aku akan dapat melihat di mana kau sedang
duduk."
Tetapi Mahisa Agni masih tetap berada di tempatnya. Sejengkal pun ia
tidak bergeser. Bahkan ia terkejut ketika ia mendengar orang yang
menyebut dirinya Buyut Ing Wangon itu tiba-tiba mengeluh, "Bagus. Bagus
jangan dekati aku. Kau akan dapat kejangkitan penyakit terkutuk ini
pula. Oh, alangkah malangnya apabila aku tak berhasil pulang kembali
dengan obat itu."
Dada Mahisa Agni menjadi ber-debar-debar karenanya. Dari kata-kata itu
Mahisa Agni dapat mengetahuinya, bahwa orang bongkok itu sedang mencari
obat untuk penyakitnya. Penyakit menular. Namun meskipun demikian Mahisa
Agni tidak segera dapat mengambil kesimpulan. Dan terdengarlah ia
bertanya, "Ki Buyut. Apakah sakit Ki Buyut itu. Dan apakah obat yang
sedang Ki Buyut cari di dalam gua ini?"
Sekali lagi Mahisa Agni melihat, Buyut Wangon itu mencoba menatapnya di
dalam gelap. Tetapi agaknya orang bongkok itu masih belum berhasil
melihatnya.
"Ki Sanak," katanya kemudian, "kenapa Ki Sanak bersembunyi?"
"Aku tidak bersembunyi," jawab Mahisa Agni.
"Oh," orang itu menarik nafas. Kemudian terdengar ia bertanya, "Siapakah kau sebenarnya?"
Tiba-tiba Mahisa Agni menjadi semakin curiga. Apakah orang ini sedang
memancingnya untuk mengetahui siapakah sebenarnya dirinya, dengan
perhitungan-perhitungan yang tertentu? Mungkin orang itu ingin
mengetahui nama dan tempat tinggalnya. Baru kemudian ia berusaha untuk
mencari trisulanya. Kalau kemudian dirinya dapat dikalahkan, dan trisula
itu tidak ada padanya, maka orang itu akan dapat mencarinya ke tempat
kediamannya. Bahkan Mahisa Agni kemudian menyangka, bahwa tidak mustahil
orang itu salah seorang kawan Empu Pedek. Karena itu tiba-tiba saja
Mahisa Agni menjawab, "Aku adalah Empu Pedek."
Mahisa Agni menjadi heran. Dan pertanyaan di dalam dadanya semakin
menghunjam ke pusat jantungnya. Ternyata orang itu sama sekali tidak
terkejut mendengar jawabannya.
Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya terdengar orang itu bergumam, "Empu Pedek. Dari manakah Ki Sanak datang?"
Kalau demikian maka Mahisa Agni merasa dugaannya ternyata meleset. Dan
tiba-tiba saja angan-angannya segera bergeser kepada orang yang datang
dari Gunung Merapi. Apakah orang ini pun datang dari kaki Gunung Merapi
itu? Untuk meyakinkan dugaannya itu maka Mahisa Agni menjawab, "Aku
datang dari Gunung Merapi."
Orang itu kini terkejut. "Gunung Merapi?" ulangnya.
"Ya," sahut Mahisa Agni.
Namun kemudian Mahisa Agni pun menjadi kecewa. Sebab orang itu tidak
terkejut karena sesuatu hubungan dengan dirinya sendiri. Bahkan orang
itu kemudian bertanya, "Alangkah jauhnya. Apakah yang telah memukau Ki
Senak terpaksa menempuh jarak yang sedemikian panjang?"
Kembali Mahisa Agni tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Kembali
ia menjadi bimbang. Sesaat Mahisa Agni diam mematung. Dan karena itu,
maka suasana di dalam gua itu pun menjadi sepi. yang terdengar hanyalah
desah nafas orang yang menamakan diri Buyut dari Wangon itu.
Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh pertanyaan Mahisa Agni yang
tiba-tiba, "Ki Sanak, apakah yang sebenarnya kau cari di dalam gua ini?
Kalau Ki Sanak sedang menderita sakit, apakah penyakit itu dan obat
apakah yang harus kau temukan?"
Sekali lagi orang bongkok itu menatap gelapnya gua. Namun tak dilihatnya
seorang pun. Meskipun demikian terdengar ia menjawab dengan jujur, "Ki
Sanak, kami, hampir semua orang dalam padukuhan kami di Wangon terserang
penyakit yang aneh. Mereka menjadi lemah dan kemudian meninggal dunia.
Tidak saja orang-orang dari Wangon, namun orang-orang padukuhan di
sekitarnya pun demikian pula. Akhirnya, kami mendapat petunjuk dari
seorang wiku sakti, bahwa penyakit itu akan dapat dilenyapkan dengan
obat yang terdapat di dalam gua ini. Akar wregu yang berwarna putih."
Meskipun Mahisa telah menduganya, namun ketika ia mendengar orang
bongkok itu mengucapkan nama akar wregu putih, hatinya berdesir pula.
Ternyata orang itu pun mempunyai kepentingan yang sama meskipun
alasannya berbeda-beda. Dan ternyata pula, akar wregu putih itu
mempunyai nilai yang ganda pula. Tidak saja sebagai rangkapan trisulanya
sehingga kedua pusaka itu akan menjadi satu kesatuan yang sakti tiada
taranya, namun orang dari Wangon itu memerlukannya untuk obat
penyakitnya.
Karena itu, maka Mahisa Agni tidak dapat berbuat lain daripada berjuang
kembali untuk mendapatkan pusaka itu. Buyut dari Wangon yang telah
berhasil memasuki gua ini pun pasti seorang yang telah dibekali oleh
ilmu yang cukup. Bahkan, Mahisa Agni menjadi heran, apakah orang ini
tidak berjumpa dengan Empu Pedek sebelum memasuki gua ini? Atau Buyut
dari Wangon ini telah berhasil mengalahkan orang timpang itu? Namun apa
pun yang telah terjadi, maka kini Buyut Ing Wangon itu harus berhadapan
dahulu dengan Mahisa Agni, murid dari padepokan Panawijen.
"Ki Sanak," kemudian terdengar suara Mahisa Agni "tidak adakah obat lain
yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit itu selain dari akar wregu
putih dari dalam gua ini?"
Buyut Ing Wangon itu menjadi heran. Katanya, "Kalau ada obat yang lain,
maka obat itu pasti sudah kami pergunakan. Beribu-ribu macam obat telah
kami coba, namun tak ada yang bermanfaat bagi kami. Bahkan dari hari ke
hari, korban dari penyakit itu semakin bertambah-tambah. Mula-mula
hampir setiap lima enam hari sekali, ada korban yang meninggal dunia.
Kemudian dua tiga hari seorang meninggal, jarak itu menjadi semakin
dekat semakin dekat. Akhirnya kini setiap hari padukuhan kami selalu
diramaikan oleh jerit tangis anak yang kehilangan orang tua mereka, atau
orang-orang tua yang kehilangan anak-anak mereka. Tidak saja seorang
sehari, bahkan kadang-kadang saling berpapasan di perjalanan
usungan-usungan mayat yang akan dikubur. Bahkan kadang-kadang kami
membakarnya lebih dahulu belum sempat menguburkannya."
"Akhirnya turunlah seorang wiku sakti, petapa di dekat kepundan Gunung
Bromo. Wiku itu telah mendengar wisik dari Hyang Widi, bahwa penyakit
yang sedang melanda padukuhan Wangon itu dapat disembuhkan dengan akar
wregu putih yang terdapat di dalam gua, di lereng gundul Gunung Semeru.
Nah, karena itulah aku datang kemari. Namun ternyata sebelum aku
berangkat, penyakit itu telah melekat pula dalam tubuhku, sehingga kini
aku merasa, tenagaku semakin lama menjadi semakin lemah. Tidak saja
karena aku kelelahan, namun penyakit itu telah menghisap sebagian dari
kekuatanku."
Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar pula. Akar wregu putih
itu sangat berarti baginya. Ia telah menempuh jarak yang demikian
panjang, dari kaki Gunung Kawi. Telah dilampauinya bermacam-macam
bahaya. Binatang buas, orang-orang jahat di perjalanan. Alam dan
kesulitan-kesulitan yang lain. Yang terakhir adalah seorang timpang yang
bernama Empu Pedek, yang hampir saja merampas nyawanya. Kemudian lereng
gundul itu sendiri. Apakah kemudian, ia tidak akan berhak memiliki akar
wregu putih itu?
"Apakah yang akan aku hadapi, akar wregu itu harus aku bawa pulang dan
aku serahkan kepada guruku, meskipun akan diberikan kepadaku," katanya
di dalam hati. Karena itu tiba-tiba Mahisa Agni menggeram, selangkah ia
maju dan dengan lantang ia berkata, "Ki Sanak, Buyut dari Wangon.
Sayang, bahwa kau tidak akan dapat memiliki akar wregu putih itu."
Ki Buyut dari Wangon itu terkejut bukan buatan. Dengan terbata-bata ia berkata, "Kenapa? Kenapa Ki Sanak?"
Terdengar pula jawaban Mahisa Agni lantang, "Akar wregu putih itu adalah milikku!"
Ki Buyut Wangon itu terdiam sejenak. Ia masih mencoba melihat bayangan
Agni dalam kegelapan. Namun tak satu pun yang dapat ditangkap oleh
matanya. Sejenak kemudian ia berkata, "Jadi adalah akar wregu putih itu
milik seseorang?"
"Ya," sahut Agni pendek.
Orang itu menggeleng. Cahaya keremangan di belakang orang itu menjadi
semakin terang. Namun wajah orang itu pun masih belum dapat dilihat
dengan jelas oleh Mahisa Agni.
"Aneh," gumamnya, "Wiku yang sakti itu berkata, bahwa akar wregu putih
itu telah berada di tempat ini sejak tujuh ratus empat puluh tiga tahun
yang lampau. Seandainya akar itu milik seseorang, apakah orang itu masih
hidup sampai saat ini?"
"Aku adalah ahli warisnya," sahut Mahisa Agni cepat-cepat.
"Oh," gumam orang itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Tujuh ratus tahun adalah waktu yang panjang. Keturunan ke berapakah Ki
Sanak ini?
Mahisa Agni terdiam untuk sesaat. Pertanyaan itu sulit dijawabnya.
Meskipun demikian Mahisa Agni itu meneruskan jawaban pula, "Aku tidak
tahu Ki Buyut, namun kami mendengar turun temurun dari nenek-nenek kami,
bahwa kami adalah ahli waris dari akar wregu di dalam gua di lereng
gundul Gunung Semeru."
Orang itu diam pula sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan kepala ia
kemudian berkata, "Hem. Bagaimanakah kalau aku juga berkata demikian.
Aku juga mendapat hak dari pewarisnya. Wiku sakti itu adalah ahli waris
yang sah dari akar wregu itu."
"Bohong!" potong Mahisa Agni, "Bukankah Wiku itu mendengar dari wisik Sang Hyang Widi?"
"Aku belum mengatakan bagaimana bunyi wisik itu," sahut Buyut Wangon.
"Tidak perlu!" kembali Agni memotong, "kau akan membuat suatu cerita tentang bunyi wisik itu."
"Ki Sanak," berkata Buyut dari Wangon itu. Kemudian kata-katanya
terdengar lemah dan perlahan-lahan, "Baiklah. Seandainya ada ahli waris
dari pemilik akar wregu itu sekali pun. Namun kita berdua datang pada
waktu yang berbeda. Aku ternyata lebih dahulu dari Ki Sanak. Kita telah
datang pada saat yang hampir bersamaan. Dan kita masing-masing tak dapat
menunjukkan kebenaran tentang ahli waris itu. Karena itu biarlah aku
yang datang lebih dahulu dapat memilikinya."
Dan Mahisa Agni berdesir mendengar perkataan Buyut Wangon itu. Dengan
demikian, semakin yakinlah ia, bahwa ia harus merebut akar itu dengan
suatu perjuangan pula. Karena itu maka jawabnya, "Ki Buyut, Kita tidak
sedang berlomba berebut dahulu. Terapi kita sekarang memperebutkan akar
wregu putih itu."
Buyut Wangon itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia
berkata, "Ki Sanak bersikeras untuk mendapatkan akar itu, apakah
sebenarnya keperluan Ki Sanak dengan akar itu? Apakah di daerah Ki Sanak
juga terdapat wabah penyakit seperti daerah Wangon?"
"Apapun yang akan aku lakukan atas akar itu, bukanlah kepentinganmu," sabut Mahisa Agni.
Kembali Ki Buyut itu terdiam. Dengan lemahnya ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun agaknya orang itu tidak berputus asa. Katanya, "Ki
Sanak. Aku minta dengan sangat, biarlah aku membawa akar ini, demi
keselamatan beratus-ratus bahkan lebih dari seribu orang di berbagai
daerah sekitar Wangon."
"Tidak!" jawab Agni tegas.
Tiba-tiba orang bongkok itu berdiri. Dengan berpegangan pada dinding gua
ia berkata, "Aku akan mengambil akar wregu itu. Aku tidak dapat
membiarkan seluruh penduduk Wangon dan sekitarnya menjadi tumpas karena
penyakit terkutuk itu Dan tentu saja aku ingin menyelamatkan nyawaku
sendiri pula."
Sebelum Mahisa Agni menjawab orang itu sudah melangkahkan kakinya. Namun
tiba-tiba ia terhenti pula ketika Mahisa Agni membentak, "Berhenti!
Jangan maju lagi meskipun hanya selangkah!"
Orang itu berpaling. Namun belum juga dilihatnya Mahisa Agni. Katanya,
"Apakah Ki Sanak tidak juga dapat mengerti? Apakah tidak ada rasa
perikemanusiaan sama sekali di dalam dada Ki Sanak?"
Namun akar wregu putih itu, bagi Mahisa Agni adalah benda yang sangat
berharga. Karena itu jawabnya lantang, "Ki Buyut dari Wangon. Kita
bersama-sama menganggap benda itu sangat penting bagi diri kita
masing-masing. Kita masing-masing sudah menempuh jarak yang tak
terkirakan jauh dan bahayanya. Kini kita berhadapan di dalam gua ini.
Karena itu, biarlah kita selesaikan persoalan kita, seperti
persoalan-persoalan lain yang timbul di perjalanan. Kita tentukan
siapakah di antara kita yang berhak memiliki akar wregu putih itu."
Orang bongkok itu masih berdiri di tempatnya sambil berpegangan dinding
gua. Ketika ia mendengar kata-kata Mahisa Agni itu pun ia menjadi
terkejut. Maka katanya, "Apakah maksud Ki Sanak itu? Bagaimanakah kita
akan menentukan, siapakah di antara kita yang berhak memiliki wregu
itu?"
"Kita adalah laki-laki," sahut Mahisa Agni, "Kita telah berani menempuh
perjalanan ini. Karena itu nyawa kita pertaruhkan. Nah, bersiaplah. Kita
akan bertempur sampai ada di antara kita yang mencabut keinginan kita
untuk memiliki benda itu. Hidup atau mati!"
"Oh," ternyata Buyut Wangon itu terkejut bukan buatan. Dan terlontarlah
pertanyaan dari mulutnya, "Jadi haruskah kita berkelahi?"
"Ya!" jawab Mahisa Agni pendek.
"Oh," orang itu tiba-tiba mengelus dadanya, dan tampaklah tiba-tiba pula
ia menjadi gemetar. Katanya, "Ki Sanak, aku datang kemari dari jarak
yang jauh itu untuk menghindarkan kematian dari orang-orang di Wangon.
Kenapa tiba-tiba aku di sini dihadapkan pada kemungkinan untuk mati
dengan cara yang demikian? Ki Sanak, aku tak pernah membayangkan, bahwa
seseorang dapat berbuat seperti Ki Sanak itu. Aku tidak pernah dapat
mengerti, kenapa seseorang harus berkelahi?"
"Sekarang kau akan mengerti Ki Buyut," sanggah Mahisa Agni, "dalam
keadaan seperti keadaan kita sekarang. Tak ada cara penyelesaian yang
lain!"
"Aku kira Ki Sanak bisa mengerti, demi perasaan ke perikemanusiaan yang ada di dalam dadamu, meskipun hanya sepercik kecil."
Mahisa Agni terdiam sesaat. Namun benda itu sudah diusahakannya dengan
melintasi bahaya. Karena itu kembali tekad yang bulat mencengkam
dadanya. Maka jawabnya," Aku akan mengambil akar itu."
"Jangan Ki Sanak!" pinta Buyut Wangon itu sambil gemetar, "Aku tidak
pernah membayangkan untuk berkelahi dengan siapa pun, namun ribuan orang
di sekitar daerah Wangon menanti kedatanganku dengan obat itu."
"Aku tidak peduli!" jawab Agni singkat.
Orang itu masih memegangi dadanya seakan-akan takut akan pecah. Dan
terdengarlah ia berkata lirih, "Ki Sanak. Katakanlah, apakah gunanya
akar itu bagi Ki Sanak? Apakah Ki Sanak akan mempergunakannya sebagai
obat seperti aku akan mempergunakannya? Apabila demikian Ki Sanak,
biarlah aku mengalah. Sebab kegunaan akar wregu itu akan sama saja, di
tempat Ki Sanak atau di Wangon. Kedua-duanya memungkinkan tertolongnya
ribuan jiwa, termasuk perempuan dan kanak-kanak. Atau apabila Ki Sanak
rela, aku hanya ingin mendapat sepotong daripadanya. Mudah-mudahan akan
mampu menolong jiwa orang-orang di sekitar tempat Ki Sanak dan
orang-orang di Wangon sekaligus."
Kembali terasa sesuatu berdesir di dalam dada Mahisa Agni. Ribuan orang
akan diselamatkan oleh akar wregu putih itu. Tetapi ketika kembali
diingatnya, bahwa akar itu adalah rangkapan pusakanya, yang dapat
menjadikannya sakti tiada taranya, maka kembali ia berkata, "Jangan
ributkan kegunaannya! Minggir! Aku akan mengambil akar wregu itu."
Kini Mahisa Agni tidak menunggu jawaban lagi. Ia maju beberapa langkah
sambil berkata, "Kalau kau ingin menentukan siapa di antara kita yang
berhak memiliki akar wregu itu, bersiaplah. Kalau tidak, minggirlah!"
Orang itu tidak menjawab pertanyaan Agni. Bahkan dengan serta-merta ia
memutar tabuhnya, dan dengan sekuat ia dapat, maka orang bongkok itu
mencoba berlari tersuruk-suruk masuk ke pusat gua itu.
Sesaat Mahisa Agni tertegun. Ia menjadi sedemikian heran. Orang bongkok
itu sama sekali tidak bersiap untuk melawannya, tetapi orang itu telah
mencoba untuk berlari mendahuluinya.
Ketika Mahisa Agni tersadar akan keadaan itu, maka ia pun tidak mau
terlambat. Karena itu segera ia berteriak nyaring, "He, Buyut Ing
Wangon. Berhentilah!"
Tetapi orang bongkok itu berlari terus. Terhuyung-huyung dan
kadang-kadang tubuhnya terbanting-banting di sisi gua. Namun ia berlari
terus.
Mahisa Agni kemudian menjadi marah karenanya. Dan terdengarlah sekali
lagi ia berteriak, "He, bongkok! Berhenti atau aku terpaksa
menghentikanmu!"
Kali ini pun Buyut Ing Wangon itu seolah-olah tidak mendengarnya. Ia
masih berlari terus, namun larinya tidak lebih dari kecepatan anak-anak
yang sedang belajar berjalan.
Mahisa Agni itu kini benar telah menjadi marah. Ia merasa seakan-akan
Buyut Ing Wangon itu sama sekali tak menghiraukan kehadirannya. Karena
itu tiba-tiba Mahisa Agni itu pun meloncat menyusulnya. Tidak lebih dari
sepuluh langkah Mahisa Agni telah mencapai buyut bongkok itu. Dengan
satu sentuhan yang menyentak orang bongkok itu telah terpelanting
membentur mulut gua, dan kemudian jatuh terjerembab di lantai yang
lembab.
Mahisa Agni kemudian berdiri di sisinya sambil menggeram. Dengan tajam
ia memandangi Buyut Wangon itu sambil berkata, "Jangan mencoba melawan
kehendakku!"
Terdengar Buyut Ing Wangon itu mengeluh. Sesaat terdengar pula ia merintih. Katanya, "Ki Sanak, kenapa Ki Sanak menyakiti aku?"
"Kau tidak mau mendengar kata-kataku. Kalau kau ingin mendapat akar
wregu putih itu, marilah kita bertempur. Kalau tidak jangan mencoba
menghalangi aku," sahut Mahisa Agni.
Dengan susah payah Buyut Ing Wangon itu mencoba duduk. Mulutnya masih
saja berdesis menahan hati. Dan terdengarlah ia berkata terbata-bata,
"Ki Sanak. Apakah hal yang demikian itu wajar?"
"Lalu?" bertanya Agni, "Apakah kau mempunyai cara lain?"
"Sudah aku katakan Ki Sanak. Aku datang lebih dahulu diri Ki Sanak,"
jawab Buyut Wangon itu. Sesaat ia berhenti menelan ludahnya. Kemudian
katanya, "Kalau hal itu Ki Sanak menganggap tak sepantasnya, maka
katakanlah, apakah keperluanmu dengan akar wregu itu. Marilah kita
bicarakan manakah yang paling penting penggunaannya. Ki Sanak atau aku.
Kalau ternyata keperluan Ki Sanak jauh lebih penting dari keperluanku,
biarlah aku mengalah Aku tak akan kembali lagi ke Wangon, sebab aku
sendiri pasti sudah akan mati karena penyakitku itu di sini."
Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Mahisa Agni. Namun
sekali lagi ia membulatkan tekadnya. Pusaka itu akan ditebusnya dengan
apa saja. Dengan tenaganya, dengan darahnya dan dengan mengorbankan
perasaannya.
Karena itu Mahisa Agni itu pun menjawab, "Jangan bertanya lagi kegunaan akar wregu itu bagiku."
Buyut Ing Wangon itu menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia mengeluh
kemudian katanya lemah, "Lalu bagaimanakah kita bisa menentukan,
siapakah yang lebih penting di antara kita?"
"Jangan ributkan kepentingan kita masing-masing," bantah Agni.
"Oh, alangkah malangnya dunia ini," desah Buyut Wangon, "apabila setiap
persoalan hanya dapat ditentukan dengan kekerasan. Akan lenyaplah
martabat kita sebagai manusia yang berakal budi."
Kata-kata Buyut Wangon itu langsung menghunjam ke jantung Mahisa Agni.
Sesaat ia terbungkam, dan terasa getaran-getaran di dadanya. Namun
demikian dicobanya sekuat tenaga untuk menekan perasaan itu, "Aku bukan
perempuan yang cengeng, yang dapat terpengaruh oleh persoalan-persoalan
yang tak berarti."
Dan tiba-tiba saja meledaklah jawabnya, "Buyut dari Wangon. Jangan
menjual belas kasihanku di sini. Kalau aku berbuat seperti berbuat
seperti perbuatanku kini, pastilah sudah aku pertimbangkan baik
buruknya. Kau hanya mampu berpikir pada masalah-masalah sekitar daerahmu
saja. Daerah Wangon dan sekitarnya. Namun aku telah menjelajahi
berbagai daerah, berbagai persoalan dan berbagai masalah. Karena itu
akar itu jauh bermanfaat bagiku daripada bagimu."
Buyut Wangon itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi beribu-ribu
jiwa di Wangon menanti penyembuhannya. Kalau tidak, maka mereka akan
menjadi seperti babatan paying. Malang melintang, mati tak terurus.
Sebab semua orang akan mati pula karenanya."
Mahisa Agni menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan melemparkan getaran kata-kata Buyut Wangon yang menyentuh telinganya.
"Tidak! Tidak!" tiba-tiba ia berteriak, "Aku tidak peduli urusanmu!"
Mahisa Agni tidak menunggu orang bongkok itu berkata-kata pula.
Seakan-akan ia menjadi takut terhadap setiap persoalan yang dikatakan
oleh orang bongkok itu. Dengan serta-merta, Mahisa Agni itu pun segera
memutar tubuhnya, dan bersiap untuk segera memasuki gua itu lebih dalam
lagi.
Tetapi ia terkejut, ketika tiba-tiba terasa Buyut Ing Wangon itu memeluk
kakinya sambil memeganginya kuat-kuat. Kemudian terdengarlah ia
berkata, "Jangan Ki Sanak, jangan kau ambil akar wregu itu. Beribu-ribu
jiwa hidupnya tergantung dari perjalananku sekarang."
—–
"Jangan Ki Sanak, jangan kau ambil akar wregu itu. Beribu-ribu jiwa hidupnya tergantung dari perjalananku sekarang."
—–
Mahisa Agni menghentak-hentakkan kakinya. Terdengar ia pun berteriak, "Lepaskan! Lepaskan!"
Namun Buyut Wangon tidak mau melepaskannya. Bahkan orang bongkok itu
mencoba untuk memegangnya lebih erat lagi. Sehingga dengan demikian
Mahisa Agni menjadi marah kembali. Dengan satu hentakkan yang keras,
Buyut Wangon itu terlempar beberapa langkah dan terbanting di lantai gua
itu. Terdengar ia berteriak kesakitan. Namun ia masih juga berkata di
antara desisnya, "Jangan Ki Sanak. Jangan."
Tetapi Mahisa Agni tidak mau mendengarnya lagi. Cepat-cepat ia berlari.
Berlari. Sedang kedua tangannya dengan kerasnya menyumbat kedua
telinganya.
Mahisa Agni berusaha secepat-cepatnya untuk menjauhi Buyut Ing Wangon –
yang masih terkapar sambil merintih-rintih – seakan-akan takut
dikejarnya. Namun sebenarnya Mahisa Agni tidak merasa takut sedikit pun
seandainya Buyut Wangon itu mengejarnya dan berusaha melawannya. Sejak
semula ia sudah siap untuk bertempur. Tetapi ia takut terhadap
perasaannya sendiri. Keluhan orang bongkok itu ternyata selalu
menimbulkan getaran-getaran di dalam dadanya. Dan ia tidak mau
perasaannya menjadi runtuh karenanya.
Sekali-kali kaki Mahisa Agni terperosok pada lubang-lubang di lantai
gua. Bahkan beberapa kali Mahisa Agni itu jatuh terjerembab, namun
kemudian ia bangkit lagi dan berlari kembali sambil meraba-raba dinding.
Meskipun ia tidak dapat lari secepat-cepatnya, namun semakin lama ia
menjadi semakin jauh dari Buyut Wangon. Dan ketika ia sudah tidak
mendengar suara rintihan orang bongkok itu, Mahisa Agni pun berhenti
Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling. Namun yang dilihatnya adalah
sebuah takbir yang kelam di belakangnya. Kini barulah ia sadar, bahwa
dirinya berada di dalam cengkaman dinding-dinding gua yang hitam pekat.
Nafas Mahisa Agni itu pun terdengar berkejar-kejaran dari lubang
hidungnya. Terasa betapa cepatnya. Dengan susah payah Agni mencoba
menenangkan dirinya.
Buyut dari Wangon itu ternyata mempunyai kesan yang aneh di dalam hati
Mahisa Agni. Setelah ia menempuh perjalanan yang berat, dan mengalami
banyak rintangan-rintangan, orang-orang jahat dan orang-orang yang
mencoba mencegahnya tanpa menimbulkan kecemasan di dalam dirinya, namun
kini tiba-tiba ditemui seorang yang lemah, sakit, bahkan hampir mati.
Namun orang itu benar-benar mengganggu perasaannya
"Persetan dengan orang itu!" tiba-tiba Mahisa Agni menggeram. Ia ingin
mencoba menekan perasaannya. Akar wregu putih itu baginya adalah benda
yang akan menjadi sangat berharga.
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Sekali lagi ia berjuang untuk tidak
terpengaruh oleh setiap perasaan yang mengganggu pekerjaannya. Tiba-tiba
Mahisa Agni itu pun melangkahkan kakinya. Ia harus segera menemukan
akar wregu putih itu.
Ternyata Mahisa Agni sudah tidak begitu jauh lagi dari pusat gua. Ketika
sekali lagi menemui lubang udara, maka segera ia pun mengetahui, bahwa
matahari telah tinggi di langit yang biru. Dari lubang itu Mahisa Agni
melihat betapa cerahnya udara, dan cerahnya sinar matahari. Namun ia
masih harus berada di dalam gua yang hitam kelam itu.
Mahisa Agni berjalan kembali beberapa langkah, kemudian terasa kakinya
menyentuh tangga-tangga yang membawanya mendaki. Namun tangga-tangga itu
tidak begitu tinggi, sehingga, segera ia sampai di ujungnya. Sekali ia
membelok ke kiri, kemudian sekali lagi Mahisa Agni melihat seberkas
sinar jatuh di lantai gua.
Mahisa Agni masih melangkah maju. Bahkan ia masih tetap berjalan dengan
penuh kewaspadaan. Ternyata beberapa orang telah ditemuinya. Dan di
antara mereka telah mengetahui pula adanya akar wregu putih itu sehingga
tidak mustahil bahwa ada orang-orang lain lagi yang telah mengetahuinya
pula, selain Buyut dari Wangon, Empu Pedek, orang dari Gunung Merapi
yang tak diketahui namanya, dan gurunya.
Dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin berdebar-debar pula. Tiba-tiba
ia cemas. Tidak pula mustahil, bahwa akar itu telah diambil pula oleh
seseorang yang datang lebih dahulu daripadanya beberapa hari atau
beberapa bulan dan bahkan beberapa tahun yang lalu, setelah gurunya
mengunjungi gua ini.
"Hem," gumamnya, "kenapa guru tidak mengambilnya saja pada waktu itu?"
Namun Mahisa Agni menyadarinya kembali, bahwa pasti ada alasan-alasan
tertentu, sehingga gurunya berbuat demikian. Alasan-alasan yang tak
diketahuinya dan tak diberitahukannya kepadanya.
Tiba-tiba debar jantung Mahisa Agni itu pun menjadi semakin cepat.
Terasa sesuatu menyentuh perasaannya. Firasatnya mengatakan kepadanya,
bahwa perjalanannya hampir sampai ke tujuannya.
Ketika sekali lagi Mahisa Agni menikung ke kanan, dilihatnya kembali
semakin terang. Dan ternyata lubang ini agak lebih besar daripada yang
pernah ditemuinya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah maju. Dengan penuh kewaspadaan
dipandangnya setiap sudut gua yang terbentang di hadapannya. Tiba-tiba
langkah Mahisa Agni itu pun terhenti. Di bawah berkas sinar yang jatuh
itu dilihatnya dinding gua itu terputus. Ia tidak melihat lagi sebuah
lubang pun pada dinding-dinding itu, sehingga tiba-tiba ia bergumam,
"Apakah aku sudah sampai ke ujung gua ini?"
Debar dada Mahisa Agni menjadi kian cepat. Dan darahnya terasa
seakan-akan membeku ketika matanya terbentur pada sebuah lubang kecil di
dinding gua. Di dalam lubang itu dilihatnya, apa yang dicarinya selama
ini. Kain yang berwarna merah, namun karena tuanya, maka warna itu telah
hampir lenyap dan bertapikan kain putih yang sudah kekuning-kuningan.
Tiba-tiba tubuh Mahisa Agni menjadi gemetar karenanya. Terasa sesuatu
melonjak di dalam ruang dadanya. Sesaat ia diam mematung, seolah-olah ia
menjadi kehilangan kesadaran
Namun sesaat kemudian dengan serta-merta ia meloncat untuk meraih benda
yang akan dapat ikut serta menentukan perjalanan hidupnya. Tetapi karena
ia sedemikian tergesa-gesa sehingga Agni itu pun terpeleset dan jatuh
terbanting di lantai gua yang berbatu-batu padas. Terdengar ia mengeluh
pendek. Namun perasaan sakit di lututnya sama sekali tak dihiraukannya.
Sekali lagi ia bangkit, dan sekali lagi ia meloncat. Kali ini ia
berhasil. Digenggamnya benda itu erat-erat, dan kemudian dengan tangan
yang gemetar diurainya kain pembalutnya. Sekali lagi dadanya berdesir.
Kini digenggamnya sepotong akar wregu yang panjangnya kira-kira dua
cengkang. Dengan tangan yang gemetar diciumnya akar wregu itu sambil
bergumam dengan suara parau, "Terpujilah Namamu, Yang Maha Agung."
Betapa besar hati Mahisa Agni setelah ia memegang benda yang selama ini
dicarinya dengan banyak pengorbanan. Benda yang akan menjadikan manusia
jantan yang pilih tanding. Benda yang dapat menjadikannya manusia yang
sukar dicari bandingnya. Karena itu untuk sesaat Mahisa Agni seakan-akan
tenggelam dalam sebuah mimpi yang indah. Mimpi tentang masa depannya
yang cerah. Terngianglah di sudut hatinya kata-katanya sendiri, "Ayo,
siapakah yang akan berani melawan kehendak Mahisa Agni? Apapun yang akan
aku lakukan tak seorang pun yang dapat mencegahnya. Dengan benda ini
dan trisula yang sakti itu, akan dapat aku gulung dunia ini."
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun tertawa sendiri. Dan tiba-tiba ia berdiri
bertolak pinggang sambil berkata lantang, "Inilah Mahisa Agni. Manusia
tersakti di muka bumi."
Dan seperti orang yang kehilangan ingatan, sekali lagi akar wregu putih itu diciuminya.
Namun semakin lama, Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tenang.
Seolah-olah anak muda itu tersadar dari tidurnya yang ditandu dengan
mimpi yang mengagumkan. Perlahan-lahan segenap ingatan yang terang
kembali merayapi hati Mahisa Agni kemudian berhasil kembali menguasai
dirinya, menguasai luapan perasaannya. Bahkan tiba-tiba ia menjadi malu
sendiri, setelah disadarinya, Apa yang baru saja dilakukannya
Maka Mahisa Agni itu kemudian dengan langkah satu-satu berjalan menepi.
Kemudian perlahan-lahan pula ia meletakkan dirinya duduk bersandar
dinding gua. Diambilnya sebuah tarikan nafas yang panjang sekali. Dan
baru kemudian ia mengamat-amati akar wregu di tangannya.
Akar wregu itu adalah akar wregu seperti yang pernah dilihatnya. Tidak
ada kekhususannya, selain warnanya yang memang agak keputih-putihan.
Bahkan warna putih itu pun tidak memberikan kesan apa pun pada
penglihatan Mahisa Agni. Namun bagaimana pun juga, gurunya telah berkata
kepadanya bahwa benda itu akan dapat menjadi rangkapan pusakanya,
sehingga kedua pusaka itu akan merupakan sepasang pusaka yang tak ada
bandingnya.
Sekali-kali terasa juga keragu-raguan di dalam dada Mahisa Agni itu.
Apakah tidak mustahil bahwa seseorang telah datang mendahuluinya dan
menukar akar wregu ini dengan akar wregu yang lain? Ketika sekali lagi
Mahisa Agni memandang akar wregu dalam cahaya yang jatuh lewat
lubang-lubang di atas gua itu, sekali lagi tergores suatu pertanyaan di
dalam dadanya. Apakah benar akar yang dicarinya itu, adalah yang kini
digenggamnya?
"Ah, tentu," gumamnya tiba-tiba. Ia telah berjalan sampai ke ujung gua
ini. Dan benda inilah satu-satunya yang ditemukannya. Apabila seseorang
telah datang lebih dahulu daripadanya, apakah perlunya orang itu
menukarnya? Kenapa tidak saja benda itu pun diambilnya?
Dalam pada itu, Mahisa Agni pun segera teringat kepada orang timpang di
kaki lereng gundul ini. Empu Pedek. Beberapa keanehan telah mengganggu
otaknya. Kenapa Empu Pedek itu tidak mendahuluinya mengambili pusaka
ini. Seandainya demikian, bukankah akibatnya akan sama saja baginya. Ia
masih akan tetap pada keadaannya, dan kemungkinan untuk mengetahui
orang-orang lain yang akan mengambil akar itu, dengan harapan untuk
menemukan trisulanya. Sebab sebelum seseorang memiliki kedua-duanya,
maka ia belum seorang yang sakti tanpa tanding. Sehingga betapapun
saktinya Empu Pendek, namun tak semua orang di bawah kolong langit ini
dapat dikalahkannya. Juga belum pasti orang yang memiliki trisula itu
pun dapat dikalahkannya pula.
Dalam pada itu timbul pula dugaannya, bahwa sebenarnya seseorang telah
mengambil akar wregu yang sebenarnya. Namun telah ditukarkannya dengan
benda yang lain, sehingga dengan demikian, tak ada orang yang akan
mengejarnya. Orang yang menemukan akar itu kemudian akan menyangka bahwa
akar itu adalah akar yang sebenarnya, dan tidak dicarinya pula akar
wregu putih itu, sehingga sampai pada saatnya, ditemukannya
rangkapannya. Trisula.
Berbagai-bagai persoalan datang hilir mudik di kepala Mahisa Agni. Namun
akhirnya ia mengambil suatu kesimpulan, "Biarlah apa yang ada ini aku
bawa kembali. Guru telah pernah melihatnya dahulu, sehingga Empu Purwa
itu pasti akan dapat mengetahuinya, apakah akar wregu inilah yang
sebenarnya harus aku cari. Apabila ternyata keliru, maka betapapun
beratnya, aku harus berjalan kembali untuk menemukan akar yang
sebenarnya itu. Yang pertama-tama harus ditemukan adalah orang timpang
yang menamakan diri Empu Pedek itu."
Kini Mahisa Agni telah benar-benar menjadi tenang. Bahkan kini terasa
olehnya, betapa tubuhnya menjadi penat. Telah sehari semalam, bahkan
lebih, ia berada dalam ketegangan lahir batin. Apalagi setelah ia
berjuang memeras tenaga melawan rintangan-rintangan yang dihadapinya.
Karena itu, maka baru kini terasa, persendiannya sakit-sakit dan
pedih-pedih menjalari di seluruh telapak tangan dan kakinya. Bahkan
dilihatnya pula beberapa goresan merah pada lutut dan lengannya.
"Aku harus beristirahat," gumamnya. Sebab Mahisa Agni itu pun sadar
bahwa perjalanan pulang ke Panawijen itu pun akan mempunyai
persoalan-persoalannya sendiri. Tidak terlalu jauh. Di bawah lereng ini,
Empu Pedek masih menunggunya. Orang itu pasti belum akan melepaskan
niatnya untuk memiliki trisulanya dan sekaligus akar wregu putih ini.
"Sayang," desah Agni tiba-tiba, "Kalau trisula itu aku bawa serta maka
aku akan keluar dari gua ini dengan pasti, bahwa tak seorang pun akan
dapat mengalahkan aku."
Tetapi tiba-tiba pikiran itu terdorong pula oleh sebuah pikiran yang
lain, "Bagaimana kalau aku binasa sebelum sampai ke gua ini, atau akar
ini bukanlah akar wregu putih yang sebenarnya?"
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
tidak mau berpikir lagi. Ia hanya ingin beristirahat, untuk kemudian
keluar dari gua ini dengan tenaga yang cukup untuk menghadapi setiap
kemungkinan.
Demikianlah kemudian Mahisa Agni itu duduk sambil menjulurkan kedua
kakinya lurus-lurus sambil bersandar ke dinding. Dicobanya untuk
benar-benar dapat beristirahat dan mengumpulkan segenap kekuatannya
kembali.
Meskipun perlahan-lahan namun pasti, Mahisa Agni telah menemukan
kesegaran tenaganya kembali, sekali-kali dipijitnya kakinya dan
direntangkannya tangannya.
Sesaat kemudian Mahisa Agni itu berdiri. Ketika kantuknya tiba-tiba
menyerang, dicobanya pula untuk melawannya. Ia tidak mau tertidur dan ia
tidak mau seseorang datang kepadanya, membunuhnya selagi ia tidur dan
mengambil akar wregu yang sudah di tangannya itu.
Setelah beberapa kali menggeliat, serta telah digerak-gerakkannya tangan
serta kakinya, maka Mahisa Agni merasa, bahwa sebagian besar tenaganya
telah pulih kembali. Meskipun hampir dua hari ia tidak makan apapun,
namun Mahisa Agni telah menjadi biasa dengan keadaan itu. Di
padepokannya pun ia sering melakukannya. Tidak makan dan tidak minum
sebagai laku prihatinnya. Dan kini, ternyata apa yang sejak lama telah
dilakukannya itu sangat bermanfaat baginya. Apalagi pada saat-saat ia
mempertaruhkan benda yang dianggapnya sangat berharga itu, maka Mahisa
Agni itu pun sama sekali tidak merasakan lapar.
Kini Mahisa Agni telah bersiap untuk keluar kembali dari gua. Diaturnya perasaannya serta diaturnya tenaganya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar