Masyarakat madani merupakan bentuk Indonesia dari istilah bahasa Inggris civil society
yang memiliki kandungan makna bagaimana sebuah negara itu harus berlaku
kepada masyarakat yang dinaunginya. Secara umum cita-cita ideal dari
masyarakat madani adalah memberikan sesuatu yang terbaik kepada warga
masyarakat yang berada di dalamnya.
Sebenarnya merupakan masalah yang sulit untuk mencari padanan kata civil society dalam
bahasa Indonesia. Sebab istilah ini memiliki kandungan makna yang
begitu luas. Peng-Indonesia-an kata per kata dirasa tidak memenuhi untuk
menggambarkan makna yang terkandung dalam bahasa aslinya. Namun
demikian bebapa cendekiawan kita telah berusaha memberikan padanannya.
Salah satu yang paling terkenal adalah dari apa yang digagaskan oleh
Nurcholis Madjid berupa masyarakat madani. Padanan ini beliau
lontarkan dalam pembahasan tentang bagaimana masyarakat yang ideal dalam
pandangan Islam, mengingat latar belakang beliau sendiri adalah
cendekiawan muslim Indonesia.
Pembahasan
Istilah masyaakat madani itu sebenarnya merujuk pada masyarakat Islam
yang pernah dibangun nabi Muhammad di negeri Madinah. Perkataan Madinah
dalam bahasa arab dapat dipahami dari dua sudut pengertian. Pertama, secara konvensional kata madinah dapat bermakna sebagai “kota”, dan kedua, secara kebahasaan dapat berarti “peradaban”; mskipun di luar ata “madaniyah” tersebut, apa yang disebut peradaban juga berpadanan dengan kata “tamaddun” dan “hadlarah”.
Sebelumnya, apa yang dikenal sebagai kota madinah itu adalah daerah
yang bernama Yatsrib. Nabi-lah yang kemudian mengubah namanya menjadi
Madinah, setelah hijrah ke kota itu. Perubahan nama Yatsrib menjadi
Madinah pada hakikatnya adalah sebuah proklamasi untuk mendirikan dan
membangun masyarakat berperadaban di kota itu. Dasar-dasar masyarakat
madani inilah, yang tertuang dalam sebuah dokumen “Piagam Madinah” yang
didalamnya menyangkut antara lain wawasan kebebasan, terutama di bidang
agama dan ekonomi, tanggung jawab social dan politik, serta pertahanan,
secara bersama.
Di kota Madinah-lah, Nabi membangun masyarakat berperadaban
berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam dimensi vertical untuk
menjamin hidup manusia, agar tidak jatuh hina dan nista.
Ciri mendasar dari masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad antara lain :
- Egalitarianisme
- Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras, dan sebagainya)
- Keterbukaan partisipasi seluruh anggota (masyakat aktif)
- Penegakan hukum dan keadilan
- Toleransi dan pluralisme
- Musyawarah
Dalam mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan manusia-manusia yang
secara pribadi berpandangan hidupdengan semangat Ketuhanan, dengan
konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia. Untuk itu, Nabi
telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan cirri-ciri masyarakat
madani.
Dalam rangka penegakan hokum dan keadilan misalnya, nabi tiak
membedakan antara orang atas dan orang bawah. Nabi pernah menegaskan
bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah jika orang atas
melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi kalau orang bawah melakukan pasti
dihukum. Karena itu, Nabi juga misalnya menegaskan contoh, bahkan
seandainya Fatimah, putrid kesayangannya melakukan kejahatan, maka akan
dihukumnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Masyarakt madani membutuhkan adanya pribadi-pribadi yang tulus yang
mengikatkan jiwa pada kebaikan bersama. Tetapi, meskipun demikian
komitmen pribadi saja sebenarnya tidak cukup. Mengingat “itikad baik”
bukan perkaa yang mudah diawasi dari luar diri. Maka harus diiringi
dengan tindakan nyata yang mewujud dalam bentuk amal saleh. Tindakan
ini harus diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, dalam tatanan
kehidupan kolektif yang memberi peluang adanya pengawasan. Pengawasan
social aalah konsekuensi langsung itikad baik yang diwujudkan dalam
tindakan kebaikan.
Dalam mewujudkan pengawasan itulah dibutuhkan keterbukaan dalam
masyarakat. Mengingat setiap manusia sebagai mahluk yang lemah mungkin
saja mengalami kekeliruan an kekhilaan, maka dengan kterbukaan itu,
setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk
didengar, sementara dari pihak yang mendengar ada kesediaan untuk
mendengar dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar, bersedia
mendengar pendapat orang lain untuk diikuti mana yang terbaik.
Masyarakat madani antara lain merupakan masyarakat demokratis yang
terbangun dengan mnegakkan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya adalah
interpretasi positif brbagai individu dalam masyarakat yang saling
memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban
mendengar pndapat itu. Dalam bahasa lai9n, musyawaah adalah hubungan
interaktif, untuk saling mengingatkan tentang kebaikan dan kebenaan
serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam
suasana persamaan hak dan kewajiban warga masyarakat.
Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan social yang luhur
dilanasi toleransi dan plualisme. Toleransi dan pluralisme ini tak lain
adalah wujud sikap kejiwaan pribadi dan social yang bersedia melihat
diri sendiri tidak selalu benar, meskipun sesuatu yang tidak selalu
benar atas suatu masalah, mungkin berbeda antara pribadi dan kelompok.
Pluralisme dan toleransi ini tak lain merupakan wujud dari “ikatan
keadaban” dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkungan
yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun
perbedaan ada, tanpa saling memaksakan kehndak, pendapat, atau pandangan
sendiri.
Penutup
Masyarakat madani adalah sebuah masyarakat dimana penegasan mengenai
pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan agama adalah
sebagai syarat mutlak dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Sebagai
kesatuan social, masyarakat madani merupakan kumpulan manusia yang
secara individual mengejawantahkan perilakunya berdasrkan moralitas
keagamaan, baik dalam proses intraksi antar individu maupun secara
kolektif.
Beradasarkan pentingnya moralitas agama itulah, tampaknya denokrasi
bukanlah syarat yang mencukupi untuk membangun masyarakat madani. Jika
masyarakat madani dipahami sebagai syarat demokrasi, maka terbentuknya
institusi-institusi social yang otonom pada gilirannya hanya akan
menjadi malapetaka berupa konflik-konflik social dan politik yang
berbahaya, apabila setiap individu di dalamnya tidak bersedia saling
menunjukkan toleransi, termasuk dalam hubungan antar agama, suku,
asosiasi-asosiasi masyarakat lainnya. Disinilah eksistensi masyarakat
madani, karena itu, perilakunya harus mencerminkan keberadaban. Setiap
individu dan kelompok dituntut saling menghargai perbedaan, tanpa
merusak integrasi kehidupan bernegara.
Sumber
Adi Surya Culla. 1999. Masyrakat Madani : pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar