Hampir bersamaan keduanya mengangkat wajahnya, memandang ke dataran langit yang biru bersih. Warna-warna semburat merah yang dilontarkan oleh matahari yang kelelahan di punggung-punggung bukit di sebelah barat masih tampak menyangkut di ujung pepohonan.
“Langit bersih,” desis salah seorang di antaranya. Seorang tua dengan rambut yang telah memutih.
“Ya,” sahut orang kedua. Seorang pemuda yang berwajah jantan, namun penuh kelembutan. Matanya yang bening memancarkan cahaya keteguhan hatinya, yang memandang hari depan dengan penuh pengharapan, namun penuh pergulatan dan perjuangan yang dilandasi dengan pasrah diri tulus ikhlas kepada takdir Yang Maha Agung.
Keduanya diam sejenak. Tetapi kaki mereka masih terayun dalam langkah yang berirama. Lambat-lambat mereka maju terus menyusur dataran sebelah timur Gunung Kawi, menuju ke rumah mereka di Desa Panawijen.
“Mahisa Agni,” kembali orang tua berambut putih itu berbicara.
“Ya, Bapa Pendeta,” sahut pemuda yang bernama Mahisa Agni itu.
“Kita akan kemalaman di perjalanan,” sambung pendeta tua itu.
“Tak apalah. Kalau kita berjalan terus, sebelum tengah malam kita akan sampai,” sahut Mahisa Agni.
“Kau tidak lelah?” bertanya pendeta itu kembali.
Mahisa Agni menarik nafas. Bertahun-tahun ia berguru kepada pendeta itu. Dan bertahun-tahun ia mendapat gemblengan lahir dan batin. Namun setelah bertahun-tahun itu, masih saja ia dianggapnya anak-anak yang selalu mendapat perhatian yang berlebih-lebihan.
Meskipun demikian Mahisa Agni dapat mengerti sepenuhnya. pendeta tua yang bernama Empu Purwa itu tak beranak laki-laki. Ia hanya beranak seorang perempuan. Dinamainya anak itu Ken Dedes yang didapatnya sebelum ia mengenakan pakaian pendeta. Bahkan dirasanya bahwa sikap gurunya jauh melampaui sikap seorang guru biasa. Diperlakukannya Mahisa Agni seperti anak sendiri.
Kadang-kadang Mahisa Agni menangkap juga hasrat yang tersirat dari sikap gurunya. Ken Dedes telah menjelang dewasa. Dan gadis itu cantiknya bukan main. Seolah-olah bunga melati yang putih berkembang di antara semak-semak yang lebat dan besar di lereng Gunung Kawi. Bahkan diam-diam ia bersyukur pula atas kesempatan yang pernah ditemuinya itu. Berdiam dalam satu rumah dengan seorang gadis yang tiada taranya. Kecantikannya dan kejernihan hatinya.
Tetapi angan-angannya segera terpecah ketika didengarnya Empu Purwa berkata mengulangi, “Kau tidak lelah Agni?”
“Tidak, Bapa,” cepat-cepat Mahisa Agni menjawab.
“Bagus,” sahut Empu Purwa, “kakimu telah cukup terlatih. Bagaimana dengan pernafasanmu?”
“Baik, Bapa,” jawab Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah senyumnya menghiasi bibirnya yang tebal. Tetapi senyum itu tiba-tiba lenyap seperti asap ditiup angin.
Dengan penuh minat Mahisa Agni memandang wajah gurunya. Mula-mula ia menjadi ragu. Apakah sebabnya? Tetapi ketika ia memandang ke depan, dilihatnya padang rumput Karautan. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Agaknya padang rumput yang di sana-sini diselingi oleh gerumbul-gerumbul itulah yang telah mempengaruhi pikiran gurunya.
Meskipun tak sepatah kata pun yang terlontar melontar dari mulut anak muda itu, namun pandangan matanya memancarkan beberapa pertanyaan tentang padang rumput yang terkenal itu kepada gurunya. Agaknya gurunya pun tanggap pada pertanyaan muridnya, sehingga dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata, “Itulah padang rumput Karautan. Padang rumput yang terkenal sepi. Dijauhi oleh setiap orang yang menempuh perjalanan. Mereka lebih suka melingkar agak jauh. Lewat pedukuhan Talrampak atau desa Kaligeneng.”
Mahisa Agni memandang tanah yang terbentang di hadapannya dengan tajam. Sebentar kemudian ia memandang matahari. Namun matahari yang dicarinya telah tenggelam di balik gunung. Dan malam yang hitam pun perlahan-lahan telah turun menyelimuti Gunung Kawi.
“Apakah hantu itu benar-benar ada?” bertanya Mahisa Agni. Namun sama sekali ketakutan tidak mempengaruhi hatinya. Ia hanya ingin meyakinkan pendengarannya atas hantu Padang Karautan.
“Kau percaya kepada hantu?” terdengar Empu Purwa bertanya pula.
“Entahlah,” Mahisa Agni tersenyum. Dan gurunya tersenyum pula.
“Aku terlalu sering mendengar cerita tentang hantu di padang rumput Karautan,” berkata Mahisa Agni.
“Apakah kau bermaksud supaya kita mengambil jalan melingkar?” bertanya gurunya.
“Tidak Guru,” cepat-cepat Mahisa Agni menyahut menyambut. Ia memang tidak takut. Bahkan ia ingin melihat hantu itu. Karena itu ia meneruskan, “Aku ingin membuktikannya.”
“Apa yang pernah kau dengar tentang hantu itu?” bertanya gurunya pula.
“Hantu itu suka mengganggu. Bahkan memiliki sifat-sifat kejam dan bengis. Beberapa orang pernah menjadi korban,” jawab Mahisa Agni.
“Banyak orang yang mati oleh hantu itu. Begitu saja?” sela Empu Purwa.
“Tidak. Kadang-kadang orang yang berani lewat dalam rombongan-rombongan besar menemukan korban-korban itu dalam keadaan telanjang. Darahnya kering dihisap oleh hantu itu,” sahut Mahisa Agni.
“Cerita itu memang mengerikan. Dan apa yang sering terjadi di padang rumput itu pun memang benar-benar mengerikan. Namun tidak seperti yang kau dengar,” potong gurunya.
“Apakah yang pernah Bapa guru ketahui tentang hantu itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Marilah kita lihat,” jawab Empu Purwa, “yang aku dengar pun terlalu mengerikan.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Meskipun ia tidak takut, namun perasaan yang aneh menjalari hatinya. Tetapi ketika ia melihat gurunya berjalan dengan tetap dan tenang, langkahnya pun menjadi tenang pula.
Ketika bintang gubuk penceng menjadi semakin jelas di ujung langit sebelah selatan, maka sampailah mereka di padang rumput yang mengerikan itu. Ketika Mahisa Agni menginjakkan kakinya di atas batu-batu padas dan kemudian menjejakkannya pada rumput-rumput alang-alang, kembali hatinya berdebar-debar. Ditatapnya dalam kekelaman malam, gerumbul-gerumbul berserakan. Seonggok demi seonggok, seperti batu-batu besar yang berserak-serak di dalam telaga yang luas.
Tak sepatah kata pun yang meloncat dari mulut kedua orang itu. Dengan penuh kewaspadaan Mahisa Agni berjalan di samping gurunya, sedang gurunya tetap berjalan dengan tenang. Seakan-akan mereka sedang menikmati sinar bulan yang cemerlang.
Ketika seekor kelinci meloncat dari semak-semak di depan mereka Mahisa Agni terkejut. Kemudian ia tersenyum sendiri. Dirabanya dadanya yang berdebar-debar.
“Apakah aku sudah menjadi seorang penakut?” pikirnya.
Tanpa sengaja diingatnya cerita Ken Dedes yang didengarnya dari kawan-kawannya. Hantu itu mirip seperti manusia. Gagah tegap. Wajahnya sama sekali tak menakutkan. Bahkan seseorang pernah melihatnya di bawah sinar obor yang dibawanya. Wajah itu tampan meskipun kotor. Tetapi sifat-sifatnyalah yang mengerikan. Hantu itu tidak biasa membiarkan korbannya hidup. Meskipun kadang-kadang ada juga yang tak di bunuhnya. Dan yang tinggal hidup itulah yang menyebarkan cerita tentang hantu di padang rumput Karautan. Tak seorang pun yang dapat mengalahkannya, apalagi menangkapnya. Jagabaya-jagabaya dari pedukuhan di sekitar padang rumput itu pun telah mencobanya. Bahkan bersama-sama dalam rombongan yang besar. Namun hantu itu pandai menghilang dengan meninggalkan lima atau enam orang korban.
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba gurunya berhenti. Ia pun segera berhenti pula. Diikutinya arah pandang mata pendeta tua itu. Dan kemudian perlahan-lahan terdengar Empu Purwa berkata dengan ramahnya, “Nah Ki Sanak. Aku sudah mengira kalau kau menunggu kedatanganku.”
Mahisa Agni masih belum melihat seorang pun. Namun telinganya yang tajam kemudian mendengar pula gemeresik daun-daun di dalam semak-semak di samping mereka. Dan kemudian terdengarlah dengus kasar dan sebuah bayangan meloncat dengan cepatnya, seperti petir yang berlari di langit. Sesaat kemudian bayangan itu telah berdiri di hadapan mereka.
Dada Mahisa Agni bergetar cepat sekali. Hantu itu bukan sekedar cerita untuk menakut-nakuti gadis seperti Ken Dedes saja, namun kini benar-benar telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar kembali. Apalagi kemudian ketika didengarnya hantu itu tertawa. Nadanya tinggi seperti memanjat tebing Gunung Kawi menggapai langit. Karena itu maka terasa telinganya menjadi sakit.
Ketika suara itu kemudian lenyap, terdengarlah hantu itu berkata, “Kau sudah tahu kalau aku akan menghadangmu?”......[bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar