Jumat, 30 Desember 2011

Syarat-syarat Shah Shalat Jum’at

Setelah syarat-syarat kewajiban shalat Jum’at dijelas-kan, maka syarat-syarat sahnya shalat Jum’at di sini pula  diterangkan.24)  Adapun  syarat-sayarat  sah shalat

Jum’at terdapat dua bagian. Pertama, syarat-syarat yang bersifat umum,25)  dan kedua syarat-syarat yang bersifat khusus untuk shalat Jum’at ialah sebagai berikut:

1. Syarat-syarat Umum
Adapun syarat-syarat shalat Jum’at yang bersifat umum adalah sebanyak 9 macam, ialah:

Pertama, yang sah (benar) melaksanakan shalat Jum’at ialah orang Islam.26) Tidak sah (benar) shalat Jum’at atas orang kafir asli atau murtad.

Kedua, yang sah (benar) melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang sudah tamziz (berakal).27) Tidak sah shalat Jum’at orang yang belum Tamziz (belum berakal).

Ketiga, yang sah (benar) melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang mengerti tentang kaifiyah atau tata cara yang fardlu dalam shalat Jum’at. Tidak sah shalat Jum’at atas orang yang tidak me-ngerti tentang kaifiyah fardlu shalat Jum’at.28 )

Keempat, yang sah melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang tak meneqadkan sesuatu perintah fardlu, diteqadkan sebagai perintah sunnah. Tidak sah shalat Jum’at atas orang yang meneqadkan pe-rintah fardlu itu diteqadkan perintah sunnah.29)

Kelima, yang sah melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang mengerti dengan kenyataan (yakin), atau sangkaan (dhan) masuknya waktu shalat Jum’at melalui petunjuk yang benar. Tidak sah shalat Jum’at atas orang yang tidak mengerti masuknya waktu shalat.30)

Keenam, yang sah melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang menutupi warna aurat di dalam shalat. Tidak sah shalat Jum’at atas orang yang dengan sengaja membuka auratnya di dalam shalat.31)
 
Ketujuh, yang sah melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang di dalam shalatnya menghadap kiblat dadanya ke ka’bah Baitullah di Makkah,32) bagi orang yang kenyataan shalat di hadapan Ka’bah di Makkah, atau sangkaan hati dengan petunjuk atas orang yang shalat jauh tempatnya dari ka’bah33) mengikuti ulama mujtahid bagi orang yang bukan ahli mujtahid.34) Tidak sah shalat Jum’at atas orang yang tidak menghadap kiblat ke ka’bah.

Kedelapan, yang benar melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang suci dari segala hadas kecil dan hadas besar.35) Tidaklah benar shalat Jum’at atas orang yang mengandung kedua hadas kecil dan besar.

Kesembilan, yang benar melaksanakan shalat Jum’at ialah orang yang suci pakaian, tubuh dan tempatnya dari semua najis yang tak dimaafkan.36) Tidak sah shalat Jum’at atas orang yang pakaian, tubuh dan tempatnyua mengandung najis yang tidak dimaafkan.

Syarat-Syarat Khusus Shalat Jum’at

Kesepuluh, kegiatan shalat Jum’at hendaklah dilaksanakan bersama (jamaah) pada waktu Dhuhur. Tidaklah benar shalat Jum’at dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan waktunya.

Kesebelas, kegiatan shalat Jum’at hendaklah dilaksanakan dalam perumahan (al-Daar), perkampungan (al-Qaryah), perkotaan kecamatan (al-Balad) dan perkotaan kabupaten (al-Mishri).37) Tidak benar shalat Jum’at dilaksanakan di padang pasir, “ara-ara” atau guru.

Keduabelas, pelaksanaan shalat jum’at hendaklah tidak kedahuluan dengan takbiratul ihram38 ) Jum’at lain, atau bersamaan shalat Jum’at di dalam satu tempat tanpa adanya uzur. Tidaklah sah shalat Jum’at yang takbiratul ihram shalat Jum’atnya didahului takbiratul uhram shalat Jum’at yang lain. Adalah hukum ini berlaku kalau tidak terdapat uzur.39)

Ketigabelas, hendaklah shalat Jum’at dilaksanakan dengan berjamaah pada rakaat pertama (syarat0syarat shalat berjamaah, insya Allah akan dijelaskan dalam kitab ini). Tidak sah shlat Jum’at dilaksanakan sendiri-sendiri.

Keempatbelas, jamaah shalat Jum’at hendaklah dilaksanakan minimal oleh 40 orang40) yang bersifat: Islam, berakal, usia baligh, kaum lelaki, merdeka, dan muqim mustauthin.41) Muqim Mustauthin ialah penduduk yang tetap tinggal di perumahan tempat berdirinya shalat Jum’at, dan tidak berpindah ke tempat lain ketika musim hujan atau kemarau datang, kecuali karena kesukaran. Tidak benar shalat Jum’at bilangannya kurang dari 40 orang (misalnya) tercampur dengan anak-anak, orang yang hilang akalnya, orang wanita atau orang musafir.

Kelimabelas, mendahulukan pelaksanaan dua khutbah dan mengakhirkan pelaksanaan shalat Jum’at.42) Dan tidak sah mendahulukan shalat Jum’at sebelum khutbah dua selesai dibacakan oleh khatib.

24) Karena kebenaran shalat Jum’at itu ditentukan adanya syarat-syarat sah. Meskipun kewajiban shalat Jum’at, namun dalam pelaksanaannya tidak memenuhi syarat-syarat sah, maka shalat Jum’atnya batal (Abyanal Hawaij: II/243-251, Syarh Sittin: 8,9, Zubad: 72,74, Fathul Mu’in dan Al-bajuri).
25) Syeikh Ahmad Rifa’i Abyanal Fawaij, Jilid II, hal. 276.

26) Disebut Islamul Hal, artinya setiap orang akan melaksa-nakan shalat harus dalam keadaan Islam. Adapun dalam syarat kewajiban shalat, Islamul Madla ialah setiap orang mukallaf harus Islam walaupun tidak akan mengerjakan shalat (Al-Bajuri: I/287).

27) Tamziz ialah anak yang sudah mampu makan dan minum sendiri, bersuci dan mandi sendiri (Al-Mathari: 35). Dalam keterangan lain, Tamziz ialah anak yang sudah mampu membedakan antara atas – bawah, utara-selatan, timur-barat, siang-malam, dan panas-dingin.

28) Syihabuddin Ar-Ramli mengatakan:
من صلي جاهلا بكيفية الوضوء والصلاة لم تصح صلاته وان صادف الصحة فيهما
(حشية عبد الكريم المطري الدمياطي:15)

Barang siapa mendirikan shalat bodoh tanpa mengetahui tata cara wudlu’ dan shalat, maka tidak benar shalatnya dan sekalipun tampak benar menurut lahiriyah di dalam keduanya.” (Al-mathari: 15).

29) Lihat Hasyiyat Abdul Karim al-Mathari, Singapura, al-Haramain, hal. 72, dan pada umumnya kitab-kitab fiqih Syafi’iyah yang banyak beredar di Indonesia.

30) Waktu shalat Jum’at sama dengan waktu shalat Dhuhur yaitu mulai matahari dari tengah langit condong ke arah barat. Adapun akhir waktu Dhuhur ialah ketika bayangan sesuatu benda menjadi sama panjangnya dengan benda itu, selain bayangan waktu condongnya (Nihayat al-Zain: 48).
31) Aurat orang lelaki itu ialah antara pusat dan lututnya. Demikian pula auratnya amat (budak perempuan). Sedang aurat wanita merdeka di dalam shalat ialah seluruh tubuh selain dari wajah dan kedua telapak tangannya, baik lahir, atau batinnya sampai kedua pergelangan tangannya (Ianat al-Thalibin: I/112).

32) Perintah shalat menghadap kiblat ke Ka’bah itu ber-dasarkan firman Allah dalam al-Qur’an :
Sungguh Kami sering melihat mukamu menghadap ke langit – maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblay yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (al-Baqarah: 144).

Rasulullah Saw. Bersabda :
Tatkala berdiri akan melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudlu lalu menghadap kiblat  maka bertakbirlah” (H.R. Imam Bukhari: 5897/Imam Muslim: 397). “Adalah Rasulullah Saw. Shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Dan adalah Rasulullah Saw. Menyenangi akan menghadap seumpama ka’bah, maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas” (H.R. Imam Bukhari: 390/Imam Muslim:525). 

33) Menurut Syaih Abdurrahman al-Mishri dalam kitab Absyar susunan Syaih Ahmad Rifa’I mengatakan, bahwa kiblat shalat ke ka’bah bagi umat Islam di pulau Jawa ialah: garis tengah persis antara barat tepat dengan barat laut, yaitu: 22½º. (Absyar: 4). Atau menurut Syaih Nawawi bin Umar Arabi, Tanara al-Bantani, ialah 24º dari barat tepat ke arah barat laut (Syarah Sulam al-Taufiq: 14).

34) Para ulama fiqih menyimpulkan tentang tertib pengamalan dan pengetrapan shalat menghadap kiblat ke ka’bah ialah:

h Mu’ayyanah ialah shalat menghadap kiblat ke ka’bah dengan mata kepala secara langsung dapat melihat ka’bah Baitullah atau melihat Mihrab Muktamad yang sudah maklum di dalam Masjidil Haram, seperti Mihrabnya Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali  yang terletak di sekeliling ka’bah Baitullah.

h Mengambil berita deri orang Tsiqqah, atau adil riwayat yang kenyataan melihat sendiri atas ka’bah atau Mihrab Muktamad di sekeliling ka’bah di dalam Masjidil Haram.

h Melakukan ijtihad sendiri dengan matahari, bintang atau dengan metode (teori) lain yang memungkinkan keberhasilannya dalam melakukan harkat ijtihad tersebut.

h Taqlid, mengambil dan mengikuti petunjuk seorang ahli ijtihad (mujtahid) dalam bidang kiblat shalat, baik dengan peralatan tradisional ataupun moderen sesuai dengan kapasitas kemampuan seorang muqallid bab kiblat shalat (al-Mathari: 76/Absyar: 7/Ianat al-Thalibin: I/123).

35) Bahwa hadas besar ada lima perkara: (1) janabat karena bersetubuh atau keluar air mani (2) haidh (3) nifas (4) kelahiran dan (5) karena mati. Adapun hadas kecil ada lima perkara pula: (1) segala sesuatu yang keluar dari jalan qubul dan dubur (2) tidur pantat tidak menetap di bumi (3) hilang akalnya (4) bersentuhan antara kulit lelaki dan perempuan bukan mahram, berusia enam atau tujuh tahun tanpa pemisah (aling-aling) (5) menyentuh zakar atau kemaluan sendiri maupun orang lain, kecuali kemaluan binatang (Asn al-Maqashid: I/73-75).

36) Bahwa najis yang tidak dimaafkan, ada 16 perkara: (1) setiap yang memabukkan bersifat cair, seperti arak (2) darah cair (3) nanah (4) utah-utahan yang keluar dari dalam perut (5) tahi (6) air kencing (7) air madzi (8) air wadi (9) susu binatang yang dagingnya haram dimakan (11) juz (bagian) yang patah dari binatang hidup selain manusia (12) anjing dan babi (13) anaknya anjing dan babi, atau anak salah satu babi atau anjing dengan binatang suci, (14) bangkai binatang, kecuali ikan dan belalang (15) mani anjig dan babi (16) telur binatang yang berbisa (Asn al-Maqashid: I/81-82 dan banyak tersebut dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah).

37) Madinah, Mishri atau kota kabupaten ialah suatu wilayah yang di dalamnya ada pengadilan negeri, pengadilan agama, pasar dan kantor polisi. Kota kecamatan atau balad ialah suatu wilayah yang didalamnya ada salah satru dari empat lembaga pemerintahan. Dan Qaryah atau desa ialah suatu wilayah tingkat kelurahan yang didalamnya, tidak ada salah satu dari empat lembaga tersebut. (lihat, al-Bajuri, Syarah al-Manhaj dan lain-lain).

38) Takbiratul Ihram ialah bacaan yang menyebabkan suatu keadaan yang halal sebelum takbir, berubah menjadi haram, seperti makan, minum, berbicara, dan lain sebagainya (Hasyiyat al-Bajuri: I/147).

39) Zainuddin al-Malibari mengatakan: “kecuali apabila banyak yang hadir dan sulit dikumpulkan dalam satu tempat, walaupun selain masjid, asal tidak adanya perkara yang menyakitkan, misalnya panas dan dingin yang sangat, maka ketika itu, boleh mendirikan Jum’at lebih dari satu, karena ada hajat untuk itu disesuaikan dengan hajatnya”. (Ianat al-Thalibin: II/62).

40) Terdapat empatbelas macam fatwa ulama tentang bilangan Jum’at: Imam Syafi’I, 40,12,4 dan 3 orang. Ibnu Hazmi, 1 orang; Nakha’I, dan Ahli Dhahir, 2 orang; Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri, 3 orang; Abu Yusuf dan Muhammad al-Laits, 2 orang bersama imam; Ikrimah, 7 orang; Rabi’ah, 6 orang; Rabi’ah dan riwayat Malik, 30 orang; Ishaq, 12 orang ; Ahmad di dalam riwayat dan hikayat Umar bin Abdul Aziz, 50 orang; Al-Mazari,80 orang, dan semua jamaah yang hadir (Ianat al-Thalibin: II/54).

41) Keterangan lain Imam Abu Ishaq al-Syairazi (476 H.) menjelaskan sebagai berikut:
Adakah sah bilangan Jum’at dengan orang-orang muqim yang tidak mustauthin? Di sini ada dua pendapat: Pertama, Imam Abu Ali bin Abu Hurairah berkata : “Bahwasannya sah bilangan Jum’at dengan orang-orang muqim tidak mustauthin. Karena sungguh mereka tidak berkewajiban Jum’at, maka sahlah bilangan dengannya, sama sahnya dengan orang-orang muqim mustauthin”. Kedua, Imam Abu Ishaq berkata: “Tidak sah, karena sesungguhnya nabi Muhammad Saw. Keluar ke Arafah, dan ada bersamanya ahli Makkah, dan mereka berada di sana bermuqim tidak mustauthin. Maka kalau sah shalat dengan mereka, tentu ia mendirikan shalat Jum’at”.(al-Muhazzab: I/110). 

42) Pada mulanya khutbah dilaksanakan lebih dulu sebelum shalat Jum’at dilakukan. Tetapi karena suatu sebab, kemudian khutbah didahulukan sebelum shalat Jum’at dilaksanakan. Sesuatu yang menyebabkan perubahan itu ialah ketika Dahyatul Kalabi datang dari negeri Syam dengan membawa dagangan. Waktu itu nabi Muhammad sedang berdiri membaca khutbah. Jamaah Jum’at bubar dan menyambut kedatangan al-Kalabi dengan memukul genderang serta bertepuk tangan. Semetara di masjid tidak ada yang tertinggal, kecuali hanya 12 orang. Riwayat lain menyebitkan 40 orang. Maka lalu nabi berkata: “Demi zat yang aku berada di dalam kekuasaannya, jika mereka memalingkan semua dari ibadah shalat Jum’at, Allah pasti murka kepadanya dengan disediakan jurang api neraka”. Maka turunlah ayat :

“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dari pada permainan dan perniagaan”. Dan Allah sebaik-baiknya pemberi risqi” (al-Jumuat: 11, lihat Ianat al-Thalibin: II/63).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar