Toshinobu
Kubota , yang biasa dipanggil Shinji mengucapkan selamat tinggal
kepada keluarganya di negerinya yang lama untuk mencari hidup yang
lebih baik di Amerika. Ayahnya memberinya uang simpanan keluarga yang
disembunyikan di dalam kantong kulit.
“Di sini keadaan sulit ,” katanya sambil memeluk putranya dan mengucapkan selamat tinggal. “Kau adalah harapan kami.”
Shinji
naik ke kapal lintas Atlantik yang menawarkan transport gratis bagi
pemuda-pemuda yang mau bekerja sebagai penyekop batubara sebagai
imbalan ongkos pelayaran selama sebulan.
Berbulan-bulan
Shinji mengolah tanahnya tanpa kenal lelah. Urat emas yang tidak besar
memberinya penghasilan yang pas-pasan namun teratur.
Setiap hari ketika pulang ke pondoknya yang terdiri atas dua kamar, Shinji merindu kan dan sangat ingin disambut oleh wanita yang dicintainya.
Satu-satunya yang disesalinya ketika menerima tawaran untuk mengadu nasib ke Amerika adalah terpaksa meninggalkan Asaka Matsutoya sebelum secara resmi punya kesempatan mendekati gadis itu. Sepanjang ingatannya, keluarga mereka sudah lama berteman dan selama itu pula diam-diam dia berharap bisa memperistri Asaka.
Rambut
Asaka yang ikal panjang dan senyumnya yang menawan membuatnya menjadi
putri Keluarga Yoshinori Matsutoya yang paling cantik.
Shinji baru sempat duduk di sampingnya dalam acara perayaan pesta bunga dan mengarang alasan-alasan konyol untuk singgah di rumah gadis itu agar bisa bertemu dengannya. Setiap malam sebelum tidur di kabinnya , Shinji ingin sekali membelai rambut Asaka yang pirang kemerahan dan memeluk gadis itu. Akhirnya, dia menyurati ayahnya , meminta bantuannya untuk mewujudkan impiannya.
Kira-kira
setahun kemudian, sebuah telegram datang mengabarkan rencana untuk
membuat hidup Shinji menjadi lengkap. Pak Yoshinori Matsutoya akan
mengirimkan putrinya kepada Shinji di Amerika. Putrinya itu suka
bekerja keras dan punya intuisi bisnis. Dia akan bekerja sama dengan
Shinji selama setahun dan membantunya mengembangkan bisnis penambangan
emas.
Diharapkan, setelah setahun itu keluarganya akan mampu datang ke Amerika untuk menghadiri pernikahan mereka.
Hati
Shinji sangat bahagia. Dia menghabiskan satu bulan berikutnya untuk
mengubah pondoknya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Dia membeli
ranjang sederhana untuk tempat tidurnya di ruang duduk dan menata bekas
tempat tidurnya agar pantas untuk seorang wanita. Gorden dari bekas
karung goni yang menutupi kotornya jendela diganti dengan kain bermotif
bunga dari bekas karung terigu. Di meja samping tempat tidur dia
meletakkan wadah kaleng berisi bunga-bunga kering yang dipetiknya di
padang rumput.
Akhirnya , tibalah hari yang sudah dinanti-nantikannya sepanjang hidup.
Dengan tangan membawa seikat bunga daisy segar yang baru dipetik , dia pergi ke stasiun kereta api. Asap mengepul dan roda-roda berderit ketika kereta api mendekat lalu berhenti. Shinji melihat setiap jendela , mencari senyum dan rambut ikal Asaka.
Dengan tangan membawa seikat bunga daisy segar yang baru dipetik , dia pergi ke stasiun kereta api. Asap mengepul dan roda-roda berderit ketika kereta api mendekat lalu berhenti. Shinji melihat setiap jendela , mencari senyum dan rambut ikal Asaka.
Jantungnya berdebar kencang penuh harap, kemudian tersentak karena kecewa.
Bukan
Asaka , tetapi Yumi Matsutoya kakaknya, yang turun dari kereta api.
Gadis itu berdiri malu-malu di depannya, matanya menunduk. Shinji hanya
bisa memandang terpana. Kemudian, dengan tangan gemetar diulurkannya
buket bunga itu kepada Yumi. “Selamat datang,” katanya lirih, matanya
menatap nanar. Senyum tipis meng hias wajah Yumi yang tidak cantik.
“Aku
senang ketika Ayah mengatakan kau ingin aku datang ke sini,” kata
Yumi, sambil sekilas memandang mata Shinji sebelum cepat-cepat menunduk
lagi.
“Aku akan mengurus bawaanmu ,” kata Shinji dengan senyum terpaksa.
Bersama-sama
mereka berjalan ke kereta kuda. Pak Matsutoya dan ayahnya benar. Yumi
memang punya intuisi bisnis yang hebat. Sementara Shinji bekerja di
tambang, dia bekerja di kantor. Di meja sederhana di sudut ruang duduk,
dengan cermat Yumi mencatat semua kegiatan di tambang. Dalam waktu 6
bulan, asset mereka telah berlipat dua. Masakannya yang lezat dan
senyumnya yang tenang menghiasi pondok itu dengan sentuhan ajaib
seorang wanita.
Tetapi bukan wanita ini yang kuinginkan , keluh Shinji dalam hati, setiap malam sebelum tidur kecapekan di ruang duduk. Mengapa mereka mengirim Yumi ? Akankah dia bisa bertemu lagi dengan Asaka ? Apakah impian lamanya untuk memperistri Asaka harus dilupakannya ?
Setahun lamanya Yumi dan Shinji bekerja, bermain, dan tertawa bersama, tetapi tak pernah ada ungkapan cinta. Pernah sekali, Yumi mencium pipi Shinji sebelum masuk kekamarnya. Pria itu hanya tersenyum canggung. Sejak itu, kelihatannya Yumi cukup puas dengan jalan-jalan berdua menjelajahi pegunungan atau dengan mengobrol di beranda setelah makan malam.
Pada
suatu sore di musim semi, hujan deras mengguyur punggung bukit,
membuat jalan masuk ke tambang mereka longsor. Dengan kesal Shinji
mengisi karung-karung pasir dan meletakkannya sedemikan rupa untuk
membelokkan arus air. Badannya lelah dan basah kuyup, tetapi tampaknya
usahanya sia-sia. Tiba-tiba Yumi muncul di sampingnya, memegangi karung
goni yang terbuka. Shinji menyekop dan memasuk kan pasir kedalamnya,
kemudian dengan tenaga sekuat lelaki, Yumi melemparkan karung itu ke
tumpukan lalu membuka karung lainnya. Berjam-jam mereka bekerja dengan
kaki terbenam lumpur setinggi lutut, sampai hujan reda. Dengan
berpegangan tangan mereka berjalan pulang ke pondok.
Sambil menikmati sup panas, Shinji mendesah , “Aku takkan dapat menyelamatkan tambang itu tanpa dirimu. Terima kasih, Yumi.”
“Sama-sama,” gadis itu menjawab sambil tersenyum tenang seperti biasa, lalu tanpa berkata-kata dia masuk ke kamarnya.
“Sama-sama,” gadis itu menjawab sambil tersenyum tenang seperti biasa, lalu tanpa berkata-kata dia masuk ke kamarnya.
Beberapa
hari kemudian , sebuah telegram datang mengabarkan bahwa Keluarga
Matsutoya dan Keluarga Kubota akan tiba minggu berikutnya. Meskipun
berusaha keras menutup-nutupinya , jantung Shinji kembali
berdebar-debar seperti dulu karena harapan akan bertemu lagi dengan
Asaka. Dia dan Yumi pergi ke stasiun kereta api. Mereka melihat keluarga
mereka turun dari kereta api di ujung peron.
Ketika Asaka muncul , Yumi menoleh kepada Shinji. “Sambutlah dia,” katanya.
Dengan kaget, Shinji berkata tergagap, “Apa maksudmu?”
“Shinji , sudah lama aku tahu bahwa aku bukan putri Matsutoya yang kau inginkan. Aku memperhatikan bagaimana kau bercanda dengan Asaka dalam acara Perayaan pesta bunga lalu.” Dia mengangguk ke arah adiknya yang sedang menuruni tangga kereta. “Aku tahu bahwa dia, bukan aku , yang kauinginkan menjadi istrimu.”
“Tapi…”
Yumi meletakkan jarinya pada bibir Shinji. “Ssstt,” bisiknya. “Aku mencintaimu, Shinji. Aku selalu mencintaimu. Karena itu , yang kuinginkan hanya melihatmu bahagia. Sambutlah adikku.”
Shinji
mengambil tangan Yumi dari wajahnya dan menggenggamnya. Ketika Yumi
menengadah, untuk pertama kalinya Shinji melihat betapa cantiknya gadis
itu. Dia ingat ketika mereka berjalan-jalan di padang rumput, ingat
malam-malam tenang yang mereka nikmati di depan perapian, ingat ketika
Yumi membantunya mengisi karung-karung pasir. Ketika itulah dia
menyadari apa yang sebenarnya selama berbulan-bulan telah tidak
diketahuinya.
“Tidak,
Yumi. Engkaulah yang kuinginkan.” Shinji merengkuh gadis itu ke dalam
pelukannya dan mengecupnya dengan cinta yang tiba-tiba membuncah
didalam dadanya.
Keluarga mereka berkerumun mengelilingi mereka dan berseru-seru, “Kami datang untuk menghadiri pernikahan kalian!”
“..True love doesn’t have a happy ending , because true love never ends….”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar