Kesyahidan Husein dikenal luas di dunia Islam. Kematiannya yang
mengenaskan, tubuh bersimbah darah, tangan terpotong dan kepala terpisah
dari
badan, senantiasa diingat oleh banyak orang Islam. Hari wafatnya yang
jatuh
pada tanggal 10 Muharam pun selalu diperingati di banyak negeri, baik
yang
mayoritas penduduknya Sunni maupun Syiah. Semua itu menunjukkan bahwa
tragedi Kerbela yang terjadi hampir tiga belas abad yang lalu itu
memiliki arti tersendiri bagi
kaum Muslimin.
Di Indonesia kisah kesyahidan Amir Husein, demikian ia disebut dalam teks
Melayu, telah dikenal sejak masa awal pesatnya perkembangan Islam pada abad 13
– 15 M. Pada masa inilah hikayat tersebut mulai dikarang dalam bahasa Melayu.
Dua versi paling masyhur yang dijadikan sumber penulisan versi-versi lain pada
masa berikutnya ialah yang berjudul Hikayat Muhammad Ali Hanafiyahh dan Hikayat
Sayidina Husein. Yang disebut pertama dikarang sekitar abad ke-14 atau 15 M
berdasarkan sumber Persia, sedangkan yang belakangan dikarang sekitar abad
ke-17 M di Aceh.
Dalam hikayat ini dijelaskan arti penting peringatan 10 Muharam, begitu
juga cara pelaksanaannya. Tetapi dalam kenyataan kemudian muncul dua bentuk
penyelenggaraan yang berbeda. Yang pertama, peringatan yang lebih bersahaja
sebagaimana terdapat di Aceh, pulau Jawa, Madura dan Sulawesi Selatan. Di Aceh
peringatan 10 Muharam disebut Hari Asan dan Usin. Di Jawa dan Madura disebut
Hari Sura atau Asura. Sehari sebelum 10 Muharam tiba, orang melakukan puasa
sunat. Esok harinya penduduk membuat bubur merah yang dibagi-bagikan kepada
tetangga atau kerabat. Malam harinya diadakan pengajian, dan tidak jarang pula
diadakan majlis untuk mendengarkan pembacaan hikayat tragedi Kerbela dan perang
Muhammad Ali Hanafiyah melawan Yazid. Penyelenggaraan Hari Sura atau Hari Asan
Usin jelas merujuk pada keterangan yang terdapat dalam Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyah.
Yang kedua, bentuk penyelenggaraan yang lebih kompleks dan mirip
dengan
perayaan 10 Muharam di Iran dan India. Bentuk perayaan seperti ini
dijumpai di
Bengkulu dan Sumatra Barat , dan mulai diadakan sejak akhir abad ke-18 M
ketika
Inggris menguasai Bengkulu dan bersamanya membawa banyak orang Syiah
dari
India. Perayaan di Bengkulu dan Padang dimeriahkan dengan arak-arakan
tabut
yang aneka ragam bentuknya melambangkan kesyahidan Husein dan
pernikahannya
dengan Syahrbanum, putri khusraw Persia terakhir Yazgidird II yang
setelah
tertawan pasukan kaum Muslimin pindah menganut agama Islam. Arak-arakan
dimeriahkan dengan musik tambur yang gemuruh.
Ini menggambarkan suasana pasukan Husein dan Muhammad Ali Hanafiyah yang dengan gagah berani maju ke medan perang.Sepuluh hari sebelum perayaan dimulai, diadakan upacara ma` ambil tanah (mengambil tanah) dan pada ketika itulah tabut-tabut mulai dibuat (Brakel 1975).
Ini menggambarkan suasana pasukan Husein dan Muhammad Ali Hanafiyah yang dengan gagah berani maju ke medan perang.Sepuluh hari sebelum perayaan dimulai, diadakan upacara ma` ambil tanah (mengambil tanah) dan pada ketika itulah tabut-tabut mulai dibuat (Brakel 1975).
Tatacara penyelenggaran Asura itu merujuk pada teks Hikayat Muhammad
Ali
Hanafiyah. Pembuatan bubur merah misalnya disarankan pada bagian awal
hikayat
tersebut, yaitu ketika malaikat Jibril menyerukan agar “Pada sepuluh
Muharam
memberi makan bubur Asura akan segala yang syahid pada tanah Padang
Kerbela.”
Sedangkan anjuran puasa sunat dapat dirujuk pada kata-kata Jibril
menjawab
pertanyaan arti pentingnya puasa sunat itu dilakukan. Kata Jibril, “Yang
kasih
akan segala isi rumah rasul Allah pada setahun sekali pada sepuluh hari
bulan
Muharam muwafakat puasa pada ketika Asura serta akan segala syahid pada
tanah padang Kerbela syahdan memberi makan bubur Asura.” Arti hari Asura
juga dikemukakan pada
bagian berikut ini: “…hari Asura artinya menangis engkau akan isi rumah
rasul
Allah bermula barang siapa yang tulus ikhlas hatinya dan kasih rasanya
akan
segala anak cucu rasul Allah.”
Semua itu menunjukkan bukan saja populernya kisah kesyahidan Amir Husein,
tetapi juga betapa kesyahidannya memiliki makna tersendiri dalam hati penganut
agama Islam di Nusantara. Di antara arti penting itu ialah simpati dan
solidaritas atas pengurbanan dan perjuangannya melawan penguasa atau rejim yang
zalim, sebab penguasa seperti itu sebagaimana diperlihatkan Muawiyah dan
putranya Yazid merupakan “Bayang-bayang setan di muka bumi.” Pertanyaan timbul:
Daya tarik apa yang menyebabkan hikayat yang semula muncul dalam bahasa Melayu
itu kemudian mendapat sambutan luas di kepulauan Nusantara, sehingga selama
lebih tiga abad digubah dan dikarang kembali dalam versi agak berlainan dalam
bahasa-bahasa Nusantara lain seperti Aceh, Gayo, Minangkabau, Palembang, Jawa,
Sunda, Madura, Sasak, Banjar, Bima, Bugis, Makassar, dan lain sebagainya?
Kecuali itu apa pula relevansinya sehingga hikayat ini memperoleh tempat
istimewa dibanding epos-epos Islam lain seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat
Iskandar Zulkarnaen dan Hikayat Malik Saiful Lisan?
Untuk menjawab persoalan ini kita perlu melihat berbagai aspek dari
kesejarahan teks ini, termasuk latar belakang dan motif penyusunannya sebagai
epos atau hikayat perang, dan dalam konteks sejarah yang bagaimana hikayat ini
dikarang dalam bentuknya seperti yang kita kenal sekarang? Begitu pula dalam
konteks sejarah seperti apa ia disadur ke dalam sastra Melayu dan Nusantara
yang lain.
Asal Usul Hikayat Melayu
Telah dikemukakan bahwa hikayat perang (epos) berkaitan dengan kesyahidan
Husein telah dikenal lama di Indonesia. Dalam bahasa Melayu ada dua versi awal
yang paling dikenal luas. Pertama versi yang berjudul Hikayat Sayidina Husein,
dan kedua versi yang berjudul Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Sementara dalam
sastra Melayu, Jawa dan Madura versi kedua yang paling populer, dalam sastra
Aceh versi pertamalah yang lebih populer. Dalam sastra Aceh versi pertama
ditulis pada akhir abad ke-17 M di bawah judul Hikayat Soydina Usen, tanpa
membuang bagian yang mengisahkan peperangan antara Muhamad Ali Hanafiyah
melawan Yazid. Versi kedua berjudul Hikayat Muhammad Napiah.
Di daerah lain, misalnya di tanah Sunda dan pulau Madura, hikayat ini
digubah sedemikian rupa dengan menekankan pada kekejaman dan kejahatan yang
dilakukan Yazid bin Muawiyah. Versi Sunda diberi judul Wawacan Yazid dan versi
Madura diberi judul Caretana Yazid Calaka (Kisah Yazid Celaka). Dalam sastra
Minangkabau versi yang popular ialah Kaba Muhammad Ali Hanafiya. Seperti kaba
lain hikayat ini dibacakan dalam majlis-majlis sastra yang kerap diadakan
terutama pada Hari Asura (Edwar Djamaris 1990). Dalam sastra Jawa salah satu
versinya yang populer ialah yang diberi judul Serat Ali Ngapiyah mateni Yazid.
Pemberian judul yang berbeda-beda itu tentu dilatari motif tertentu sejalan
dengan konteks budaya di mana hikayat itu disalin.
Teks hikayat ini dalam bentuknya yang dikenal sekarang pada mulanya
muncul dalam kesusastraan Persia. Para sarjana berpendapat bahwa hikayat ini
mulai ditulis pada akhir abad ke-12 M atau awal abad ke-13 M pada zaman
pemerintahan Mahmud al-Ghaznawi. Perkiraan ini didasarkan atas kenyataan bahwa
pola pengisahan dan gayanya memiliki banyak kemiripan dengan Shah-namah, epos
Persia masyhur karangan Firdawsi yang usai ditulis pada tahun 1010 M. Deskripsi
dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah yang mirip dengan Shah-namah antara lain
ialah deskripsi tentang peperangan antara pasukan Muhamad Ali Hanafiyah dengan
Yazid (Brakel 1975, Browne 1976).
Bukti lain ialah adanya petikan sajak Sa’di dalam hikayat ini, yaitu
pada
bagian II versi Melayu hal 338-340) dan disebutnya Tabriz sebagai kota
penting di Iran. Sa’di adalah penyair yang hidup antara tahun 1213 –
1292 M. Dengan
demikian ia mengalami dua zaman pemerintahan yaitu zaman pemerintahan
Dinasti
Ghaznawi dan zaman raja-raja Ilkhan Mongol yang menguaai Persia pada
tahun 1222
M. Sajak Sa’di yang dikutip itu sendiri merupakan sindiran terhadap
Sultan
Mahmud al-Ghaznawi. Di lain hal Tabriz baru menjadi kota penting di Iran
pada zaman pemerintahan Sultan Ghazan (1295-1304 M) yang menjadikannya
sebagai
kerajaan Ilkhan Mongol di Persia. Teks Melayu juga menyebut pentingnya
kota Sabzavar, padahal kota ini baru menjadi kota penting Syiah pada
pertengahan abad
ke-14 M.
Persoalan yang sering ditanyakan para peneliti ialah bagaimana teks
Persia ini bisa sampai di kepulauan Melayu tidak lama setelah hikayat
tersebut rampung penulisannya
di Persia. Pertanyaan ini dengan sederhana dapat dijawab. Misalnya
dengan
merujuk pada catatan perjalanan Ibn Batutah yang berkunjung ke Samudra
Pasai
pada awal abad ke-14 M. Di ibukota kerajaan Islam Nusantara pertama itu
Ibn
Batutah menyaksikan sejumlah ulama dan cendekiawan Persia berasal dari
Samarkand dan Bukhara. Mereka sering diundang Sultan Pasai ke istana dan
sangat dihormati,
serta memainkan peranan penting dalam memajukan lembaga pendidikan Islam
(Ibrahim Alfian 1999). Dapat dipastikan bahwa mereka bukan saja mengajar
bahasa
dan kesusastraan Arab, tetapi kesusastraan Persia. Huruf Arab Melayu
yang
disebut huruf Jawi dan dipakai mula-mula di Pasai didasarkan pada huruf
Arab
Persia. Jenis tulisan Arab yang digunakan pula ialah huruf Kufi Timur
dan
Nastaliq yang lazim dipakai oleh penulis-penulis Persia.
Bukti-bukti tekstual juga menguatkan pendapat bahwa sumber-sumber
Persia memainkan peranan penting bagi bangkitnya kesusastraan Islam di
Nusantara sampai
periode paling akhir. Hikayat-hikayat Melayu Islam yang awal yang
meliputi
epos, roman, hikayat nabi-nabi dan wali-wali, serta karangan-karangan
bercorak
tasawuf termasuk puisi, jika bukan merupakan saduran dari
hikayat-hikayat
(dashtan) Persia, tidak sedikit di antaranya diilhami oleh karangan
penulis-penulis Persia. Epos-epos Islam terkenal seperti Hikayat Amir
Hamzah,
Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Syah Mardan, dan lain sebagainya
digubah berdasarkan sumber Persia.
Memang pada mulanya epos-epos Islam telah muncul dalam kesusastraan Arab.
Namun epos-epos itu mencapai bentuknya yang matang dan kompleks, serta memiliki
nilai estetik yang tinggi, di tangan penulis-penulis Persia abad ke-12 – 14 M.
Khusus Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, dasar ceritanya ialah legenda yang hidup
di kalangan pengikut sekte Kaisaniyah, sebuah sekte dari madzhab Syiah yang
berbeda dari sekte-sekte Syiah lain seperti aliranImam Duabelas (Imamiya), Imam
Tujuh (Ismailiya), Imam Lima (Zaidiya) dan lain-lain. Sekte-sekte Syiah yang
lain berpendirian bahwa hanya keturunan Ali bin Thalib dan Fatimah saja yang
berhak menjabat Imam, maka sekte Kaisaniyah menganggap bahwa jabatan imamah
berakhir setelah wafatnya Muhammad Ali Hanafiyah. Hanafiyah adalah putra Ali
yang ketiga dari istrinya yang berasal dari suku Hanif dan yang dinikahi Ali
setelah wafatnya Fatimah. Sekte ini dikembangkan oleh Kaisan, pengasuh
Hanafiyah yang sangat mengagumi kesalehan tuannya.
Agaknya di antara orang-orang Islam yang banyak pindah ke Indonesia
dari
negeri Arab dan Persia pada awal abad ke-14 hingga pertengahan abad
ke-15 M,
yaitu pada masa penaklukan bangsa Mongol atas negeri kaum Muslimin dan
kekacauan di Persia akibat peperangan yang dicetuskan Timur Leng pada
akhir
abad ke-14 hingga awal abad ke-15 M, terdapat tidak sedikit penganut
Syiah,
bukan saja Syiah Imam Dua Belas tetapi juga Syiah Imam Empat (Zaidiyah)
dan
Kaisaniyah. Sebagian dari mereka, sebagaimana dipaparkan dalam banyak
sumber
sejarah, bergabung dengan orang-orang Sunni madzab Syafii di Yaman, yang
telah
lama menjadikan negeri itu sebagai pusat kegiatan keagamaan penganut
Sunni
madzab Syafii. Dari tempat inilah orang-orang Islam dari negeri Arab dan
Persia memulai pelayarannya ke Timur melalui Samudra Hindia dengan
tujuan
pelabuhan-pelabuhan di India Selatan dan kepulauan Melayu. Pelabuhan
Aden di
Yaman memang sangat strategis, dan telah sejak lama dijadikan pelabuhan
dagang
utama yang yang menghubungkan benua Eropa dan Afrika dengan
negeri-negeri di
sebelah timur seperti India dan kepulauan Melayu (Ali Ahmad 1996; Abdul
Hadi
W.M. 2001).
Berdasarkan ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang Kaisaniyahlah yang
membawa dan memperkenalkan epos ini di kepulauan Melayu. Latar belakang
ceritanya ialah sebagai berikut. Setelah Ali bin Thalib dipilih menjadi
khalifah yang menggantikan Usman bin Affan yang mati akibat pembunuhan
misterius, Muawiyah yang merupakan kerabat Usman dan menjabat sebagai gubernur
Damaskus menentang keputusan itu. Dia merancang untuk melakukan perlawanan.
Peperangan meletus di Shiffin pada tahun 657 M. Ali dan pasukannya hampir
memperoleh kemenangan, tetapi Muawiyah menawarkan perdamaian untuk mencegah
kekalahan tentaranya. Maka diadakanlah tahkim untuk menentukan apakah Ali atau
Muawiyah yang berhak memangku jabatan khalifah. Ternyata ini merupakan siasat
yang dirancang rapi oleh Muawiyah untuk menggulingkan Ali dan kaum Aliyun yang
merupakan pesaingnya yang paling kuat. Hakim yang dipilih untuk menentukan
siapa yang berhak menjadi khalifah sebagian besar memihak Muawiyah.
Kaum Khawarij yang semula memihak Ali, mengutuk keputusan mengadakan
tahkim. Mereka merancang akan membunuh Ali dan Muawiyah. Pada tahun 659 M dua
tahun setelah peristiwa itu kaum Khawarij melaksanakan niatnya membunuh kedua
pemimpin itu. Muawiyah lolos dari usaha pembunuhan, tetapi Ali tewas dihunus
pedang pemimpin Khawarij Abdul Rahman bin Muljam ketika Ali sedang berada di
Kufa. Sejak peristiwa berdarah itu Muawiyah merasa lega karena tidak ada lagi
yang akan merintangi dirinya menjadi penguasa mutlak kekhalifatan Islam. Tetapi
di tempat lain kaum Aliyun mengangkat Hasan sebagai pengganti Ali. Beliau juga
akhirnya mati setelah diracun.
Pada tahun 680 M Muawiyah meninggal dunia. Putra Muawiyah, Yazid yang
bertangan besi, diangkat sebagai penggantinya. Husein putra Ali menolak
mengakui Yazid. Karena itu dia selalu diintai untuk dihabisi nyawanya. Oleh
karena merasa tidak aman berada di Mekkah, Husein hijrah ke Madinah. Tetapi
kemudian dia memilih pindah ke Kufa, tempat di mana dia merasa lebih aman dan
dapat berkumpul dengan sanak saudara serta para pengikutnya. Keinginannya
bertambah kuat setelah terdengar kabar bahwa saudara-saudara sepupunya dan para
pengikutnya akan membaiat beliau sebagai khalifah. Ketika Husein mulai
melakukan perjalanan dari Madinah ke Kufa, Yazid mengganti gubernur Kufa dengan
tokoh yang lebih setia kepadanya Ubaidillah bin al-Ziyad. Ketika Husein sedang
dalam perjalanan menuju Kufa, Ubaidillah berhasil mengintimidasi penduduk Kufa
untuk menyerang Husein. Setibanya di Kerbela Husein diserang oleh pasukan Yazid
dan orang-orang yang telah dihasut untuk menyingkirkannya. Sebelum gugur,
bersama dengan para pengikutnya, Husein dibiarkan lemas karena haus. Pasokan
air dari sungai Eufrat sengaja dipotong oleh Ubaidillah sehingga Husein dan
pasukannya lemas disebabkanHussei kehausan.
Kematian Husein segera didengar oleh adiknya, Muhammad Ali Hanafiyah. Dia
adalah putra Ali yang ketiga dari hasil perkawinan beliau dengan seorang
perempuan Hanif bernama bernama Muhmmad bin Ali. Oleh karena ibunya seorang
hanif ketika dinikahi Ali, maka gelarnya kemudian ditambah dengan Hanafiyah.
Dalam hikayat diceritakan ketika itu dia adalah seorang amir di Buniara.
Pada malam hari setelah wafatnya Husein, Muhammad Hanafiyah bermimpi
bertemu Nabi Muhammad s.a.w yang menyuruhnya menuntut bela atas kematian
saudaranya Hasan dan Husein. Keesokan harinya Muhammad mengumpulkan semua
pengikutnya untuk melancarkan perang melawan Yazid bin Muawiyah. Dalam sebuah
pertempuran yang menentukan Yazid tewas dalam keadaan mengerikan. Dia jatuh ke
dalam sebuah sumur tua yang penuh kobaran api. Setelah itu Muhammad Hanafiyah
menobatkan putra Zainal Abidin, putra Husein sebagai pengganti ayahnya selaku
pemimpin kaum Aliyun. Pada saat itulah dia mendengar kabar bahwa tentara musuh
sedang berhimpun dalam sebuah gua. Muhammad segera bergegas pergi ke tempat itu
untuk menghancurkan sisa pasukan Yazid. Ketika memasuki gua terdengar suara
gaib yang memerintahkan agar dia jangan masuk. Serua itu tidak dihiraukan.
Malahan Muhammad Ali Hanafiyah terus saja membunuh musuh-musuhnya yang
bersembunyi dalam gua. Tiba-tiba pintu gua tertutup dan dia tidak bisa keluar
lagi dari dalamnya.”
Episode yang mengisahkan situasi ketika Husein tiba di Kerbela sangat
menarik. Inilah petikannya: “… Maka Amir Husein berjalan daripada suatu
pangkalan
kepada suatu pangkalan, maka sampailah Amir Husein kepada suatu tempat.
Maka
unta dan kuda Amir Husein merebahkan dirinya, tiada mau lagi berjalan,
Maka
Amir Husein menyuruh mendirikan kemah barung-barung. Adapun segala kayu
pun
yang ditetak akan barung-barung itu sekaliannya berdarah. Maka bertanya
Amir
Husein, “Hai taulanku! Apa nama padang ini?” Maka kata segala
hulubalang, “Hai
junjungan kami! Inilah padang Kerbela namanya!”. Maka kata Amir Husaain,
“Wah
inilah tempat kita mati, karena sabda Rasulullah, “Kematian cucuku
Husein pada
tanah padang Kerbela!” Maka kata Amir Husein, “Qalu inna lilLahi wa inna
ilayHi
raji`una!” Apabila didengar Umar Sa`d Maisum warta Amir Husein sudahlah
ada di padang Kerbela berbarung-barung, maka Umar Sa`d Maisum
menghampiri sungai Furat,
ditebatnya sungai itu, supaya Husein jangan beroleh air. Setelah sudah
ditebatnya sungai ini, maka dikirimkannya surat kepada Yazid, dalam
surat itu demikian bunyinya, “Segeralah Yazid memberi bantu akan hamba,
karena Amir Husein
sudah adalah di tengah padang Kerbela berbarung-barung!” Maka datangnya
surat
itu kepada Yazid, dengan seketika itu jua disuruhkan Yazid lima puluh
ribu
hulubalang serta Ubaidillah bin Ziyad dan orang berjalan tujuh puluh
ribu, Maka
Yazid berkata, “Pergilah kamu ke tebing Sungai Furat, khawani oleh kamu
supaya
Husein jangan beroleh air minum, maka kepala Husein pun segera kamu bawa
kepadaku! Maka tatkala Amir Husein berhenti pada padang tanah Kerbela,
sehari
bulan Muharam, maka Ubaidillah bin Ziyad pun menghampiri tebing sungai
Furat,
dikhawaninya.
Maka segala hulubalang Amir Husein dahagalah tersiur-siur mencari air
sekalah, tiada beroleh air. Demikianlah datanglah kepada delapan hari bulan
Muharam, dalam kedahagaan jua kaum Amir Husein. Pada kesembilan harinya hari
bulan Muharam, segala anak Amir Husein pun datang kepada Amir Husein, katanya,
“Hai bapaku! Maha sangat dahagaku, air liur kami pun keringlah daripada
kerungkungan kami, bermula rasa dada kami pun jerihlah. Berilah akan kami air
seteguk!” Maka pada bilik Amir Husein ada suatu kendi kulit belulang berisi
air, maka kendi itu pun pesuklah dikorek tikus, air pun habislah terbuang…”
(Brakel 1975)
Hikayat ini sebenarnya didasarkan atas peperangan yang dilakukan
al-Mukhtar, pemimpin sekte Kaisaniyah, melawan Yazid dengan tujuan menuntut
bela atas kematian Amir Husein. Dengan dibantu oleh panglima perangnya Ibrahim
al-Asytur dia mengangkat Muhammad Ali Hanafiyah sebagai imam pengganti Husein.
Pada mulanya kisah ini bersifat legenda, namun kemudian dikembangkan menjadi
sebuah roman sejarah (Ali Ahmad 1996).
Dari Maqtal ke Hikayat
Melalui paparan yang telah dikemukakan, dapatlah diketahui motif dan
latar belakang penulisan hikayat ini. Motif ini bersifat ideologis dan
kultural. Namun untuk memahaminya kita harus melihat aspek-aspek menonjol yang
membedakan antara versi Melayu dan versi Persia yang merupakan sumbernya.
Setidaknya ada enam butir perkara yang penting dicatat bertalian dengan hal
tersebut. Pertama, bentuk asli hikayat tentang kesyahidan Husein termasuk ke
dalam genre maqtal, yaitu jenis sastra yang khusus memaparkan kesyahidan Imam
Ali, Hasan dan Husein. Di dalamnya terpadu unsur elegi dan tragedi. Hikayat
seperti ini di Persia biasa dibacakan dengan didramatisasikan pada perayaan 10
Muharam. Versi Melayu mengurangi unsur tragedinya dan merubahnya menjadi roman
sejarah dengan unsur epik yang kuat. Versi Jawa, Sunda, dan Madura digubah
dalam bentuk tembang macapat (puisi), yang dibacakan dengan lagu khas di
majelis-majelis pada malam di hari Asura.
Sekalipun unsur tragedi dikurangi, namun unsur elegi masih kuat. Bahkan
dalam versi Melayu banyak episode menyangkut gugurnya Husein dan kesedihan yang
menyelimuti hati karib kerabatnya digarap lebih rinci. Kesedihan karib kerabat
dan keluarga setelah mendengar gugurnya Husein dilukiskan seperti berikut:
“Adapun Amir Husein syahid pada sepuluh hari bulan Muharam, harinya pun hari
Jumat, maka Amir Husein pada ketika itu jua jadi akan penghuni syurga seperti
kaul ‘Inna’s-saffa mahallu ‘dunubi!’ … Maka kemudian segala isi rumah
Rasulullah berkabung serta menampar-nampar dadanya dan merenggut-renggut
rambutnya dengan tangisnya dan heriknya, demikian bunyi tangisnya, ‘Wah kasihan
kami!Wah kesakitan kami! Wah sesal kami! Wah Muhammad kami! Wah Ali kami! Wah
Fatimah kami! Wah Hasan kami! Wah Husein kami! Wah Kasim kami. Wah Ali Akbar
kami!’ Maka isi rumah Rasulullah tiadalah sadar diri. Pada ketika Amir Husein
syahid seakan Arasy Allah da Kursi gemetaran, bulan dan matahari pun redup,
tujuh hari tujuh malam lamanya segala alam pun seolah kelam kabut, karena Amir
Husein terbunuh, peninggalan Nabi Allah dan lihat-lihatan daripada Rasulullah,
seorang cucunya, Amir Hasan dibunuhnya dengan racun, seorang lagi cucunya
dibunuh segala munafik dengan senjata, kepalanya diperceraikan orang.
Demikianlah halnya disembelih orang zalim, supaya kita ketahui, hidup dalam
dunia tiadalah kekal…”
Kedua, versi Jawa yang di antaranya diberi judul Ali Ngapiyah mateni
Yajid (Ali Hanafiyah membunuh Yazid) memiliki keunikan. Penuturannya secara estetik
disesuaikan dengan pola penuturan epik dan roman sejarah yang telah ada dalam
kesusastraan Jawa. Cerita diulang-ulang, misalnya kisah pertemuan dan
perpisahan pelaku, mengikuti pola pengisahan siklus Cerita Panji. Di dalam
hikayat ini juga dimasukkan tokoh punakawan, pelayan tokoh utama, seperti dalam
Cerita Panji, Mahabharata Jawa, dan Serat Menak (Hikayat Amir Hamzah versi
Jawa). Pelaku dipisahkan secara tegas ke dalam dua kelompok yang tidak mudah
didamaikan, seperti pemisahan antara Pandawa dan Kurawa dalam Mahabharata
(Braginsky 2004). Yazid yang celaka berserta pasukannya disamakan dengan
Kurawa, sedangkan Muhammad Ali Hanafiyah dengan Pandawa. Seperti dalam
Mahabharata di mana medan perang Kurusetra secara simbolik digambarkan sebagai
dunia atau jiwa manusia, tempat pertarungan abadi antara kebenaran dan
kebatilan. Dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, peranan padang Kuru diganti
dengan padang Kerbela.
Ketiga, seperti Mahabharata hikayat ini mengandung unsur eskatologis yang
kuat. Tragedi Kerbela dan tewasnya Yazid di tangan pasukan Muhammad Ali
Hanafiyah, secara simbolik digambarkan sebagai peperangan akhir zaman antara
pasukan Imam Mahdi dan Dajjal. Situasi menjelang tragedi Kerbela juga
dilukiskan seperti situasi akhir zaman di mana kaum Muslimin dikeroyok oleh
fitnah dan intrik-intrik jahat yang memicu terjadinya banyak konflik dan
tindakan kekerasan. Tewasnya Yazid dan tertelannya Muhammad Ali Hanafiyah dalam
gua menandakan datangnya era baru dan zaman penuh pencerahan. Dapat dicatat di
sini bahwa dalam pertujunjukan wayang topeng pernah populer lakon Sayidina
Jusen lan Ratu Jajid. Hikayat ini juga mengilhami kisah apokaliptik Serat
Akhiring Jaman. Dikisahkan dalam serat ini munculnya raja Jin dari
persembunyiannya untuk menumpas segala raja kafir dan membawa orang kafir
berbondong-bondong memeluk agama yang benar (Pigeaud 1969).
Dilihat dalam konteks sejarah penulisan hikayat ini di Persia, hal
ini juga beralasan. Pada pertengahan abad ke-14 M penganut Syiah
menyongsong
era baru setelah lebih satu abad mengalami masa gelap sebagai akibat
penguasaan
tentara Mongol. Pada akhir abad ke-13 M bangsa Mongol beramai-ramai
memeluk
agama Islam bersama pemimpin mereka. Mereka berubah menjadi pelindung
kebudayaan Islam. Kebebasan menganut madzab apa pun diperbolehkan, suatu
kebijakan yang berbeda dengan kebijakan penguasa sebelumnya.
Keempat, teks Melayu memperlihatkan redupnya ideologi Kaisaniyah. Jika
sebelumnya mereka berpendapat mata rantai imamah berakhir dengan wafatnya
Muhammad Ali Hanafiyah, kini pandangan seperti itu tidak bisa dipertahankan
lagi di lingkungan masyarakat Melayu yang menganut paham Sunni. Muhammad Ali
Hanafiyah terpaksa membaiat putra Husein, Zainal Abidin untuk menjadi khalifah.
Kelima, versi Melayu merupakan kompilasi sejumlah hikayat yang berbeda
jenisnya seperti Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Hasan dan Husein, dan
Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah sendiri. Legenda dilebur dengan
peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi sejak masa awal kenabian Rasulullah
sampai peperangan yang dicetuskan Muhammad Ali Hanafiyah menentang Yazid bin
Muawiyah.
Keenam, teks Melayu tidak sepenuhnya pula mengikuti teks Persia dalam
memaparkan kejadian-kejadian penting berkenaan dengan keluarga Nabi.
Banyak
dijumpai tambahan dalam teks Melayu. Juga ditemui penyimpangan atau
perubahan
konteks serta makna berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang
dituturkan.
Dari enam hal ini, dua hal terakhir yang perlu diberi catatan dan
penjelasan, sebab hanya dengan cara demikian kita dapat memahami
kreativitas
penulis Melayu menjadikan teks Persia menjadi wacana yang sesuai dengan
konteks
perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Kekhasan teks Melayu hanya
bisa
diketahui melalui cara membandingkannya dengan teks Persia. Salinan teks
Persia yang dijadikan sumber teks Melayu ditemukan naskah salinannya di
British Museum (Ms Add 8149). Menurut Rieu (Brakel 1975) naskah itu
ditulis dalam huruf Nastaliq di
Murshidabad, Bengal, India pada tahun 1721 M. Jadi masih pada zaman
pemerintahan Dinasti Mughal, yang hingga awal abad ke-19 M menjadikan
bahasa
Persia sebagai bahasa utama kaum terpelajar di Indo-Pakistan.
Naskah Bengal terdiri dari bagian. Bagian pertama memaparkan riwayat
hidup Amirul Mukminin Hasan dan Husein sejak masa kelahiran hingga wafat
mereka. Bagian kedua memapakarkan hikayat Muhammad Ali Hanafiyah sejak kematian
Husein saudaranya sampai pembebasan putra Husein yaitu Zainal Abidin dan
ditemukannya mayat Yazid dalam sebuah perigi.
Versi Melayu terdiri dari tiga bagian: Bagian pertama berupa pengantar,
memaparkan riwayat Nabi Muhammad s.a.w. sampai masa awal kerasulan beliau.
Sebagian dari bagian ini didasarkan atas Hikayat Kejadian Nur Muhammad yang
populer di Nusantara. Bagian kedua terdiri dari tiga episode, yaitu kisah Hasan
dan Husein ketika masih kanak-kanak, riwayat hidup tiga khalifah al-rasyidin
yaitu Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan beserta karib
kerabatnya, kemudian paparan riwayat hidup Ali bin Abi Thalib, dan terakhir
kematian Hasan dan gugurnya Husein di padang Kerbela. Bagian ketiga, peperangan
yang dicetuskan Muhammad Ali Hanafiyah sampai tewasnya Yazid dan raibnya
Muhammad Ali Hanafiyah yang terperangkap dalam sebuah gua.
Versi Melayu juga menambahkan beberapa episode penting seperti Masa
awal
kerasulan Nabi Muhammad s.a.w., wafatnya Siti Khadijah, pembuangan
Marwan,
wafatnya Rasulullah, wafatnya Fatimah dan upacara pemakamannya yang
bersahaja
dan dilakukan secara diam-diam oleh Ali bin Abi Thalib. Versi Persia
menceritakan legenda yang berkaitan dengan masa kecil Hasan dan Husein
secara
panjang lebar, serta ramalan mengenai kematian mereka. Yang sulung akan
mati
diracun, dan adiknya wafat berlumuran darah di Kerbela. Versi Melayu
memaparkan
secara ringkas legenda-legenda ini. Tetapi ke dalamnya ditambahkan
kisah-kisah
yang berkaitan dengan kehidupan ahli bait dan apa yang mereka alami
selama
mendapatkan intimidasi dari Muawiyah.
Jika kedua versi dibaca dengan seksama, menurut Brakel, tampak bahwa
banyak bagian-bagian dalam versi Melayu merupakan terjemahan langsung dari
sumber Persia, namun membawa makna yang berlainan. Misalnya pada bagian ketiga,
terdapat kalimat dalam teks Melayu: “Maka segala hafiz pun mengaji al-Qur’an
dan segala lasykar pun dzikr Allah”. Teks Persianya: “wa hamaye yaran o
baradaran dar zekr o fekr dar-amadand”. (Semua saudara dan teman memasuki
pekuburan seraya mengingat yang wafat dan memikirkannya). Teks Melayu bernuansa
kesufian, tampak dalam memberi makna terhadap kata-kata zikir.
Pada bagian kedua teks Persia yang menyajikan perkataan Syahrbanum kepada
Yazid tertulis kalimat: “Xak bar dar dahane to” (Telanlah bumi oleh mulutmu!).
Dalam teks Melayu berubah makna, “Tanah itu masukkan ke dalam mulutmu!”. Ketika
Utbah melapor kepada Yazid, kata-katanya dalam teks Persia ditulis: “Man ham az
bine mardanegiye isan gerixte amadim” (Kau telah bebas dari rasa takut
disebabkan keberanian mereka). Teks Melayu: “Adapun kami dengan gagah berani,
maka kami dapat melepas diri kami”.
Sekalipun demikian tak pelak unsur Persia masih dipertahankan dalam teks
Melayu. Kata-kata Persia seperti gabayi namadin diterjemahkan menjadi kopiahnya
namad merah; kata-kata si gaz gadd dast diterjemahkan menjadi tiga puluh gaz
tingginya; kata-kata geysare dirubah menjadi kaisar; Umm-i Kulzum (Arab: Umm
al-Kulzum) dimelayukan jadi Ummi Kulzum, dan masih banyak lagi. Bahkan
kata-kata Persia seperti Zangi (Negro) tetap tidak dirubah. Perbedaan lain
ialah bahwa beberapa lukisan kejadian yang terdapat dalam teks Melayu tidak ada
dalam teks Persia (Brakel 1975).
Episode Husein dan pengikutnya yang kehausan setibanya di Kerbela tidak
dijumpai dalam teks Persia. Episode ini diambil oleh penulis Melayu dari epos
Islam lain yang juga masyhur yaitu Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Dalam teks
Melayu, kaum Aliyun disebut sebagai Ahlul Sunnah juga, sedangkan lawan mereka
yaitu kaum Khawarij dan Umayyah dipandang sebagai kaum munafik. Karakter
Muhammad Ali Hanafiyah sebagai tokoh epos digambarkan mirip dengan tokoh
historis abad ke-8 M bernama Abu Muslim, yang mengangkat senjata melawan
pasukan Abbasiyah di Khurasan. Ketika itu pasukan Bani Abbasiyah yang pada
mulanya didukung kaum Aliyun mulai memperoleh kemenangan atas pasukan Bani
Umayyah. Ketika itulah Abu Muslim mulai ditinggalkan, sehingga balik menentang
Abbasiyah. Adapun deskripsi peperangan dalam hikayat tersebut tidak sedikit
yang diilhami oleh deskripsi dalam epos Shahnamah karangan Firdawsi.
Relevansi dan Makna Epos
Melihat luasnya daerah penyebaran hikayat ini di Indonesia dan
sambutan terhadap kehadirannya, serta besarnya pengaruh terhadap
perkembangan sastra
Nusantara, layaklah apabila kita ajukan beberapa pertanyaan. Apa
relevansi dan
arti hikayat ini bagi orang Islam di Indonesia? Pesan moral apa yang
dikandung
di dalamnya hingga memberi pengaruh kuat dan mendalam bagi pembacanya di
masa
lalu dalam sejarah perkembangan Islam?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus memahami arti dan fungsi epos
dalam kebudayaan Islam, dan kondisi-kondisi sosial dan kemanusiaan seperti apa
yang memungkinkan kelahirannya? Karya sastra tidak lahir dari kekosongan sejarah.
Di belakangnya senantiasa hadir faktor-faktor tertentu dan kemunculannya
senantiasa mengacu pula pada konteks tertentu yang tidak jarang begitu
kompleks. Pada permulaan berkembanganya Islam di Indonesia, para penyebar agama
ini sadar bahwa yang diperlukan bukan hanya mengajarkan kandungan ajaran Islam
berkenaan keimanan atau Tauhid, serta tuntutan untuk berbuat kebajikan dan
membangun akhlaq yang mulia. Pengajaran tentang itu diperoleh melalui ilmu-ilmu
dan kearifan Islam. Mereka juga sadar bahwa yang mesti dibangun adalah
kebudayaan Islam. Kesusastraan adalah salah satu media penting untuk itu.
Karena itu para penyebar Islam awal dan generasi-generasi selanjutnya itu
berusaha pula memperkenalkan hasil-hasil kesusastraan Arab dan Persia yang telah diberi roh Islam.
Fungsi atau peranan kesusastraan dalam tradisi intelektual dan kebudayaan
Islam ialah memberi gambaran yang menyentuh hati bagaimana pokok-pokok ajaran
Islam tentang Tauhid atau keimanan, perbuatan saleh, akhlaq yang mulia, atau
keharusan amal ma`ruf wa nahiy munkar wa tu`minuna bilLah diamalkan dalam
segala lapangan kehidupan, termasuk kehidupan sosial, budaya, intelektual, etik
dan estetik. Lebih jauh pula ialah bagaimana pengalaman religius dan pribadi,
pengalaman sosial dan sejarah, serta pengalaman-pengalaman lain yang bersifat
kerohanian dan duniawi, diekspresikan melalui ungkapan estetik yang menyentuh
hati dan emosi.
Epos atau hikayat perang sebagai genre penting dalam sastra Islam
berkenaan dengan pengalaman sejarah orang Islam, khususnya perjuangannya
menegakkan ajaran agama. Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah perlu
dijadikan ingatan kolektif sebab di dalamnya mengandung pelajaran dan sekaligus
dapat dijadikan sarana untuk membangun soilidaritas sosial. Lebih jauh dalam
Islam peranan epos bukan semata-matya bukan membangkitkan semangat dalam
berjuang menegakkan kebenaran. Melalui epos orang Islam juga diberitahu
peperangan seperti apa yang diperbolehkan di jalan agama, untuk tujuan apa
peperangan seperti itu dilakukan, siapa saja orang atau kelompok yang patut
diperangi di jalan agama, bagaimana memperlakukan musuh yang sudah menyerah dan
menawarkan perdamaian? Bagaimana pula jika diketahui perdamaian yang ditawarkan
hanya sekadar tipu muslihat sebagaimana banyak dialami kaum Muslimin sejak dulu
hingga sekarang di berbagai belahan bumi.
Dalam Islam, perang tidak dimaksudkan sekadar membela negara dan bangsa, tetapi terutama menentang ketidak adilan dan kezaliman yang sering bersimaharajela di dunia. Ini tercermin dalam epos seperti Hikayat Sayidina Husein dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Juga dalam Hikayat Amir Hamzah da Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Hikayat-hikayat seperti itu jauh semangat chauvinistik seperti epos Yunani. Juga tidak kelewat apokaliptik seperti epos Hindu. Peperangan antara pasukan Pandawa dan Kurawa di Kurusetra dalam Mahabharata misalnya digambarkan seperti perang akhir zaman di Armagedon. Musuh yang dikalahkan dibinasakan, begitu pula istri, anak-anak, dan ternak mereka. Dalam epos Islam, musuh yang kalah menjadi tawanan dan kemudian dirangkul dalam persaudaraan Islam.
Motif utama perang dalam Islam ialah menentang sistem yang melahirkan
ketidak adilan atau rejim yang menindas. Apakah rejim atau penguasa itu mengaku
Muslim atau bukan Muslim, sama saja akan ditentang. Tepat sekali oleh karenanya
apa yang dikemukakan Fredinand de Lessep, si pembangun Terusan Suez hampir dua
abad yang silam. Katanya, “Bukan fanatisme yang mendorong semangat kaum
Muslimin untuk menentang penguasa tertentu dan imperialisme, akan tetapi agama
dan jiwa kebudayaan Islam itu sendiri yang menggerakkan mereka untuk berjuang
dan yang mampu mempersatukan perjuangan mereka. Jiwa kebudayaan Islam yang
mampu menggerakkan itu ialah penolakan atas ketidak adilan an penindasan atas
nama apa pun, jadi bukan disebabkan fanatisme atau fundamentalismenya.” (Jansen
1983).
Dalam hikayat yang kita bicarakan, yang di dalamnya dibeberkan aneka
pengalaman sejarah berharga yang patut dijadikan ingatan kolektif orang Islam,
contoh-contoh berkenaan dengan apa yang dinyatakan Ferdinand de Lesseps banyak
kita jumpai. Tawaran perdamaian yang disodorkan Muawiyah kepada Sayidina Ali
dan diterima oleh sang khalifah, adalah contoh kemuliaan hati Sayidina Ali yang
tidak mau melakukan peperangan hanya disebabkan dorongan kekuasaan dan nafsu
membalas dendam. Tetapi tahkim yang dilakukan setelah itu ternyata merupakan
tipu muslihat untuk menyingkirkan Ali dengan cara yang tidak terpuji. Yang
terakhir ini adalah contoh tindakan yang tidak mencerminkan rasa keadilan dan
benar-benar zalim. Tipu muslihat serupa dialami ribuan kali oleh orang Islam
dalam sejarahnya, bukan saja dulu tetapi terlebih-lebih di masa modern.
Pangeran Diponegoro, pemimpin perang antikolonial di Jawa (1825-1830 M),
ditawari perdamaian oleh Belanda untuk dijebak. Begitu sampai di tempat
perundingan beliau ditangkap dan diborgol tangannya untuk dijadikan tawanan
seumur hidup. Bangsa Arab, khususnya Arab Palestina, mengalami hal serupa
berhadapan dengan penguasa zionis Israel. Banyak sekali perjanjian damai ditandatangani
tetapi tidak lebih dari tipu muslihat.
Dorongan Sayidina Husein dan pengikutnya untuk memerangi Yazid juga tidak
lebih dari ungkapan rasa kecewa melihat kezaliman dan penindasan yang dilakukan
penguasa Umayyah atas kaum Muslimin. Husein tidak mempedulikan nasib apa yang
akan menimpa dirinya. Pengurbanan dan keberaniannya menentang penguasa yang
zalim dan rezim penindas adalah teladan yang akan selalu dicontoh oleh
mujahidin Islam yang sejati. Begitu juga keberaniaan adik tirinya Muhammad Ali Hanafiyah
yang dengan gagah berani memimpin pasukan untuk mengakhiri kekuasaan Yazid,
adalah juga memberikan teladan yang terpuji. Tanpa mempedulikan apakah di dalam
hikayat ini terdapat propaganda ideologi Kaisaniyah, atau Syiah secara umum,
relevansi dari epos ini semestinya dilihat melalui kacamata lain yang lebih
jernih. Yaitu dengan melihat dalam konteks sejarah yang bagaimana teks hikayat
ini mulai ditulis dan disebarluaskan di Indonesia.
Hikayat ini seperti epos Islam lain khususnya Hikayat Amir Hamzah dan
Hikayat Iskandar Zulkarnaen, telah hadir di Nusantara pada abad ke-14 dan 15 M,
periode-periode awal pesatnya Islam berkembang. Pada periode-periode ini sudah
pasti banyak tantangan dihadapi komunitas Muslim yang baru muncul ini.
Tantangan yang paling menonjol bersifat politik dan kultural. Ini dapat
dimengerti karena ketika itu Sriwijaya – kerajaan Buddhis yang pernah perjaya
di kepulauan Melayu pada abad ke-8-10 M – masih kuat kendati mulai dilanda
krisis ekonomi yang menyebabkan pamornya pudar. Di Jawa Timur sedang bangkit
sebuah kerajaan Hindu terbesar sepanjang sejarah, yaitu Majapahit (1292-1498
M). Pada pertengahan abad ke-14 M ketika tampuk pemerintahan berada di tangan
Prabu Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang terkenal Gajah Mada, kerajaan ini
berambisi memperluas wilayah imperiumnya. Bagi memenuhi ambisinya itu Majapahit
mengirimkan pasukan militernya ke Sumatra, dengan tujuan menundukkan
kerajaan-kerajaan Melayu termasuk Sriwijaya.
Pada kurun-kurun tersebut banyak peperangan yang yang dihadapi komunitas
Islam yang telah memiliki dua kerajaan besar dan makmur yaitu Samudra Pasai
(1272-1516 M) di Aceh Sumatra dan kesultanan Malaka (1400-1511 M)di Semenanjung
Malaya. Yang terakhir ini merupakan lanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Ia
didirikan oleh raja terakhir Sriwijaya, Prabu Paramesywara, yang berhasil
melarikan diri bersama pengikutnya ketika ibukota kerajaan Sriwijaya diluluh
lantakkan oleh tentara Majapahit pada akhir abad ke-14 M. Pada tahun 1411 M
ketika Malaka berkembang pesat menjadi pusat kegiatan perdagangan, Paramesywara
kawin dengan putri raja Pasai dan memeluk agama Islam (Wolters 1970). Sejak itu
Malaka menjadi pusat penyebaran agama Islam dan pusat kegiatan penulisan sastra
Melayu Islam.
Samudra Pasai sendiri mendapat giliran untuk diserbu oleh armada
Majapahit pada tahun 1350 M. Melalui peperangan sengit di laut dan darat, pada
akhirnya Samudra Pasai menyerah. Tetapi karena Pasai merupakan pelabuhan dagang
penting dan strategis di Selat Malaka, negeri itu tidak dihancurkan seperti halnya
ibukota Sriwijaya. Tentara Majapahit membawa banyak harta rampasan dan tawanan
perang. Di antara tawanan perang itu terdapat banyak bangsawan lelaki dan
wanita, saudagar, tabib, ulama, cendekiawan Muslim, dan mantan perajurit dan
komandan perang. Di Majapahit, tawanan-tawanan perang yang berjumlah besar itu
diberi tempat khusus di Ampel Denta. Karena begitu banyaknya pangeran-pangeran
Majapahit terpikat pada putri Pasai, dan juga karena banyaknya putri Majapahit
jatuh hati kepada pemuda Pasai, terjadilah kawin silang yang tidak terelakkan
dengan keharusan memeluk agama Islam bagi pemuda Majapahit yang menikahi putri
Pasai. Sejak masa itulah agama Islam berkembang pesat di pulau Jawa (Ibrahim
Alfian 1999). Di daerah ini pulalah kelak lahir wali-wali utama penyebar Islam
seperti Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, dan lain sebagainya.
Bukan tidak mungkin dari komunitas Muslim awal di Jawa Timur inilah
karya-karya Arab dan Persia, termasuk eposnya, diperkenalkan dalam kesusastraan
Jawa. Puisi-puisi suluk karya Sunan Bonang, wali dan sastrawan prolifik yang
hidup antara pertengahan abad ke-15 dan awal abad ke-16 M, mendedahkan bahwa
pada akhir abad ke-15 M sudah banyak karya-karya Arab dan Persia dikenal oleh
kaum terpelajar Muslim di pulau Jawa (Drewes 1968). Berbagai perayaan keagamaan
yang sampai sekarang masih hidup di pulau Jawa, seperti Grebeg Maulud, Sekaten,
Asura, dan lain-lain, diperkenalkan oleh para wali pada masa awal berdirinya
kesultanan Demak awal abad ke-16 M. Perayaan-perayaan itu, khususnya Asura, dan
penyelenggaraannya didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam teks-teks
sastra Persia dan Arab. Walaupun diberi kemasan budaya lokal.
Di kepulauan Melayu sendiri, hikayat berkenaan dengan keasyihan Husein
dan peperangan antara Muhammad Ali Hanafiyah dan Yazid, tidak kurang menonjol
peranan dan pengaruhnya. Sumber sejarah Melayu yang awal, yaitu Hikayat
Raja-raja Pasai (akhir abad ke-14 M) dan Sejarah Melayu (abad ke-16 M),
menunjukkan bukti bahwa epos-epos Persia dan Arab itu telah memeberikan
pengaruh kuat terhadap perkembangan kesusastraan Melayu sejak awal abad ke-14
M. Deskripsi tentang peperangan dalam Hikayat Raja-raja Pasai, misalnya episode
peperangan pasukan Tun Berahim Bapa dengan gerombolan orang Keling yang ingin
membuat kekacauan di Pasai, sangat mirip dengan deskripsi yang terdapat dalam
Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah (Hill 1960).
Sumber-sumber Melayu juga menjelaskan bahwa sudah lazim orang Islam
mengadakan majlis-majlis pembacaan sastra. Jenis sastra paling disukai dan
kerap dibaca dalam majlis-majlis seperti itu ialah Suluk (syair tasawuf), roman
(kisah petualangan campur percintaan), dan hikayat perang atau epos. Khusus
mengenai populernya Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah dijelaskan dalam Sejarah
Melayu. Yaitu dalam episode yang mengisahkan perang yang meletus antara Malaka
dan pasukan Portugis yang menyerang untuk menguasai Malaka. Di situ dipaparkan
bahwa pada malam hari ketika perajurit-perajurit Malaka sedang istirahat di
kapal perang, mereka meminta dibacakan sebuah hikayat perang agar untuk
memelihara semangat. Hikayat yang dipilih untuk dibaca ialah Hikayat Muhammad
ali Hanafiyah. Ini tidak mengherankan karena hikayat ini penting dalam berbagai
aspeknya termasuk aspek isi, emosi, nilai kebudayaan, dan sosiopolitiknya
(Winstedt 1970; Ali Ahmad 1996).
Hasil-hasil penelitian yang mendalam berkenaan dengan perkembangan sastra
Indonesia klasik memperlihatkan pula bahwa tidak sedikit hikayat-hikayat lokal
dalam sastra Aceh, Jawa, Madura, Bugis, Makassar, Minangkabau, Sasak, Sunda,
Banjar, dan lain-lain dilhami oleh hadirnya epos-epos Islam seperti Hikayat
Amir Hamzah, Hikayat Sayidina Husein, Hikayat Iskandar Zulkarnaen, dan Hikayat
Muhammad Ali Hanafiyah. Contoh yang paling cemerlang ialah Hikayat Hang Tuah
dalam sastra Melayu, dan Hikayat Prang Geudong di Aceh yang memaparkan
perjuangan Sultan Iskandar Muda, antara lain mengusir angkatan laut Portugis
yang ingin menguasai Selat Malaka pada awal abad ke-17 M. Juga memerangi raja
Melayu yang bersekutu dengan kaum kolonial untuk menghancurkan Aceh Darussalam
sebagai kesultanan Islam terbesar di Asia Tenggara ketika itu (Abdul Hadi W.M
2001).
Tetapi momentum yang membuat membuat epos Islam semakin memperlihatkan
relevansi dan kebermaknaannya ialah pada abad ke-17 – 19 M, masa-masa maraknya
perang anti kolonial yang dimulai dengan Perang Ternate pada awal abad ke-17 M
sampai perang Perang Aceh yang berlangsung begitu lama pada akhir abad ke-19 M.
Pemimpin peperangan ini sebagian besar adalah tokoh Islam, seperti pangeran,
kapitan, guru tariqat sufi, raja, ulama, dan lain sebagainya. Pada umumnya
tokoh-tokoh tersebut adalah pembaca karya sastra yang sangat menyukai epos.
Contoh terbaik ialah Pangeran Trunojoyo, pemimpin perang melawan VOC dan
sekutunya Mataram pada akhir abad ke-17 M. Dan Pangeran Diponegoro, pemimpin
Perang Jawa (1825-1830) . Pada malam hari, seraya mempersiapkan diri untuk maju
ke medan perang esok harinya, kedua tokoh itu sering membacakan epos Islam
masyhur untuk komandan perang dan pembantu dekatnya. Kitab-kitab hikayat itu
selalu dibawa setiap kali berpindah tempat (Ricklefs 1982).
Selama Perang Aceh berlangsung hampir empat dekade pada akhir abad ke-19
M, majlis-majlis pembacaan epos selalu berlangsung pada malam hari. Diilhami
epos-epos yang telah ada, seorang penyair Aceh akhir abad ke-19 M Cik Pante
Kulu menulis hikayat terkenal yaitu Hikayat Perang Sabil. Pembacaan hikayat ini
oleh sang penyair, dan juga hikayat perang lainnya, mampu memulihkan semangat
juang perajurit Aceh yang mulai melemah pada akhir abad ke-19 M. Paparan dalam
Hikayat Soydina Usin sendiri di Aceh bukan saja dijadikan dasar penyelenggaraan
Hari Asan Usin atau Hari Asura, tetapi juga mengilhami bentuk tari yang heroik
dan masyhur Seudati. Tepukan dada berulang-ulang yang dilakukan penari Seudati
dapat dirujuk pada deskripsi dalam Hikayat Sayidina Husein, yaitu episode
takziyah, ketika Syahrbanum dan sanak saudaranya menangis dan menepuk-nepuk
dada begitu mendengar Sayidina Husein gugur di padang Kerbela dengan tangan
terpotong, tubuh berlumur darah dan kepala terpisah dari badan.
Sumber:
www.ahmadsamantho.wordpress.com
Daftar
Pustaka
Ali Ahmad dan Siti Hajar Che Man(1996). Bunga Rampai Sastera Melayu
Warisan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abdul Hadi W. M. (2001). Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Braginsky, Vladimir (2004). The Heritage of Traditional Malay Literature:
A
Historical Survey of Genres, Writings, and Literary Views. Leiden: KITLV.
Historical Survey of Genres, Writings, and Literary Views. Leiden: KITLV.
Brakel, L. F. (1969-1970). “Persian Influence on Malay Literature”. Dalam
Abr-Nahrain. Jilid 9:9. Hal. 407-426.
Brakel L. F. (1975). The Hikayat Muhammad Hanafiyyah: A Medieval
Muslim-Malay Romance. The Hague: Martinus Nijhoff.
Browne, Edward G. A. (1976). A Literary History of Persia. 4 vols. Cambridge: Cambridge University Press.
Drewes, G. W. J. (1968). “Javanese Poems dealing with or Attributed to
the Saint of Bonang”. BKI deel 124.
Edwar Djamaris (1990). Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka.
Hill, A (1960). Hikayat Raja-raja Pasai: A Revised Romanized Version with
an English Translation. Kuala Lumpur: JMBRAS 33, 2:1-215.
Ibrahim Alfian (1999). Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh:
Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Ismail Hamid (1983). Kesusasteraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam.
Petaling Jaya: Fajar Bakti Sdn Bhd.
Jansen, G. H. (1983). Islam Militan. Terj. Armahedi Mazhar. Bandung: Pustaka.
Pigeaud, T. H. (1967). Literatures of Java. Vol. I. Leiden: Martinus
Nijhoff.
Ricklefs, M. C. (1983). A History of Modern Indonesia since c. 1300. London: Macmillan.
Winstedt, R. O. (1961). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Wolters, O. W. (1970). The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca New York: Cornell University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar