Melati.
Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya hingga menutup warna
kelopaknya. Pada angin ia menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu- debu
itu agar ia tetap putih berseri. Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan
angin menerpa. Kekanan ia ikut, ke kiri ia pun ikut. Namun melati tetap teguh
pada pendiriannya, karena kemanapun ia mengikuti arah angin, ia akan segera
kembali pada tangkainya.
Melati.
Pada hujan ia menangis agar tak terlihat matanya meneteskan air diantara ribuan
air yang menghujani tubuhnya. Agar siapapun tak pernah melihatnya bersedih,
karena saat hujan berhenti menyirami, bersamaan itu pula air dari sudut matanya
yang bening itu tak lagi menetes.
Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan akan selalu datang, karena hanya
hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya. Bersama hujan ia bisa
menangis sekeras-kerasnya untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan
merasakan setiap kegetiran. Karena hanya hujan yang selama ini berempati
terhadap semua rasa dan asanya. Pada hujan pula ia mendapati keteduhan, dengan
airnya yang sejuk.
Melati.
Pada tangkai ia bersandar agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat
setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya agar kelak,
apapun cobaan yang datang, ia dengan sabar dan suka cita merasai, bahkan
menikmatinya sebagai bagian dari cinta dan kasih Sang Pencipta. Bukankah tak
ada cinta tanpa
pengorbanan? Adakah kasih sayang tanpa cobaan?
Pada dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya. Karena dengan
hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna putih.
Jika daun itu tak lagi hijau, menguning atau luruh oleh waktu, kepada siapa
ia harus meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali membuatnya tak lagi
putih? Maka, melati akan terus berhati-hati membawa diri. Ia akan tetap mawas
diri dan menyadari kodratnya adalah melati. Dan haruslah tetap menjadi melati.
Pada bunga lain ia bersahabat. Bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada
persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik karena masing-masing
memahami tugas dan peranannya.
Melati tak pernah iri menjadi mawar, dahlia, anggrek atau lili, begitu juga
sebaliknya. Tak terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena
ia tahu semua fungsinya sebagai putih.
Pada matahari ia memohon, tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan
sinarnya yang menghangatkan. Agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh yang
telah beku oleh pekatnya malam. Sinarnya yang menceriakan, bias hangatnya yang
memecah kebekuan seolah membuat melati merekah dan segar di setiap pagi.
Terpaan sinar mentari, memantulkanhaya kehidupan yang penuh gairah, pertanda
melati siap mengarungi hidup, setidaknya untuk satu hari ini hingga menunggu
mentari esok kembali bertandang.
Pada alam ia berbagi, menebar aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap
jiwa yang bersamanya. Indah menghiasi memberi harum semua taman yang
disinggahinya, melati tak pernah terlupakan untuk disertakan.
Atas nama cinta dan keridhoan Pemiliknya, ia senantiasa berharap tumbuhnya
tunas-tunas melati baru, agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang
putih. Yang tetap berseri di semua suasana alam.
Pada unggas ia berteriak, terombang-ambing menghindari paruhnya agar tak
segera pupus. Mencari selamat dari cakar-cakar yang merusak keindahannya, yang
mungkin merobek layarnya dan juga menggores luka di putihnya. Dan pada
akhirnya, pada Sang Pemilik Alam ia meminta, agar dibimbing dan dilindungi
selama ia diberikan kesempatan untuk menjalani setiap perannya. Agar dalam
berperan menjadi putih, tetap diteguhkan pada warna aslinya, tidak membiarkan apapun merubah warnanya hingga masanya
mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas dan tanggungjawabnya
Jika pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap sebagai melati,
seputih melati. Dan orang memandangnya juga seperti melati.
Melati.
Meski ia telah mati, alam akan tetap mengenang dirinya dan harum wanginya terus
menerus tertinggal pada alam yang pernah disinggahinya. Melati yang teguh akan
dirinya, melati yang menyadari peran putihnya, melati yang rela berbagi
keharumannya, melati yang tak pernah tertarik merubah warna kelopaknya. Dari
luar ia berwarna putih dan dari di dalam daging kelopaknya pun semakin putih.
Jadikanlah aku melatimu, yang bisa menyadari peranku disekitarku, yang
menyadari kodratku seperti halnya melati menyadari kodratnya. Melati yang tak
berduri, melati yang melindungi diri dengan keteguhan dan keyakinannya kepada
Pencipta Alam. Melati yang membalas setiap kesakitannya dengan kasih sayang
perdamaian. Melati yang terus akan tetap menjadi melati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar