"Nah, katakan, siapa engkau?" ulang Widura.
Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya
kepada Agung Sedayu. "Sedayu, apakah yang sedang engkau kerjakan? Apakah
kau sedang melatih orang ini?"
Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu. Ternyata orang itu telah
mengenal Agung Sedayu. Namun karena itu, segera Widura pun mengenalnya,
orang itulah agaknya yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Karena itu
kembali ia bertanya "Apakah kau yang menamakan dirimu Kiai Gringsing?"
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Darimanakah
kau tahu bahwa aku bernama Kiai Gringsing? Apakah gurumu itu telah
memberitahukannya kepadamu?"
Sekali lagi dada Widura berdesir. Orang itu menganggapnya murid Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun segera mengenal bahwa orang itulah yang
dahulu pernah menemuinya di Bulak Dawa. Suaranya dan caranya
berkerudung kain gringsing, meskipun topengnya bukan topeng yang
dipakainya itu. Karena itu tanpa disadarinya, ia menjadi gembira.
Ternyata Agung Sedayu tidak takut lagi kepada Kiai Gringsing. Sejak
pertemuannya yang pertama orang itu tidak bermaksud jahat kepadanya.
Maka Sedayupun segera melangkah maju sambil berkata "Benarkah kau Kiai
Gringsing yang diBulak Dawa itu?"
Kiai Gringsing mengangguk, jawabnya "Tentu, tak ada dua tiga Kiai Gringsing"
Tiba-tiba Sedayu itupun teringat kepada orang yang pernah menamakan diri
Kiai Gringsing pula di dukuh Pakuwon. Maka katanya "Tidak. Yang sudah
aku ketahui, ada dua Kiai Gringsing. Yang lain adalah seorang yang sudah
sangat tua dan bongkok"
Kiai Gringsing menggeleng, katanya "Jangan bergurau. Teruskan saja
pekerjaanmu. Aku tidak akan mengganggu. Muridmu itu perlu segera
mendapat tuntunan yang lebih berat. Agaknya ia murid yang cukup baik"
"Ah" desah Agung Sedayu. "Jangan berkata begitu. Itu adalah pamanku. Dan
justru pamanku itu sedang mengajari aku, supaya aku mempunyai bekal
dihari-hari mendatang"
Kiai Gringsing itupun tertawa berkepanjangan. Katanya "Kau benar-benar
seperti almarhum ayahmu. Tetapi kau jangan terlalu merendahkan dirimu.
Sekali-sekali kau perlu juga menunjukkan bahwa kau adalah putra Ki
Sadewa"
"Itu adalah pamanku" Agung Sedayu mengulangi. Tetapi ketika ia akan
meneruskan kata-katanya, terdengar Kiai Gringsing memotong "Aku sudah
tahu. Orang itu adalah pamanmu. Bukankah ia bernama Widura? Dan bukankah
ia adik ibumu? Apa salahnya kalau kau ajari orang itu satu dua
unsur-unsur gerak keturunan dari Ki Sadewa? Menurut pengamatanku, Widura
itupun pernah juga belajar selangkah dua langkah. Karena itu adalah
menjadi kewajibanmu untuk menyempurnakan"
Mendengar kata-kata itu, telinga Agung Sedayu menjadi merah. Ia takut
kalau pamannya tersinggung karenanya. Maka katanya "Kiai, hidup matiku
disini tergantung kepada paman. Jangan mempersulit keadaanku"
Sekali lagi Kiai Gringsing tertawa, terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya seakan-akan berguncang-guncang.
Widura masih tegak seperti patung. Ia mendengar semua percakapan itu.
Meskipun ia terkejut dan heran, karena namanyapun telah diketahui pula,
bahkan hubungan keluarganya, tetapi ia masih berdiam diri. Meskipun
demikian, namun otaknya sedang bekerja dengan riuhnya. Dicobanya sekali
lagi mengingat-ingat apa yang pernah dilihatnya di dukuh Pakuwon. Ketiga
kuda yang diikutinya berjalan dari rumah Ki Tanu Metir kejurusan yang
sama. Tiba-tiba Widura menemukan sesuatu. Karena itu dengan tiba-tiba
pula ia berkata "Baiklah Kiai Gringsing, aku tidak keberatan, apa saja
yang kau katakan tentang kami berdua. Meskipun demikian, aku ingin
bertanya kepadamu, dimanakah Untara dam Ki Tanu Metir? Agaknya kau
benar-benar orang yang berpengetahuan luas. Kau kenal kemenakanku Agung
Sedayu, kau sebut-sebut nama kakak iparku, dan akhirnya kau kenal
namaku. Dengan demikian, adalah suatu kemungkinan pula, bahwa kau
mengetahui dimana kemenakanku yang seorang itu"
Orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mengerutkan lehernya.
Kemudian terdengar ia tertawa pendek. Jawabnya "Tentu. Tentu aku tahu
semuanya. Untara kini menjadi salah seorang tamtama Pajang sedang yang
kau maksud dengan Ki Tanu Metir itu adalah seorang tukang obat dari
dukuh Pakuwon?"
"Jangan berpura-pura" potong Widura , "Kau tahu bahwa bukan itulah jawabnya".
"He" Kiai Gringsing terkejut. "Aku adalah seseorang yang tahu semuanya. Apakah jawabku salah?"
"Jangan menyangka aku seorang kanak-kanak seperti Agung Sedayu " Sahut
Widura . Tetapi Kiai Gringsing itu malahan tertawa berkepanjangan.
Katanya "Hem, tentu. Baru beberapa hari kau menjadi murid Agung Sedayu?
Kau tentu tak akan dapat dipersamakannya"
Semakin lama Widura menjadi semakin jengkel karenanya. Namun dicobanya
mengendalikan dirinya, dan dicobanya bertanya pula "Kiai, katakanlah
kepada kami, dimana Untara sekarang?"
"Kalau jawabku salah, maka aku tak tahu, dimana ia sekarang"
"Jangan bohong" potong Widura, "Pada malam Untara hilang kau berada dirumah Ki Tanu Metir"
"He" Kiai Gringsing terkejut, dan Agung Sedayupun terkejut. Dari mana
pamannya tahu, bahwa pada malam itu Kiai Gringsing berada dirumah Ki
Tanu Metir. Dan ternyata Kiai Gringsing pun bertanya "Siapa yang berkata
demikian?"
"Aku" jawab Widura.
"Kau menyangka yang bukan-bukan. Atau barangkali kau berangan-angan terlalu jauh"
"Tidak. Bukankah kau telah memberi Agung Sedayu seekor kuda?"
"Ya"
"Dari mana kau dapat kuda itu?"
"Kudaku sendiri. Kenapa? Apakah kudamu hilang?"
"Dengar Kiai. Aku telah mencoba mengikuti jejak kuda yang datang dan
yang pergi. Tiga ekor kuda telah meninggalkan halaman rumah Ki Tanu
Metir. Dan ketiga-tiganya menuju Sangkal Putung. Disepanjang jalan tak
ada telapak kuda yang meninggalkan jalan itu pula. Tiga Kiai. Hitunglah,
yang pertama kuda Agung Sedayu, yang lari itu. Yang kedua kuda
Alap-alap Jalatunda dan yang ketiga adalah kuda yang kemudian dipakai
oleh Sedayu pula. Kudamu, yang keluar dari kandang kuda Ki Tanu Metir."
Kiai Gringsing masih tertawa. Jawabnya "Kau senang mengotak-atik Widura.
Tetapi ternyata pengamatanmu kurang baik. Apakah kau telah mengamati
tepi jalan sepanjang yang kau lampaui. Bagaimanakah kalau aku masuk
ketika jalan itu dengan melompati pagar, atau muncul dari regol-regol
halaman sepanjang jalan?"
Widura menarik nafas "Memang mungkin" sahutnya "Tetapi itu tidak akan
kau lakukan. Nah sekarang Kiai, aku minta tunjukkan anak itu."
"Jangan ribut Widura. Berlatihlah supaya kau benar-benar menjadi seorang
pemimpin yang sakti. Biarlah aku melihat dan tidak mengganggu. Jangan
ributkan Untara itu. Aku tidak tahu." Berkata Kiai Gringsing.
Widura adalah seorang perwira tamtama. Karena itu maka adalah menjadi
kebiasaannya untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan cepat. Karena
itu, ia menjadi marah mendengar perkataan Kiai Gringsing yang
melingkar-lingkar itu. Katanya "Kiai, jangan bergurau seperti anak-anak.
Dimana Untara itu? Kalau tidak aku akan menangkapmu dan melihat,
siapakah kau sebenarnya".
"He" kembali Kiai Gringsing terkejut. Sedayupun menjadi terkejut pula.
Apalagi ketika ia melihat pamannya itu maju selangkah dengan wajah yang
tegang.
"Kenapa kau akan menangkap aku?" bertanya Kiai Gringsing. "Apakah hakmu?"
"Aku berhak melakukan segala tindakan, untuk keselamatan Pajang."
"Apakah hubunganku dengan keselamatan Pajang?"
"Kau tahu dimana Untara, salah seorang perwira tamtama Pajang yang kini tenaganya sangat diperlukan."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukan kepalanya, Kemudian pada Sedayu ia berkata "Sedayu, apakah kau dapat mencegah muridmu itu?"
Agung Sedayu manjadi bingung. Namun ia sebenarnya menjadi sangat takut
kalau pamannya benar-benar akan menangkap Kiai Gringsing. Tetapi ia
tidak dapat berkata apa-apa. Yang terdengar kemudian adalah geram Widura
"Minggirlah Sedayu, Biarlah orang ini aku tangkap. Mungkin ada banyak
keterangan-keterangan yang dapat dikatakannya, dan dengan demikian
wajahnya akan segera kita kenal."
"Sedayu" berkata Kiai Gringsing dengan nada kecemasan "Apakah kau dapat mencegah muridmu itu?"
Tetapi Widura tidak memperdulikannya lagi. Cepat ia melompat untuk
menangkap lengan Kiai Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing itupun melangkah
surut, sehingga Widura tidak berhasil menangkapnya. Tetapi Widura tidak
membiarkannya lari, karena itu segera Kiai Gringsing dikejarnya. Kiai
Gringsing itupun berlari berputar-putar diantara batang-batang ilalang.
Berloncatan dari batu-batu bahkan melingkar-lingkar pohon kelapa sawit.
"Kenapa kau kejar-kejar aku?"
Widura benar-benar menjadi marah. Karena itu ia berteriak "Kiai
Gringsing, aku dengar kau pernah bertempur dengan Alap-alap Jalatunda.
Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti keledai yang bodoh."
"Jangan tangkap aku" katanya.
"Kiai, nama seorang bertopeng dan berkain Gringsing mulai terkenal di
daerah ini, nah pertahankan nama itu. Aku tidak akan mengejarmu lagi,
tetapi aku akan menyerangmu."
"Paman" potong Agung Sedayu yang menjadi semakin cemas.
Tetapi pamannya tak mendengarnya. Kini ia tidak mengejar lagi, dengan
satu loncatan panjang Widura langsung menyerang Kiai Gringsing. Kiai
Gringsing itupun kini tidak berlari-lari lagi.
Ketika Widura langsung menyerangnya, segera ia mengelakkan diri sambil
berkata "Aku tidak pernah merasa mempunyai persoalan dengan kau Widura.
Tetapi kenapa kau menyerang aku?"
Widura tidak menjawab, tetapi ia menyerang kembali dengan garangnya.
Kiai Gringsing masih saja mengelak dan menghindar. Kemudian terdengar ia
berkata pula "Widura, kalau kau marah, maka aku tak akan mengganggumu,
baiklah aku minta maaf. Aku akan pergi. Tetapi jangan menangkap aku."
Widura masih tidak mau mendengarnya. Ia benar-benar ingin menangkap
orang bertopeng itu. Sebab menurut perhitungannya, Kiai Gringsing
benar-benar mengetahui dimana Untara dan Ki Tanu Metir. Apabila tidak,
setidak-tidaknya maka ia akan dapat mengenali siapakah sebenarnya orang
yang bertopeng itu.
Agung Sedayu, yang melihat pamannya benar-benar menyerang Kiai
Gringsing, menjadi semakin cemas. Diam-diam ia berdoa didalam hatinya,
mudah-mudahan pamannya tidak dapat menangkap orang bertopeng itu. Ia
sendiri tidak mengetahuinya, kenapa tiba-tiba saja mencemaskan nasib
orang yang tidak dikenalnya itu.
Widura yang marah itu menjadi semakin marah. Karena itu, ia kini
benar-benar berusaha dengan sekuat tenaganya. Setiap kali Kiai Gringsing
menghindar, maka menyusullah serangan-serangannya berturut-turut.
Bahkan kemudian gerakan Widura itu menjadi semakin berat melingkar serta
seperti angin pusaran ia melibat Kiai Gringsing.
Akhirnya Kiai Gringsingpun menjadi semakin sulit. Ia tidak dapat
menghindar dan menghindar terus. Ketika serangan Widura manjadi semakin
cepat maka keadaannya manjadi semakin berat. Karena itu sekali lagi ia
berkata " Widura, apakah kau betul-betul akan menangkap aku?"
"Sudah aku katakan" jawab Widura.
"Sekali lagi aku minta, urungkan niatmu" minta Kiai Gringsing.
Tetapi Widura sama sekali tidak mau mendengar permintaan itu. Bahkan ia
mendesak terus dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi.
"Hem" terdengar kemudian Kiai Gringsing menggeram "Baiklah. Kau ingin
mengertahui siapakah Kiai Gringsing itu seperti Agung Sedayu juga, ingin
mengetahui unsur-unsur gerak yang akan aku pergunakan, sehingga ia
memaksaku untuk bertempur melawan Alap-alap Jalatunda."
Widura tidak menjawab. Serangan-serangannya bahkan semakin membadai.
Namun kini agaknya Kiai Gringsing tidak hanya menghindar terus.
Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan dengan suatu gerakan yang cepat sekali,
orang itu berputar diudara. Ketika ia menggeliat, maka disentuhnya
punggung Widura. Sentuhan itu terasa seakan-akan sebuah dorongan yang
sangat kuat, sehingga Widura terhuyung-huyung beberapa langkah maju.
Untunglah bahwa Widura adalah seorang perwira yang telah mengalami
berpuluh-puluh pertempuran. Sehingga dengan tangkasnya ia berhasil
menghindarkan diri dari kemungkinan terjerumus mencium batang-batang
ilalang liar yang bertebaran dilapangan yang sempit itu.
Namun meskipun demikian, betapa Widura menjadi sangat terkejut. Ia tidak
menyangka bahwa orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mampu
bergerak sedemikian cepatnya. Lebih dari itu, terasa, bahwa kekuatan
Kiai Gringsing itu benar-benar menakjubkan. Tetapi meskipun demikian,
Widura, seorang prajurit dalam tugas-tugas keprajuritannya, tidak segera
bercemas hati. Ia memang merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak
mengurungkan niatnya. Bahkan Widura itu kini telah mengerahkan segala
kemampuannya. Dengan cepatnya ia menyerang dan menyerang terus beruntun.
Tetapi serangan-serangannya, apalagi menjatuhkan lawannya, menyentuhpun
tidak. Kiai Gringsing benar-benar mampu bergerak secepat geraknya,
bahkan ternyata kemudian bahwa kecepatan bergerak orang yang bertopeng
itu dapat melampauinya. Ketika kemudian Kiai Gringsing itu
mempertahankan dirinya dan sekali-sekali menyerang juga, terasa, bahwa
orang yang bertopeng itu benar-benar aneh.
Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin cepat.
Widura kini telah benar-benar mempergunakan ilmunya yang paling tinggi
yang dimilikinya. Karena itu, maka geraknyapun menjadi semakin garang
dan cepat. Kedua tangannya bergerak-gerak menyerang kesegenap tubuh
lawannya. Sedang kedua kakinya yang kokoh itu sekali dipergunakannya
untuk meloncat-loncat namun tiba-tiba tumitnya manyambar lambung.
Namun betapa ia berjuang, tetapi ia menyadarinya, bahwa apabila demikian
untuk seterusnya, pekerjaannya tidak akan selesai. Karena itu, maka
meskipun ia tidak berhasrat membunuh lawannya, namun ia ingin
mempengaruhinya dan kemudian melemahkan perlawanannya. Ketika mereka
menjadi semakin cepat bergerak tiba-tiba Widura melangkah surut, dan
tiba-tiba pula ditangannya telah tergenggam pedangnya. Pedang yang besar
dan tak begitu tajam, namun runcing ujungnya malampui ujung jarum.
Kiai Gringsing terkejut melihat pedang itu, karena itu iapun meloncat
mundur. Bahkan Agung Sedayu yang mengikuti perkelahian itu dengan
ketegangan didalamnya terkejut pula. Apakah pamannya benar-benar akan
bertempur mati-matian?
Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing "Widura, apakah kau akan membunuh aku?"
"Tidak" sahut Widura. "Sudah aku katakan, aku ingin menangkapmu"
"Kenapa dengan pedang?"
"Aku tidak dapat menangkapmu tanpa senjata. Kau mampu bergerak selincah
sikatan. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melawan, supaya aku tidak
melukaimu"
"Hem" Kiai Gringsing menarik nafas. "Jangan main-main dengan senjata
Widura, senjata adalah lambang dari kematian. Kematian lawan atau
kematian diri sendiri. Karena itu, sarungkan senjatamu. Kita
bermain-main kembali. Apakah kau sudah lelah?"
Widura mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa kelebihan lawannya.
Apalagi ketika disadarinya, bahwa nafas Kiai Gringsing itu masih segar,
sesegar pada saat dilihatnya untuk pertama kalinya.
"Gila" umpat Widura didalam hatinya. "Apakah orang ini mempunyai nafas
rangkap, atau memiliki sarang angin didalam dadanya, sehingga nafasnya
tak akan mengganggu"
Namun meskipun demikian, ia sudah bertekad, menangkap orang itu, orang
yang banyak menyimpan teka-teki didalam dirinya. Karena itu Widura tidak
menyarungkan pedangnya. Bahkan ia melangkah maju sambil mengacungkan
pedangnya kedada Kiai Gringsing. Katanya "Kiai, jangan memaksa aku
mempergunakan pedangku. Ikutlah aku, dan tanggalkan topengmu itu supaya
aku dapat mengenal wajahmu"
Kiai Gringsing masih tegak ditempatnya, seakan-akan kakinya jauh
menghunjam kepusat bumi. Dipandangnya Widura dengan seksama, seakan-akan
ingin dilihatnya isi dadanya.
Tetapi sesaat kemudian ia berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya sambil
tertawa "Sedayu, apakah orang ini sudah kauajari memegang senjata?"
Dada Agung Sedayu berdesir, dan jantung Widura pun berguncang. Ia tidak
menyangka bahwa Kiai Gringsing itu memandangnya seperti kanak-kanak yang
sedang merajuk. Karena itu Widura itupun menggeram "Kiai, aku
sependapat dengan kau bahwa senjata adalah lambang dari kematian. Karena
itu, jangan mempersulit keadaan. Aku ingin menangkapmu hidup-hidup
sebab aku inginkan beberapa keterangan darimu. Tetapi kalau kau mati
karena pokalmu yang aneh-aneh itu, jangan menyesal"
Hem" Kiai Gringsing menarik nafas "Kau benar-benar marah Widura?"
Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Dan akhirnya Widura pun
menjadi bingung memandang kedirinya sendiri. Apakah ia sedang marah atau
karena sekedar didorong oleh keinginan-keinginan yang meluap-luap untuk
segera memecahkan teka-teki tentang hilangnya Untara. Tetapi ketika ia
melihat topeng Kiai Gringsing yang pucat seperti mayat itu, tiba-tiba
saja ia menggeleng "Tidak" jawabnya. "Aku tidak sedang marah. Tetapi aku
sedang mengemban kewajiban. Sekarang aku sedang berusaha untuk
menangkapmu, karena itu adalah salah satu dari kewajibanku pula"
"Baik" sahut Kiai Gringsing "Aku senang bahwa kau tidak sedang marah.
Adalah berbahaya sekali senjata ditangan orang yang sedang marah. Kalau
kau mau bertempur, marilah. Tetapi kita bertempur tanpa kemarahan
dihati. Kata orang, kemarahan akan mempersempit otak kita. Dan senjata
ditangan kita akan menjadi kabur kegunaannya"
Widura mengerutkan keningnya. Katanya "Hem. Kau takut kalau karena kemarahanku, aku membunuhmu"
Kiai Gringsing tertawa. Dan jawabnya mengherankan Widura "Mungkin. Aku
memang takut mati. Mati tanpa arti. Tetapi kalau kau yang mati, maka kau
mati dalam pelukan kewajiban. Nah, apakah tidak lebih baik, kau saja
yang mati supaya kau disebut pahlawan"
"Jangan mengigau, bersiaplah!" bentak Widura.
"Aku sudah siap. Aku dapat bertempur sambil tersenyum. Apakah orang yang
sedang bertempur pasti harus berwajah tegang seperti tambang? Bukan
kita bertempur tanpa kemarahan dihati?"
Widura tidak menunggu kata-kata Kiai Gringsing itu berakhir., tiba-tiba
saja menggerakkan pedangnya mengarah kedada lawannya. Namun sekali lagi
ia terkejut. Kiai Gringsing itu sama sekali tidak bergerak, sehingga
pedang itu benar-benar akan menghunjam kedadanya. Tetapi justru karena
itu, Widura segera menarik serangannya dan berteriak "Hei Kiai. Apakah
kau sedang membunuh diri?"
Kiai Gringsing menggeleng, "Tidak" jawabnya. "Aku hanya ingin tahu, apakah kau akan membunuh orang yang tidak bersenjata?"
"Oh" Widura tersadar dari ketergesa-gesaannya. Ia adalah seorang perwira
tamtama yang biasa bertempur dalam kelompok yang besar, yang tidak
pernah bertanya apakah lawannya bersenjata atau tidak. Tetapi dalam
perkelahian seorang lawan seorang adalah wajar apabila keadaannya harus
berimbang. Dengan demikian, masing-masing tidak meninggalkan kejantanan
dan kejujuran.
"Ambillah senjatamu" teriak Widura jengkel.
"Bagus" jawab Kiai Gringsing. Kedua tangannyapun segera bergerak, mengambil sesuatu dari balik kain gringsingnya. Cambuk kuda.
"Gila" geram Widura. "Adakah itu senjatamu?"
"Kenapa? Ini adalah senjataku. Dengan senjata ini pula aku bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Ayo, mulailah"
Widura menjadi semakin tidak mengerti menghadapi orang aneh ini.
Meskipun demikian ia bersiap pula. Tetapi kini nafsunya untuk bertempur
telah jauh berkurang. Bahkan tiba-tiba ia mengumpat tak habis-habisnya
didalam hatinya.
"Widura" berkata Kiai Gringsing pula "Aku akan mempergunakan senjataku
pada ujung dan pangkalnya. Aku memegangnya ditengah-tengah. Awas,
lawanlah dengan pedangmu"
Sekarang Kiai Gringsinglah yang mendahului menyerang. Widura terkejut.
Ia mengelak kesamping dan dengan gerak naluriah, pedangnyapun berputar
dan membalas serangan itu dengan serangan pula. Kini keduanya bertempur
pula dengan cepatnya. Kiai Gringsing itu mempergunakan senjata anehnya
dengan cara yang aneh pula. Tiba-tiba orang bertopeng itu berteriak
nyaring "Nah, kau dapat aku kenai Widura"
Terasa sesuatu menyengat pundaknya. Meskipun yang mengenai itu ternyata
hanya ujung cambuk kuda, namun sakitnya bukan kepalang. Sehingga Widura
itu melontar surut.
"Nah, bayangkan, bagaimanakah kira-kira kalau senjataku ini berujung
runcing seruncing senjatamu atau seruncing Nenggala pemberian Ki Tambak
Wedi"
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Nenggala pemberian Ki Tambak
Wedi adalah senjata Sidanti. "Ah" gumamnya "Ia hanya ingin mencari
persamaan" pikirnya. "Tetapi" katanya pula didalam hatinya, "Kenapa ia
sengaja memegang senjatanya dengan cara yang aneh itu?"
Tetapi Widura tidak sempat berpikir terlalu panjang, sebab Kiai
Gringsing itu telah menyerangnya pula sambil berteriak "Sedayu, awasi
muridmu, supaya kau tahu kesalahannya"
Sedayu yang sudah bingung menjadi bertambah bingung. Tetapi ia
memperhatikan pula pertempuran itu. Kiai Gringsing dengan cambuk kuda
ditangan, dan pamannya dengan sebuah pedang yang menakutkan.
Pertempuran itu semakin lama mejadi semakin seru. Cambuk Kiai Gringsing
bergerak dengan cepatnya, menyambar dari segala arah. Ujung dan
pangkalnya sekali-sekali mematuk tubuh Widura tanpa dapat dihindari.
Semakin lama menjadi semakin sering. Meskipun Widura berusaha sepenuh
tenaga.
Karena itu, maka getar didalam dada Widurapun semakin lama menjadi
semakin cepat. Ia kini tidak mau terbelengu oleh perasaan yang tak
dimengertinya. Ia tidak memperdulikan lagi apakah ia sedang marah, atau
ia hanya sekedar terdorong oleh keinginannya untuk mengetahui dimana
Untara berada. Dengan demikian maka nafsunya untuk bertempur mati-matian
kini kembali merayapi dadanya. Sehingga oleh karenanya, maka
pedangnyapun bergerak semakin cepat, secepat baling-baling ditiup angin
musim kesanga.
Sedayu melihat pertempuran itu dengan jantung yang berdentang-dentang.
Mula-mula mencemaskan nasib orang bertopeng itu. Namun dalam
pengamatannya kemudian, Kiai Gringsing itu ternyata mampu mempertahankan
dirinya, bahkan beberapa kali ia berhasil mendesak Widura sehingga
pamannya itu meloncat surut. Bahkan kemudian pertempuran itu terasa
sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap
gerak dari mereka berdua. Ia mengagumi ketangkasan pamannya, namun ia
heran melihat kelincahan Kiai Gringsing. Cambuk kuda yang tampaknya sama
sekali tak berarti itu ternyata merupakan senjata yang berbahaya.
Setapak demi setapak perkelahian itu berkisar dari satu titik ketitik
yang lain. Namun Sedayupun ikut berkisa-kisar pula. Sekali ia terpaksa
menahan napas apabila pedang Widura menyambar dengan dahsyatnya,
sedahsyat elang menyambar mangsanya. Namun wajahnyapun menjadi tegang,
apabila ia melihat pamannya menyeringai kesakitan apabila cemeti kuda
orang bertopeng itu menyentuh tubuhnya.
"Hem" Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. "Kalau saja aku mampu berbuat seperti mereka itu" gumamnya didalam hati.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat pamannya
melontar mundur. Sekali, dua kali dan Kiai Gringsing itu mendorongnya
terus. Bahkan kemudian dengan tidak disangka-sangka, kaki orang
bertopeng itu berhasil menyambar pergelangan tangan Widura sehingga
pedangnya tergetar. Hampir saja pedang itu meluncur dari tangannya.
Gigi Widura gemeretak. Kini ia benar-benar marah. Karena itu
tandangnyapun menjadi semakin garang. Gerak pedangnyapun menjadi semakin
cepat, sehingga yang tampak kemudian seakan-akan kabut putih yang
bergulung-guliung melanda orang bertopeng itu.
Kini Widuralah yang mendesak maju. Kiai Gringsing terpaksa meloncat
surut. Bahkan akhirnya orang bertopeng itu tiba-tiba tersandar pada
pohon kelapa sawit dibelakangnya.
Widura tidak membuang waktu lebih lama lagi. Pedangnya cepat meluncur
kearah Kiai Gringsing. Widura yang merasa dirinya dipermainkan itu,
menusuk lawannya dengan sekuat tenaganya, meskipun pedangnya tidak
mengarah dada. Namun apabila Kiai Gringsing tidak mampu menghindari kali
ini, maka pundaknya pasti akan tersobek.
Melihat peristiwa itu, Agung Sedayu terkejut sehingga iapun meloncat
beberapa langkah maju. Namun ia tak akan dapat berbuat apapun. Yang
dilihatnya pedang pamannya yang runcing itu mematuk dengan
garangnya.Tetapi mata Agung Sedayu itupun terbeliak. Dengan mulut yang
ternganga ia melihat, betapa Kiai Gringsing itu kemudian berdiri tegak
sambil tertawa berkepanjangan. Katanya "Ah, tenagamu memang luar biasa
Widura. Tetapi kau sekarang pasti akan menemui kesulitan untuk mencabut
pedangmu itu"
"Setan" terdengar Widura mengumpat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha
mencabut pedangnya yang tertancap pada pohon kelapa sawit itu. Ternyata
Kiai Gringsing mampu mengelakkan diri dengan cepatnya, sehingga pedang
Widura yang mematuknya itu langsung mengenai pohon yang disandarinya.
"Jangan main-main kiai" geram Widura dengan wajah yang membara "Aku dapat bertempur tanpa pedang"
"Jangan" jawab Kiai Gringsing "Cabutlah pedangmu. Aku menunggu"
Widura masih berusaha sekuat tenaga mencabut pedangnya. Namun ia masih
mengumpat didalam hatinya. Ternyata pedang yang runcing itu telah
membenam dalam sekali. Tenaganya benar-benar telah dicurahkan untuk
menusukkan pedang itu. Karena itu, maka sekarang, betapa sukarnya untuk
mencabutnya.
Beberapa kali Widura menggeram. Tetapi kemudian Kiai Gringsing itu berkata "Minggirlah, coba apakah aku mampu mencabutnya"
Widura sendiri tidak menyadari, kenapa tiba-tiba ia melangkah kesamping
dan memberi kesempatan kepada orang bertopeng itu untuk mencabut
pedangnya. Betapa Widura menjadi heran, apalagi Agung Sedayu. Dengan
sebuah teriakan kecil, Kiai Gringsing berhasil menyentakkan pedang itu
dari batang kelapa sawit, meskipun ia sendiri terhuyung-huyung beberapa
langkah mundur. Bahkann hampir saja ia tergelincir jatuh.
"Hem" orang bertopeng itu menarik nafas "Pedang yang aneh. Besar, tumpul
namun runcing seruncing jarum. Kenapa kau membuat pedang seaneh ini?"
Widura tidak menjawab. Tetap ia menggeram. Terdengar giginya gemeretak. Namun ia masih tegak ditempatnya.
"Widura, kita akhiri pertempuran ini. Aku kembalikan pedangmu. Nah,
berlatihlah terus" Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing itu
berkata "Sedayu, kau harus bekerja lebih berat supaya muridmu ini
menjadi lekas masak. Ketahuilah, bahwa Sidantipun selalu mendapat
tempaan dari gurunya. Ki Tambak Wedi setiap saat mengunjunginya.
Bukankah muridmu itu pimpinan laskar Pajang disini? Apabila Sidanti
kelak melampauinya, maka wibawanya akan berkurang"
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Demikian juga Sedayu. Apakah
Sidanti benar-benar berlatih terus? Tetapi Kiai Gringsing tidak memberi
mereka kesempatan untuk bertanya. Bahkan sekali lagi ia berkata "Setiap
hari aku akan melihat kalian berlatih disini. Aku tidak akan mengganggu.
Nah Widura, ini pedangmu"
Sebelum Widura menjawab, meluncurlah pedang Widura dari tangan Kiai
Gringsing. Dengan gerak naluriah Widura meloncat untuk menangkap
pedangnya itu. Kemudian mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu melihat,
orang bertopeng itu berjalan seenaknya meninggalkan mereka. Lewat puntuk
kecil itu, dan kemudian hilang dibalik batang-batang ilalang yang
tumbuh dengan liarnya.
Widura sesaat berdiri saja mematung. Pertemuannya dengan Kiai Gringsing
itu benar-benar berkesan dihatinya "Orang aneh" gumamnya.
Widura terkejut ketika ia mendengar Agung Sedayu mengulangi kata-katanya "Orang aneh. Ya, memang orang itu orang yang aneh"
Widura menarik nafas panjang. Katanya "Orang itu tampaknya selalu tidak
bersungguh-sungguh. Tetapi aku menyesal bahwa aku bersikap terlalu kasar
kepadanya. Ah, mula-mula aku merasa ia menghinaku" Widura berhenti
sejenak, kemudian ia meneruskan "Namun agaknya ada sesuatu maksud
tersimpan dibalik sikapnya yang seakan-akan tidak bersungguh-sungguh
itu"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan didengarnya pamannya
berkata "Bukankah Kiai Gringsing mengatakan bahwa Sidantipun selalu
mendapat tempaan dari gurunya yang dahsyat itu?"
"Ya" Agung Sedayu mengangguk.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka masih memandang kearah Kiai Gringsing lenyap dibalik batang-batang ilalang.
"Sedayu" berkata Widura kemudian. "Kita akhiri latihan ini. Marilah kita
kembali. Ternyata bukan kau yang mendapat kesempatan untuk berlatih,
tetapi aku sendiri. Meskipun demikian setiap malam kita datang ketempat
ini"
Agung Sedayu mengangguk. Dan diikutinya pamannya meninggalkan tanah
lapang yang sempit itu. Mereka berjalan berurutan diatas pematang,
kemudian setelah melangkahi parit mereka berjalan menyusur jalan desa
menuju kademangan Sangkal Putung.
Hampir disepanjang jalan mereka tidak bercakap-cakap. Masing-masing
sedang dihanyutkan oleh angan-angannya. Widura masih dirisaukan oleh
kata-kata Kiai Gringsing "Sidanti berlatih terus"
"Mudah-mudahan anak itu mempunyai itikad yang baik" katanya didalam
hati. "Semoga ia berlatih untuk menghadapi Macan Kepatihan". Namun
Widura itu beragu. Sikap anak muda itu memang kurang menyenangkannya.
Apalagi sikapnya terhadap Agung Sedayu.
Tanpa disengajanya, Widura berpaling kepada kemenakannya yang berjalan
menunduk disampingnya "Sayang" gumamnya didalam hati. "Anak itu
benar-benar penakut. Kalau anak-anak Sangkal Putung tahu, apalagi
Sidanti, maka Sedayu akan menjadi orang yang paling memuakkan
dikademangan ini. "Tetapi aneh" berkata Widura seterusnya didalam hati
"Kenapa agaknya Kiai Gringsing menaruh perhatian atasnya. Anak itu telah
dilindunginya dari Alap-alap Jalatunda dan kini ia hadir pula
dilapangan sempit itu"
Sedangkan Agung Sedayu sibuk dengan dirinya sendiri. Timbullah didalam
angan-angannya keinginan yang besar untuk setidak-tidaknya dapat berbuat
seperti pamannya, seperti kakaknya apalagi seperti Kiai Gringsing yang
mampu bergerak selincah burung sikatan. "Aku akan berlatih terus. Setiap
malam" janjinya didalam hati.
Awan dilangit semakin lama menjadi semakin kelam. Satu-satu guruh dilangit meledak seperti hendak meruntuhkan gunung.
Widura dan Agung Sedayu mempercepat langkah mereka. Mereka lebih senang
tidur dipringgitan kademangan Sangkal Putung daripada basah kuyup
dijalanan.
Diregol halaman kademangan, Widura melihat Ki Demang tidur diatas
anyaman daun kelapa, sedang disampingnya mendengkur anak laki-lakinya,
Swandaru.
Widura tersenyum melihat mereka. Meskipun umur demang Sangkal Putung itu
sudah melewati setengah abad, namun ia merasakan benar bahwa adalah
menjadi tanggung jawabnya, hidup atau mati dari kademangannya. Ia tidak
saja menerima jabatannya dalam saat-saat menyenangkan, bukan sekedar
suatu keinginan untuk menerima pelungguh sawah dan kehormatan sebagai
seorang demang, namun ia menyadari, bahwa disamping hak yang diterimanya
itu, maka iapun harus mengemban kewajiban yang diperoleh sebagai
keseimbangan dari hak-hak itu. Bahkan lebih dari itu, kampung halamannya
adalah tanah yang harus dipertahankan. Sebagai demang atau bukan.
Beberapa orang penjaga yang duduk diregol halaman disamping Ki Demang
itupun berdiri ketika mereka melihat Widura memasuki pintu regol
"Selamat malam tuan" sapa salah seorang penjaga.
Widura menganggukkan kepalanya. Ketika ia akan menjawab, dilihatnya Ki
Demang menggeliat sambil bergumam "Apakah adi Widura baru datang?"
"Ya kakang" jawab Widura.
"Silakan, aku lebih senang tidur disini. Udara terlalu panas" berkata ki demang itu pula.
"Langit kelam kakang" sahut Widura. "Agaknya sebentar lagi hujan akan turun"
"Agaknya demikian" jawab Ki Demang "Nah, beristirahatlah"
Widura itupun kemudian berjalan bersama-sama dengan Agung Sedayu naik
kependapa. Ketika mereka melihat pembaringan Sidanti, mereka terkejut.
Pembaringan itu kosong. Dan senjata didinding diatas pembaringannya
itupun tidak ada pula. Sedang disampingnya masih berjajar beberapa orang
tidur dengan nyenyaknya. Tetapi Widura tidak menanyakannya kepada
siapapun. Bersama Agung Sedayu mereka langsung kepringgitan.
"Kau lelah Sedayu" berkata pamannya kemudian "Tidurlah"
Sebenarnya Agung Sedayu itu lelah sekali. Tidak saja tubuhnya, tetapi
juga angan-angannya. Karena itu, segera ia membaringkan dirinya, diatas
tikar pandan disamping pembaringan pamannya.
Tetapi pamannya tidak segera tidur. Setelah diteguknya beberapa teguk
air dari gendi digelodog bambu, iapun duduk sambil mengamati tubuhnya.
Tampaklah beberapa goresan-goresan merah biru dan noda-noda yang
kehitaman hampir disegenap bagian tubuhnya. Ujung dan pangkal cambuk
Kiai Gringsing benar-benar mengagumkan.
Widura itu kemudian terkejut, ketika ia mendengar langkah menaiki
pendapa. Perlahan-lahan dan kemudian kemudian hilang . Ketika ia
memperhatikan keadaan dan memusatkan pendengarannya, ia mendengar
beberapa suara gemerisik. Hanya sebentar, kemudian diam kembali.
Widura mengangkat alisnya. Tetapi ia diam saja. Ia masih menunggu
beberapa saat. Baru kemudian ia berdiri perlahan-lahan dan dengan
hati-hati melangkah keluar pringgitan. Ketika ia sampai dipendapa
dilihatnya Sidanti telah berbaring ditempatnya, seakan-akan tidak
terjadi apapun.
"Sidanti" panggil Widura perlahan-lahan.
Sidanti menggeliat. Kemudian dengan segan ia menjawab "Ya kakang"
"Adakah kau yang baru saja naik kependapa?" bertanya Widura pula. Sesaat
Sidanti terdiam. Ia ragu-ragu untuk menjawab. Namun ketika Widura
memandangnya dengan seksama, seakan-akan ingin melihat debar
dijantungnya, maka Sidanti itupun menjawab "Ya kakang"
"Dari manakah kau?" bertanya Widura seterusnya.
"Dari belakang kakang. Kenapa?" sahut Sidanti.
"Tidak apa-apa. Sejak tadi aku mencarimu"
Sidanti kemudian bangkit dan duduk dengan malasnya "Adalah sesuatu yang sangat perlu?"
"Tidak sedemikian penting. Tetapi kemarilah"
"Aku sudah kantuk sekali. Tidakkah dapat ditunda sampai besok?"
"Tentu. Tetapi aku mengharapmu sekarang"
Widura tidak menunggu Sidanti menjawab. Dengah langkah yang tetap ia berjalan memasuki pringgitan kembali.
Sidanti mengumpat dihatinya "Apa pula yang akan dikatakannya"
Ketika Sidanti sudah duduk dihadapannya, Widura berkata "Sidanti.
Persoalan ini memang tidak begitu penting. Tetapi aku perlu
menyampaikannya kepadamu" Widura diam sejenak. Diamat-amatinya baju
Sidanti. Basah oleh peluh yang seakan-akan terperas dari tubuhnya.
Tiba-tiba ia bertanya "Darimana kau Sidanti?"
Sidanti menjadi agak gugup. Namun sesaat ia telah tenang kembali. Jawabnya "Dari belakang"
"Bajumu basah oleh keringat" sahut Widura.
Kembali Sidanti menjadi agak gugup. Jawabnya kemudian "Aku mencoba
melatih diri supaya aku kelak dapat mengimbangi Macan Kepatihan"
"Sendiri?" desak Widura.
"Ya"
"Sidanti. Aku berbangga akan ketekunanmu. Namun kau harus
memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Apalagi mereka yang sedang
bertugas, supaya tak terjadi salah mengerti. Dalam keadaan serupa ini,
setiap orang akan dapat dicurigai. Sampai saat ini aku belum pernah
dapat laporan, bahwa kau sering mempergunakan waktumu untuk berlatih
diri"
"Apa salahnya?" potong Sidanti "Apakah kakang Widura ingin kami semua
ini menjadi orang-orang yang tidak pernah menemukan tingkat yang lebih
baik dari tingkat yang kita miliki sekarang?"
"Tidak Sidanti. Aku tidak bermaksud demikian. Bahkan aku senang kau
melakukannya. Tetapi kenapa dengan diam-diam. Apakah kau tak ingin
misalnya, beberapa orang ikut serta, dan apakah dengan demikian,
ketahanan dan pertahanan kita akan tambah kuat"
"Tentu" jawab Sidanti "Bukankah telah kita lakukan setiap hari? Dan apa
salahnya kalau aku mempergunakan waktu khusus untuk aku sendiri?"
"Aku tidak keberatan. Tetapi kau sering meninggalkan kademangan ini
tanpa seorangpun juga mengetahuinya" Widura mencoba untuk mengetahui,
apakah yang dikatakan Kiai Gringsing tentang Sidanti benar-benar
terjadi.
Sidanti untuk sesaat tidak menjawab. Dipandanginya wajah Widura dengan
tajamnya. Tetapi ketika pandangan mata mereka bertemu, Sidanti itupun
menundukkan wajahnya. Namun dadanya masih juga berdebar-debar.
Widura tidak segera mendesaknya. Ia menunggu apakah yang akan dikatakan
oleh Sidanti. Hanya tarikan nafas mereka terdengar berkejar-kejaran.
Baru beberapa saat kemudian Sidanti menjawab "Aku pergi atas tanggung
jawabku sendiri kakang. Aku kadang-kadang memerlukan tempat yang baik
yang tidak aku temui dihalaman kademangan ini. Juga karena aku tidak
ingin diganggu oleh siapapun juga"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia yakin akan kebenaran
cerita Kiai Gringsing. Namun ia masih mengharap semoga Sidanti
benar-benar akan mengamalkan ilmunya untuk kemenangan bersama. Meskipun
demikian Widura itupun berkata "Sidanti, aku berbangga. Benar-benar
berbangga seperti yang aku katakan. Tetapi aku ingin memberimu
peringatan. Jangan terlalu berani meninggalkan kademangan ini seorang
diri. Macan Kepatihan bukan anak-anak yang ketakutan karena
kekalahan-kekalahan kecil. Setiap saat ia dapat datang kembali. Mungkin
seorang diri, dan menyergapmu tanpa seorangpun yang dapat melihat apa
yang akan terjadi"
"Sudah aku katakan" jawab Sidanti "Kalau aku terbunuh olehnya selama aku
melatih diri, adalah tanggung jawabku sendiri. Tak seorangpun perlu
menangisi mayatku"
"Jangan berkata demikian" sahut Widura. Kata-katanya tenang dan berat.
Kata-kata seorang tua kepada anaknya yang nakal. "Kalau kau hilang dari
antara kami, maka kami semua akan merasa kehilangan. Kita tidak tahu,
sampai kapan kita dalam keadaan yang tidak menentu ini. Karena itu, kau
adalah lawan Tohpati yang dapat kita banggakan. Ilmumu masih akan
berkembang sejalan dengan ilmu Tohpati. Namun kau memiliki kemenangan
daripadanya. Gurumu masih ada"
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak senang atas peringatan itu.
Dirasakannya seakan-akan kebebasannya terganggu. "Apapun yang aku
lakukan adalah hakku" katanya didalam hatinya.
"Apakah gurumu tak pernah mengunjungimu?" tiba-tiba Widura bertanya. Dan
pertanyaan itu benar-benar membingungkan Sidanti. Ia tidak tahu
bagaimana harus menjawab. Sebenarnya ia sendiri tidak pernah merasa
keberatan seandainya semua orang tahu, bahwa gurunya sering datang
mengunjunginya. Namun gurunyalah yang melarangnya. Selalu teringat
olehnya gurunya itu berkata "Sidanti, kemenangan terakhir haruslah
kemenanganmu. Bukan kemenangan orang lain. Juga bukan kemenangan
kelompokmu, apalagi pimpinanmu"
Karena ingatannya itu, maka Sidanti kemudian menggeleng "Tidak. Guru tidak pernah datang"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia pasti, bahwa guru
Sidanti itu dengan diam-diam selalu datang dan menempa muridnya dengan
tekunnya. Sedang didalam kepala Sidanti itu terngiang kata-kata gurunya
pula "Karena itu Sidanti, aku tak mau seorangpun tahu, bahwa kau sedang
menempa dirimu. Aku tak mau seorangpun dapat meneguk ilmu Tambak Wedi
meskipun hanya setetes. Sebab, pada suatu saat kau harus menjadi orang
pertama di Pajang sesudah Hadiwijaya sendiri"
Kembali suasana di pringgitan itu tenggelam dalam kesepian. Sidanti
kemudian menundukkan wajahnya pula. Tubuhnya benar-benar merasa lelah
setelah ia memeras tenaganya, menerima ilmu-ilmu penyempurnaan dari
gurunya.
"Kau lelah sekali Sidanti" berkata Widura.
"Ya" sahut Sidanti pendek.
"Tidurlah"
Sidanti tidak menunggu perintah itu diulang untuk kedua kalinya. Segera
ia berdiri dan berjalan keluar. Dimuka pintu ia berpaling. Ketika
dilihatnya Widura masih mengawasinya, segera ia melemparkan pandangan
matanya kearah lain.
Kini Widura duduk kembali seorang diri diatas pembaringannya.
Angan-angannya terbang kian kemari. Banyak persoalan yang dihadapinya.
Dan banyak persoalan yang perlu dipecahkannya. Namun sebagai manusia
Widura berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan memberinya jalan
terang.
Widura pun ternyata lelah pula. Sejenak kemudian iapun berbaring dan tertidur pula dengan lelapnya.
Ketika cahaya fajar telah membayang dipunggung bukit, maka Agung
Sedayupun telah bangun dari tidurnya. Dikejauhan masih didengarnya
satu-satu ayang jantan berkokok menyambut pagi. Sekali Agung Sedayu
menggeliat, kemudian perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar.
Terasa betapa nyamannya udara menjelang dini hari. Dipendapa beberapa
orang pun telah bangun. Seorang dua orang telah turun kehalaman, sedang
yang lain lagi bersembahyang subuh. Agung Sedayu pun segera pergi
kepadasan.
Baru setelah ia selesai sembahyang subuh, dilihatnya pamannya bangkit.
Dengan tersenyum ia menyapa "Ah, kau bangun lebih dahulu Sedayu"
"Ya paman" sahutnya "Aku tidur lebih dahulu pula"
Pamannya tersenyum. Dan Agung Sedayu pun kemudian meninggalkan ruangan
itu. Ia ingin menikmati cerahnya fajar. Satu-satu dilangit masih
tersangkut bintang-bintang yang dengan segannya memandang halaman
kademangan Sangkal Putung yang baru saja terbangun dari lelapnya malam.
Sangkal Putung itu ternyata benar-benar telah terbangun. Dijalan-jalan
telah mulai tampak satu dua orang yang lewat tergesa-gesa. Mereka akan
mencoba menjual dagangan mereka disudut desa. Sebab mereka masih belum
berani berjalan terlampau jauh. Disudut desa itu telah menjadi agak
ramai sejak beberapa saat yang lampau. Jual beli dan tukar-menukar
banyak pula terjadi.
Tiba-tiba timbullah keinginan Agung Sedayu untuk berjalan-jalan menyusur
jalan dimuka kademangan itu. Dimuka regol beberapa orang penjaga
mengangguk kepadanya.
"Akan kemana ngger?" bertanya salah seorang daripadanya.
"Berjalan-jalan paman" jawab Agung Sedayu
Orang itu mengangguk. Sahutnya "Silakan. Barangkali udara pagi di Sangkal Putung dapat menyejukkan hati angger"
Agung Sedayu tersenyum. Dan diayunkannya kakinya melangkah menurut jalan
itu. Sekali-sekali ia berpaling untuk mengetahui jarak yang telah
ditempuhnya. Agung Sedayu tidak ingin berjalan seorang diri terlalu jauh
dari kademangan, meskipun disiang hari yang cerah sekalipun.
Tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika didengarnya sapa halus disampingnya. Katanya "Akan pergi kemanakah tuan sepagi ini?"
Ketika Agung Sedayu menoleh dilihatnya seorang gadis yang kemarin
ditemuinya dikademangan muncul dari sebuah jalan sidatan. Karena itu
maka sambil mengannguk ia menjawab pendek "Berjalan-jalan"
Gadis itu, yang tak lain adalah Sekar Mirah, mengerutkan keningnya.
Jawaban yang terlalu pendek. Meskipun demikian ia memberanikan dirinya
untuk bertanya "Apakah tuan akan pergi kewarung disudut desa?"
Agung Sedayu menggeleng "Tidak" jawabnya.
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Tetapi justru karena itu, maka kesannya
atas Agung Sedayu menjadi semakin dalam. Anak muda pendiam yang sombong.
Tetapi Sekar Mirah berkata pula "Kalau tidak, akan kemanakah tuan?"
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu, akan kemanakah ia
sebenarnya. Maka jawabnya sekenanya "Aku hanya berjalan-jalan saja"
"Oh" sahut Sekar Mirah. "Kalau begitu, apakah tuan ingin melihat warung
itu. Barangkali tuan ingin membeli sesuatu. Buah-buahan, kain atau apa?
Warung itu menjadi ramai sejak daerah ini tidak aman. Sebab mereka tidak
berani pergi terlalu jauh. Bahkan orang-orang dari desa yang lainpun
datang kemari. Sebab disini ada laskar paman Widura, sehingga mereka
merasa mendapatkan perlindungan daripadanya.
Agung Sedayu menjadi bertambah bingung. Ia sama sekali tidak memiliki
uang seduitpun. Tetapi sebelum ia menolak gadis itu telah berkata pula
"Marilah tuan. Tuan akan mendapat kesan yang lengkap dari daerah ini"
Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain dari mengikutinya. Sekar Mirah
berjalan kembali kewarung disudut desa. Ia senang bahwa Agung Sedayu
mengikutinya.
"Kedatangan tuan pasti akan menggembirakan para pedagang diwarung itu" berkata Sekar Mirah kemudian.
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Bukankah tuan telah menyelamatkan Sangkal Putung?" jawab Sekar Mirah.
Terasa dada Sedayu berdesir. Meskipun demikian, iapun tiba-tiba
merasakan suatu kebanggaan atas pujian itu. Pujian yang diucapkan oleh
seorang gadis yang ramah.
Sekar Mirah adalah gadis yang lincah. Banyak persoalan yang ingin
diketahuinya, dan banyak persoalan yang dipikirkannya. Meskipun ia
seorang gadis, namun ingin juga ia mengerti banyak hal tentang keadaan
didaerahnya. Sebagai seorang anak demang, Sekar Mirah selalu melihat dan
mendengar ayahnya mempersoalkan daerah dan orang-orang didaerah Sangkal
Putung. Karena itu, maka lambat laun hatinyapun tertarik pada
persoalan-persoalan daerah dan orang-orang didaerahnya.
Karena itu pula maka disepanjang jalan itupun, Sekar Mirah selalu
berusaha untuk mengerti akan beberapa persoalan. Maka dengan hati-hati
ia bertanya "Tuan, apakah tuan adik dari seorang yang bernama Untara?"
Agung Sedayu mengangguk. "Ya" jawabnya.
"Ah. Semua orang di Sangkal Putung mengagumi tuan. Bukankah tuan telah
menyelamatkan kademangan ini. Semua orang yang bertemu dengan tuan,
pasti akan menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan penuh rasa hormat
dan terima kasih"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati "Ya,
seandainya demikian. Tetapi aku akan berlatih terus. Aku ingin untuk
benar-benar menjadi orang yang berhak mendapat penghormatan yang
demikian."
"Tuan" Sekar Mirah itu berkata lagi "Untuk mencapai tingkat yang seperti tuan, berapa lama waktu yang tuan perlukan?"
Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak
diduga-duganya. Apalagi dari seorang gadis. Karena itu untuk sesaat ia
tidak menjawab. Sehingga Sekar Mirah itu berkata pula "Kakang
Swandarupun selalu berusaha untuk melatih diri. Namun apa yang
dicapainya itu sama sekali tak berarti. Orang-orang di Sangkal Putung
sampai saat ini, yang paling dibanggakan oleh paman Widura adalah
Sidanti"
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar nama itu. Dilihatnya didalam rongga
matanya Sidanti yang tinggi hati itu memandanginya dengan tajam dan
penuh prasangka. Tiba-tiba bulu-bulu Agung Sedayu meremang. Namun ia
tidak menjawab. Sebab, tiba-tiba saja timbullah disudut hatinya suatu
keinginan yang tak dimengertinya sendiri. Terhadap gadis itu, ia ingin
mempertahankan nama yang telah dicapainya. "Kenapa demikian", timbul
pula pertanyaan didalam dirinya. Tetapi ia menjawab "Aku melatih diri
sejak kanak-kanak"
"Oh" Sekar Mirah menjadi bertambah kagum. "Pantaslah tuan dapat
melakukan semua itu. Aku mendengar seseorang mengatakan bahwa tuan
berhasil mengalahkan Alap-alap Jalatunda."
Agung Sedayu berdebar-debar. Namun ia menjawab "Alap-alap Jalatunda
tidak segarang Tohpati" Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia menyebut
nama itu. Meskipun demikian, ia berusaha untuk tetap tersenyum.
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Agung
Sedayu itu telah dapat diajaknya bicara. Maka katanya seterusnya "Berapa
lamakah tuan akan tinggal di Sangkal Putung?"
"Aku tidak tahu" jawab Sedayu "Kalau kakang Untara sudah ditemukan, aku
akan segera kembali ke Jati Anom, dan kakang Untara akan kembali ke
Pajang"
Sekar Mirah kecewa mendengar jawaban itu. Dan ia mengharap, semoga Untara tidak segera dapat diketemukan.
Demikianlah mereka berjalan sambil bercakap-cakap. Sekar Mirah menjadi
gembira dan Agung Sedayu pun berbangga karenanya. Tanpa disadarinya
Agung Sedayu telah banyak bercerita tentang kademangan-kademangan yang
pernah dicapainya dalam perjalanannya dari Jati Anom. Diceritakannya
tentang si Pande Besi dan tiga kawannya yang terbunuh, dan Alap-alap
Jalatunda yang mencegatnya di Bulak Dawa. Namun setiap kata diucapkan,
terasa sebuah goresan yang pahit didalam dadanya. Ingin ia mengatakan
apa yang sebenarnya, namun ia tidak mempunyai keberanian, dan bahkan
akhirnya ia sengaja menyombongkan dirinya untuk menyembunyikan
kekerdilannya. Seakan-akan ia benar-benar pahlawan Sangkal Putung.
Ketika mereka sampai diwarung ujung desa, maka apa yang dikatakan oleh
Sekar Mirah itu benar-benar terjadi. Para pedagang dan orang yang berada
diwarung itu mengaguminya. Mereka tiba-tiba saja seperti orang yang
terpesona. Berdesakan mereka mengitari Agung Sedayu untuk sekedar dapat
menyambut tangannya. Satu demi satu orang-orang diwarung itu memberikan
salamnya, dan satu demi satu tangan-tangan mereka itu disambut oleh
Agung Sedayu disertai dengan sebuah anggukan kepala dan sebuah senyuman.
Namun tak seorangpun diantara mereka yang mengetahuinya, bahwa didalam
dada anak muda itu bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat.
Sekar Mirah yang memperkenalkan Agung Sedayu itupun ikut berbangga pula.
Kepada kawan-kawannya ia bercerita seperti burung sedang berkicau
tentang anak muda yang bernama Agung Sedayu itu, seolah-olah ia melihat
sendiri peristiwa-peristiwa yang dialami olehnya. Namun beberapa gadis
yang iri hati kepadanya bergumam didalam hatinya "Ah Mirah. Dahulu kau
selalu berdua dengan Sidanti. Sekarang, ketika datang anak muda yang
lebih tampan dan sakti, kau tinggalkan anak muda yang bernama Sidanti
itu"
Tetapi tak seorangpun yang berani mengucapkannya. Sebab Sekar Mirah adalah anak Demang Sangkal Putung.
Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang Sangkal Putung
itu, maka Sekar Mirah dan Sedayupun segera kembali ke kademangan. Juga
disepanjang jalan pulang, Sekar Mirah masih saja berkicau tak
henti-hentinya. Namun kini Agung Sedayu sendang mendengarnya.
Sampai di kademangan Agung Sedayu segera pergi menemui pamannya
dipringgitan, dimana Agung Sedayu sehari-hari menyekap diri. Jarang
sekali ia pergi berkumpul dengan orang-orang lain. Hanya kadang-kadang
saja ia bercakap-cakap dengan mereka dipendapa. Sedang Sekar Mirah
dengan tergesa-gesa pergi kedapur. Ia takut terlambat dengan
belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi.
Tetapi langkah Sekar Mirah itu terhenti ketika Sidanti menggamitnya "Mirah" katanya.
Sekar Mirah berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya "Kenapa?"
"Dari mana kau?"
"Warung" jawab Sekar Mirah pendek.
Sidanti memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya "Dengan Agung Sedayu?"
Sekar Mirah memandang Sidanti tidak kalah tajamnya. Jawabnya "Ya. Apa salahnya?"
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya
"Mirah, jangan marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut.
Aku hanya ingin memberi peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan
anak muda yang belum kau ketahui keadaannya"
Sekar Mirah kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang
pula. Jawabnya "Aku hanya bertemu dengan Sedayu dijalan, dan aku
antarkan ia kewarung diujung desa"
Sidantipun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga
berkata "Ingat-ingatlah Mirah. Jangan terlalu rapat bergaul dengan
siapapun juga. Aku kurang senang melihatnya"
Kembali wajah Sekar Mirah menjadi tegang "Apakah hakmu?"
Tetapi Sidanti tidak menjawab. Berpalingpun tidak. Ia berjalan saja kebelakang rumah dan lenyap dibalik pepohonan yang rapat.
Sekar Mirah masih berdiri ditempatnya. Ia menjadi kesal pada anak muda
itu. Tetapi kemudian timbul juga ibanya kepada Sidanti. Pergaulan mereka
telah berlangsung lama, dan anak muda itupun tak pernah menyakiti
hatinya.
Dengan wajah tunduk Sekar Mirah masuk kedapur. Dilihatnya beberapa orang telah sibuk menyiapkan makan pagi.
"Kami tunggu kau, Mirah" kata ibunya.
"Oh" Mirah sadar akan dirinya. Yang dibawanya itu adalah bumbu-bumbu masak. Karena itu segera diserahkannya kepada ibunya.
"Nasi sudah masak. Tetapi belum ada lauk dan sayurnya. Terlambat" desah ibunya.
"Kadang-kadang saja" sahut Sekar Mirah. "Bukankah tidak setiap hari aku terlambat?"
"Aku jemu mendengar mereka menggerutu" berkata orang yang gemuk, yang duduk dimuka api.
"Ah bibi. Jangan kau dengarkan. Bukankah sudah menjadi kebiasaan mereka menggerutu. Apapun tidak menyenangkan mereka"
"Tetapi mulut orang yang jangkung dan berkumis tipis itu sangat tajam.
Aku pernah dikata-katainya karena termakan cabe rawit olehnya. Dikiranya
aku sengaja memasang untuknya. Oh, orang itu benar-benar tidak melihat
punggungnya. Apa yang dibanggakannya untuk berlagak dihadapanku"
Tetapi Sekar Mirah menjadi tertawa karenanya. Jawabnya "Bibi, siapakah yang membelikan lurik abang itu?"
"Oh, oh" orang yang gemuk itu tersipu-sipu. Namun akhirnya ia menjawab
"Aku tidak pernah minta kepadanya. Ia sendiri datang kepadaku dan
memberikan kain lurik ini"
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia masih tertawa. Tetapi tawanya itu
patah ketika ia mendengar orang membentaknya "Kau baru datang Mirah?"
Ketika Sekar Mirah berpaling, dilihatnya Swandaru bertolak pinggang dipintu dapur. "He, kau baru datang?" desak kakaknya.
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
"Kenapa terlambat?" kakaknya membentak.
Tetapi Sekar Mirah tidak juga menjawab, sehingga kemudian Swandaru itupun pergi dengan sendirinya.
Dapur kademangan itu kemudian tenggelam dalam kesibukan. Semua bekerja
dengan cepat dan tergesa-gesa. Tetapi Sekar Mirah kali ini tidak
selincah biasanya. Kadang-kadang ia duduk termenung memandangi api yang
menjilat-jilat diperapian. Sedang ditangannya masih tergenggam pisau
dapur dan daging yang sedang dipotongnya.
Ia baru sadar ketika beberapa orang menegurnya.
Tetapi sesaat kemudian kembali ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan
oleh angan-angannya tentang anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata
pertemuannya dengan Agung Sedayu itupun berkesan pula dihatinya. Namun
selalu diingatnya, senyum Sidanti beberapa saat berselang. "Mirah"
katanya "Jangan terlampau sering bergaul dengan anak muda yang belum kau
ketahui keadaannya itu"
Akhirnya Sekar Mirah sampai pada suatu kesimpulan bahwa Sidanti menjadi cemburu karenanya.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati "Bukankah
aku mengagumi Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain mengaguminya?"
Tetapi terdengar pula dari sudut hatinya "Ah, kau dulu juga mengagumi
Sidanti, karena Sidanti adalah orang yang paling mengagumkan di Sangkal
Putung. Apa katamu kalau kelak datang Untara yang lebih sakti dari
adiknya. Apakah kau akan mengaguminya pula berlebih-lebihan dan
melupakan orang-orang lain?"
"Oh" Sekar Mirah memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi kebiliknya.
"Mirah" panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu. "Kenapa kau?"
"Kepalaku pening" jawabnya sambil berlari.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya kebiliknya. Dan dirabanya keningnya. Katanya "Tidak panas Mirah"
Sekar Mirah berbaring dipembaringannya sambil menengadahkan wajahnya.
ketika ibunya meraba keningnya, maka katanya "Hanya pening sedikit bu.
Mungkin semalam aku kurang tidur"
Ibunya tidak bertanya lagi. Ditinggalkannya Sekar Mirah sendiri didalam
biliknya. Pesannya "Beristirahatlah Mirah. Mungkin kau terlalu lelah"
Sekar Mirah mengangguk. Namun ketika ibunya telah meninggalkannya,
kembali angan-angannya bergolak. Bermacam-macam persoalan hilir mudik
dikepalanya. Sehingga akhirnya ia menjadi benar-benar pening. Karena
itu, maka sehari-harian Sekar Mirah tinggal didalam biliknya. Tak
seorangpun tahu, apa yang sedang mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia
mencoba untuk tidur, namun tidak dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring.
Sekali miring kekiri, sekali kekanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk
sambil bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian direbahkannya dirinya
kembali. Sekar Mirah keluar dari biliknya hanya apabila datang saatnya
makan. Namun ibunya menyangka tidak lebih daripada Sekar Mirah sedang
pening.
Matahari dilangit merayap dengan lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan
pekerjaan yang selalu dilakukan itu setiap hari. Ketika matahari itu
kemudian tenggelam dibalik bukit-bukit, maka warna-wana yang kelam
seakan-akan turun dari langit, menyelubungi wajah bumi.
Demikian lah kembali Sangkal Putung terbenam dalam lelap malam. Ketika
sunyi malam menjadi semakin sunyi, maka Widura dan Agung Sedayupun
berangkat pula berkeliling kademangan. Dan kemudian mereka berdua itupun
pergi kepuntuk kecil yang bernama gunung Gowok.
Kini Agung Sedayu semakin gairah menghadapi latihan-latihannya. Bahkan
Widura menjadi heran. Anak itu sudah menyimpan kemampuan yang tidak
diduganya. Sehingga tiba-tiba saja terloncat pertanyaannya "Sedayu,
darimana kau dapatkan ilmumu itu?"
"Kakang Untara" jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hem" gumamnya. "Kenapa kau masih
takut juga kepada Alap-alap Jalatunda? Kalau kau berani melawannya, aku
kira kau sendiri mampu mengalahkannya. Setidak-tidaknya kau akan dapat
mempertahankan dirimu sendiri sehingga Untara tidak usah terluka
karenanya."
Sedayu menundukkan wajahnya. Memang terasa juga dihatinya, setiap kali
ai melihat perkelahian, timbul juga kata-kata dihatinya "Ah. Tidak aneh.
Aku juga dapat melakukannya". Tetapi ia sediri belum pernah berbuat
seperti yang dilihatnya itu dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya.
Agung Sedayu hanya berani menghadapi lawannya dalam latihan-latihan
Untara dan kini Widura.
"Besok kau bawa senjata panjang seperti pedangku ini" berkata Widura. "Apakah kau pernah juga berlatih dengan pedang?"
Sedayu mengangguk. "Pernah" jawabnya. "Ayah pernah memberi aku beberapa
petunjuk, dan kakang Untarapun pernah memberi aku latihan-latihan dengan
pedang, perisai dan tombak"
"Aneh. Aneh" gumam Widura.
"Apa yang aneh paman?" bertanya Sedayu.
"Kau" jawab pamannya. "Hampir aku kehilangan akal karena kedatanganmu
Sedayu. Aku berterima kasih karena kau telah memberitahukan kepada kami,
bahaya yang akan menerkam kami. Namun seterusnya kau menjadi beban yang
hampir tak tertanggungkan"
Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia merasakan pula, betapa
sulit keadaan pamannya karena kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya
yang telah menjerumuskannya keneraka ini?
"Sedayu" berkata pamannya pula. "Baiklah aku berterus terang.
Kehadiranmu ternyata sangat menyulitkan keadaanku. Kini ternyata bahwa
kau memiliki kemampuan yang tidak kecil. Namun kau simpan didalam
dirimu, karena terbalut oleh kekerdilan jiwamu. Cobalah, pecahkan
dinding yang membatasi dirimu itu. Kau kini berada dalam dunia
ketakutan. Kalau sekali kau berani melampaui batas itu, batas antara
ketakutan yang membelengumu dan kebebasan bertindak yang dilambari oleh
keberanian, maka kau merupakan anak muda yang benar-benar mengagumkan.
Sampai saat ini ternyata kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang
tinggi, apabila kemampuan-kemampuan itu kau ungkapkan, dibumbui oleh
pengalaman-pengalaman, maka kau tak akan kalah melawan Alap-alap
Jalatunda. Kelak kau akan tetap menjadi pahlawan dimata rakyat Sangkal
Putung. Kau tidak akan cemas lagi berhadapan dengan bahaya apapun".
Kata-kata itu bukanlah yang pertama kali didengarnya. Kakaknya pernah
juga berkata demikian. Dan hatinya sendiripun berkata demikian pula.
Namun bagaimana? Apabila bahaya itu benar-benar datang, maka hatinya
berkerut sekecil biji sawi. "Hem" Sedayu menarik nafas. Katanya didalam
hati "Kenapa manusia didunia ini harus berkelahi satu sama lain?" Namun
ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa masih ada manusia-manusia
yang ingin selalu memaksakan kehendaknya kepada orang lain,
manusia-manusia yang ingkar kepada sumbernya yang memberi manusia
kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama manusia tidak menghormati
kebebasan yang berasal dari sumber hidupnya, maka selama itu masih akan
ada bentrokan-bentrokan diantara sesama. Kebebasan yang setia pada
sumbernya, yang pada hakekatnya merupakan kesimpang-siuran hidup manusia
seorang-seorang, namun penuh dengan keserasian dalam ujud
keseluruhannya. Yang satu sama lain tidak saling berbenturan dan
bertentangan. Apabila setiap orang menyadari keadaannya serta patuh pada
hakekatnya, sumber hidupnya yaitu kekuasan Tuhan Yang Maha Tinggi, maka
manusia akan menemukan kedamaian. Lahir dan batin.
Tetapi ternyata manusia telah memiliki arti sendiri bagi kebebasannya.
Kebebasan yang mutlak, yang tak dapat dikekang oleh dirinya sendiri
sekalipun. Yang bahkan kebebasan itu telah dipakainya untuk mengaburkan
arti dalam hidupnya. Dengan demikian maka hilanglah keserasian hidup
antara manusia. Dan timbullah pertentangan dimana-mana, peperangan dan
pembunuhan. Perkosaan terhadap peradaban manusia itu sendiri.
Demikianlah Agung Sedayu harus melihat kenyataan itu. Apakah ia harus
menelan keharusan yang dipaksakan orang lain atasnya? Keharusan yang
bertentangan dengan haknya? Tetapi betapa ia menyadari keadaannya, namun
dinding yang membatasi dunianya itu tak mampu dipecahkannya. Dinding
yang selalu menyekapnya dalam ketakutan dan kekhawatiran.
Meskipun demikian, niat untuk melakukannya kini telah semakin besar
mengetuk dadanya. Karena itu, iapun berlatih semakin keras.
Dikerahkannya segenap tenaganya dan kemampuan-kemampuan yang tersimpan
didalam dirinya. Sehingga dengan demikian Widura menjadi bergembira
karenanya. Ia melihat anak muda itu seakan-akan lain dari Agung Sedayu
yang dikenalnya sehari-hari. Lincah, tangkas dan kuat, bahkan
kadang-kadang berhasil membingungkannya karena kecepatannya.
Tetapi apabila teringat oleh pamannya itu, betapa kecil hati
kemenakannya, maka iapun menjadi kecewa karenanya. Meskipun demikian,
maka Widura itu bekerja sekeras-kerasnya. Diusahakannya untuk dapat
mengungkat setiap kemampuan yang ada pada kemenakannya itu.
"Suatu ketika" katanya didalam hati "Apabila ia dihadapkan pada suatu
keadaan memaksa, mudah-mudahan ia telah mampu untuk menyelamatkan diri"
Demikianlah, latihan itu berjalan dengan cepatnya. Semakin lama semakin
cepat. Widura berusaha untuk memeras tenaga kemenakannya, sedang Agung
Sedayupun berusaha untuk mengimbanginya.
Widura sendiri, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi, terpaksa
bekerja keras untuk dapat mengatasi kemenakannya itu. Sekali-sekali
Agung Sedayu dapat bergerak secepat bayangan. Namun sekali-sekali
mencoba juga untuk bertahan beradu kekuatan. Ternyata kekuatan Agung
Sedayu pun mengherankan pula. Ketika serangan Widura membentur dinding
pertahanan kemenakannya itu, ia terkejut. Terasa ia bergetar surut,
meskipun Agung Sedayu terdorong beberapa langkah pula.
"Luar biasa" desis pamannya. "Kekuatanmupun luar biasa"
Agung Sedayu tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Jawabnya "Bukankah bibi dahulu selalu memberiku pekerjaan itu?"
"He" pamannya mengerutkan keningnya. "Pekerjaan yang mana?" ia bertanya.
"Membelah kayu" jawab Sedayu.
"Ah" desah Widura. "Bukan itu. Pasti ada yang lain"
"Setiap pagi kakang Untara mengajari aku bermain-main berjalan diatas
tangan dengan kaki diatas. Kemudian bermain-main dengan pasir ditepian"
"Permainan apakah itu?"
"Hanya memukul-mukul saja. Pasir dan kadang-kadang batang-batang pohon dengan jari"
"Oh" Widura terkejut. Untara telah memberikan latihan-latihan itu.
Meskipun Sedayu tidak menyadarinya, namun latihan-latihan itu merupakan
latihan yang sangat berguna baginya. Bagi tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu
yang dimilikinya. Namun sekali lagi Widura mengeluh "Jiwanya. Jiwanya
yang terlalu kerdil. Sayang, ibunya terlalu takut melepaskannya.
Sehingga Sedayu tidak lebih dari seorang yang hanya mengenal
dinding-dinding batas halamannya. Kemanjaan dan perawatan yang
berlebih-lebihan. Untunglah, diam-diam Untara telah memeberinya bekal"
Tetapi latihan mereka terpaksa berhenti ketika tiba-tiba pula hadir
orang bertopeng yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Yang mula-mula
terdengar adalah suara tertawanya. Tinggi dan nyaring. Namun Widura dan
Agung Sedayu sudah tidak terkejut lagi. Mereka sudah menduga bahwa orang
itu akan selalu datang melihat mereka. Bahkan kemudian Widura
menyapanya "Selamat malam Kiai"
"Oh" jawabnya "Selamat malam. Apakah kau masih akan menangkap aku Widura?"
"Tidak Kiai" jawab Widura. Ia berusaha pula untuk menyesuaikan diri
dengan orang aneh itu. Karena itu katanya "Sebenarnya aku belum
melepaskan maksudku itu. Namun aku masih belum dapat mengalahkan Kiai.
Karena itu aku berlatih terus. Guruku, Agung Sedayu, telah mencoba
mempercepat latihan-latihanku"
Orang bertopeng itupun tertawa. Tetapi nadanya tidak setinggi semula.
Katanya kemudian "Bagus. Agung Sedayu harus menempamu lebih keras lagi.
Nah, sekarang cobalah. Tangkap aku. Mungkin latihanmu sehari ini telah
menambah ilmumu"
"Bagus" sahut Widura. "Jangan berlari-lari. Aku akan mencoba sekali lagi"
Dengan serta-merta Widura menarik pedangnya, dan dengan garangnya ia langsung menyerang.
"He" teriak Kiai Gringsing. "Aku belum siap"
Namun Widura tidak memperdulikannya. Ia tahu benar, bahwa Kiai Gringsing
adalah seorang sakti yang tak memerlukan senjata untuk melawannya.
Karena itu, maka ia sama sekali tak menarik serangannya. Ternyata Kiai
Gringsing itupun tak mau dadanya berlubang. Tepat pada saat pedang
Widura hampir menyentuhnya, ia memiringkan tubuhnya. "Luar biasa"
katanya nyaring "Seranganmu bertambah cepat"
Widura tidak menjawab. Ketika serangannya gagal, maka cepat ia memutar
tubuhnya, dan mengalirlah serangan demi serangan melanda Kiai Gringsing.
Widura bukanlah seorang anak-anak lagi. Pengalaman dan pengetahuannya
telah cukup. Karena itu, ia menyadari benar-benar keadaannya. Ia pasti
bahwa Kiai Gringsing itu telah memperhitungkanmya pula
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Sebagai seorang
pemimpin dalam satu rombongan prajurit, meskipun masih banyak yang gelap
baginya, namun firasatnya berkata "Kiai Gringsing ini benar-benar
seorang yang bermaksud baik terhadapnya, terhadap Sedayu dan mungkin
pula terhadap Untara dan Ki Tanu Metir"
Karena itu Widura sampai pada suatu kesimpulan bahwa, Kiai Gringsing
sengaja meningkatkan ilmunya, sebab Sidantipun berbuat demikian. Dengan
demikian maka Widura pun melakukan perkelahian itu dengan tekad "Aku
sedang berlatih. Dan seorang yang sakti telah berkenan menuntunku"
Demikianlah mereka tenggelam dalam pertempuran. Cepat dan mengagumkan.
Apalagi bagi Agung Sedayu. Dengan mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan
bahkan ia berhasil mengingat-ingat unsur-unsur gerak yang menarik
hatinya.
Ternyata Kiai Gringsing itu tidak saja bertempur, namun ia banyak
berbicara pula. Disebutnya kesalahan-kesalahan yang dilakukan Widura dan
ditunjukkannya apa yang seharusnya dilakukan. Meskipun kadang-kadang
dengan nada yang aneh.
Dan apa yang terjadi di gunung Gowok itu tidaklah hanya sekali dua kali.
Namun berkali-kali. Setiap malam. Dan hampir setiap malam pula Kiai
Gringsing hadir diantara mereka. Bahkan apabila orang itu tidak tampak,
maka Widura dan Agung Sedayu menjadi kecewa karenanya.
Tetapi tidak seorangpun yang tahu, apa yang terjadi setiap malam
digunung Gowok itu. Yang dilakukan oleh anak-anak Widura di Sangkal
Putung setiap haripun adalah latihan dan latihan. Akhirnya mereka
menjadi jemu pada latihan-latihan itu. Namun tak ada lain yang dapat
mereka lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan Sangkal Putung pada
keadaan yang masih tak menentu itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami kejemuan karenanya. Lambat laun
perkenalannya dengan Sekar Mirah menjadi semakin rapat. Meskipun mereka
jarang-jarang bertemu, namun setiap pertemuan diantara mereka, ternyata
berkesan pula dihati masing-masing. Bahkan setiap Agung Sedayu melihat
Sekar Mirah bergolak didadanya.
Tetapi Agung Sedayu masih terlalu muda untuk mengenal perasaannya
sendiri. Ia senang bergaul dengan Sekar Mirah dan menjadi bersedih
apabila dilihatnya orang lain berada didekat gadis itu. Apalagi Sidanti.
Namun Sidantipun selalu berusaha untuk tetap mendapat perhatian dari
gadis itu. Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan Sedayu sangat
mengganggu perasaannya.
"Apakah Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya
melampaui orang lain?" pikir Sidanti. "Sayang, aku belum pernah
melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga aku mencobanya. Terhadap
Untara sekalipun, aku tak pernah merasa kagum. Alap-alap Jalatunda bukan
ukuran. Sedang kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya dalam
setiap pertempuranpun tergantung pada banyak persoalan. Tetapi seorang
lawan seorang, aku tak akan gentar"
Demikianlah kemarahan Sidanti itu selalu merayap-rayap didalam dadanya.
Sekali-sekali ia masih dapat menahan arus perasaannya itu, tetapi
kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu lagi. Kadang-kadang dadanya
terasa akan meledak apabila ia melihat Sekar Mirah duduk dihalaman
bersama dengan Agung Sedayu.
Lambat laun, Agung Sedayu merasakan pula sikap yang aneh dari Sidanti.
Karena itu, maka timbullah kecemasan didalam hatinya. Ia sama sekali
tidak akan berani membayangkan, bagaimana seandainya anak muda yang
mampu melawan Tohpati itu nanti marah kepadanya. Maka betapapun
perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya sendiri, untuk tidak
selalu menyakiti hati Sidanti. Tetapi Sekar Mirah tidak melihat
kecemasan yang mencengkam perasaan Agung Sedayu. Karena itu apabila
Agung Sedayu tidak menampakkan dirinya, maka Sekar Mirahlah yang pergi
mencarinya.
Yang tidak kalah peningnya adalah Widura sendiri. Ia melihat persoalan
yang dapat meledak setiap saat. Ia melihat betapa Sidanti sama sekali
tidak menyukai Agung Sedayu. Dan ia melihat Agung Sedayu pasti akan
ketakutan apabila suatu saat Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya
lagi. Dengan demikian, maka Widurapun telah berusaha untuk mencagah
peristiwa-peristiwa yang hanya akan menambah bebannya.
"Sedayu" berkata pamannya kepada kemenakannya itu "Kau harus dapat
memperhitungkan segenap perbuatanmu disini. Setiap langkah akan membawa
akibat. Melangkahlah kalau kau berani menangung setiap akibat yang
terjadi. Kalau tidak, jangan membuat persoalan-persoalan baru yang
bagiku tidak kalah sulitnya dengan laskar Tohpati yang masih saja
berkeliaran disana-sini"
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang timbul
juga niatnya untuk menjadi seorang yang berhati jantan, apapun yag akan
terjadi. Bukankah ia mampu pula menggenggam pedang? Namun kekerdilan
jiwanya telah menjeratnya dalam sifat-sifatnya yang penakut. Sehingga
yang dapat dilakukannya adalah, semakin menyekap dirinya dipringgitan.
Tetapi suatu ketika ia memerlukan juga untuk keluar dari pringgitan itu.
Kebelakang, kepadasan, untuk mengambil air wudlu. Dan
kesempatan-kesempatan yang demikian itulah yang dipergunakan Sekar Mirah
untuk menemuinya.
"Tuan" panggil gadis itu ketika Agung Sedayu berjalan menyusur dinding-dinding dibelakang rumah "Dari manakah tuan?"
"Dari sumur Mirah"
"Ah" jawab gadis itu "Tuan tak usah bersusah payah menimba air. Bukankah
laskar paman Widura itu cukup banyak. Seharusnya tuan tinggal mandi
saja seperti paman tuan itu"
"Tidak baik Mirah. Aku disini sama sekali bukan seorang pemimpin. Bukan
sebagai laskar paman Widura itupun bukan. Aku disini seorang diri"
Sekar Mirah tertawa. Jawabnya "Tuan seorang diri dan paman tuan beserta
laskarnya, manakah yang lebih bernilai bagi kami, penduduk Sangkal
Putung?"
Sedayu tersenyum. Ia selalu mendengar Sekar Mirah memujinya. Dan ia
senang mendengar pujian itu. Namun kali ini adalah sangat
berlebih-lebihan. Maka jawabnya "Jangan memperkecil arti paman Widura
dan laskarnya. Mereka telah berhasil mengusir laskar Tohpati."
"Apakah tuan tidak dapat berbuat demikian?"
"Sendiri tentu tidak" jawab Sedayu. Namun dihatinya terdengar
kata-katanya sambil meneruskan "Apalagi seorang diri. Sepasukanpun tidak
mungkin" namun kata-kata itu disekapnya jauh-jauh disudut dadanya.
Sekar Mirah masih saja tertawa. Bahkan kemudian kata-katanya mengalir seperti banjir. Tak habis-habisnya. Tak putus-putusnya.
"Tidakkah tuan sekali-sekali ingin berjalan-jalan kewarung kembali?" bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeleng. "Lain kali Mirah"
"Oh. Tetapi tidakkah tuan ingin melihat belumbang ayah? Gurame yang
dipelihara oleh kakang Swandaru kini telah sebesar bantal. Barangkali
tuan ingin menangkapnya?"
Agung Sedayu menggeleng kembali. "Lain kali saja Mirah"
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang iapun merasakan bahwa
sikap Agung Sedayu pada saat-saat terakhir menjadi semakin jauh
daripadanya. Karena itu Sekar Mirah menjadi cemas, apakah sikapnya
terlalu menjemukan?
Tetapi pertemuan itu dikejutkan oleh sebuah langkah tergesa-gesa
mendekati mereka. Ketika mereka menoleh betapa dada Agung Sedayu
berguncang. Tanpa diketahuinya sendiri, terasa lututnya menjadi gemetar.
Ternyata yang datang adalah Sidanti.
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas. Disapanya anak muda itu sambil tersenyum "Marilah kakang Sidanti"
Namun wajah Sidanti itu menjadi semakin tegang. Beberapa langkah dari
Agung Sedayu ia berhenti. Ditatapnya wajah anak muda itu dengan
tajamnya. Kemudian kepada Sekar Mirah ia berkata "Mirah, sudah berapa
kali aku memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu rapat dengan anak muda
itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya"
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kini ia berdiri tegang menghadap
Sidanti. Katanya lantang "Sudah berapa kali, aku menjawab apakah hakmu?"
Sidanti tidak senang mendengar jawaban itu. Maka matanya yang bulat itu
seakan-akan memancarkan bara kemarahan. Kepada Agung Sedayu ia berkata
"apakah kepadamu aku harus memberi peringatan?"
Kata-katanya itu tergores didada Agung Sedayu seperti goresan pisau yang
setajam pisau penukur. Namun gelora didadanya yang gemuruh tidak juga
mau berhenti, apalagi ketika dilihatnya mata Sidanti yang menyala itu.
Hatinya menjadi semakin kecut. Namun dicobanya juga berjuang sekuat
tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya untuk bersikap tenang walau
dadanya hampir pecah oleh kecemasan dan kekhawatiran. "Jangan lekas
marah kakang Sidanti" suara Agung Sedayu terdengar bergetar. Namun ia
berhasil mengucapkannya.
"Hem" Sidanti menarik nafas untuk mencoba mengendalikan perasaannya. "Ingat, aku tidak senang melihat pergaulan kalian"
Sedayu tidak segera menjawab. ia masih berjuang untuk tetap menyadari
keadaannya. Tetapi Sekar Mirahlah yang menjawab lantang "Kau tidak
berhak berkata demikian kakang. Aku bebas berbuat apapun dihalaman
rumahku sendiri. Apa keberatanmu?"
Sidanti menggigit bibirnya. Nyala dimatanya menjadi semakin menyala. Dan
ketakutan Sedayupun menjadi semakin mencengkram hatinya. Dengan
ketenangan yang dibuat-buatnya ia berkata "Sudahlah Mirah, biarlah ia
mengatakan apa yang akan dikatakannya"
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan heran. Agung Sedayu sama
sekali tidak menunjukkan kemarahannya, meskipun Sidanti itu bersikap
demikian. Karena itu katanya "Jangan tuan. Jangan biarkan Sidanti
berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku. Halaman ini halamanku"
Sidanti kini terdengar menggeram. Kemarahannya telah sampai
diubun-ubunnya. Namun ia masih berusaha untuk tidak menyakiti hati gadis
itu berlebih-lebihan. Maka karena itulah kemarahannya ditumpahkannya ke
Agung Sedayu. Katanya "Sedayu. Aku dengar kau adalah seorang anak muda
yang sakti. Karena itu marilah kita bersikap jantan"
Hati Agung Sedayu benar-benar telah berkeriput sekecil hati anak ayam
melihat elang. Tetapi dihadapan Sekar Mirah ia masih mencoba menjaga
nilai-nilainya, nilai-nilai yang pernah dikatakannya kepada gadis itu,
meskipun sama sekali hanya sebuah dongengan belaka. Karena itu masih
dengan ketenangan yang dibuat-buat ia menjawab "Sidanti. Apakah
keuntungan kita berbuat demikian?"
"Jangan bicara tentang untung dan rugi" teriak Sidanti.
Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu apalagi yang akan dilakukan.
Sedang Sekar Mirah pun menjadi semakin heran melihat sikap Agung Sedayu.
Kenapa Sidanti itu tidak saja dipukulnya sampai setengah mati?
Suasana kemudian tenggelam dalam ketegangan. Sidanti berdiri dengan kaki
renggang, siap untuk mlancarkan serangan atau bertahan terhadap setiap
kemungkinan. Namun Agung Sedayu masih saja berdiri dalam sikapnya.
Tenang. Ketenangan yang gelisah.
Karena itu Sekar Mirah menjadi semakin tidak mengerti. Betapapun orang
bersabar hati, namun bagi Sekar Mirah sikap Sidanti itu sudah
berlebih-lebihan.
Apalagi ketika kemudian Sedayu berkata terputus-putus "Kakang Sidanti.
Jangan kita memberi contoh kurang baik terhadap laskar paman Widura.
Pertentangan kita sama sekali tidak menguntungkan siapapun juga, selain
laskar Tohpati"
Sidanti kembali menggigit bibirnya. Ia merasakan kebenaran kata-katannya
Sedayu. Karena itu maka ia berdiam diri untuk beberapa saat. Dan
kembali suasana yang tegang itu menjadi diam. Kemudian kediaman itu
dipecahkan oleh sebuah suara nyaring disudut rumah "Siapa yang ribut?"
Dan muncullah seorang anak muda yang gemuk pendek. Swandaru. Ia berhenti
ketika dilihatnya Sidanti dalam kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih
tenang-tenang saja dan adiknya Sekar Mirah.
"Apa yang terjadi Mirah?" bertanya anak itu.
"Kakang Sidanti memaksa aku untuk menuruti kehendaknya" jawabnya.
Sidanti terkejut mendengar jawaban itu. Sedayupun terkejut pula. Dan
terdengar gadis itu meneruskan "Menurut kakang Sidanti, aku tidak boleh
bergaul dengan setiap laki-laki kecuali kakang Sidanti sendiri"
"Mirah" potong Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus "Ia mengancamku. Nah, apakah haknya?"
Swandaru memandang Sidanti dengan tajamnya. Telah lama tertanam
bibit-bibit ketidak-senangannya terhadap anak muda itu. Karena itu ia
berkata acuh tak acuh "Jangan hiraukan Mirah. Anggaplah kata-katanya
seperti angin malam. Gemerisik dan lenyap bersama embun pagi"
Sidanti adalah anak muda yang masih berdarah panas. Kata-katanya itu
benar-benar menyakitkan hatinya. Karena itu tiba-tiba saja ia meloncat
dan menampar mulut Swandaru seperti pernah dilakukannya. Swandaru
terkejut, namun ia tidak mampu untuk menghindar. Terasa sebuah sengatan
yang dahsyat dipipinya sehingga ia tersentak mundur. Namun Swandaru itu
tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia
terbanting jatuh, bersamaan dengan pekik adiknya Sekar Mirah. "Kakang
Swandaru!" teriaknya.
Swandaru berguling beberapa kali. Kemudian dengan susah payah ia duduk.
Dirasakannya kepalanya pening dan ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah
tangannya menjadi merah. Darah.
Sekar Mirah memandang Sidanti seperti memandang hantu. Betapa gadis itu
menjadi marah sehingga mulutnya bergetar. Namun yang dapat diucapkannya
hanyalah "Kau setan, Sidanti"
Pekik Sekar Mirah ternyata didengar oleh beberapa orang yang sedang
terkantuk-kantuk dipendapa. Beberapa orang berlari-larian kebelakang
rumah. Mereka tertegun ketika melihat Swandaru masih duduk ditanah dan
dari mulutnya mengalir darah, diantara mereka berdiri dengan dada yang
bergolak pepmimpin laskar di Sangkal Putung itu. Widura. Dengan tajam
Widura memandang satu demi satu setiap orang yang berdiri dibelakang
rumah itu. Sidanti, Sedayu dan Swandaru. Katanya didalam hati "Celaka.
Swandaru terlibat pula"
Sidanti masih berdiri seperti tonggak. Kaki-kainya yang kokoh
seakan-akan jauh menghunjam kedalam bumi. Dengan wajah yang tegang ia
berdiri menunggu apapun yang akan terjadi. Namun ia sudah terlanjur
mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala akibat yang akan imbul
pasti akan dihadapinya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Widura menggeram "Apakah yang terjadi disini Sidanti?"
Sidanti tidak segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian Sekar Mirah.
Beberapa orang yang berdiri memagari merekapun segera dapat menebak, apa
yang sudah terjadi. Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
menyipitkan matanya, sedang Citra Gati dengan penuh perhatian menatap
wajah Sidanti.
Ketika beberapa saat Sidanti tidak menjawab, maka kembali Widura
bertanya, kali ini kepada Agung Sedayu "Apa yang terjadi Sedayu?"
Agung Sedayu menundukkan wajahnya, mulutnyapun seperti terkunci. Karena
itu Agung Sedayu juga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Yang
terdengar kemudian adalah kata-katanya Swandaru "Yang aku ketahui paman,
mulutku berdarah dan kepalaku serasa hampir terlepas"
Widura berpaling kearah Swandaru yang masih terduduk ditanah "Berdirilah Swandaru" berkata Widura.
Dengan susah- payah anak muda itu berdiri. Beberapa orang berusaha untuk
menolongnya dan menghapus darah yang masih juga meleleh dari mulutnya.
Ketika Swandaru telah berdiri meskipun belum tegak benar, ia mencoba
memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Namun ayahnya tidak
nampak. Meskipun demikian ia berkata terus "Tangan kakang Sidanti
benar-benar seberat timah"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ditatapnya mata
Sidanti, sehingga dengan nanar Sidanti terpaksa melemparkan pandangan
matanya jauh-jauh.
"Kenapa kau sakiti dia Sidanti?"
"Anak itu mendahului kakang" sahut Sidanti
"Ah" Widura berdesah "Benarkah demikian?" katanya kepada Swandaru.
"Hem" Swandaru menarik nafas. "Ada dua orang saksi disini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu"
Sidanti menelan ludahnya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Dan
didengarnya kembali Widura bertanya "Sidanti, apakah sebenarnya yang
terjadi?"
Sidanti kini tidak ingin bersembunyi dibalakang berbagai alasan yang
berbelit-belit. Maka jawabnya dengan dada tengadah "Yang terjadi adalah
persoalan antara aku dan adi Agung Sedayu. Persoalan antara anak-anak
muda. Karena itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan kelaskaran
Pajang di Sangkal Putung"
Jawaban itu benar-benar tak diduga oleh Widura dan oleh siapapun.
Sidanti mencoba meletakkan persoalan ini diluar campur tangan
pihak-pihak lain. Karena itu maka Widurapun menjadi berdebar-debar pula.
Katanya "Aku adalah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku akan
bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang terjadi disini. Apalagi
diantara anak buahku sendiri"
"Tetapi apabila persoalan itu menyangkut persoalan kelaskaran" bantah
Sidanti. "Persoalanku adalah persoalan seorang dengan seorang tanpa ada
sangkut pautnya dengan kepemimpinan kakang disini"
Dahi Widurapun menjadi berkerut karenanya. Perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia adalah seorang pemimpin. Karena
itu ia harus tetap memiliki wibawa atas anak buahnya. Sehingga kemudian
ia bertanya "Lalu apakah kehendakmu?"
"Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sebagai laki-laki" jawabnya.
Jawaban itu sangat mendebarkan hati. Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut
matanya ia memandang wajah pamannya. Namun kemudian wajahnya itupun
ditundukkannya kembali.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata "Ada
hakku untuk berbuat atas kalian. Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku
disini, dan kedua ia adalah keponakanku. Aku melarang dia membuat
keonaran disini"
Terasa sesuatu berdesir didada Agung Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya
berusaha membebaskannya dari pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia
mengangkat wajahnya, namun hanya sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.
Beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Terutama Sekar Mirah sendiri.
Hudaya yang berdiri disamping Citra Gati berbisik "Ah, kakang Widura
terlalu memanjakan Sidanti yang sombong itu, sehingga kemenakannya
sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali Sidanti itu
dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik. Lihatlah betapa
kecewa angger Sedayu mendengar keputusan pamannya. Untunglah ia anak
yang patuh, sehingga keputusan itu betapapun beratnya, agaknya akan
diterimanya juga"
Mulut Citra Gati berkomat-kamit. Dari matanya menancarlah perasaan
muaknya melihat kesombongan Sidanti, sehingga dengan pimpinannyapun ia
telah berani membantah.
Sedang Swandaru dengan wajah yang masam memandang Widura dari ujung kaki
keujung kepalanya. Apakah mulutnya dibiarkan berdarah, dan Sidanti
dibiarkannya begitu saja. Ia memang berharap, Sedayu turun tangan karena
peristiwa itu. Ia mengharap bahwa apabila Sidanti marah, maka Agung
Sedayupun akan marah pula. Namun tiba-tiba pamannya mengambil keputusan
yang tak diharapkan.
Sesaat kemudian mereka dicengkam oleh ketegangan. Bukan saja orang-orang
disekitar Sidanti menjadi kecewa, namun Sidanti sendiri tidak kalah
kecewanya. Sebagai seorang anak muda yang merasa dirinya mumpuni,
Sidanti benar-benar ingin memperlihatkan kemampuannya. Ia yakin, bahwa
betapapun kuatnya Agung Sedayu namun ia pasti akan dapat bertahan.
Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena itu, betapa ia menyesal, namun
ketika ia akan menyatakan sesalnya, didengarnya Widura berkata "Aku
perintahkan kalian kembali kependapa"
Sidanti memandang Widura dengan mata yang gelisah. Katanya "Biarlah aku disini"
"Kau dengar perintahku" ulang Widura.
Sidanti masih berdiri ditempatnya. Beberapa orang yang sudah mulai
bergerakpun tiba-tiba berhenti dan memandang anak muda itu dengan hati
yang tegang.
Ketika Sidanti tidak beranjak dari tempatnya, terdengar kembali Widura berkata "Sidanti, aku perintahkan kau kembali kependapa"
"Aku disini" jawabnya.
Widura pun menjadi marah karenanya. Ia sadar bahwa Sidanti merasa bahwa
kesaktiannya telah bertambah-tambah karena kehadiran gurunya yang
menempanya. Namun Widura adalah pemimpin yang sadar akan kedudukannya.
Karena itu, selangkah ia maju sambil berkata lantang "Sidanti, untuk
terkhir kalinya aku memberikan peringatanku. Kalau tidak, maka aku akan
melakukan kekuasaan yang ada padaku. Tinggalkan tempat ini, dan pergi
kependapa"
Tubuh Sidantipun bergetar karena marah. Ia tahu benar bahwa Widura tidak
lebih dari padanya, sehingga apabila Widura itu menyerangnya, maka ia
tidak yakin bahwa ia tidak akan melawannya. "Setidak-tidaknya aku akan
dapat menyamainya. Bahkan mungkin melampauinya" katanya didalam hatinya.
Namun ketika ia melihat beberapa wajah yang keras dan kasar berdiri
disekitarnya, Hudaya, Citra Gati, Sendawa laki-laki bertubuh raksasa
bermata satu, Sonya yang mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra
bungkik dan beberapa orang lagi. Meskipun Sidanti tidak gentar
berhadapan dengan setiap orang yang berdiri disitu, namun kalau mereka
maju bersama-sama dengan Widura untuk menangkapnya, maka ia pasti akan
mengalami kesulitan. Karena itu ketika terpandang sekali lagi mata
Widura yang menyala, Sidantipun kemudian perlahan-lahan menggerakkan
kakinya. Selangkah demi selangkah, namun perlahan sekali, ia
meninggalkan tempat itu pergi kependapa.
Keteganganpun kemudian mereda. Sekali lagi Widura memandang setiap wajah
yang ada disekitarnya. Kemudian terdengar kembali perintahnya "Kembali
kependapa"
Setiap orang yang berada ditempat itupun kemudian berangsur-angsur
pergi. Terdengarlah gumam yang simpang siur diantara mereka. Sedang yang
tinggal kemudian adalah Sedayu, Sekar Mirah dan swandaru.
Perlahan-lahan Widura meraba pipi swandaru, diamat-amatinya noda yang
merah kebiru-biruan dipipi itu "Tangan anak itu benar-benar luar biasa"
katanya didalam hati.
"Masuklah Swandaru" berkata Widura. "Katakanlah kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku akan minta maaf kepadanya"
Swandaru tersenyum meskipun masam "Kenapa paman minta maaf kepada ayah?"
"Aku menyesal bahwa salah seorang anak buahku, yang seharusnya
melindungi rakyat Sangkal Putung, bahkan telah menyakiti hati mereka.
Bukankah kau pemimpin dari anak-anak muda disini? Karena itu maka aku
harus minta maaf kepada rakyat Sangkal Putung lewat ayahmu" sahut
Widura.
Swandaru mengangguk-angguk. Pipinya masih terasa sakit. Dan sakit itu
tidak akan sembuh hanya oleh permintaan maaf saja. Apalagi sakit
hatinya. Namun meskipun demikian, dihargainya juga sikap Widura yang
jujur itu.
Swandaru dan Sekar Mirahpun kemudian masuk kerumahnya lewat pintu
belakang dengan hati kecewa. Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat
melupakan hinaan yang telah dua kali dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia
menggeram didalam hatinya "Awas Sidanti, suatu ketika aku harus
membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lata, tetapi Swandaru, Swandaru
Geni, adalah sorang anak jantan"
Sedayupun kemudian mengikuti pamannya kepringgitan. Dipringgitan ia
duduk saja sambil menekurkan kepalanya. ketika pamannya kemudian duduk
dihadapannya, hatinya menjadi berdebar-debar.
"Sedayu" berkata pamannya "Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?"
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Apalagi ketika pamannya
itu berkata pula "Bukankah aku pernah memberimu peringatan?"
"Aku sudah mencoba melakukannya paman" sahut Sedayu perlahan-lahan.
"Tetapi apabila aku pergi kesumur atau kebelakang untuk keperluan lain,
kadang-kadang aku masih berjumpa dengan gadis itu"
"Aku tidak keberatan apapun yang kau lakukan Sedayu, asalkan kau dapat
mempertanggung-jawabkannya. Aku berbesar hati melihat ketekunanmu
berlatih hampir setiap malam. Aku berbesar hati melihat
kemajuan-kemajuan yang kau capai. Namun hatimu yang kerdil itu masih
sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan dengan Sidanti. Karena itu Sedayu,
kali ini adalah kali terakhir aku mencampuri persoalanmu. Seterusnya,
kau sudah cukup besar untuk menjaga dirimu sendiri"
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Hampir ia menangis mendengar
kata-kata pamannya. Ia kini telah benar-benar kehilangan pegangan.
Kakaknya masih belum diketemukan, dan pamannya seolah-olah tak mau lagi
melindunginya. "Oh" Sedayu mengeluh didalam hati.
"Sedayu" berkata pamannya "Bagaimanakah kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?"
Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang diri disana "Atau ke Banyu Asri?" kata pamannya pula.
Di Banyu Asri pun keadaannya sama sekali tidak menyenangkan. Orang-orang
Jipang yang berpencaran dapat saja menemukannya di Banyu Asri.
Alap-alap Jalatunda yang berkeliaran itu, misalnya, sebab Alap-alap
Jalatunda itu kini sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti dahulu
lagi, sebelum ia pernah bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang
mengerikan itu.
"Biarlah aku disini paman. Aku berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam"
"Oh" Widura mengeluh. "Terlalu, terlalu" gumamnya. Ia telah benar-benar
menjadi jengkel. Dan karena itu, maka mulutnya malahan terbungkam
karenanya.
Dipendapa Sidanti masih duduk disudut diatas tikar pembaringannya.
Hatinya menyala oleh kemarahan yang memuncak. Tanpa disadarinya,
dibelainya senjatanya yang mengerikan. Beberapa orang yang melihatnya
menjadi berdebar-debar karenanya, dan tanpa sadar pula, mereka
duduk-duduk disamping senjata masing-masing.
Tiba-tiba ketika Sidanti itu melihat Widura melangkah keluar, ia berdiri
pula. diletakkannya senjatanya, dan dengan tergesa-gesa ia menyusulnya.
"Kakang" panggil Sidanti. Widura terkejut, karena itu iapun segera berhenti.
Tampaklah dahi Widura itu berkerut, ketika dilihatnya Sidanti dengan
tergesa-gesa pergi mendapatkannya. Bukan saja Widura yang menjadi
tegang, namun beberapa orang yang melihatnyapun tanpa sesadar mereka,
serentak berdiri tegak ditempat masing-masing.
Sidantipun melihat semuanya itu. Karena itu maka kini dapat
diketahuinya, bagaimana sikap orang-orang dalam lingkungannya kepadanya.
Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak berkecil hati.
Ketika Sidanti sudah berdiri beberapa langkah dihadapannya, Widura bertanya "Apakah ada sesuatu yang penting?"
"Ya kakang" jawab Sidanti. "Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kakang Widura tanpa didengar oleh seorangpun"
"Katakanlah" sahut Widura.
Sidanti beragu sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya beredar kesegala sudut halaman dan pendapa rumah kademangan itu.
"Kalau kau tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar" berkata Widura.
Sidanti menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum itu terasa aneh bagi Widura.
"Kakang" berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura. "Aku ingin mengatakan sesuatu. Tetapi tidak disini."
"Berkatalah sekarang" sahut Widura.
Sidanti menarik nafas. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Ditangga
pendapa ia melihat beberapa orang berdiri berjajar-jajar, dan beberapa
orang diantaranya duduk dengan gelisah. Diregolpun dilihatnya beberapa
orang penjaga dengan tombak ditangan mereka.
"Baiklah kakang" berkata Sidanti "Aku hanya akan minta ijin kakang untuk
menyelesaikan persoalanku dengan Agung Sedayu secara jantan, supaya
persoalan ini tidak berlarut-larut dan menjadi semakin dalam menghunjam
didalam dadaku"
Widura terkejut mendengar permintaan itu. Ternyata Sindanti sama sekali
tidak dapat menekan perasaannya. Karena itu untuk sesaat Widura tidak
segera dapat menjawab. Bahkan Sidanti sempat berkata terus "Aku bersedia
memenuhi syarat apapun yang akan diberikan kepada kami berdua. Tanding
tanpa atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata"
Wajah Widura tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, kemudian
katanya "Tidak. Aku tidak memberimu ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan
aku ijinkan"
Sidanti menjadi kecewa. Namun ia masih berkata terus "Kakang, agaknya
kurang bijaksana. Apakah kakang ingin dendam kami masing-masing membakar
dada kami, sehingga kelak apabila terdapat kesempatan, maka kami akan
bertempur tanpa pengendalian diri? Kini kami masih cukup sadar, bahwa
perkelahian yang akan diadakan ini adalah perkelahian antara kita. Hanya
karena persoalan pribadi. Sehingga dengan demikian kita masih dapat
membatasi diri kita sendiri untuk tidak menghancurkan laskar kita
dihadapan laskar Jipang"
Sekali lagi Widura menggeleng, katanya tegas "Tidak. Perkelahian
diantara kita sama sekali tak akan menguntungkan. Apalagi bagi Agung
Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku tidak mau melihat salah seorang
dalam aliran darahku yang berkelahi karena perempuan"
Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah membara. Kemarahannya kini
menjalar kembali didadanya. Kata-kata Widura itu benar-benar suatu
tamparan baginya.
Dan tiba-tiba pula perasaan yang tersimpan didadanya itu kini terungkat
seluruhnya. Betapa ia memandang Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi
ia merasa benar-benar bahwa persoalan yang kini dihadapinya sama sekali
bukan persoalan kelaskaran, tetapi persoalan pribadi. Karena itu kini
Sidanti tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun demikian ia
masih berkata perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan "Kakang, apakah
sebenarnya kakang sedang melindungi anak itu?"
Dada Widura seakan-akan meledak mendengar pertanyaan itu. Ia sadar,
bahwa Sidanti hanya ingin menghina Agung Sedayu. Namun karena keadaannya
memang demikian, maka Widura hampir-hampir tak dapat menjawab
pertanyaan itu. Meskipun demikian ia berkata "Jangan mengigau Sidanti.
Kalau suatu ketika terjadi perkelahian diantara kalin, maka kalian
berdua akan terpaksa mengalami hukuman"
Sidanti tersenyum. Senyum yang benar-benar menyakitkan hati. Katanya
"Hem, kakang Widura. Sebagai seorang bawahan aku menghormatimu. Namun
sebagai seorang yang mempunyai kebebasan diri dalam persoalanku sendiri
aku tidak dapat menerimanya"
Sekali lagi dada Widura terguncang. Wajahnya menjadi merah pula karena
marah. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan dirinya.
Orang-orang yang melihat percakapan itu dari kejauhan menjadi heran.
Mereka melihat wajah-wajah yang tegang. Namun kadang-kadang mereka
melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Karena itu mereka menebak-nebak apakah yang mereka bicarakan. Apakah
Sidanti sedang minta maaf kepada Widura?
Namun mereka tidak mendengar ketika Widura berkata "Aku mempunyai kekuasaan disini Sidanti"
Sidanti masih tersenyum. Katanya "Kakang Widura ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk keuntungan pribadi"
Dada Widura benar-benar hampir pecah karenanya. Ia harus mempertahankan
kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Maka katanya "Tanpa kekuasaanpun
aku dapat memaksamu Sidanti"
Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba iapun berkata "Kakang, aku ingin berbicara tanpa seorangpun yang melihat"
"Bagus" berkata Widura. Ia benar-benar telah menangkap tantangan itu.
Karena itu ia harus menerimanya apabila ia masih ingin dinamai seorang
pemimpin. Maka katanya seterusnya "Nanti malam kita bisa bertemu tanpa
seorangpun yang melihat pertemuan itu"
Dada Sidantipun bergetar semakin cepat. Ia sudah menjerumuskan diri
kedalam persoalan yang lebih berat. Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat
mengatasi semua persoalan itu.
Maka kemudian Sidanti itupun mengangguk hormat, lalu pergi meninggalkan
Widura yang masih tegak dengan tegangnya. Dilihatnya anak muda yang
terlalu yakin akan dirinya itu, berjalan kependapa, kemudian naik dengan
langkah yang tetap.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya keadaan
disekitarnya. Dilihatnya anak buahnya berdiri berjajar disamping
pendapa, sedang diregol halaman dilihatnya beberapa orang yang sedang
bertugas tegak dengan tombak ditangan.
"Apapun yang terjadi" katanya didalam hati "Mereka harus menganggap aku
sebagai seorang laki-laki yang berani menghadapi setiap keadaan dibawah
kekuasaanku. Kalau aku hindari tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan
kepercayaan, dan aku akan kehilangan kewibawaan"
"Tetapi" terdengar pula suara yang lain "Bagaimanakah kalau aku dapat dikalahkan?"
"Menang atau kalah bukan soal" jawabnya sendiri "Aku harus tetap pada keputusanku, keputusan seorang pimpinan prajurit"
Sesaat kemudian Widura itupun melangkah kembali keregol halaman.
Kemudian kepada para penjaga ia bertanya "Adalah kalian melihat Ki
Demang sudah datang?"
"Belum tuan" jawab salah seorang dari mereka. "Malahan Swandaru juga keluar halaman"
"Kemana?"
"Tak dikatakan kepada kami"
Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Ia ingin menyampaikan sendiri
kabar tentang persoalan antara Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian
minta maaf kepadanya. Kalau Swandaru sendiri yang mengatakannya, maka Ki
Demang akan dapat menjadi salah paham. Apalagi kalau kemudian
kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka akibatnya akan menyulitkannya.
Tetapi disamping itu tantangan Sidanti juga menggelisahkannya. Ia tidak
takut menghadapi apapun, namun sebagai seorang pemimpin ia mempunyai
tanggung jawab yang luas.
Bahkan kemudian Widura itu mengumpat didalam hatinya. "Alangkah bodohnya
Agung Sedayu. Ia telah membuat Sangkal Putung menjadi berantakan
setelah ia berhasil menyelamatkannya. Kalau anak itu bukan saja seorang
pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya"
Ketika Widura melangkah kembali kependapa, terasa seseorang
menggamitnya. Orang itu adalah Citra Gati. Dengan wajah yang
bersungguh-sungguh ia berbisik "Apakah yang dikatakan Sidanti itu
kakang?"
Widura memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum "Tidak apa-apa" jawabnya.
Citra Gati menggeleng. Katanya "Aku melihat sesuatu yang tidak wajar
kakang. Jangan biarkan kami menebak-nebak, supaya kami tidak semakin
muak melihat anak Ki Tambak Wedi yang sombong itu"
"Tenaganya kita perlukan disini" sahut Widura.
Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirasakannya, apa yang
dikatakan Widura itu benar. Namun apakah dengan demikian anak muda itu
wenang untuk berbuat sesuka hatinya? Karena itu ia bertanya "Tetapi
kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin tidak
menyenangkan"
"Aku akan mencoba untuk mengatasinya" jawab Widura
"Mudah-mudahan kakang berhasil" gumam Citra Gati "Kalau perlu, kakang
dapat minta bantuan kami. Bukankah itu juga termasuk kewajiban kami?"
Widura mengerutkan keningnya. Katanya "Jangan. Dengan demikian dendam
diantara kalian akan semakin menyala. Kewajiban kita masih banyak.
Tohpati masih ada dimuka hidung kita. Alap-alap Jalatunda dan Plasa
Ireng yang berkeliaran didaerah Pakuwon dan Karajan. Mungkin masih
banyak lagi orang-orang yang bersembunyi disana-sini. Suatu ketika
mereka akan berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang berat"
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum kepada anak muda yang
bernama Sidanti itu, namun ia membencinya. Meskipun didalam hatinya ia
mengakui, bahwa seorang lawan seorang ia tak akan dapat mengalahkan
Sidanti yang hampir dapat mencapai tataran Macan Kepatihan, namun ia
tidak senang melihat anak itu dibiarkan sesuka hatinya.
"Kakang" tiba-tiba terdengar Citra Gati berkata pula "Kenapa kakang
tidak membiarkan angger Agung Sedayu sekali-sekali mengajarnya untuk
bersopan santun?"
Kembali dada Widura bergetar. Namun jawabnya "Aku benci melihat perkelahian karena perempuan"
"Oh" Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak dapat berkata
apapun lagi. Itu adalah persoalan antara paman dan kemenakannya. Karena
itu maka iapun kemudian kembali kependapa dan duduk disamping Sonya dan
Sendawa.
"Apa katanya kakang Gati?" bertanya Sendawa setelah Citra Gati duduk disampingnya.
"Entahlah. Terasa sesuatu dirahasiakan oleh kakang Widura" jawab Citra Gati.
Sendawa, yang matanya cacat sebelah itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tangannya masih sibuk menggosok-gosok senjatanya, sebuah kelewang yang
besar dan tebal, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar.
Kemudian mereka tenggelam dalam kesenyapan. Angan-angan mereka
masing-masing terbang bersama awan dilangit. Sekali-sekali burung elang
terbang melingkar-lingkar diudara, mencari mangsanya. Namun induk-induk
ayang dengan bulu-bulunya yang tebal, segera menyelimuti anak-anaknya
yang ketakutan.
Widura pun kemudian kembali kepringgitan. Dilihatnya Agung Sedayu duduk
terpekur. Dan tiba-tiba saja timbullah perasaan jemu melihat anak itu.
Namun ia adalah kemenakannya. Dan ia datang untuk keselamatannya. Karena
itu, maka yang dapat dilakukan oleh Widura adalah mengumpat-umpat saja
di dalam hati.
Mataharipun semakin lama semakin condong kebarat. Dan Widura tidak melupakan janjinya. Malam nanti.
Dan akhirnya malam itu datang. Ketika pringgitan itu mulai dinyalakan
lampu, Widura melihat Demang Sangkal Putung masuk kedalamnya.
"Silakan kakang" sambut Widura.
Ki Demang dengan lelahnya duduk disamping Agung Sedayu yang duduk
terpekur. Sejengkal ia menggeser diri, dan terdengar ia berkata lirih
"Marilah bapak Demang"
"Silakan, silakan ngger" jawab demang Sangkal Putung itu. "Ah, aku baru
saja melihat-lihat apakah sawah kita masih sempat ditanami"
"Oh " sahut Widura sambil duduk pula "Bagaimana keadaannya?"
"Baik" jawab ki Demang.
"Aku mencari ki Demang sejak siang tadi" berkata Widura.
"Ya ya. Aku mendengar dari Swandaru. Aku mendengar pula apa yang telah terjadi. Aku menyesal"
"Kami harus minta maaf kepada kakang" berkata Widura.
"Aku juga. Bukankah Sekar Mirah itu anakku? Anak itu memang seharusnya mendapat peringatan"
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali tidak berani ikut serta dalam pembicaraan itu.
Kemudian terdengar Ki Demang meneruskan "Dan itu sudah aku lakukan.
mudah-mudahan hal yang tak diharapkan ini tidak terulang kembali"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah demang Sangkal Putung
itu sudah cukup usianya untuk dapat memandang setiap persoalan dengan
tenang. Karena itu, maka keadaan Widura tidak menjadi bertambah parah
lagi.
"Mudah-mudahan" berkata Widura kemudian. "Mudah-mudahan aku akan berhasil menguasai anak buahku"
Ki Demang tersenyum. Namun kemudian ia berkata "Ah sudahlah, aku ingin bicara masalah lain"
"Apakah itu?" bertanya Widura.
"Aku melihat kejemuan diantara anak-anak kita. Bukankah begitu?"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya" jawabnya. "Terasa benar
kejemuan itu. Dan karena itu pulalah maka sering terjadi hal-hal yang
sama sekali tak diharapkan. Anak-anak itu kadang-kadang membuat hal-hal
yang aneh yang kadang-kadang berbahaya"
"Tepat" sahut ki Demang. "Jangankan anak-anak adi Widura, anak-anak muda
Sangkal Putung yang hidup diatara keluarganyapun menjadi jemu oleh
ketegangan ini. Nah, aku ada pendapat, kalau adi menyetujui"
"Bagaimana?"
Anak-anak muda Sangkal Putung akan mengadakan perlombaan ketangkasan"
"Bagus" sahut Widura dengan serta-merta. "Ketegangan mereka akan tersalur. Biarlah anak-anakku juga mengadakannya"
Ki Demang tersenyum. "Nah, kita tinggal membicarakan kapan dan perlombaan apa?"
"Baik kakang" jawab Widura. "Biarlah nanti anak-anak menentukan sendiri"
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu adalah rencana
yang baik sekali baginya. Tidak saja untuk menyalurkan ketegangan yang
menghimpit mereka terus-menerus, namun juga untuk memberikan
petunjuk-petunjuk bagi anak-anak muda Sangkal Putung untuk lebih maju
dalam olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang demikian akan
dapat memberi mereka kegembiraan.
"Baiklah" berkata ki Demang itu kemudian "Biarlah anak-anak membicarakannya. Kini aku ingin beristirahat"
Ki Demang itupun kemudian berdiri dan berjalan keluar. Widura yang
mengantarkannya sampai kepintu, melihat anak-anaknya sudah berbaring
ditempat masing-masing. Tetapi ketika pandangan matanya hinggap disudut
pendapa, tempat Sidanti, hatinya menjadi berdebar-debar. Tempat itu
ternyata kosong.
"Anak itu belum berada ditempatnya" gumamnya. Namun ia tidak berkata sepatah katapun.
Ketika ki Demang telah turun kehalaman, segera Widura masuk kembali
kepringgitan. Dibenahinya pakaiannya, dikeraskannya ikat pinggangnya dan
kemudian disangkutkannya pedangnya dilambungnya. Ia kini sudah
benar-benar siap, apapun yang akan terjadi atasnya malam nanti dalam
kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung. Ia masih
akan berusaha menguasai Sidanti seorang diri. Janjinya untuk bertemu
Sidanti tanpa diketahui oleh siapapun benar-benar akan dipenuhi.
Demikianlah ketika Widura telah siap benar, berkatalah ia kepada Agung
Sedayu "Kau tinggal dirumah kali ini Sedayu. Aku akan pergi seorang
diri"
Dada Agung Sedayu berdebar-debar. Justru baru siang tadi terjadi
peristiwa yang mengusutkan hatinya. Karena itu ia bertanya "Kenapa aku
tidak ikut serta paman?"
"Tidak apa-apa. Kau tinggal dirumah" Widura tidak menunggu jawaban Agung
Sedayu. Segera ia melangkah keluar. Katanya dalam hati "Biarlah anak
itu aku tunggu diregol halaman"
Demikian Widura meninggalkan pringgitan, demikian hati Agung Sedayu
kembali keriput. Tiba-tiba saja terasa dadanya menjadi sesak oleh
kecemasan yang menghentak-hentak. "Apakah paman sengaja membiarkan
Sidanti membunuhku?" katanya didalam hati. Dan tiba-tiba saja timbullah
keinginan yang aneh "Ah, apabila demikian, biarlah lebih baik aku ikut
saja kepada Kiai Gringsing". Namun kembali timbul ragunya "Jangan-jangan
Kiai Gringsing benar-benar menganggapnya seorang yang sakti. Dengan
demikian pada suatu kali ia harus berhadapan pula dengan seorang lawan
apapun alasannya"
Tiba-tiba Sedayu hampir pingsan ketika didengarnya pintu berderit dan
dilihatnya kepala Sidanti terjulur masuk. Tetapi anak muda itu tidak
meloncat masuk dan memukulnya. Dengan tersenyum ia bertanya "Dimanakah
kakang Widura?"
"Diluar" jawabnya singkat, tetapi terdengar suaranya bergetar.
Tiba-tiba pandangan mata Sidanti itu menjadi aneh. Ditatapnya tiap sudut
ruangan. Dan kembali ia bertanya "Kakang Widura tidak disini?"
Sedayu menggeleng, dan dadanya menjadi semakin bergetar. Sidanti masih
saja menjulurkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia
melangkah masuk. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dengan nyala dendam
dimatanya. Kemudian terdengarlah Sidanti berkata "Sayang, kakang Widura
tidak mengijinkan kita menyelesaikan masalah kita sendiri"
Betapapun dada Sedayu bergetar, namun dengan sekuat tenaga masih
dicobanya untuk tidak berkesan diwajahnya. Dengan tergagap ia menjawab
"Demikianlah"
"Tetapi bukankah kita bisa menempuh jalan lain?" berkata Sidanti pula "Kita tidak usah minta ijin kepada kakang Widura"
Tetapi Sidanti terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara Widura diluar pintu "Sidanti, aku menunggumu disini"
"Oh" sahut Sidanti "Aku sedang mencari kakang"
"Marilah Sidanti, biarkan Sedayu ditempatnya. Jangan mencoba melanggar perintahku"
Sidanti menarik alisnya. Tampaklah wajahnya menjadi tidak senang. Namun
ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar sambil
menggeram "Baik kakang Widura". Tetapi kemarahannya kepada Widura
semakan membakar dadanya.
"Aku akan memenuhi permintaanmu" berkata Widura kemudian.
Sidanti tersenyum "Terima kasih" sahutnya.
"Kita pergi sekarang" Widura meneruskan. "Aku masih akan melihat gardu-gardu peronda lebih dahulu"
Sidanti tidak menjawab. Namun ia melangkah kesudut pendapa. Dari dinding
diatas pembaringannya diraihnya senjatanya yang menyeramkan itu.
Kemudian katanya kepada Widura "Marilah kakang"
Widura tidak menjawab. Langsung ia melangkah menuruni pendapa, sedang
Sidanti berjalan dibelakangnya. Diregol halaman Widura berhenti sejenak.
Kepada salah seorang penjaga ia berkata "Aku akan nganglang kademangan.
Lakukan tugasmu baik-baik"
"Baik tuan" jawab penjaga itu. Namun matanya memancarkan keheranannya.
Biasanya Widura pergi hampir setiap malam dengan Agung Sedayu, namun
kini ia pergi bersama Sidanti.
Mereka mencoba meraba-raba apakah sebabnya. Tetapi tak seorangpun diantara mereka yang berani bertanya.
Sepeninggal Widura dan Sidanti, perlahan-lahan Hudaya berjalan keregol itu pula. Gumamnya "Aneh"
"Apa yang aneh kakang?" bertanya salah seorang penjaga.
"Aku tidak bisa mengerti, apakah sebenarnya yang memukau kakang Widura.
Anak muda yang sombong itu seakan-akan tak pernah berbuat salah
dihadapan kakang Widura. Kalau aku menjadi kakang Widura, aku biarkan
kemenakannya, angger Agung Sedayu sekali-sekali menghajarnya. Namun
agaknya angger Sedayulah yang dianggap bermasalah. Lihat, kini anak yang
sombong itulah yang dibawanya"
"Akupun tak mengerti" sahut Sendawa yang berada ditempat itu pula.
"Siang tadi aku melihat Sidanti bercakap-cakap dihalaman dengan kakang
Widura. Aku tidak tahu, apakah Sidanti itu sedang minta maaf kepada
kakang Widura. Tetapi dengan tidak dibawanya Sedayu kali ini benar-benar
mengherankan. Tetapi aku mempunyai beberapa prasangka"
Semua orang berpaling kepadanya "apakah prasangka itu?" bertanya Hudaya
"Terlalu kabur" jawab Sendawa "Tetapi prasangka yang jelek"
Semua yang mendengar kata-katanya itu menjadi semakin terpaku. Dan
terdengar orang yang bertubuh raksasa itu meneruskan "Kakang Widura
agaknya segan juga terhadap Sidanti"
"Janganlah berkata begitu" sahut salah seorang diataranya. "Bukankah ki
Widura itu telah berkata, menurut kakang Citra Gati, bahwa tenaga
Sidanti itu sangat diperlukan disini? Ialah satu-satunya orang disamping
ki Widura, yang setidak-tidaknya dapat menahan arus kemarahan Macan
Kepatihan diantara kita"
Sendawa terdiam. Namun didalam hatinya, ia membenarkan pula pendapat
itu. Tetapi sikap Sidanti benar-benar telah memuakkan pula. Sedemikian
muaknya sehingga tanpa disengajanya ia bergumam "Anak muda itu
benar-benar anak setan"
"Siapa?" bertanya Hudaya.
"Sidanti, siapa lagi?"
"Kenapa tidak kau tantang saja berkelahi?" bertanya salah seorang sambil tersenyum.
"Tak ada sebabnya" jawab Sendawa
"Gampang. Kalau sekali-sekali kau tangkap gadis anak Ki Demang itu, kau pasti akan berkelahi dengan Sidanti"
"Belum tentu. Aku dapat juga berhadapan dengan ki Demang atau anaknya yang gemuk bulat itu"
"Kau bersetuju dulu dengan mereka"
"Bagus" Sendawa berhenti sebentar "Tetapi aku tidak berani berkelahi melawan anak kecil itu"
Yang mendengar pengakuan itupun tersenyum geli. Sendawa sendiri
tersenyum. namun hatinya mengumpat tak habis-habisnya. Seandainya ia
mampu, maka Sidanti pasti sudah dihajarnya.
Regol halaman itu kemudian menjadi sepi. Hudaya kemudian melangkah
kembali kependapa diikuti oleh Sendawa sambil menyeret kelewangnya yang
besar dan tebal seperti tubuhnya. Hampir semua orang telah tertidur.
Citra Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang Patra dengan nyenyaknya
mendengkur disamping Sonya.
Widura dan Sidanti masih berjalan menyusur jalan-jalan desa, singgah
dari satu gardu kemudian gardu yang lain seperti setiap malam dilakukan
oleh Widura. Namun kali ini nampaknya ia sangat tergesa-gesa. Beberapa
orang pun menjadi heran, hampir tidak pernah mereka melihat Sidanti
meronda bersama Widura. Tetapi seperti orang-orang diregol halaman,
mereka pun tidak bertanya pula. Digardu anak-anak muda Sangkal Putung
Swandaru berdiri bertolak pinggang sambil menguap dimuka pintu. Tetapi
cepat-cepat mulutnya terkatub ketika ia melihat Widura datang kegardu
itu bersama-sama Sidanti. Tetapi Swandarupun tidak bertanya sesuatu.
Hanya matanya sajalah yang memancarkan dendam yang tersimpan dihatinya
terhadap anak muda yang perkasa, murid Kiai Tambak Wedi yang namanya
menakutkan segenap daerah-daerah disekitar gunung Merapi.
Baru setelah semuanya itu selesai, berkatalah Widura "Aku sudah selesai
dengan pekerjaanku Sidanti, sekarang kau mendapat giliran"
Mendengar kata-kata Widura itu, Sidanti pun menjadi berdebar-debar pula.
Meskipun demikian ia menyimpan juga kegembiraan didalam dadanya.
Jawabnya "Baik kakang. Kemana kita akan pergi?"
"Terserah kepadamu" jawab Widura.
"Kita pergi ke tegal" ajak Sidanti.
Widura tidak menjawab. Tetapi ketika mereka sampai disimpang tiga diluar
desa induk Sangkal Putung, Widura membelok kekanan, ke tegal. Sidanti
yang berjalan disampingnya, mencoba untuk menenangkan dirinya. Meskipun
gurunya sendiri telah memberitahukannya, bahwa Widura tidak lebih
daripadanya, namun wibawa orang itu telah menjadikannya gelisah.
Beberapa saat mereka pun sampai kepategalan yang luas. Diantara
tanaman-tanaman buah-buahan, terdapatlah beberapa bagian tanah yang
kosong. Meskipun Widura tidak bertanya sesuatu, namun timbullah dugaan
dalam hati, bahwa didaerah sekitar inilah Sidanti mendapat tempaan dari
gurunya. Bahkan mungkin kali inipun gurunya ada disekitar tempat ini.
Meskipun demikian Widura sama sekali tidak gentar. Sebagai seorang
pemimpin ia akan tetap pada pendiriannya. Apapun yang akan dihadapi.
Dibawah sebatang pohon jambu mete yang besar Sidanti berhenti. Katanya "Kita berhenti disini kakang"
Widura pun berhenti pula. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling.
Dalam keremangan malam, yang dilihatnya hanyalah batang-batang pohon
buah-buahan yang tegak disekitarnya. Batang-batang yang seakan-akan
berwana hitam kelam. Kemudian dengan suara yang berat Widura berkata
"Nah, apakah yang akan kau lakukan Sidanti?"
Dada Sidanti berdesir mendengar pertanyaan itu. Bagaimanapun juga Widura
memiliki cukup pengaruh atas dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia
berusaha melepaskan diri dari pengaruh itu. Maka jawabnya "Aku ingin
minta ijin itu kakang"
"Ijin untuk berkelahi dengan Sedayu?"
"Ya"
"Sudah aku jawab"
Sidanti menarik nafas. Jawabnya "Kakang tidak berhak melarang"
"Sidanti" berkata Widura. Sebagai seorang yang lebih tua maka segera
iapun tahu maksud Sidanti yang sebenarnya. Karena itu ia meneruskan "Kau
tidak usah melingkar-lingkar. Katakan bahwa kau tidak puas dengan
keputusan itu. Namun jangan mimpi aku akan merubah keputusan itu"
"Nah" sahut Sidanti "Sekarang aku tahu, bahwa Sedayu sebenarnya sama
sekali bukan seorang pahlawan. Bukan seorang jantan. Apabila demikian,
ia pasti sudah berbuat sesuatu. Tetapi ia lebih senang bersembunyi
dibalik punggung kakang Widura. Bukankah demikian?"
Widura memandang wajah Sidanti dengan sinar mata yang menyala. Jawabnya "Terserah atas penilaiannmu Sidanti"
"Apakah bukan sebenarnya demikian?"
Widura tidak menjawab. Tetapi ia masih menatap wajah Sidanti dengan
tajamnya. Sehingga kemudian terdengar Sidanti mengulangi "Bukankah
sebenarnya demikian?"
Widura masih tetap berdiam diri. Dan pandangannyapun masih tetap
menghunjam kedalam biji mata Sidanti. Dengan demikian Sidanti menjadi
semakin gelisah. Untuk menutupi kegelisahannya tiba-tiba saja ia berkata
lantang "Kakang Widura, kalau tak kau ijinkan Sedayu bertempur,
siapakah yang akan mewakilinya?"
Widura sudah menyangka bahwa akhirnya Sidanti akan sampai pada saatnya,
menantangnya berkelahi. Widura pun sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia
tidak akan dapat dikalahkannya. Karena itu maka terdengar Widura
menjawab "Sidanti, katakan sajalah apa yang tersimpan didalam dadamu.
Kau tidak puas dengan keputusanku. Sedang kau merasa sebagai orang yang
tak terkalahkan di Sangkal Putung. Sekarang kau sedang mencoba
memaksakan kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku tetap pada pendirianku"
Widura berhenti sejenak kemudian terdengar ia meneruskan "Tetapi, itu
bukan satu-satunya alasan yang ada didalam hatimu. Kau juga ingin
mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan dapat aku kalahkan, sehingga
setiap persoalan aku harus mengingat kepentinganmu. Bahkan tersimpan
pula didalam otakmu, keinginan untuk memegang pimpinan, setidak-tidaknya
apabila aku berhalangan"
"Bohong" potong Sidanti tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula ketika Widura bertanya "Apakah aku salah duga?"
Sidanti menjadi seakan-akan terbungkam. Kegelisahannya kini benar-benar
sangat mengganggunya. Meskipun kemarahannya telah memuncak namun ia
masih berdiri terpaku tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkannya.
Sehingga ia terkejut ketika Widura mendesaknya "Jawab"
"Ya" kata itu meloncat begitu saja dari mulutnya. Namun sesaat kemudian
barulah ia menyadari keadaannya. Menyadari jawaban yang sudah terlanjur
meloncat dari mulutnya. Karena itu Sidanti sudah tidak akan menelannya
kembali. Apalagi ketika ia mendengar Widura berkata "Bagus. Kau memiliki
kejujuran juga. Namun kau seharusnya sudah memperhitungkan jawabannya.
Aku tidak dapat dipaksa oleh siapapun juga. Juga olehmu. Nah, sekarang
apa katamu?"
Kembali Sidanti terdiam untuk sesaat. Namun kemudian dipaksanya juga
dirinya untuk mengambil sikap. Karena itu maka tiba-tiba
ditengadahkannya dadanya sambil berkata "Kakang Widura, kau harus
merubah pendirianmu itu. Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada orang lain
yang dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah yang sudah
menahan kemarahan Macan Kepatihan? Apakah yang kira-kira terjadi
seandainya tidak ada Sidanti?"
"Aku akui kau berjasa kepada Sangkal Putung khususnya. Namun aku tidak
dapat membenarkan, kau berbuat sekehendakmu. Betapapun besarnya jasamu,
namun kau adalah satu diantara kita yang telah menjalin diri dalam
kehidupan bersama untuk kepentingan bersama"
Tiba-tiba mata Sidanti itupun menjadi liar. Kemarahannya kini
benar-benar telah membakar dadanya. Katanya "Aku akan memaksakan
kehendakku"
"Aku sudah menyangka" jawab Widura, "Dan aku sudah siap"
Tetapi Sidanti masih saja berdiri ditempatnya. Hanya bola matanya
sajalah yang seakan-akan meloncat dari kelopaknya. Widura yang sudah
siap itupun menunggu apa saja yang akan dilakukan oleh anak muda yang
sombong itu. Bahkan Widura masih juga berkata "Kalau aku memberimu
kesempatan kali ini Sidanti, maka kesempatan yang serupa akan berulang
dan berulang kembali. Sekali aku membiarkan perintahku dilanggar maka
pelanggaran itupun akan selalu terjadi"
Sidanti benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya. Namun ia masih
berdiri saja, seolah-olah sebuah tonggak yang mati. Sehingga dengan
demikian tegal itupun menjadi sepi. Kesepian yang tegang.
Sesaat kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh bunyi bilalang diatas
dahan-dahan kayu. Dalam kesepian, terdengar suara bilalang itu demikian
kerasnya sehingga Widura menjadi terkejut karena suara itu, namun Widura
terkejut, karena kedewasaannya berpikir sebagai seorang prajurit.
Demikian telinganya mendengar bunyi bilalang itu, demikian Widura
menjadi pasti, Ki Tambak Wedi ada disekitar tempat itu.
Demikian suara bilalang itu berhenti, terdengar Sidanti berkata "Apakah kakang Widura tetap pada pendirianmu?"
Widura tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
"Bagus" berkata Sidanti lantang "Kita lihat, apakah Sidanti tidak berhak menyamai kakang Widura di Sangkal Putung"
"Hak itu hanya dapat kau terima dari panglima tamtama Pajang, Ki Gede Pemanahan" sahut Widura.
"Omong kosong!" bentak Sidanti
Sekali lagi Widura membiarkan anak itu membentak-bentak. Tetapi dalam
pada itu kegelisahan Sidanti pun tidak juga berkurang. Maka kemudian ia
berkata "Sekarang bersiaplah kakang, aku akan memaksakan kehendakku
dengan nilai-nilai seorang jantan"
"Silakan. Meskipun penilaianmu atas kejantanan terlalu kerdil" sahut Widura.
Sidanti sudah tidak dapat berbicara apa-apa lagi. Dengan gemetar ia
berjalan kesebatang pohon perdu, menyangkutkan senjatanya, untuk
kemudian dengan gemetar pula ia putar tubuhnya menghadapi Widura tanpa
senjata ditangan.
Widura heran melihat kelakuan Sidanti. Namun kedewasaannya segera
menolongnya untuk memecahkan teka-teki itu. Sidanti adalah seorang
pelaku. Dibalakangnya berdiri Ki Tambak Wedi. Apa yang dilakukan oleh
Sidanti itu, agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan kali ini gurunya
memerintahkannya untuk berkelahi tanpa senjata.
Widura kemudian melepaskan ikat pinggangnya. Dengan demikian
pedangnyapun terlepas pula. Seperti Sidanti, Widura pun menyangkutkan
pedangnya pula didahan perdu.
Kini mereka berdua telah tegak berhadap-hadapan tanpa senjata. Sidanti
agaknya sudah tidak dapat bersabar lagi. Dengan serta-merta ia berkata
"Aku akan mulai kakang"
Sebelum Widura menjawab Sidanti telah meloncat dengan garangnya. Kedua
tangannya terjulur lurus kedepan mengarah satu keleher Widura dengan ibu
jarinya, sedang yang lain menghantam dada dengan keempat ujung-ujung
jarinya.
Namun Widura tidak sedang tidur. Karena itu, dengan tangkasnya ia
berputar setengah lingkaran sambil merendahkan dirinya. Sehingga
serangan Sidanti itu terbang beberapa jengkal dari tubuhnya. Bahkan
demikian serangan Sidanti itu lewat, segera Widura membalasnya dengan
sebuah serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada lambung Sidanti.
Tetapi Sidanti itu benar-benar tangkas. Meskipun tubuhnya masih
melambung karena tekanan serangannya, ia berhasil menggeliat dan
menghindari serangan Widura.
"Hem" Widura menggeram. Katanya dalam hati "murid Kiai Tambak Wedi ini benar-benar lincah"
Sebenarnyalah Sidanti dapat bergerak selincah burung walet yang
menari-nari diudara pada senja hari diatas pantai. Geraknya cepat dan
cekatan. Sekali-sekali ia mampu menyambar seperti burung elang, namun
kadang-kadang ia menukik seperti merpati jantan.
Tetapi Widura sendiri mirip seekor burung rajawali yang tangguh. Dengan
kedua tangannya yang kokoh kuat, sekuat sayap-sayap rajawali, ia selalu
berhasil melindungi tubuhnya dari sergapan yang tiba-tiba. Bahkan
sepasang kakinya itupun sangat mendebarkan jantung. Dengan
putaran-putaran yang berbahaya kaki Widura itu merupakan sebuah
perlawanan tersendiri disamping gerak tangannya yang cepat cekatan.
Sehingga Widura itu seakan-akan memiliki sepasang otak yang
masing-masing dapat mengatur kaki dan tangan dalam gerak pasangan yang
tersendiri.
Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Sidanti
yang lincah menjadi semakin lincah, dan Widura yang kokoh itupun menjadi
semakin tangguh.
Kini mereka seakan-akan telah luluh dalam satu lingkaran yang
berputar-putar. Bayangan mereka melontar-lontar seakan-akan tak
terjendali lagi. Saling menyerang dan saling melibat dalam
gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan. Tetapi Sidanti dan Widura
tidak menjadi bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan yang
cukup kuat. Meskipun tangan Sidanti yang cepat itu bisa berubah menjadi
berpasang-pasang dan menyerang dari segenap penjuru, namun kaki Widura
itupun seolah-olah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, melontar-lontarkan
tubuhnya dari satu titik ketitik yang lain. Sekali-sekali terjadi
benturan antara keduanya. Namun ternyata bahwa kekuatan mereka pun
berimbang.
Sekali-sekali Widura terdorong surut, namun kali yang lain Sidanti
terlempar beberapa langkah. Kalau mereka dalam kesiagaan yang sama, maka
setiap benturan akan memaksa keduanya surut beberapa langkah mundur.
Ketika peluh telah membasahi tubuh-tubuh mereka, maka perkelahian itupun
menjadi bertambah sengit. Sekali-sekali Sidanti harus merasakan, betapa
wajahnya menjadi panas oleh sengatan tangan Widura yang berat dan
mantap. Sekali ia terdorong surut, dan sebelum ia berhasil memperbaiki
keseimbangannya, tangan Widura telah menyusulnya. Kembali wajah Sidanti
terangkat. Namun ketika sekali lagi tangan Widura menyambar wajah itu,
Sidanti berhasil mengelakkannya.
Kali ini, Widura sendiri terseret oleh tenaga tangannya sehingga
hampir-hampir saja ia tidak mampu melepaskan diri dari serangan Sidanti
yang tiba-tiba. Untunglah kemampuan Widura cukup tinggi, sehingga ketika
sebuah pukulan mengarah kepelipisnya, Widura sempat merendahkan
dirinya. Tetapi ternyata Sidantipun cukup lincah. Ketika disadarinya
bahwa serangan tak menyentuh tubuh Widura, cepat-cepat ia menggerakkan
kakinya langsung menyerang dada. Widura yang sedang merendahkan dirinya
itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak, yang dapat dilakukannya adalah,
memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi telapak tangannya.
Benturan kekuatan itupun telah mendorong mereka masing-masing beberapa
langkah surut. Dan sesaat kemudian mereka telah berloncatan kembali,
saling menyerang dan saling bertahan.
Sidanti yang lebih muda dari lawannya memiliki nafsu dan tenaga yang
lebih baik dari lawannya, namun Widura memiliki ketenangan dan
pengalaman melampaui Sidanti . Karena itu , maka dengan pengalamannya
itu, Widura selalu dapat menempatkan dirinya, sehingga meskipun Sidanti
lebih banyak menyerangnya, namun keadaan Widura tidak mencemaskan.
Yang menjadi cemas kemudian adalah Sidanti . Menurut gurunya, Widura itu
pasti akan dapat dikalahkan setelah ia mendapat tempaan yang khusus
untuk kepentingan itu. Namun ternyata setelah ia berkelahi beberapa
lama, Widura itu masih dapat melawannya dengan baik, sebaik pada saat
mereka baru mulai. Meskipun Sidanti yakin, bahwa Widura itupun tak akan
dapat memenangkan perkelahian itu, tetapi ia menjadi gelisah, apabila ia
tak pula dapat menang daripadanya.
Bahkan Widura sendiri kadang-kadang menjadi kagum pada geraknya sendiri.
Tiba-tiba saja ia berhasil melepaskan serangan yang seolah-olah dengan
sendirinya meluncur dari kedua tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang
yang cukup mempunyai pengalaman dalam pertempuran bersama dan
seorang-seorang, maka Widura merasakan, bahwa ada sisipan ilmu pada
ilmunya yang telah dimilikinya dari kakak iparnya, Ki Sadewa. Namun ilmu
itu terasa sama sekali tidak mengganggunya, bahkan terasa keserasian
dan nafas yang sama pula dengan ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada
seorang aneh yang selalu datang melihat latihan-latihan Agung Sedayu di
gunung Gowok. Orang yang memakai ciri kain gringsing dan juga menamakan
dirinya Kiai Gringsing.
"Hem" gumam Widura dalam hati. "Agaknya ilmu orang aneh itupun telah
menyusup masuk kedalam perbendaharaan ilmu yang telah aku miliki. Dan
ternyata sikapnya yang aneh-aneh itu menolong aku pula kali ini"
Dan teringatlah oeh Widura kata-katanya orang bertopeng itu "Sidantipun selalu melatih diri bersama gurunya"
Tangkapannya atas kata-kata itu ternyata benar. Pada suatu saat ia harus
bertempur melawan anak muda yang sombong itu. Dan hal itu kini telah
terjadi.
Demikianlah dengan nafsu yang bergejolak didalam dadanya, Sidanti
berusaha untuk dapat mengalahkan Widura, dan memaksakan
kehendak-kehendaknya atas pimpinannya itu. Tidak saja dalam persoalannya
dengan Agung Sedayu, tetapi jauh dari itu. Ia ingin memaksakan
kehendaknya dalam setiap persoalan.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera dapat menundukkann Widura.
Betapapun ia telah berjuang. Diperasnya segenap kemampuan yang telah
diterimanya dari gurunya, namun Widura itu masih saja dengan gigihnya
melakukan perlawanan. Tetapi, baik Sidanti sendiri maupun Ki Tambak
Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa hampir setiap malam,
seperti juga Sidanti yang mendapat tempaan terus-menerus, Widura pun
selalu berkelahi melawan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai
Gringsing. Bahkan orang aneh itu berkelahi tidak saja dengan tangan dan
kakinya, tetapi dengan mulutnya juga. Orang itu ternyata sempat melihat
kekurangan Widura dan bahkan kesalahan-kesalahan kecil sekalipun.
Perkelahian yang sengit itu masih berlangsung lama. Mereka sudah hampir
menumpahkan segenap tenaga mereka. Karena itu maka tenaga masing-masing
semakin lama menjadi semakin susut. Bintang-bintang dilangit telah
melampaui pertengahannya. Karena itulah maka Sidanti menjadi semakin
gelisah karenanya. Kalau ia gagal mengalahkan Widura, maka nasibnya
bukan menjadi bertambah baik, tetapi Widura pasti akan semakin bersikap
keras kepadanya.
Tiba-tiba Sidanti dan Widura kembali mendengar suara bilalang. Seperti
suara yang semula mereka dengar. Karena itu Widura pun menjadi semakin
berwaspada. Ia yakin, bahwa suara itu adalah suatu aba-aba yang harus
dilakukan oleh Sidanti .
Ternyata dugaan Widura itupun benar. Demikian Sidanti mendengar suara
bilalang itu, tiba-tiba saja ia meloncat surut. Kemudian sambil berdiri
tegak diatas kedua kakinya yang kokoh, ia berkata lantang "Kakang,
perkelahian kita tidak akan ada akhirnya"
Widura tidak segera menyerangnya. Iapun kemudian berdiri beberapa
langkah dari Sidanti , katanya "Apakah yang kau inginkan kemudian?"
"Bukankah kita membawa senjata masing-masing?"
Widura menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah anak muda itu dengan
seksama. Namun dalam malam yang kelam itu tak dilihatnya kesan apapun
pada wajah itu, selain kesan kemarahan yang membakar jantung Sidanti.
Dalam pada itu terdengar Widura berkata "Apakah kau menyadari
perkataanmu itu Sidanti?"
"Tentu" jawab Sidanti "Bukankah maksud kakang Widura mengatakan, bahwa
dengan senjata-senjata itu, dada kita masing-masing akan mungkin
terbelah karenanya?"
"Ya"
"Aku menyadari kemungkinan itu. Namun bukan maksudku membunuh kakang
Widura. Kalau kakang bersedia memenuhi setiap permintaanku, baik dalam
hubunganku dengan Sedayu, maupun kedudukanku di Sangkal Putung dan
seterusnya sebagai prajurit Pajang, maka aku tak akan menyentuh
senjataku dalam perkelahian ini"
Sekali lagi Widura menarik nafas dalam-dalam. Yang terloncat dari
mulutnya adalah "Sidanti, aku telah siap mempertahankan keputusanku"
"Bagus" teriak Sidanti sambil meloncat meraih pusakanya. Sesaat Widura
masih tegak ditempatnya. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah
menggenggam senjatanya, maka perlahan-lahan Widura itupun berjalan
mengambil senjatanya. Pedang yang tidak begitu tajam, namun ujungnya
runcing melampaui ujung jarum.
"Kita akan bertempur sebagai laki-laki, kakang" berkata Sidanti .
"Tentu" sahut Widura.
"Kita tidak ingin saling membunuh, namun siapa yang mula-mula mengalirkan darah dari lukanya, ialah yang kalah"
"Bagus" sahut Widura.
"Yang kalah harus tunduk pada setiap keputusan dari yang menang"
Tiba-tiba Widura menggeleng "Tidak" katanya segera. "Kekalahan kita
masing-masing disini tidak mempengaruhi kedudukan kita. Akulah pimpinan
laskar Pajang di Sangkal Putung"
Dada Sidanti serasa menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia berteriak "Lalu apakah gunanya kita bertempur disini?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya memenuhi permintaanmu. Sebab bagaimanapun,
kau tidak akan dapat mempersoalkan atas Sangkal Putung dan kekuasaan
yang ada ditanganku. Aku akan mengambil keputusan menurut keyakinanku,
menurut kebenaran yang aku yakini. Tidak dapat seorangpun yang akan
mempengaruhi keputusan itu"
"Gila. Apakah kau sangka aku tidak dapat membunuhmu kakang" teriak Sidanti pula.
"Kalau aku mati, maka aku akan mati sebagai seorang pemimpin yang
bertanggung jawab. Bukan sebagai kelinci yang sedang melarikan diri dari
terkaman anjing hutan"
Tubuh Sidanti tiba-tiba bergetar karena kemarahannya. Matanya yang bulat
itu sesaat menjadi redup. Kemudian ditariknya keningnya kesisi, namun
kemudian meledaklah kata-katanya "Apakah kau ingin kita bertempur sampai
mati?"
"Tidak" sahut Widura. "Aku tidak mempunyai keinginan untuk berkelahi
dengan kekuatan dalam lingkunganku sendiri. Apalagi sampai mati. Tetapi
aku juga tidak ingin melihat kewibawaanku dikurangi. Sebab aku
bertanggung jawab kepada panglima Tamtama di Pajang. Tidak kepadamu dan
tidak kepada Agung Sedayu. Sedang panglima di Pajang itu menyalurkan
perintah adipati Pajang yang sedang menegakkan kewibawaan Demak. Nah,
kewibawaanku adalah sebagian dari kewibawaan adipati pajang itu"
"Persetan" potong Sidanti hampir hangus dibakar kemarahannya "Bersiaplah"
Widura kini benar-benar tak dapat menghindarkan diri dari perkelahian
bersenjata. Tiba-tiba saja Sidanti telah meloncat menyerang dengan
garangnya. Senjatanya yang tajam diujung dan pangkalnya itu berputar
seperti baling-baling, kemudian melontar seperti jarum pemintalan.
Sekali-sekali menyambar dengan ujungnya namun kemudian mematuk dengan
pangkalnya.
Widura menggigit bibirnya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat
menghindari serangan itu. Pedangnyapun kemudian bergerak-gerak datar,
kadang-kadang menyilang dan tiba-tiba saja terjulur lurus kedada
lawannya.
Kali inipun Sidanti merasakan, bahwa olah pedang Widura itu cukup mampu
untuk melawan senjatanya. Namun ia masih akan mencoba menggunakan
kelincahannya dan kecepatannya untuk menembus dinding baja dari putaran
pedang lawannya.
Perkelahian diantara keduanya kini menjadi bertambah mengerikan. Senjata
Sidanti benar-benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap sentuhan
dari tajam diujung dan pangkal senjata itu akan menyobek tubuh lawam.
Tetapi pedang Widura itupun setiap saat dapat membelah dada lawannya.
Dengan kekuatan yang mengagumkan pedang itu menyambar-nyambar seoerti
alap-alap diudara.
Tetapi perkelahian inipun tak akan berujung pangkal. Karena kepandaian
mereka mempergunakan senjata masing-masing. Maka yang terjadi hanyalah
benturan-benturan diantara senjata mereka. Demikian besar kekuatan
mereka berdua, maka dalam setiap sentuhan diantara senjata-senjata itu,
terperciklah bunga api yang seakan-akan berloncatan dari kedua senjata
itu.
Sidantipun telah berjuang memeras segenap ilmunya, dan Widura pun tak
kalah sengitnya mempergunakan segenap tenaganya. Demikian dahsyatnya
perkelahian itu, sehingga seakan-akan tenaga merekapun segera terhisap
habis. Baik Sidanti maupun Widura telah mempergunakan pula setiap tenaga
cadangan didalam tubuh mereka. Kekuatan-kekuatan yang dilambari dengan
ketekunan latihan-latihan dimasa-masa lampau telah mereka kerahkan.
Namun keadan mereka maih tetap berimbang. Bahkan setelah tenaga mereka
semakin susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari yang lain.
Kini serangan-serangan mereka sudah tidak secermat pada saa mereka
mulai. Kadang-kadang mereka terseret beberapa langkah karena tarikan
senjata mereka sendiri. Namun dalam saat yang demikian, lawannyapun
tidak segera sempat menyerang. Dengan lemahnya, mereka terpaksa
melangkah terhuyung-huyung maju.
Bahkan kadang-kadang, karena sentuhan batu-batu kecil pada kaki mereka, mereka telah kehilangan keseimbangan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi aneh. Ketika Sidanti mencoba
menembus pertahanan Widura dengan sebuah tusukan pada lambungnya, maka
Widura pun berusaha untuk menghindarinya. Ketika ia meloncat kesamping,
tiba-tiba kakinya terperosok oleh lubang-lubang yang telah terjadi
selama perkelahian itu. Widura yang kelelahan itupun tidak dapat menahan
diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Sidanti ingin
mempergunakan kesempatan itu, tetapi ketika serangannya gagal, bahkan ia
terseret beberapa langkah oleh senjatanya. Dalam keadaan yang demikian,
masing-masing ingin mencoba mempergunakan kelemahan-kelemahan lawannya,
namun mereka sendiri seakan-akan telah tidak mampu lagi menggerakkan
tangan dan kaki mereka. Sehingga dengan demikian, tidak ada keseimbangan
antara kehendak dan perhitungan mereka dalam tata perkelahian itu,
dengan tenaga-tenaga mereka yang seakan-akan telah terperas habis. Namun
tak seorangpun diatara mereka yang mendahului mengakhiri perkelahian
yang aneh itu.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam, dan bintang-bintangpun menjadi
semakin bergeser kebarat. Langit yang biru gelap tersaput leoh mega
yang selembar-selembar mengalir dihanyutkan oleh angin yang lembut.
Namun yang berkelahi masih berkelahi juga. Tetapi perkelahian itu kini
sama sekali sudah tidak berbahaya lagi bagi kedua belah pihak. Meskipun
sekali-sekali Sidanti masih menusukkan senjatanya, namun senjata itu tak
akan sampai menyentuh tubh lawannya. Sedang apabila Widura mencoba
mengayunkan pedangnya dengan kedua tangannya, maka ia sendirilah yang
akan terpelanting jatuh.
Nafas mereka berdua kini satu-satu tersangkut didalam kerongkongan.
Peluh mereka mengalir seperti mereka sedang bertempur didalam hujan yang
pekat. Bahkan apabila sekali-sekali terjadi juga benturan diantara
senjata-senjata mereka, maka mereka berdua itupun terdorong surut dn
kemudian terbanting jatuh ditanah. Dengan susah payah mereka berebut
dahulu untuk bangkit, dan apabila mungkin menyerang sebelum lawannya
menguasai diri sepenuhnya. Namun usaha itu tak akan pernah berhasil.
Sebab lutut-lutut mereka seakan-akan sudah tidak berpaut lagi.
Meskipun tenaganya sudah hampir habis terperas, namun Sidanti masih
mengumpat-umpat dalam hati. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Widura mampu
melawan dengan baiknya. Pada saat mereka berdua bertempur melawan
Tohpati berganti-ganti, Widura itu ternyata tidak lebih baik
daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan yang padat dari gurunya, dan
bahkan gurunya itupun berkata, bahwa ilmunya pasti akan lebih baik
meskipun hanya selapis tipin dari Widura. Namun ternyata kini, bahwa
ilmunya benar-benar tidak melampaui ilmu Widura itu sendiri. Apakah
tempaan selama ini, dihampir setiap malam dengan ilmu-ilmu gurunya yang
hampir sempurna itu sama sekali tak berpengaruh atasnya?
Sedang Widura pun benar-benar kagum kepada anak muda murid Kiai Tambak
Wedi itu. Namun didalam lekuk-lekuk hatinya, terasa juga bahwa ia sedang
mengagumi dirinya sendiri. Ternyata bahwa merah biru diwajah-wajah
kulitnya, hampir setiap malam apabila ia berkelahi melawan Kiai
Gringsing yang memegang cemetinya ditengah-tengah itu ada juga
manfaatnya baginya. Kini ia benar-benar menghadapi senjata Sidanti bukan
sekedar cemeti kuda. Apabila senjata yang mengerikan itu benar-benar
dapat menyentuhnya, maka akibatnya tidak saja sekedar merah biru
diwajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang pedih akan menganga.
Karena itu pun Widura bersyukur dalam hati. Siapakah sebenarnya orang
aneh yang menamakan dri Kiai Gringsing itu?
Tetapi Widura tidak sempat berangan-angan. Kini mereka berdua
berhadap-hadapan dengan tubuh gemetar. Bukan karena marah yang membakar
dada mereka, namun karena tenaga nr telah terkuras habis.
Sidanti yang dengan susah payah masih mencoba tegak diatas kedua
kakinya, menggeram dengan suara parau yang gemetar. Katanya "Mampus kau
kakang Widura"
Keadaan Widura pun tidak lebih naik dari keadaan Sidanti . namun
otaknyalah yan glebih baik. Meskipun nafasnya telah hampir putus
ditenggorokan, namun ia berkata diantara engah nafasnya "Sidanti, apakah
hasil yang kita dapatkan dari perkelahian ini?"
Terdengar Sidanti menggeram. Matanya msih menyalakan kemarahannya yang
meluap-luap. Bahkan ia menjadi semakin marah, ketika ia menyadari
keadaannya. Ternyata Widura tak dapat ditundukkannya. Apalagi ketika ia
mendengar pertanyaan Widura itu. Namun sesaat kemudian pertanyaan itu
benar-benar membingungkannya. "Ya, apakah yang sudah didapatnya dari
perkelahian itu?"
Namun yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah makian yang kasar.
"Setan. Bukankah dengan demikian kau tahu bahwa kau bukan orang yang
aneh di Sangkal Putung. Bahwa Widura pun manusia juga yang tidak lebih
dari Sidanti?"
"Tentu" sahut Widura. "Apakah aku pernah berkata bahwa aku keturunan malaikat?"
"Tetapi kau merasa, seakan-akan dirimu tak terkena salah. Semua orang harus tunduk atas kehendakmu"
"Itu bukan karena aku Widura. Tetapi itu karena wewenang yang aku terima"
"Omong kosong" bentak Sidanti, "Sejak sekarang kau harus merubah sikap itu"
Widura menggeleng "Tidak" jawabnya tegas.
Dada Sidanti benar-benar akan meledak karenanya. Namun ketika ia ingin
menyerang lawannya kembali, ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia
mencoba untuk menemukan keseimbangannya kembali. "Gila" anak itu
mengumpat lagi. Tetapi kali ini tak ditujukannya kepada siapapun.
Sedang Widura masih tegak ditempatnya. Namun seandainya sebuah angin
kencang menyentuhnya maka Widura itupun pasti akan roboh. Karena itu, ia
tidak ingin berbuat sesuatu. Otaknya yang telah dipenuhi dengan
berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata masih tetap baik, betapapun
tenaganya telah terhisap oleh embun malam. Kini ia yakin bahwa Sidanti
itu sama sekali sudah tak berdaya seperti dirinya sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba mereka berdua terkejut. Namun Sidanti hanya
sesaat. Tetapi Widuralah kemudian teruncang dadanya. Meskipun telah
disangkanya lebih dahulu, namun kehadiran yang tiba-tiba diantara
mereka, benar-benar mengejutkan. Dan dengan wajah cerah Sidanti berkata
kepada orang yang baru datang itu "Selamat datang guru"
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang panjang
runcing serta sepasang matanya yang tajam, setajam mata burung hantu
merupakan pertanda, bahwa Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang tidak
dapat mengenal puas atas segenap usaha yang pernah dicapainya.
Widura pun kemudian mengangguk pula. Seperti Sidanti, iapun mencoba memberi salam kepada orang sakti itu "Selamat datang Kiai"
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Widura
dengan tajamnya, seperti akan ditelannya hidup-hidup. Kemudian sambil
mengangguk kecil ia menjawab "Hem, selamat Widura"
Widura pun mencoba untuk mengenal wajah orang yang namanya terkenal
didaerah sebelah timur gunung Merapi itu. Semakin jelas ia mengenal
wajah itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Diantara sepasang
matanya yang tajam itu, tampaklah hidung Kiai Tambak Wedi besar dan
melengkung seperti paruh burung. Sayang, malam yang pekat itu tak
memberi kesempatan kepada Widura untuk melihat setiap garis yang
tergores diwajah itu.
"Widura" berkata Kiai Tambak Wedi itu kemudian. Suaranya besat dan
seakan-akan bergetar saja didalam dadanya "Ternyata kau mampu menyamai
muridku"
Widura mangguk kecil. Jawabnya "Aku hanya mecoba melayani adi Sidanti bermain-main Kiai"
"Jangan sombong" sahut Kiai Tambak Wedi. "Meskipun kau berhasil
mempertahankan namamu, tapi jangan berkeras kepala. Aku tidak senang
melihat sikapmu"
Widura tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mencoba menatap wajah Kiai
Tambak Wedi yang sedemikian saktinya, sehingga orang mengatakan bahwa ia
mampu menangkap angin.
"Widura" berkata Kiai Tambak Wedi kemudian. "Aku heran, bahwa kau mampu
bertempur dalam tataranmu sekarang. Aku sangka kau tidak akan dapat
menyamai muridku. Namun agaknya ilmumupun bertambah. Aku sangka, setelah
Sidanti menambah ilmunya akhir-akhir ini kau akan menjadi ketinggalan
karenanya"
Kali inipun Widura tidak menjawab. Ia masih tegak seperti patung. Patung
yang kurang seimbang, sehingga setiap sentuhan akan dapat
merobohkannya.
"Tetapi" berkata Kiai Tambak Wedi itu pula, "Sangkaanku itu keliru" Kiai
Tambak Wedi diam untuk sesaat. Kemudian katanya "Meskipun demikian itu
bukan berarti bahwa setiap tuntutan Sidanti sudah dilepaskan"
Widura menjadi semakin berdebar-debar. Guru Sidanti itu kini ternyata
telah secara langsung turut dalam setiap persoalan di Sangkal Putung.
Meskipun demikian dibiarkannya Kiai Tambak Wedi itu berkata "Widura,
sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalanmu sebagai pimpinana
laskar Pajan di Sangkal Putung. Apabila kau tidak berbuat banyak
kesalahan. Aku bermaksud membiarkan Sidanti melakukannya sendiri, tetapi
ternyata karena Sidanti tak dapat mengalahkanmu, maka kau pasti masih
akan berkeras kepala. Kini biarlah aku meneruskan permintaan Sidanti
itu. Terus terang, tanpa berbelit-belit . Widura, kau harus
menyingkirkan Agung Sedayu. Kedua, setiap kau berhalangan maka Sidanti
lah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Kemudian kau harus
menyampaikan kemenangan Sidanti atas Tohpati. Seterusnya kau harus
mengusulkan kepada atasanmu, panglima wiratamtama. Untuk kedudukan yang
lebih baik bagi Sidanti, ingat, masa depan Sidanti harus berbeda dari
masa depanmu. Kau sudah puas dengan kedudukanmu sekarang. Tetapi Sidanti
tidak. Sidanti melihat jauh kemasa depan. Dengarlah Widura, bukankah
dengan menyingkirkan Jipang, maka adipati Pajang sekarang ini, adalah
pewaris satu-satunya kerajaan Demak. Aku kira sultan Cirebon, manantu
Trenggana pula, tidak akan mempunyai tuntutan apa-apa. nah, apa pula
yang kelak akan terjadi dengan janji tanah Mentaok dan Pati bagi mereka
yang dapat membunuh adipati Jipang? Bukankah dengan demikian hari depan
Pajang sendiri masih akan berbelit-belit. Dalam keadaan yang demikian
Sidanti harus tampil kedepan. Kau dengar? Kalau kemudian Sidanti telah
menemukan kedudukan yang pantas baginya, kau adalah salah seorang dari
panglimanya. Begitu?"
Widura masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menjadi muak mendengar
semua kata-katanya Kiai Tambak Wedi. Tetapi ia harus menjaga dirinya.
Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang sakti. Bahkan ia terkejut ketika
Kiai Tambak Wedi itu berkata "Kau adalah anak tangga yang pertama bagi
Sidanti , Widura. Bagaimana?"
Tiba-tiba Widura itupun menggeleng. Kini ia menjawab dengan ketegasan
yang sama seperti jawabannya kepada Sidanti. "Sayang Kiai, aku tidak
dapat memberikan apa-apa kepada Sidanti"
Kiai Tambak Wedi menarik alisnya. Kemudian ia tersenyum. Katanya "Jangan
berkeras kepala Widura. Ingat, nasibmu akan dapat menjadi kurang baik"
Sekali lagi Widura menggeleng. "Kiai, mungkin aku dapat menjanjikannya
disini karena aku takut kepada Kiai. Namun aku tidak akan dapat
melaksanakannya kelak. Bukankah dengan demikian aku sekedar menipu Kiai.
Karena itu lebih baik berkata terus terang"
Sidanti yang mendengar percakapan itupun, wajahnya menjadi semakin
membara. Bahkan kemudian ia menggeram "Bukankah guru dapat memaksanya?"
"Tentu Sidanti" sahut Kiai Tambak Wedi. "Aku akan bisa memaksanya.
Menangkapnya sekarang dan mengikatnya dibatang jambu mete ini. Kemudian
dengan kukuku ini aku dapat menggores kulitnya sehingga terkelupas.
Tetapi Widura tidak akan membiarkannya aku berbuat demikian, bukankah
begitu?"
Dada Widura pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun demikian ia
menjawab "Benar Kiai, aku mengharap Kiai tidak akan berbuat demikian.
Tetapi permintaan Kiai itupun tak akan dapat aku penuhi"
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya
"Jangan begitu Widura. Nasibmu, hidup matimu kini ada ditanganku"
"Terserahlah kepada Kiai"
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar tidak
menyenangkan. Katanya "Widura, jangan membuat aku marah. Aku bisa
membunuhmu sekarang"
"Terserah kepada Kiai. Aku harus tetap pada perintahku. Hidup atau mati
adalah akibat yang sudah aku ketahui sejak aku masuk menjadi seorang
prajurit. Adalah sudah seharusnya aku mati sambil menggenggam kewajiban.
Bukan mengingkari"Kiai Tambak Wedi, seorang yang sudah kenyang
mengenyam pahit manisnya kehidupan itu, mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengar jawaban Widura. Ia kagum pada kejantanannya. Kagum pada
tanggung-jawabnya. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak senang
mendengar jawaban itu. Dengan demikian seakan-akan Widura itu sama
sekali tidak takut kepadanya. Ia ingin agar setiap orang menjadi gemetar
dan menggigil ketakutan mendengar namanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar