MAHISA AGNI PUN KEMUDIAN membenahi diri. Mencuci muka di
sumur di belakang rumah. Memperbaiki letak pakaiannya dan kemudian
bersama-sama dengan orang tua yang ramah itu, duduk di atas tikar
anyaman menghadapi air jahe hangat dan sebongkah gula kelapa.
"Minumlah Ngger," orang tua itu mempersilakan, namun ia sendiri tidak
mau minum. Lehernya yang telah berkeriput itu seakan-akan telah
tersumbat. Meskipun demikian, Mahisa Agni minum juga beberapa teguk.
Alangkah segarnya.
"Sebentar lagi kita harus pergi memenuhi permintaan anak setan itu.
Istriku sedang menjemput gadisnya di rumah sebelah. Mudah-mudahan kita
dijauhkan dari malapetaka yang lebih besar. Biarlah aku serahkan timang
itu, asal anakku itu tidak diganggunya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Alangkah sedihnya orang tua itu.
Sesaat kemudian istrinya yang telah tua pula itu pun datang bersama anak
perempuan beserta suaminya. Sekilas Agni segera dapat melihat air mata
yang membasahi mata yang jernih bulat itu. Sedang suaminya, tidak lebih
seorang petani biasa. Bertubuh kecil dan berhati kecil. Sehingga dengan
gemetar ia bertanya, "Apakah yang akan dilakukan oleh Pasik, Kiai."
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu. Mudah-mudahan tak akan dilakukan sesuatu."
"Aku telah membawa semua perhiasan dan kekayaan yang aku miliki. Mudah-mudahan istriku tidak diganggunya."
Orang tua itu tidak menyahut. Namun istrinya menangis terisak-isak,
sehingga anaknya menangis pula. Katanya, "Biarlah aku tinggal di rumah. "
Ayahnya menarik nafas. Tak sepatah kata pun dapat diucapkan, sehingga
anaknya itu berkata pula, "Ayah, aku lebih baik mati daripada
disentuhnya.
Ayahnya masih terbungkam. Dan bahkan matanya pun menjadi basah pula.
Mahisa Agni benar-benar tak dapat menahan perasaan harunya. Karena itu
tiba-tiba ia berkata, "Biarlah anak bapa tinggal di rumah bersama
suaminya."
Yang mendengar kata-kata Mahisa Agni itu terkejut. Orang tua itu
berpaling kepadanya sambil berkata, "Aku tidak dapat membayangkan
akibatnya."
"Mudah-mudahan Pasik melupakannya setelah ia melihat timang bapa dan kerisku ini," jawab Agni.
Orang tua itu berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, "Hampir tak
ada gunanya, Ngger. Ia tidak dapat melihat keinginannya
sepotong-sepotong terpenuhi. Ia ingin semuanya."
"Tetapi apakah anak bapa itu juga terpaksa dikorbankan seandainya nanti dikehendaki oleh Pasik itu?"
Orang tua itu terdiam. Istrinya pun terdiam. Namun anak perempuannyalah yang menangis. Dan bahkan suaminya pun menangis.
"Jangan menangis," minta Mahisa Agni kepada laki-laki itu, "seharusnya laki-laki tidak menangis."
Tetapi laki-laki itu menangis terus. Katanya di sela-sela tangisnya, "Ki
Sanak tidak merasakan apa yang aku rasakan. Itulah Ki Sanak dapat
berkata demikian."
Mahisa Agnilah kini yang terdiam. Ia tidak tahu bagaimana mencoba
menghibur mereka. Namun ia menjadi semakin kasihan juga melihat keadaan
keluarga yang sedang berduka itu.
Tiba-tiba perempuan tua itu berkata, "Kiai biarlah suaminya saja pergi
bersama-sama Kiai. Biarlah anak ini tinggal bersama aku di rumah.
Bawalah semua kekayaan yang ada sebagai tebusannya."
Laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya ia pun berkata,
"Biarlah ia tinggal di rumah. Marilah kita pergi apa pun yang terjadi."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Marilah. Kita
tebus putri bapa itu dengan kekayaan. Mungkin Pasik akan bergembira
karenanya."
Orang tua itu tidak menjawab. Ditatapnya wajah anaknya dan istrinya
berganti-ganti. Kemudian kepada menantunya ia berkata, "Marilah supaya
Pasik tidak menjadi kesal menunggu kedatangan kita."
Maka pergilah mereka bertiga ke rumah Pasik. Dengan wajah tunduk menantu
orang tua itu berjalan di sampingnya, sedang Mahisa Agni berjalan di
belakang mereka.
Sekali orang tua itu berpaling sambil bertanya kepada Mahisa Agni, "Apakah Angger sudah ikhlas akan keris itu?"
Mahisa Agni menarik nafas. Jawabnya, "Keris ini keris peninggalan Bapa."
"Jadi?"
"Entahlah," sahut Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Mereka berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan yang sempit, menuju ke rumah Pasik.
Akhirnya sampai jugalah mereka ke rumah itu. Rumah yang tidak begitu
besar, namun berhalaman luas. Di halaman itu Mahisa Agni melibat
beberapa orang telah berkumpul dengan berbagai bungkusan di tangan
mereka. Namun tampaklah wajah mereka yang suram dan bersedih. Mereka
harus menyerahkan beberapa macam benda bagian dari kekayaan mereka.
Ketika orang tua itu sampai di halaman rumah Pasik, maka semua orang
yang sudah berada ditempai itu, menjadi heran dan saling berpandangan.
Sebagian dari mereka menjadi heran, kenapa orang tua itu pula telah
dijadikan korban o’eh Pasik ? Dan sebagian lagi heran melihat kehadiran
orang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Seseorang yang telah setengah umur segera mendekati orang tua itu sambil berbisik, "Kenapa Kakang datang kemari?"
"Seperti juga kau datang kemari," jawab orang tua itu.
"Oh, apakah Pasik itu sampai hati juga berbuat demikian kepada Kakang?"
"Ternyata demikianlah."
Kemudian mereka itu terdiam ketika mereka melihat Pasik keluar dan
rumahnya. Dengan wajah yang cerah anak muda itu tersenyum. Kemudian
mengangguk kepada semua orang yang telah berada di halaman. Namun
seleret ia, memandang ke seberang halamannya. Dan ternyata di kejauhan,
beberapa orang dengan diam-diam ingin melihat apa yang terjadi di
halaman rumah Pasik itu. Namun Pasik itu masih saja tersenyum. Kemudian
dengan ramah ia berkata, "Alangkah senangnya aku, bahwa kalian masih
juga suka berkunjung ke rumah ini. Meskipun belum kalian nyatakan,
tetapi aku sudah tahu bahwa kalian telah bersusah payah datang untuk
memberikan bekal perjalananku lusa. Sebenarnyalah aku memang hendak
bepergian. Jauh, ke Tumapel mengikuti guruku yang hari ini datang juga
ke padukuhan ini."
Pasik itu diam sesaat, namun orang yang datang di halamannya mengumpat
di dalam hati mereka. Sesaat kemudian Pasik itu berkata, " Sayang,
guruku pagi ini tidak dapat menerima kalian. Mungkin sebentar lagi
setelah guru datang dari melihat-lihat daerah terpencil ini."
Kembali Pasik itu berdiam diri. Ditebarkannya pandangan matanya sekali
lagi. Ketika ia melihat Mahisa Agni, maka anak muda itu tersenyum,
"Selamat datang Ki Sanak. Ternyata Ki Sanak sudi juga berkunjung ke
rumah ini."
Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Tentu. Bukankah Ki Sanak yang minta kepadaku untuk datang pagi ini?"
Pasik mengerutkan keningnya, dan orang-orang yang mendengar jawaban itu
pun menjadi terkejut. Alangkah beraninya orang itu menjawab pertanyaan
Pasik. Namun kemudian mereka menyadari bahwa orang itu belum mengenal
siapakah Pasik itu.
Pasik pun kemudian tersenyum pula, "Memang, aku kemarin telah
mempersilakan kau datang. Bukankah lebih baik apabila kita memperbanyak
sahabat?"
Mahisa Agni tidak menjawab. Dan dibiarkannya Pasik tersenyum puas. Ia
ingin melihat apa saja yang akan terjadi seterusnya di halaman itu.
Ternyata Pasik itu pun tidak memperpanjang perkataannya. Dengan singkat
kemudian ia berkata, "Nah, aku akan sangat berterima kasih atas
pemberian kalian. Karena itu, marilah berikanlah apa yang ingin
saudara-saudara berikan itu."
Suasana kemudian menjadi hening sepi. Tampaklah beberapa orang menjadi
ragu-ragu. Sehingga Pasik itu pun berkata, "Marilah. Satu demi satu,
supaya aku dapat melihat barang-barang yang kalian berikan itu.
Marilah!"
Maka, sesaat kemudian mulailah orang yang pertama berdiri. Melangkah
maju dan menyerahkan bungkusannya kepada Pasik. Dengan tersenyum puas,
Pasik membuka bungkusan itu. Sepotong cula berukir berbentuk sebuah
golek yang sangat manis. Namun wajah Pasik itu tiba-tiba menjadi gelap.
Katanya, "Apakah benda ini sama sekali tidak bersalut emas?"
Orang yang membawa cula berukir itu terkejut. Dandengan ketakutan ia menjawab, "Tidak, tidak Pasik."
"He?" potong Pasik, "Sebutlah namaku!"
"Oh," orang itu semakin ketakutan, "maksudku Angger Waraha."
Pasik menarik napas. Tetapi tiba-tiba ia membentak "Bohong! Benda-benda serupa ini biasanya bersalut emas."
"Tetapi yang ini tidak Ngger," jawab orang itu, "ini adalah peninggalan
Bapakku. Dibuatnya benda ini dengan tangannya sebagai kenang-kenangan
pada masa mudanya, ketika Bapak itu berhasil menangkap seekor badak yang
jarang terdapat di daerah ini dalam perburuannya. Sehingga sudah tentu
kami tidak dapat memberinya emas. Sebab sebenarnya kami tidak pernah
melihat, apalagi memiliki emas. Maka …"
"Cukup!" bentak Waraha, orang itu sedemikian terkejutnya sehingga
tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar, "Aku tidak perlu sesorah itu."
Orang itu ternyata masih ingin memberi beberapa penjelasan, namun
mulutnya sajalah yang bergeletar, tetapi tak sepatah kata pun yang dapat
lolos dari tenggorokannya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Waraha
membentaknya sekali lagi, "Pulang! Jangan menghina aku! Ambil yang
lain!"
"Itu, itu…," sahut orang itu terbata-bata, "itu adalah milikku yang paling berharga Ngger."
"Pulang, dan ambil yang lain! Dengar?"
"Aku, aku sudah tidak punya apa-apa lagi."
Waraha itu kemudian menjadi marah. Dengan serta-merta golek cula yang amat manis itu dibantingnya pada sebuah batu.
"Pasik!" teriak orang itu. Tetapi ia hanya dapat melihat golek itu pecah
berserakan. Bahkan Pasik itu masih bertambah marah lagi, karena orang
itu menyebut nama aslinya. Karena itu, dengan kakinya yang kokoh kuat
Pasik mendorong orang itu sehingga terpental beberapa langkah dan jatuh
berguling di tanah.
Halaman itu menjadi tegang dan sepi. Sesepi perkuburan
Tak seorang pun yang berani memandang wajah Pasik. Namun tiba-tiba
mereka yang berada di halaman itu terkejut ketika mereka mendengar Pasik
itu tertawa. Kemudian ia berkata lemah, "Ah. Maafkan aku. Aku tidak
biasa berlaku kasar. Namun aku sebenarnya tidak mau dihina. Aku tidak
mau dihina. Aku tidak akan sakit hati seandainya kalian tidak ingin
memberi aku bekal apa pun. Namun aku tidak mau dihina dengan benda-benda
serupa itu."
"Hem," orang tua di samping Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika Pasik itu tiba-tiba memandangnya
sambil tersenyum. Kemudian dengan hormatnya ia berkata, "Ah, Kiai.
Agaknya Kiai datang juga ke tempat yang kotor ini."
Orang tua itu menjadi berdebar-debar. Apalagi kemudian Pasik itu
berkata, "Sebenarnya aku akan sangat gembira apabila Kiai datang bersama
gadis Kiai itu."
Orang tua itu tidak menjawab. Namun debar di dadanya menjadi semakin
cepat. Karena ia tidak menjawab,maka Pasik itu berkata pula, "Kiai,
tidakkah Kiai datang dengan gadis Kiai itu?"
Orang tua itu menjadi bertambah gelisah. Keringat dinginnya telah mulai
membasahi bajunya. Dengan tergagap ia menjawab, "Tidak Ngger. Aku datang
bersama suaminya."
"Suaminya?" tiba-tiba mata Pasik itu terbelalak. Apakah yang Kiai katakan?"
Orang tua itu telah benar-benar menjadi gemetar. Sehingga kembali
mulutnya terbungkam. yang menjawab kemudian adalah Mahisa Agni.
"Ya Ki Sanak. Kiai ini datang bersama menantunya."
Mata Pasik itu kemudian menjadi merah. Dengan liar ia menatap Mahisa
Agni dan laki-laki tua itu berganti-ganti. Kemudian katanya lantang
"Kiai, buat apa menantumu itu bagiku?"
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Karena itu ia pun kemudian berdiam diri.
Dibiarkannya Pasik menggeram dan kemudian berkata, "Aku sudah
mengatakan, seharusnya Kiai datang dengan anakmu, bukan menantumu. Buat
apa aku minta menantumu datang?"
Pasik berhenti sejenak. Kemudian pandangan matanya jatuh kepada menantu
orang tua itu. "Ha, kau agaknya menantunya bukan? Jangan ingkar! Gadis
itu memang cantik. Bukankah gadis itu kawan kita bermain sejak
anak-anak?"
Tiba-tiba Pasik itu tertawa. Suaranya menggelegar memenuhi halaman.
Karena itu setiap orang yang mendengar menjadi ngeri karenanya. Kemudian
katanya meneruskan, "Aku kenal kau sejak kecil dan kau kenal aku sejak
kecil pula. Karena itu, marilah kita berbaik hati sesama kita. Tolonglah
aku, panggillah istrimu itu!"
Kata-kata itu benar-benar tak dapat dimengerti oleh Mahisa Agni. Dan ia
menjadi semakin tidak mengerti, ketika menantu orang tua itu menangis,
"Bagaimana Kiai? Apakah aku harus memanggilnya?"
Orang tua itu pun terdiam. Dan suasana di halaman itu menjadi beku. yang
terdengar kemudian adalah suara Pasik tertawa sambil berkata lembut.
"Bukankah kita bersahabat?" katanya, "Nah, tolonglah aku."
Tetapi tiba-tiba Pasik itu terkejut ketika seorang perempuan
menggamitnya. Ketika ia menoleh, maka katanya "Oh, Ibu. Apakah ada
sesuatu?"
"Pasik," berkata ibunya.
Namun segera Pasik memutus, "Sebut namaku!"
"Oh," desah ibunya "Waraha. Apa pun yang akan kaulakukan, namun jangan diganggu tetua padukuhan kami itu."
Pasik mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling kepada menantu
orang tua yang disebut sebagai tetua padukuhan itu. Katanya "Lekas,
tolonglah aku."
"Waraha," panggil ibunya.
Namun Pasik itu seakan-akan tidak mendengar, bahkan ia berteriak lebih keras "Cepat! Panggil istrimu itu sekarang!"
"Angger," berkata orang tua itu dengan gemetar, "aku telah membawa
timang yang Angger kehendaki, dan menantuku telah membawa perhiasan yang
dimilikinya. Sedang tamuku pun telah merelakan kerisnya untuk Angger.
Apakah Angger masih memerlukan anakku itu?"
Pasik sama sekali tidak mau mendengar kata-kata itu. Ia kemudian berteriak tinggi, "Lekas, panggil ia sekarang!"
Menantu tetua Padukuhan Kajar itu masih terpaku di tempatnya dengan
tubuh gemetar. Sedang mata Pasik itu telah menjadi semakin merah. Namun
ketika ia akan berteriak kembali, sekali lagi ibunya menggamitnya dan
berkata, "Jangan Waraha, jangan ganggu anak itu."
Tetapi Waraha itu masih saja tidak mau mendengar kata-kata ibunya itu,
sehingga kemudian ibunya itu menarik tangannya, "Orang tua itu kami
hormati seperti orang tua kami sendiri. Dan bukankah orang tua itu
terlalu baik kepadamu pada masa kecilmu. Kini seharusnya …."
"Diam!" tiba-tiba Waraha itu membentak. Ibunya menjadi sangat terkejut
dan bahkan semua orang menjadi terkejut pula. Meskipun demikian ibunya
itu meneruskan, "Waraha, aku minta sekali lagi, jangan."
Waraha menarik tangannya, dan bahkan tangan ibunya itu didorongnya. Kini
ia menunjuk kepada orang tua beserta menantunya itu, "Cepat! Panggil
perempuan itu! Aku menghendaki timang, keris, dan perempuan itu. Jangan
dikurangi!"
Kini ibunya tidak lagi hanya menarik tangannya, tetapi anaknya itu
dipeluknya sambil meminta, "Ingatlah, Waraha. Orang itu terlalu baik
buat kita. Jangan nodai dengan kekasaran dan nafsu."
Waraha itu kini menjadi benar-benar marah. Tiba-tiba digetarkannya
tubuhnya keras-keras, dan perempuan yang memeluknya itu, ibunya,
terpelanting beberapa langkah. Kemudian jatuh terbanting di tanah.
Terdengar ia memekik kecil. Namun pekiknya sama sekali tidak
mempengaruhi kekerasan hati anaknya. Waraha itu hanya berpaling sesaat,
kemudian dengan tanpa memandang ibunya yang masih terbaring itu berkata,
"Aku tak mau dihalangi oleh siapa pun juga. Semua kehendakku harus
terjadi!"
Kini kesan keramahan, kesopanan dan kelembutan benar-benar telah lenyap
dari Pasik. Matanya semakin lama bahkan menjadi semakin liar. Sekali
lagi ia berpaling ketika seorang laki-laki dengan gemetar menolong
perempuan yang terbanting itu. Dengan lantang ia berkata, "Ayah, bawalah
perempuan celaka itu pergi. Kalau tidak maka tidak ada keberatan apa
pun bagiku untuk memaksa kalian pergi. Jangan campuri urusanku. Uruslah
sendiri kepentingan Ayah dan Ibu!"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Alangkah buasnya anak muda itu.
Menilik wajahnya, keluarganya dan keadaan di sekitarnya maka mustahillah
bahwa lingkungan itu dapat membentuk orang sekasar Waraha itu. Tetapi
kemudian Mahisa Agni pun memperhitungkan pula kepergian Waraha itu
beserta pamannya, kemudian berguru kepada gurunya itu selama ia di
rantau. Dengan demikian, menurut kesimpulan Mahisa Agni, pasti
lingkungan perguruannya yang telah merusak hidup anak muda itu.
Kini kembali Pasik itu memandangi orang tua beserta menantunya. Sekali
lagi ia berteriak, "Aku ingin memberi kalian kesempatan sekali lagi.
Panggil perempuan itu. Aku menghendaki semuanya. Tidak sebagian-sebagian
dari permintaanku itu."
Orang tua itu menjadi semakin gemetar, dan menantunya menangis lebih deras lagi sambil bertanya, "Kiai, bagaimana Kiai?"
"Jangan bertanya lagi! Berdiri dan pergi!" bentak Pasik.
Laki-laki itu menjadi seperti orang kehilangan kesadaran. Dengan
demikian ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Diguncang-guncangnya tangan mertuanya. Namun mertuanya itu pun telah
menjadi sangat bingung pula.
Dalam keadaan yang demikian, maka halaman itu benar-benar dicengkam oleh
suasana yang mengerikan. Semua dada seakan-akan berdentingan. Mereka
yang melihat tetua mereka itu menjadi sangat kasihan. Namun mereka tidak
dapat berbuat apa-apa. Nasib mereka masing-masing pun masih belum
mereka ketahui. Dengan diam-diam mereka mencoba menilai apa-apa yang
sudah dibawanya. Jangan-jangan benda-benda itu tidak menyenangkan hati
Pasik, kecuali mereka yang sudah mendapat pesan untuk membawa
benda-benda tertentu. Memang kali ini Pasik berbuat lebih jauh dari
masa-masa yang lampau. Kali ini Pasik ingin memperlihatkan kepada
gurunya, apa yang dapat dilakukannya di kampung halamannya. Karena itu,
maka apa yang dilakukannya kali ini benar-benar mengejutkan dan sangat
menakutkan bagi penduduk Kajar.
Pasik itu pernah datang bersama-sama beberapa orang saudara seperguruan.
Pernah diambilnya seorang gadis untuk saudara seperguruan itu. Pernah
dibunuhnya seorang anak muda kawannya bermain semasa kanak-kanak. Pernah
juga dilakukan hal-hal yang mengerikan. Namun belum pernah Pasik
mengundang orang sebanyak ini untuk datang di halaman rumahnya. Apabila
termasuk tetua padukuhan mereka. Bahkan anak perempuannya pula
dikehendakinya. Kali ini Pasik benar-benar ingin memperlihatkan
kekuasaannya di antara penduduk tempat ia dilahirkan.
Ketika Pasik itu masih melihat menantu tetua padukuhan itu masih belum
beranjak dari tempatnya, maka ia pun menjadi semakin marah. Dengan nada
yang tinggi ia berteriak, "He, apakah yang kau tunggu? Apakah kau ingin
kepalamu bengkak dahulu?"
Laki-laki itu benar-benar menjadi ketakutan. Karena itu dengan gemetar ia berdiri untuk pergi memanggil istrinya.
Tetapi laki-laki itu terkejut, ketika Mahisa Agni menggamitnya. Dengan
isyarat ia mencegah laki-laki itu. Namun laki-laki itu tidak segera
dapat menangkap isyaratnya, sehingga perlahan-lahan Mahisa Agni
berbisik, "Jangan pergi! Lindungilah istrimu itu."
Laki-laki itu menjadi bertambah bingung. Ia sependapat dengan Mahisa Agni. Namun ia tidak berani menentang kehendak Waraha.
Ketika Waraha melihat orang itu berhenti, maka sekali lagi ia berteriak, "Apakah kau benar-benar bosan hidup?"
Dengan gemetar orang itu melangkah kembali. Namun sekali lagi Mahisa Agni mencegahnya. Bahkan kali ini ia menahan tangannya.
"Jangan!" katanya.
Kali ini Pasik melihat tangan Mahisa Agni menarik tangan laki-laki itu.
Karena itu betapa ia menjadi sangat marah. Dengan serta-merta ia
mengumpat sambil berkata, "Setan!Apakah yang kau lakukan itu?"
"Tidak apa-apa," jawab Mahisa Agni, "aku hanya ingin memperingatkannya, biarlah istrinya berada di rumah."
Wajah Pasik itu seakan-akan menjadi menyala mendengar jawaban Mahisa Agni, sehingga agaknya ia perlu meyakinkan pendengarannya.
"He, apa katamu?" Ia bertanya.
Sekali lagi Mahisa Agni menjawab, "Aku hanya ingin memperingatkannya, sebaiknya istrinya tetap berada di rumah."
Tubuh Pasik itu kemudian menjadi gemetar. Kini ia mendengar dengan
jelas, apa yang dikatakan oleh orang yang baru saja dikenalnya itu.
Katanya, "Ki Sanak, jangan membuat keributan di sini. Apakah kau belum
pernah mendengar nama Waraha, setidak-tidaknya dari orang tua tempat kau
menginap itu?"
"Sudah," jawab Mahisa Agni singkat.
"Setan!" Waraha itu mengumpat, "sekarang berikan kerismu itu."
Mahisa Agni masih tetap berada di tempatnya. Ia sama sekali tidak
bergerak, apalagi memberikan kerisnya, sehingga sekali lagi Pasik
berteriak, "Berikan kerismu perantau, atau kau akan berkubur di
padukuhan yang asing bagimu ini?"
"Kedua-duanya tidak menyenangkan Pasik," jawab Mahisa Agni.
"He?" teriak Pasik, "Sebut namaku!"
"Ya. Bukankah namamu Pasik?"
"Diam! Sebut namaku sepuluh kali!"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pasik itu benar-benar telah
memuakkan. Karena itu ia justru berdiam diri. Bahkan dengan acuh tak
acuh ia menarik tangan menantu tetua Padukuhan Kajar sambil berkata,
"Marilah! Duduklah di sini."
Semua yang melihat, apa yang telah dilakukan Mahisa Agni itu pun menjadi
semakin tegang. Kini mereka melihat Waraha menggertakkan giginya.
Seseorang yang duduk di samping Mahisa Agni itu menggamitnya sambil
berbisik, "Angger. Jangan membuat Angger Waraha itu marah."
Tetapi sebelum Mahisa Agni sempat menjawab, terdengar kata-kata Pasik,
"He, perantau yang malang. Sebentar lagi guruku pasti datang. Karena itu
cepat berikan keris itu, lalu kau boleh meninggalkan tempat ini. Tetapi
kalau kau mengganggu pertemuan ini, maka terpaksa aku membunuhmu,
meskipun Guru ada di sini. Sebenarnya bukanlah suatu suguhan yang baik.
Mayat seorang perantau. Tetapi apa boleh buat."
Mahisa Agni mengambil kerisnya yang terselip diikat pinggangnya.
Kemudian dengan tenangnya keris itu diamat-amatinya. Dan dengan tenang
pula ia berkata, "Ki Sanak. Kerisku adalah keris peninggalan ayahku.
Karena itu, alangkah sayangnya kalau keris ini aku berikan kepada
seseorang. Apalagi seseorang yang tak memerlukannya lagi seperti Ki
Sanak. Tanpa senjata pun Ki Sanak adalah seorang yang sakti. Tetapi
bagiku, keris ini akan sangat berguna. Sebab…"
"Cukup!" bentak Pasik, "Berikan sekarang. Dan biarlah laki-laki cengeng itu menjemput istrinya."
"Jangan!" sahut Agni, "keris ini tak akan aku berikan kepada siapa pun, dan laki-laki ini tak akan menjemput istrinya."
"Angger," desis laki-laki tetua padukuhan itu. Tubuhnya yang kurus itu
semakin berkerut, "jangan membuat Angger Waraha menjadi semakin marah.
Maka akibatnya, seluruh penduduk Kajar akan mengalami bencana."
Kini Mahisa Agni sudah tidak melihat kesempatan lain. Ia tidak dapat
membiarkan kelaliman itu berjalan terus. Ia sudah cukup melihat
kenyataan yang berlaku di hadapan hidungnya. Dan ini harus dihentikan.
Apakah ia akan berhasil atau tidak, bukanlah menjadi soal. Tetapi ia
mengharap,bahwa usahanya akan berhasil. Karena itu, maka Mahisa Agni itu
pun kemudian berdiri. Ditariknya kerisnya dari wrangkanja. Kemudian
diangkatnya di atas kepalanya. Katanya "Pasik. Bagi seorang laki-laki,
keris atau curiga adalah lambang dari kelaki-lakiannya. Karena itu,
betapa aku menilai kerisku ini seperti aku sendiri."
Semua hati yang tersimpan di dalam dada setiap orang di halaman itu
tergetar karenanya. Orang yang masih asing bagi mereka itu, agaknya
benar-benar belum mengenal Waraha. Karena itu, mereka pun menjadi
berdebar-debar. Apabila ada kesempatan bagi mereka, mereka pasti akan
memperingatkannya. Tetapi kini hal itu telah terjadi. Dan wajah Waraha
itu telah menjadi semerah darah.
"Hem," Waraha menggeram. Tetapi tiba-tiba ia tertawa. Di antara suara
tertawanya itu ia berkata "He, para tetangga yang baik. Sediakanlah
sebuah lubang untuk mengubur orang gila ini. Aku ingin mematahkan tulang
belakangnya. Kemudian sebelum ia mati, biarlah ia menikmati sejuknya
tanah perkuburan."
Mahisa Agni mendengar kata-kata itu dengan kerut-kerut di keningnya.
Agaknya Pasik itu benar-benar dapat berbuat sebuas itu. Karena itu maka
kemudian jawabnya "Jangan marah Pasik."
Suara Mahisa Agni itu terputus karena Pasik berteriak, "Sebut namaku, orang gila!"
"Ya. Pasik. Pasik. Sebenarnyalah nama itu baik sekali. Tidak sebuas nama Waraha."
Pasik itu kini benar-benar telah menjadi gemetar menahan kemarahannya.
Matanya yang liar menjadi semakin liar. Dan tiba-tiba ia meloncat,
melanggar satu dua orang sehingga jatuh berguling-guling, mendekati
Mahisa Agni. Dengan gemetar pula ia menggeram, "Setan! Bersiaplah untuk
mati!"
Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser selangkah surut. Kerisnya itu pun
kemudian disarungkannya. Dan dengan tenang ia berkata "Pasik. Aku tidak
akan memberikan kerisku ini. Apakah kau akan memaksa?"
Pasik itu menggeram seperti seekor harimau. Orang-orang yang berada di
halaman itu pun kemudian berloncatan menepi. Mereka kini melihat Pasik
dan Mahisa Agni telah berdiri berhadap-hadapan.
Pasik memandang mata Mahisa Agni dengan buasnya. Kini Pasik itu dapat
melihat, bahwa sikap Mahisa Agni bukanlah sikap dari seorang yang ingin
membunuh diri. Namun sikap Mahisa Agni adalah sikap seekor banteng yang
siap melawan seekor harimau yang betapa pun garangnya dengan
tanduk-tanduknya yang runcing tajam.
Kini Pasik tidak mau berbicara lagi. Dengan garangnya ia meloncat maju
menerkam wajah Mahisa Agni yang masih saja tetap tenang dan teguh.
Orang tua, tetua Padukuhan Kajar, ketika ia melihat Pasik meloncat
menyerang Mahisa Agni, terdengar mengeluh pendek, sedang menantunya
benar-benar telah menjadi seakan-akan membeku. Bukan saja mereka berdua,
tetapi seluruh penduduk Kajar yang menyaksikan peristiwa itu menahan
nafasnya.
Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkan wajahnya disobek oleh Pasik.
Selangkah ia mundur sambil berkata, "Pasik. Apakah kau benar-benar ingin
memaksa aku untuk berkelahi?"
Gerak Pasik itu terhenti juga oleh kata-kata Mahisa Agni. Sekali lagi ia
memandang wajah Mahisa Agni yang masih tetap tenang. Sehingga karena
itu maka Pasik mulai menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Maka katanya
kemudian,"Sejak semula aku sudah menyangka, bahwa kau bukan sekedar
seorang perantau dungu. Kerismu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau
sebenarnya seorang yang menyimpan ilmu di dalam dirimu. Tetapi meskipun
demikian, kau sekarang berhadapan dengan Waraha, andel-andel Padukuhan
Kajar. Karena itu jangan menyangka bahwa kau akan dapat meninggalkan
padukuhan ini dengan selamat."
Mahisa Agni seakan-akan tidak mendengar kata-kata Pasik itu. Bahkan ia
berkata, "Pasik. Apakah kau tidak menyadari,bahwa perbuatanmu itu telah
menimbulkan bencana, justru di tanah kelahiranmu sendiri?"
Pasik mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Apa pedulimu?"
"Kalau kau seorang yang sakti, Pasik, maka sudah wajar bahwa kau akan
menjadi andel-andel padukuhan tempat kelahiranmu. Tetapi apakah benar
kau andel-andel Padukuhan Kajar?"
Tampak Pasik itu mengerutkan keningnya. Dan pertanyaan Agni itu sekali
lagi terngiang di telinganya, "Apakah benar kau andel-andel Padukuhan
Kajar?"
Pertanyaan itu benar-benar mengetuk hati Pasik. Namun tiba-tiba kembali
nafsunya melonjak sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu ia berteriak,
"Tutup mulutmu perantau yang malang. Ternyata umurmu akan segera
berakhir di padukuhan ini."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Pasik, aku bukan
seorang yang biasa mencari pertentangan. Tetapi kalau kau hendak
memaksakan kehendakmu, maka aku terpaksa akan menghadapimu dengan
berperisai dada."
"Tataplah langit dan ciumlah bumi untuk kesempatan yang terakhir sebelum kau kehilangan setiap kesempatan untuk melakukannya."
Mahisa Agni tidak mendapat kesempatan untuk menjawabnya. Sekali lagi
Pasik meloncat dan menyerang segarang harimau lapar. Namun sekali lagi
Mahisa Agni mundur selangkah untuk menghindarinya. Tetapi Pasik itu kini
tidak membiarkan lawannya mempunyai kesempatan lebih banyak lagi.
Dengan cepatnya ia meloncat maju untuk dengan berturut-turut melontarkan
serangan berganda dengan kedua kakinya berganti-ganti. Tetapi Mahisa
Agni pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, serangan yang datang
bertubi-tubi itu sama sekali tidak mengejutkan Mahisa Agni. Dengan
tangkasnya pula ia menghindari setiap bahaya yang akan menyentuhnya.
Untuk beberapa saat sengaja Mahisa Agni tidak segera membalas setiap
serangan dengan setangan. Ia ingin meyakinkan dirinya dalam penilaiannya
terhadap lawannya itu.
Orang-orang Kajar menyaksikan perkelahian itu dengan tubuh gemetar.
Mereka belum pernah melihat seseorang berani melawan kehendak Pasik,
sejak Caruk terbunuh. Kini datang orang yang belum mereka kenal dan
melakukan perlawanan terhadap Pasik. Dahulu Pasik berhasil dengan sekali
pukul melumpuhkan anak muda yang bernama Caruk, yang mencoba melawan
kehendaknya. Apalagi pada waktu itu dua saudara seperguruan Pasik ikut
campur, sehingga Caruk itu terbunuh. Kini Pasik itu tidak datang bersama
saudara-saudara seperguruannya. Tetapi ia dalang tersama gurunya.
Karena itu, maka setiap dada orang-orang Kajar itu diliputi oleh
kecemasan dan ketegangan. Mereka cemas akan nasib orang yang belum
mereka kenal itu, dan mereka cemas juga akan nasib mereka sendiri.
Kemarahan Pasik pasti akan menimpa mereka pula. Apalagi kemarahan
gurunya.
Tetapi mereka tidak dapat terbuat apa pun juga. Perkelahian itu telah
berlangsung. Kini mereka melihat Mahisa Agni itu beberapa kali melangkah
mundur. Meskipun demikian, di sudut hati mereka sebenarnya tersiratlah
keinginan mereka, bahwa sekali-sekali biarlah Pasik itu mendapat
pelajaran tentang cara-cara yang baik bagi hidup berkeluarga dalam
lingkungan yang kecil itu. Karena itu sebenarnya mereka pun berdoa,
semoga orang yang belum mereka kenal itu dapat menolong mereka,
membebaskan dari ketamakan Pasik. Tetapi yang mereka lihat sekarang,
orang itu selalu terdesak surut.
Dalam pada itu, Mahisa Agni semakin lama semakin melihat nilai dari
lawannya. Sebenarnya Pasik bukanlah seorang sakti yang perlu dicemaskan.
Mahisa Agni meyakini dirinya, bahwa ia akan dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik. Namun, kalau Pasik telah mampu berbuat
demikian,maka gurunyalah yang perlu mendapat perhatiannya. Tetapi sampai
saat itu, ia belum melihat kehadiran guru Pasik. Karena itu, ia harus
berhati-hati. Setiap tindakan perlu diperhatikannya dengan seksama.
Pasik itu masih menyerang terus-menerus dengan buasnya. Tangannya,
kakinya dan bahkan seluruh tubuhnya bergerak-gerak dengan kasarnya,
sehingga tampaklah betapa garangnya. Namun gerakan-gerakan itu adalah
gerakan-gerakan yang masih mentah. gerakan-gerakan yang sebenarnya
sangat sederhana.
Meskipun demikian, Mahisa Agni melihat, bahwa nilai-nilai dari inti
gerak itu adalah sangat berbahaya. Apabila guru Pasik yang melakukannya
dengan unsur-unsur yang sama, maka akibatnya pasti akan sangat
berlainan. Dan sebenarnyalah dalam penilaian Mahisa Agni, bukanlah Pasik
itu yang perlu diperhitungkan, tetapi gurunya.
Karena itu, setelah Mahisa Agni menemukan nilai-nilai yang diperlukan,
serta kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi atas guru Pasik itu,
maka sampailah ia pada kesimpulan, bahwa ia harus menyelesaikan
perkelahian yang pertama ini secepat-cepatnya. Apabila guru Pasik
benar-benar belum ada di sekitar tempat itu, maka ia akan mempunyai
waktu untuk mempersiapkan dirinya lebih dahulu.
Demikianlah maka Mahisa Agni kemudian tidak membiarkan Pasik itu
menyerangnya terus menerus. Kini Mahisa Agni telah siap untuk segera
menyelesaikan permainan Pasik yang kasar itu.
Namun Pasik yang kurang menyadari keadaan lawannya itu, menyerangnya
dengan garangnya. Bertubi," tubi, karena ia pun segera ingin
menyelesaikan perkelahian itu secepatnya. Ia ingin segera mengambil
barang-barang berharga dari orang-orang yang sudah berkumpul di halaman
itu. Perlawanan seorang tolol ini akan dijadikannya contoh, bahwa tak
seorang pun boleh melawan kehendaknya.
Tetapi Pasik itu menjadi semakin marah, ketika serangan-serangannya
seolah-olah tak pernah menyentuh sasarannya. Meskipun lawannya itu
selalu terdesak surut.
Namun tiba-tiba pertempuran itu pun segera berubah. Mahisa Agni
tiba-tiba tidak menghindari lagi serangan Pasik. Dengan hati-hati Mahisa
Agni mencoba untuk menangkis serangan lawannya, sehingga terjadilah
suatu benturan di antara mereka. Namun, alangkah terkejutnya Pasik itu.
Serangannya kali ini serasa menghantam batu karang. Dan bahkan batu
karang itu telah mendorongnya dengan satu kekuatan raksasa .Pasik yang
kurang dapat menilai diri dan lawannya itu terlempar beberapa langkah
surut, kemudian jatuh terbanting di tanah.
Bukan saja Pasik, tetapi semua yang melihat peristiwa itu terkejut bukan
buatan. Dan bahkan bukan saja mereka, tetapi Mahisa Agni itu pun
terkejut sekali melihat akibat dari dorongan tenaganya. Sejak ia
menekuni ilmunya di kaki Gunung Semeru, agaknya ia telah terlepas dari
setiap kemungkinan yang tersimpan di dalam dirinya sendiri, sehingga
karena itu,Mahisa Agni belum dapat mengukur kekuatan-kekuatan yang
dilontarkannya dengan baik. Kali ini Mahisa Agni hanya ingin sekedar
memunahkan serangan Pasik yang melanda dirinya, namun akibatnya betapa
dahsyatnya. Pasik itu terlempar surut dan terguling di tanah. Apalagi
ketika Mahisa Agni itu melihat akibatnya kemudian. Dengan tertatih-tatih
Pasik itu mencoba berdiri, namun sekali lagi ia terjerembab jatuh dan
sesaat kemudian ia tidak sadarkan dirinya.
Halaman rumah Pasik itu kemudian seakan-akan diterkam oleh kesenyapan
yang tegang. Mahisa Agni masih berdiri tegak di tempatnya. Sedang
orang-orang Kajar melihat peristiwa itu seperti melihat kisaran kejadian
di dalam mimpi. Mereka tidak akan menyangka bahwa Waraha yang ganas itu
dapat dengan mudahnya dilumpuhkan oleh seorang yang sama sekali belum
mereka kenal.
Tetapi sesaat kemudian kesepian itu dipecahkan oleh jerit seorang
perempuan. Dengan berlari-lari ia melintasi halaman untuk kemudian
menjatuhkan dirinya memeluk tubuh Pasik yang masih terbaring diam di
halaman itu.
"Pasik. Pasik," panggil perempuan itu.
Sekali lagi semua orang di halaman itu terkejut. Juga Mahisa Agni
terkejut. Perempuan itu adalah ibu Pasik. Seorang ibu yang menangis
karena melihat anaknya cedera.
"Pasik. Pasik," perempuan ini masih memanggil-manggil. Diguncang
guncangnya tubuh anaknya yang masih pingsan itu dan disiram wajahnya
dengan air mata. Namun Pasik itu masih berdiam diri. Seorang laki-laki,
ayah Pasik itu pun kemudian berjalan mendekati istrinya dan berjongkok
di sampingnya. Dengan wajah sedih ia memandangi wajah anaknya. Kemudian
diangkatnya kepala anaknya itu sambil bergumam, "Pasik. Sadarlah
Anakku."
Orang-orang yang berada di halaman itu masih tetap tak beranjak dari
tempat mereka. Hanya Mahisa Agnilah kemudian yang melangkah setapak
maju. Betapa pun juga, ia terharu melihat seorang ibu yang sedang
menangisi anaknya. Satu-satunya anaknya.
Sesaat kemudian, Pasik itu pun membuka matanya. Perlahan-lahan ia mulai
bergerak-gerak dan mencoba menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia membuka
matanya, yang pertama-tama dilihatnya adalah wajah ayah dan ibunya.
Pasik itu mengerutkan keningnya. Ia ingin melepaskan diri dari tangan
ayahnya. Namun ketika ia mencoba bergerak,terdengar ia mengaduh
perlahan.
"Jangan bergerak anakku," desis ibunya.
Pasik mencoba mengangguk. Punggungnya, tangannya dan hampir segenap
sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan buatan. Sehingga nafas Pasik
itu pun menjadi terengah-engah.
"Sakit," desisnya.
"Jangan bergerak dahulu Pasik," gumam ayahnya.
Terdengar Pasik itu mengerang. Dan kemudian dengan susah payah Pasik itu berkata, "Air, Air, aku haus sekali."
"Air," ayahnya mengulangi sambil memandang ke sekeliling, seakan-akan ia
minta kepada seseorang untuk mengambil air. Tetapi orang-orang yang
sedang terpukau oleh peristiwa yang tak mereka duga-duga sebelumnya itu
sama sekali tak ada yang beranjak dari tempatnya, sehingga ayah Patik
itu terpaksa mengulangi, "Air."
—–
Pasik yang kurang dapat menilai diri dan lawannya, Mahisa Agni. itu,
terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh terbanting di tanah.
—–
Sementara belum seorang pun yang menyadari keadaannya, maka yang
mula-mula bergerak adalah Mahisa Agni. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke
belakang rumah Pasik, dan setelah ia berputar-putar beberapa saat,
ditemukannya sebuah kendi di atas grobogan. Ketika ia menyerahkan kendi
itu kepada ibu Pasik,dilihatnya setetes darah mengalir dari mulut Pasik.
Sekali lagi ibu Pasik itu menjerit. "Darah!" katanya.
Tetapi ayah Pasik ternyata lebih tenang dari istrinya. Diilingnya air
dari dalam kendi itu setetes demi setetes. Dan karena itulah maka
nampaknya nafas Pasik menjadi lebih teratur.
"Sakit," terdengar sekali lagi Pasik itu mengeluh.
"Jangan bergerak-gerak dahulu, Pasik," minta ayahnya.
Perlahan-lahan Pasik mengangguk. Namun darah dari mulutnya masih
mengalir terus. Betapa ibunya menjadi bertambah cemas melibat keadaan
anaknya. Dan bahkan kemudian dengan nanar ditatapnya wajah Mahisa Agni.
tiba-tiba dengan serta-merta, tanpa diduga-duga ibu Pasik itu berdiri
sambil menunjuk wajah Mahisa Agni dengan jarinya. Katanya dengan suara
gemetar, "Kau, Kau yang telah membunuh Anakku. Lihat, betapa aku
melahirkan dan memeliharanya sejak kecil. Melahirkan dengan menahan
sakit dan menantang maut. Membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya."
Mahisa Agni berdiri tegak seperti patung. Ditatapnya wajah perempuan itu
dan wajah Pasik berganti-ganti. Dalam pada itu tampaklah Pasik
bergerak-gerak. Tetapi ia masih sedemikian lemahnya.
"Kalau kau mau membunuh," berkata ibu Pasik itu, "bunuhlah aku!"
"Aku sama sekali tidak ingin membunuhnya, Bibi," jawab Mahisa Agni.
"Bohong!" teriak perempuan itu, "Kau lihat, akibat dari kejahatanmu itu?"
"Aku tidak sengaja," sahut Agni, "bukankah Bibi melihat apa yang telah terjadi?"
"Ya. Aku lihat. Kau mencoba menghinanya. Dan karena itu aku pun merasa terhina pula."
Mahisa Agni kini tidak menjawab lagi. Seharusnya ia berdiam diri
menghadapi perempuan yang sedang marah. Dalam keadaan demikian maka
perempuan itu tidak akan dapat mempergunakan pikirannya, namun
perasaannya sajalah yang berbicara.
Tetapi perempuan itu berhenti berbicara ketika ia mendengar Pasik
bergumam. cepat-cepat ia berjongkok dan bertanya "Apa Pasik? Apakah yang
kau minta?"
Pasik itu memandang wajah ayah dan ibunya dengan pandangan mata yang
aneh. Tiba-tiba ia berdesah "Bukankah ayah akan menyembelih tiga ekor
kambing kalau aku mati?"
"Tidak. Tidak Pasik," sahut ayahnya cepat-cepat, "aku akan menyembelih tiga ekor kambing kalau kau sembuh."
Pasik itu menarik nafas. Baru saja ia mendorong ibunya sampai terbanting
di tanah. Beberapa saat yang lampau ayahnya itu hampir dibunuhnya dan
ibunya itu telah dicekiknya pula. Tetapi kini, ketika seseorang
melukainya, maka ia mendengar ibunya itu berkata, Betapa aku melahirkan
dan memeliharanya sejak kecil. Melahirkan dengan menahan sakit menentang
maut. Memeliharanya dan membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya.
Kemudian ibunya itu berkata pula, ‘Kalau kau mau membunuh, bunuhlah
aku’.
Dalam penderitaan karena luka-luka di dalam dadanya, karena pantulan
tenaganya sendiri serta dorongan tenaga Agni itu, Pasik sempat
memperbandingkan kasih ibu serta ayahnya kepadanya dengan apa yang
pernah dilakukannya. Alangkah jauh perbedaannya. Seandainya, ya
seandainya ayah atau ibunya yang mengalami bencana itu, maka Pasik itu
tak akan bersedih. Tetapi kini ayah serta ibunya itu meratap untuknya.
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Sesuatu yang tumbuh
karena keadaan yang sedang dialaminya. Dan tiba-tiba terasa bahwa kasih
sayang ibu serta ayahnya telah memberinya ketenteraman. Ketika Pasik itu
menggeser kepalanya, dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti batu karang.
Tetapi orang itu tidak menyerangnya terus, dan benar-benar tidak
berusaha membunuhnya. Dengan demikian, maka berbagai perasaan bergolak
di dalam dadanya. Beberapa keanehan kini sedang bergolak di dalam
dirinya. Ibunya, ayahnya yang telah pernah hampir dibunuhnya dan orang
yang belum dikenalnya itu.
Beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu pun menjadi berdiam diri
seperti patung. Mereka kini melihat orang yang mereka takuti terbaring
dalam pelukan ayahnya. Betapa pun mereka membenci Pasik, namun Pasik
adalah anak yang dilahirkan di padukuhan mereka, yang sejak kecilnya
mereka lihat bermain-main di sepanjang jalan padukuhan, di sawah bersama
anak-anak mereka.
"Mudah-mudahan anak itu menyadari keadaannya," gumam tetua Padukuhan Kajar.
Namun tiba-tiba halaman itu dikejutkan oleh kehadiran seorang yang
bertubuh pendek kekar dan hampir di seluruh kulit wajahnya dijalari oleh
otot-ototnya yang kukuh kuat.
Orang itu terkejut ketika ia melihat Pasik terbaring diam di tangan
ayahnya. Cepat-cepat ia meloncat seperti seekor kijang, dan dengan
tangkasnya ia segera berjongkok di samping Pasik.
"Apa yang terjadi Waraha?" suaranya kecil melengking-lengking.
Halaman itu menjadi tegang. Tiba-tiba pula seluruhnya yang berada di
halaman itu menjadi cemas. Orang ini adalah guru Pasik. Apakah ia akan
berdiam diri melihat muridnya terlukai?
Mahisa Agni pun melihat orang itu pula. Segera ia mengetahuinya bahwa
pasti orang ini guru Pasik. Namun ia pun menjadi heran, guru Pasik itu
masih sangat muda. Kalau demikian, pasti orang ini bukan yang dikatakan
oleh gurunya. Menurut gurunya orang itu sudah agak lanjut
umurnya,meskipun lebih tua dari Agni, namun tidak terpaut banyak.
Ketika Pasik melihat gurunya datang, sesaat wajahnya menjadi cerah,
namun sesaat kemudian wajah itu menjadi suram kembali. Yang terdengar
kemudian adalah suara guru Pasik, "Waraha, apakah yang terjadi atas
dirimu?"
Kembali halaman itu menjadi sunyi. Orang-orang yang ada di halaman itu
seakan-akan tinggal menunggu nasib mereka. Kalau Pasik itu mengatakan
sebab-sebabnya, maka gurunya itu pasti akan marah. Dan kemarahannya
pasti akan menimpa mereka.
Pasik menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba terdengarlah jawabnya
yang sama sekali tak disangka-sangka, "Aku tidak apa-apa, Guru."
Guru Pasik itu menjadi heran. Wajahnya yang keras itu terangkat.
Kemudian diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Ketika ia memandang
Mahisa Agni yang masih berdiri tegak, maka tampaklah keningnya
berkerut.
"Waraha," katanya kemudian "katakan apa sebabnya kau terluka?"
Sekali lagi Waraha menggeleng. Kemudian katanya "Seseorang menyerangku guru. Tetapi itu bukan salahnya."
"He?" guru Pasik itu terkejut, "kenapa bukan salahnya?"
"Aku menyerangnya lebih dahulu," jawab Pasik.
Sekali lagi guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Betapa anehnya
kelakuan muridnya ini. Selama ini belum pernah terjadi, salah seorang
muridnya merasa bersalah dalam suatu perkelahian. Di samping itu, timbul
juga herannya, bahwa di padukuhan kecil itu ada juga orang yang dapat
mengalahkan muridnya. Karena itu tiba-tiba sekali lagi ia memandang
Mahisa Agni. Dan dengan serta-merta ia berkata, "Kau, kaukah itu?"
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan Bahu Reksa Kali Elo itu. Ia sudah
bersedia untuk menerima tuduhan itu. Sebab di antara sekian banyak
orang-orang yang berada di halaman itu, maka sikap Mahisa Agni tampaknya
agak berbeda dengan orang-orang yang lain.
Guru Pasik itu pun kemudian berdiri. Dengan wajah yang merah membara ia
bertanya pula, " He, anak muda. Apakah kau yang telah berani melukai
muridku?"
Mahisa Agni masih belum menjawab. Namun terdengar Pasik itu berkata perlahan-lahan, "Biarkan anak itu, Guru."
Tetapi guru Pasik itu sudah tidak mau mendengar kata-kata muridnya.
Karena itu, tiba-tiba ia menyambar lengan salah seorang yang berjongkok
paling dekat. Dengan satu tangannya orang itu ditariknya, sehingga kedua
kakinya terangkat.
"Ampun," teriak orang itu.
Guru Pasik itu memandangnya dengan bengis. Namun kemudian ia tertawa
terbahak-bahak. Katanya, "Jangan takut tikus kecil. Aku hanya ingin
bertanya kepadamu. Siapakah yang telah melukai Waraha?"
Orang itu menjadi ragu-ragu, sesaat ia memandang wajah Mahisa Agni, dan sesaat pula ia memandang wajah guru Pasik.
Tiba-tiba orang itu terkejut ketika guru Pasik itu membentak," jawab!"
"Bukan aku. Bukan aku," jawabnya tergagap,
Mata guru Pasik itu menjadi semakin menyala. Bentaknya, "Aku sudah tahu,
pasti bukan kau tikus yang malang. Tetapi siapa? Kalau kau yang
melakukan itu, maka aku akan menyembahmu sepuluh kali."
Kembali orang itu terdiam. Tetapi kembali guru Pasik itu
membentak-bentaknya. Bahkan kemudian dipegangnya leher orang itu sambil
menggeram, "Katakan! Siapa yang melukai Waraha?"
Mahisa Agni akhirnya tidak sampai hati melihat orang itu hampir mati
ketakutan. Karena itu, maka segera ia melangkah maju sambil berkata,
"Lepaskan orang itu. Ia sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan luka
Pasik."
"Apa?" teriak guru Pasik, "Kau memerintah aku? Dan coba sekali lagi, sebutlah nama muridku itu!"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Agaknya ia benar-benar berhadapan
dengan seorang yang keras kepala. Meskipun demikian Mahisa Agni
menjawab, "Aku sama sekali tidak ingin memerintah seseorang. Tetapi aku
ingin kau berlaku bijaksana. Orang itu sama sekali tidak tahu menahu
tentang luka muridmu yang bernama Pasik itu."
"Diam!" bentak Bahu Reksa Kali Elo.
"Kau bertanya, dan aku menjawab," sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar ia
tertawa parau. Katanya, "Hem, ternyata kau benar-benar menyadari apa
yang kau lakukan. Agaknya kau menepuk dada setelah kau berhasil melukai
muridku. Lihat, aku adalah gurunya. Aku tidak akan dapat membiarkan kau
melukai muridku."
Sebelum Mahisa Agni menjawab, terdengarlah lamat-lamat suara Pasik, "Guru, biarkan anak itu."
"Hem," guru Pasik itu menarik nafas, tetapi seakan-akan kata-kata itu
tak didengarnya. Bahkan kini ia melangkah mendekati Mahisa Agni sambil
menarik orang yang masih digenggam lengannya itu. Katanya, "He, anak
muda. Siapa namamu?"
"Mahisa Agni," jawab Mahisa Agni pendek.
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Gumamnya, "Nama yang bagus. Tetapi kenapa kau berlaku kasar?"
"Bertanyalah kepada muridmu," sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menggeram. Ditariknya orang yang masih dipegangnya itu
dekat-dekat ke dadanya, "Ayo bilang. Siapa yang bersalah di antara
mereka?"
Orang itu menjadi gemetar. Dengan tergagap ia menjawab, "Pasik. Pasik yang bersalah."
"Apa? Apa?" guru Pasik itu membentak-bentak sambil mengguncang-guncang
tubuh orang yang sama sekali tidak berdaya itu. Bahkan demikian
takutnya, sehingga semua tulang-tulangnya seakan-akan telah terlepas
dari segenap persendiannya. Apalagi ketika ia mendengar guru Pasik
membentaknya kembali, "Ayo jawab, siapakah yang bersalah di antara
mereka?"
Kembali orang itu tergagap. Dan seperti orang kehilangan akal ia
menjawab, "Oh, anak itu. Anak itulah yang bersalah. Mahisa Agni."
"Ha," guru Pasik itu tiba-tiba tertawa. "Dengar," katanya, "dengar. Kau
dengar kesaksian orang ini. Orang-orang Kajar adalah orang yang jujur.
Mereka tak pernah berbohong seperti kau. Bukankah kau bukan orang Kajar?
Nah, apa katamu sekarang?"
Mahisa Agni menggeretakkan giginya. Ia melihat suatu permainan yang
benar-benar memuakkan. Apalagi ketika guru Pasik itu berkata, "He,
Mahisa Agni, Apakah kau perlu saksi yang lain?"
"Tidak!" jawab Mahisa Agni, "Apapun yang dikatakan tentang diriku, aku tidak peduli. Tetapi apakah maksudmu sebenarnya?"
Mata guru Pasik itu pun menjadi redup. Katanya, "Aku tidak biasa
menghukum orang yang tak bersalah. Kini bukti-bukti akan mengatakan
bahwa kau bersalah. Karena itu jangan menyangkal dan jangan mencoba
membela diri. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman tanpa kecuali.
Meskipun kau tamu di padukuhan ini, namun kau telah melakukan
kesalahan."
"Cukup!" potong Mahisa Agni. Ia telah benar-benar menjadi muak mendengar
kata orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu.
Guru Pasik itu terkejut sehingga dengan demikian kata-katanya pun
terhenti. Ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan tajamnya, kemudian
katanya, "Kau berani membentak aku, he?"
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia berkata, "He, Ki
Sanak. Jangan berbuat aneh-aneh di padukuhan ini .Pergilah dan biarlah
Pasik menerima ketenteraman hidup di antara keluarga dan sanak
kadangnya. Jangan meracuni hidupnya dengan perbuatan-perbuatan aneh
seperti perbuatan-perbuatan orang-orang yang kehilangan akal budi."
Guru Pasik itu terkejut mendengar kata-kata Mahisa Agni sehingga matanya
terbelalak karenanya. Kemudian dengan geramnya ia berkata, "Sekarang
aku yakin bahwa ternyata kau benar-benar anak yang sombong anak yang tak
tahu diri. Maka bagiku tak ada pilihan lain daripada mengajarimu
sedikit sopan santun supaya kau dapat sedikit menghargai orang lain."
"Aku pun sedang berpikir demikian juga atasmu," sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menjadi semakin marah. Ia terasa terhina karenanya.
Karena itu beberapa langkah ia maju. Diamatinya seluruh tubuh Mahisa
Agni. Kemudian katanya
"Hem, muridku telah berkata kepadaku semalam, bahwa seorang perantau telah membawa sebilah keris yang sangat bagus."
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia melihat guru Pasik itu berkisar pada jari-jari kakinya. Karena itu cepat Mahisa Agni bersiaga.
"He, Agni," berkata orang itu pula, "Kini kakinya yang sebelah telah beringsut ke belakang, manakah kerismu itu?"
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri, tetapi ia melihat kaki itu
bergerak Dan apa yang disangkanya benar-benar terjadi. Guru Pasik itu
tiba-tiba saja meloncat dengan garangnya menyerang Mahisa Agni. Tetapi
Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya, sehingga dengan tangkasnya ia
meloncat menghindari.
"Setan!" guru Pasik itu mengumpat ketika ia melihat bahwa korbannya
berhasil menghindar diri. Dan wajahnya pun menjadi seakan-akan menyala
ketika Mahisa Agni berkata, "Apakah kau ingin aku menjawab pertanyaanmu
yang kauajukan tetap pada saat kau bersiap untuk menyerang."
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu menggeram. Cepat ia
memutar tubuhnya. Ia ingin menebus kegagalannya. Karena itu sekali lagi
ia menyerangnya dengan kecepatan yang luar biasa.
Orang-orang yang berada di halaman itu pun menjadi cemas hati. Mereka
menyadari bahwa perkelahian itu tak akan dapat dihindarkan. Namun,
apakah yang dapat dilakukan oleh perantau itu melawan guru Waraha?
Mungkin ia masih dapat mengalahkan Pasik. Tetapi melawan gurunya?"
Dan ternyata serangan guru Pasik itu pun datang seperti badai. Dengan
penuh kemarahan yang meluap-luap ia ingin segera membinasakan perantau
yang bodoh dan sombong itu. Ia ingin menebus kekalahan muridnya dengan
satu pertunjukkan yang pasti akan menyenangkan dirinya. Ia ingin berkata
kepada muridnya, bahwa ia harus tetap di tempatnya, dalam barisan yang
berderap di jalan-jalan yang telah dipilihnya selama ini. Kalau
tiba-tiba muridnya bersikap aneh, itu karena kekecewaan yang dialaminya.
Kekalahan yang tak disangka-sangka itu pasti telah melemahkan keteguhan
hatinya. Dan kini kekalahan itu harus ditebusnya. Hati muridnya itu
harus dibesarkannya dengan melumpuhkan Mahisa Agni secepat-cepatnya,
mematahkan tangannya dan membiarkan Pasik untuk menyelesaikannya. Dengan
demikian, maka keteguhan hatinya akan dapat dipulihkan kembali.
Tetapi guru Pasik itu benar-benar menjadi seolah-olah menyala karena
panas hatinya. Serangannya yang kemudian itu pun ternyata tak dapat
menyentuh lawannya.
Tetapi meskipun demikian, serangannya itu benar-benar telah mengejutkan
Mahisa Agni. Serangan guru Pasik itu datang seperti tatit. Untunglah
bahwa ia masih mempunyai kesempatan untuk menghindar. Kalau tidak, maka
dadanya pasti sudah akan pecah.
Dengan demikian, maka dugaannya atas guru Pasik itu ternyata benar.
Dengan unsur-unsur gerak yang sama, guru Pasik itu melibat Mahisa Agni
dalam perkelahian yang ribut. Namun unsur-unsur gerak itu kini
dilepaskan oleh guru Pasik, bukan oleh Pasik yang mentah itu. Karena
itu, terasa oleh Mahisa Agni, betapa berbahayanya.
Dan karena itu pula, Mahisa Agni segera memusatkan,segenap perhatiannya
pada perkelahian itu. Dicobanya untuk melihat setiap gerak lawannya.
setiap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan gerak-gerak
itu.
Namun guru Pasik itu pun segera menyadarinya pula, dengan siapa ia berhadapan.
"Pantaslah Waraha dijatuhnya dengan mudah," katanya di dalam hati. Dan
sejalan dengan itu,maka serangan-serangannya pun semakin membadai.
Geraknya semakin lama menjadi semakin cepat dan keras. Tubuhnya yang
kokoh kuat itu melontar-lontar dengan kecepatan yang mengagumkan, dan
bahkan kadang-kadang orang itu berhasil membingungkan Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni yang baru saja menekuni inti dari ilmunya itu, segera
dapat menyesuaikan diri. Bahkan kadang-kadang ia pun menjadi heran
sendiri. Tidak saja kekuatannya yang bertambah, namun kecepatannya
bergerak pun terasa men-jadi bertambah pula. Bahkan kadang-kadang
geraknya melampaui kecepatan perasaannya dalam suatu tujuan tertentu.
"Ah," katanya di dalam hati, "kalau aku tidak segera menguasai diri,maka akan berbahaya bagiku sendiri."
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun kemudian mencoba melakukan
pengamatan atas dirinya lebih saksama. Perkelahiannya kali ini adalah
penggunaan yang pertama segala macam kekuatan dan ilmu yang tersimpan di
dalam dirinya setelah ia menempa diri.Karena itu, maka sekaligus Mahisa
Agni dapat menilai apa pun yang pernah dicapainya selama ini.
Dengan demikian, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru.
Serang menyerang dan desak mendesak. Keduanya memiliki bekal yang
cukup, serta keduanya berusaha untuk segera mengalahkan lawannya.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu, kemudian berlari
berpencaran. Mahisa Agni dan guru Pasik itu kadang-kadang melontar jauh
ke samping, kemudian melontar kembali dalam serangan-serangan yang
berbahaya. Karena itu, maka mereka yang menyaksikannya menjadi gemetar
dan ketakutan
Waraha yang masih dalam kesakitan itu, menyaksikan perkelahian antara
gurunya dan perantau yang bernama Mahisa Agni itu dengan seksama. Ia
mencoba menilai apa saja yang sudah terjadi. Namun kemudian kembali ia
merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Seakan-akan terasa sesuatu
yang selama ini tak pernah dirasakannya. Namun tiba-tiba dikenangnya,
bapak ibunya yang mengasihinya, kampung halaman yang memberinya kenangan
yang menyenangkan.
Mata Pasik itu melihat perkelahian yang terjadi antara gurunya dan
Mahisa Agni, namun hatinya tiba-tiba saja terbang ke masa-masa
lampaunya. Seakan-akan ia menatap wajah gurunya yang kasar bengis, dan
kemudian ditatapnya wajah ibunya yang lembut, dan wajah bapanya yang
sedang berduka.
Sehingga tiba-tiba pula melontarlah suatu pertanyaan di dalam hatinya,
"Apakah yang telah terjadi dengan dirinya selama ini?" Kata-kata Mahisa
Agni berkali-kali berputar di dalam dadanya. Kata-kata yang selalu
terngiang di telinganya, Pergilah, dan biarlah Pasik menikmati
ketenteraman hidup di antara keluarganya dan sanak kadangnya. Jangan
ganggu dia lagi, dan jangan meracuni hidupnya dengan perbuatan-perbuatan
aneh seperti perbuatan-perbuatan orang yang kehilangan akal budi.
Pasik itu kemudian memejamkan matanya. Seolah-olah telah ditemukannya
apa yang hilang selama ini. Ketenteraman hidup di antara keluarga dan
anak kadang.
Ketika sekali lagi ia membuka matanya, dan ditatapnya wajah ibunya yang
lembut, hatinya menjadi meronta-ronta. Disadarinya kini apa yang telah
dilakukannya selama ini. Bahkan hampir saja ia membunuh ayah dan ibunya,
namun ayah dan ibunya itu sama sekali tak mendendamnya. Cinta kasihnya
tak runtuh seujung rambut pun.
Dalam pada itu, di halaman rumah Pasik itu masih berlangsung pertempuran
yang semakin lama semakin dahsyat. Mereka masing-masing benar-benar
telah berjuang mati-matian. Guru Pasik sekali-kali terdengar berteriak
mengerikan sejalan dengan serangan-serangannya yang keras dan cepat.
Seperti seekor serigala kelaparan, orang yang bertubuh kokoh kuat itu
melonjak-lonjak menyergap dari segenap arah. Namun Mahisa Agni
benar-benar dapat menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Betapa pun
lawannya menjadi bertambah ganas, tetapi Mahisa Agni itu pun menjadi
bertambah mapan juga. Setelah dikenalnya dengan baik setiap unsur gerak
lawannya, serta setelah dikenalnya pula dengan baik segenap kemampuan
yang dapat dipergunakannya yang tersimpan di dalam tubuhnya, maka
perlawanannya pun menjadi semakin kuat dan tangguh.
Karena itu maka guru Pasik itu pun menjadi semakin heran. Ternyata ia
berhadapan dengan seorang anak muda yang luar biasa. Bahkan kemudian
ternyata bahwa Mahisa Agni itu akan benar-benar dapat menguasai keadaan.
Orang yang menamakan Bahu Reksa Kali Elo itu pun kemudian menyadari
sepenuhnya, siapakah yang sedang dihadapinya kini. Karena itu, maka
sampailah ia kemudian pada tetapan hatinya, untuk membinasakan Mahisa
Agni dalam puncak ilmunya.
Demikianlah maka guru Pasik itu pun kemudian meloncat beberapa langkah
surut menjauhi Mahisa Agni. Dengan berteriak nyaring ia merentangkan
kedua tangannya, kemudian dengan ganasnya sekali ia meloncat ke udara,
dan dengan kedua kakinya yang kokoh itu ia tegak kembali di atas tanah
dalam kesiagaan penuh untuk melontarkan ilmu tertinggi yang dimilikinya.
Pasik yang melihat perkelahian itu tiba-tiba saja menjadi sangat
terkejut. Ia melihat betapa gurunya merentangkan tangannya, kemudian
seperti seekor singgat melenting ke udara untuk kemudian bersiap dalam
sikap yang teguh kuat seperti gunung yang siap untuk meledak.
Dan tiba-tiba pula, tanpa sesadarnya Pasik itu merasa, bahwa Mahisa Agni
berada dalam bahaya. Ia tidak tahu, kenapa ia merasa wajib untuk
menyelamatkannya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak "Guru, jangan dengan
ilmu itu!"
Tetapi gurunya sama sekali tidak mendengar. Bahkan terdengar ia tertawa
nyaring. Kini ia sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia menunggu
Mahisa Agni menyerangnya, untuk kemudian dengan satu pukulan, anak itu
akan dibinasakannya.
Mahisa Agni melihat sikap itu. Ia melihat tubuh orang yang menamakan
diri Bahu Reksa Kali Elo itu bergetar. Sebagai seorang yang telah
menekuni olah kanuragan, maka segera Mahisa Agni pun mengetahuinya,
bahwa lawannya sedang mengerahkan setiap kekuatan lahir dan batinnya
dalam puncak ilmu yang dimilikinya.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun tidak mau dirinya dibinasakan oleh
Orang yang bengis itu. Ia menjadi heran ketika lamat-lamat ia mendengar
Pasik itu mencoba mencegah gurunya dan bahkan kemudian Pasik itu
berkata, "Mahisa Agni, jangan mendekat!"
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Mahisa Agni. Dalam kesibukannya
menghadapi lawannya, maka perasaannya dapat menangkap suatu ungkapan
yang jujur yang dilontarkan oleh Pasik yang sedang terluka itu, tetapi
ia tidak mempunyai waktu terlalu lama memperhatikan anak muda yang
agaknya dalam perkembangan keadaan yang dialaminya di dalam jiwanya.
Yang segera harus dilakukan adalah menyelamatkan diri dari kemungkinan
yang sangat mengerikan. Karena itu, maka dengan rasa syukur yang
sedalam-dalamnya, maka Mahisa Agni kini sama sekali tidak menyerang
lawannya. Bahwa ia pun meloncat atau langkah surat. Disilangkannya kedua
tangannya di dadanya, dan dipanjatkannya hasrat di dalam hatinya,
pemusatan kekuatan lahir dan batin.
Ketika Mahisa Agni melihat kaki lawannya bergeser, maka segera Mahisa
Agni pun menarik kakinya kanannya setengah langkah ke belakang, sedang
pada kedua lututnya kemudian Mahisa Agni merendahkan dirinya, siap dalam
kekuatan aji yang baru saja ditekuninya, Gundala Sasra.
Dalam waktu sekejap, Mahisa Agni sudah merasakan,seolah-olah ada
getaran-getaran yang mengalir di dalam dirinya. Getaran-getaran kekuatan
yang tersimpan di dalam tubuhnya. Yang karena ketekunannya, maka ia
telah berhasil mengungkap segenap kekuatan-kekuatan yang tersimpan itu.
Meskipun ilmu yang dimilikinya itu belum sempurna benar, namun aji
Gundala Sasra adalah aji yang nggerisi.
Kini Mahisa Agni masih berdiri pada sikapnya. Meskipun sikap itu
bukanlah sikap yang mutlak harus dilakukan, sebagaimana gurunya berkata,
bahwa sikap itu adalah suatu cara untuk mengungkapkan ilmu itu, tetapi
pengungkapan itu dapat dilakukannya dalam sikap yang paling tepat pada
saat-saat tertentu dalam unsur-unsur gerak pokok yang tak dapat
disingkirkan.
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu pun ternyata seorang
yang telah banyak berpengalaman. Itulah sebabnya, ketika ia melihat
Mahisa Agni tidak menyerangnya, justru meloncat mundur sambil
menyilangkan tangannya, serta ketegangan di wajah anak muda itu, maka
guru Pasik itu pun segera menyadari, bahwa lawannya telah pula bersiap
dalam puncak ilmunya.
Karena itu, maka terdengar orang itu menggeram, "Apa yang sedang kau lakukan itu?"
Mahisa Agni masih belum bergerak dari tempatnya. Ia pun menunggu sampai
lawannya datang menyerangnya. Maka jawabnya, "Aku sedang berpikir,
apakah kau sedang mengungkapkan kesaktianmu yang tertinggi?"
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Ternyata Mahisa Agni menyadari
keadaannya. Katanya, "Kita telah sampai pada saat penentuan. Aku masih
ingin mencoba memperingatkan kau sekali lagi anak yang malang. Berikan
kerismu dan jangan melawan. Mungkin aku akan membunuhmu dengan keris
itu, tidak dengan cara-cara yang lain yang akan dapat menyiksamu pada
saat-saat terakhir."
"Ki Sanak," jawab Mahisa Agni, "kau masih saja hidup di dunia yang gelap
ini. Sebaiknya kau bangun dan sadari keadaanmu kini. Kau berada di
antara manusia dan hidup bersama-sama dengan mereka. Kenapa berlaku
demikian? Seolah-olah kau hidup di tengah-tengah rimba dan memaksakan
segala kehendakmu kepada pihak-pihak yang kau anggap lebih lemah."
"Tutup mulutmu!" bentak Guru Pasik itu. Matanya yang merah menjadi
semakin merah, "Jangan ribut. Berikan keris itu, dan tundukkan kepalamu.
Aku ingin melibat darah memancar dari lehermu."
"Ki Sanak ," jawab Mahisa Agni, "kalau aku harus mati, maka akan mati dengan wajah menengadah."
Guru Pasik itu menggeram. Terdengar giginya gemeretak,dan tiba-tiba ia
berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia menerkam Mahisa Agni tepat
seperti serigala yang buas menerkam mangsanya. Tetapi Mahisa Agni telah
sampai di puncak ilmunya. Karena itu betapa cepatnya ia menghindarkan
diri dari terkaman itu, sehingga orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa
Kali Elo itu terdorong oleh kekuatannya sendiri meluncur beberapa
langkah. Namun orang itu agaknya telah benar-benar menguasai segenap
gerak dan tubuhnya. Demikian ia menginjak tanah, demikian ia melenting
dan memutar tubuhnya siap untuk melontarkan serangan kembali. Mahisa
Agni pun segera mempersiapkan dirinya pula kembali, dan bahkan kini ia
tidak ingin perkelahian itu berlangsung berlarut-larut. Demikian ia
melihat guru Pasik itu menyerangnya kembali dengan dahsyatnya, maka
segera ia bergeser ke samping dan merendahkan dirinya. Kali ini Mahisa
Agni tidak melepaskan kesempatan itu, dengan cepatnya ia meloncat
menyerang lambung lawannya. Namun lawannya itu pun dengan sigapnya
memperbaiki keadaannya, sehingga tepat pada saat serangan Mahisa Agni
datang, Guru Pasik itu pun telah siap pula melawannya dengan garangnya.
Demikianlah maka terjadilah benturan yang dahsyat dari dua macam ilmu
yang berlawanan. Benturan itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang
bersabung.
Pasik yang melihat benturan itu, tiba-tiba memejamkan matanya. Terdengar
ia berdesah. Ia tidak mau melihat peristiwa yang mengerikan itu
berulang. Beberapa, saat yang lampau, ia pernah melihat gurunya
mempergunakan ilmu itu pula, ketika mereka gagal memaksa seseorang untuk
menyerahkan barang-barangnya di perjalanan. Ternyata orang itu pun
mampu melawan gurunya dalam pertarungan jasmaniah. Namun kemudian
gurunya itu mempergunakan ilmunya yang dahsyat itu.
—–
Benturan antara Bahu Reksa Kali Elo dengan Mahisa Agni itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang bersabung.
—–
Ilmu yang dinamai Kala Bama. Akibatnya sangat mengerikan. Dada itu pecah
berserakan. Tulang-tulangnya patah dan isi adanya pecah berhamburan
bercampur warna darah. Pada saat itu ia gembira menyaksikan pembunuhan
yang dahsyat. Tetapi kini tiba-tiba ia merasa muak. Bukan seharusnya
Mahisa Agni mendapat perlakuan yang demikian.
Tetapi sesaat kemudian Pasik itu menjadi heran. Ia mendengar tubuh-tubuh
yang berjatuhan, namun ia tidak mendengar gurunya itu tertawa nyaring
seperti pada saat ia membunuh orang di jalan itu. Tiba-tiba timbullah
keinginannya untuk melihat apa yang terjadi. Perlahan-lahan ia membuka
matanya. Dan pertama-tama dilihatnya adalah Mahisa Agni yang sedang
berusaha untuk berdiri di halaman itu. Namun tampak betapa ia menjadi
sangat letih. Sekali-sekali ia masih terhuyung-huyung hampir jatuh.
Namun kemudian ia menemukan keseimbangannya kembali.
Sebenarnyalah pada saat benturan itu terjadi, Mahisa Agni terdorong
beberapa langkah surut, kemudian betapa dahsyatnya tenaga lawannya
sehingga ia terguling beberapa kali. Baru kemudian dengan susah payah,
ia berusaha berdiri.
Tetapi lawannya pun tidak kurang pula parahnya. Seperti seonggok kayu ia
terlempar, kemudian terbanting di tanah. Sesaat orang yang menamakan
diri Bahu Reksa Kali Elo itu seakan-akan tak dapat lagi bernafas.
Dadanya serasa pecah dan matanya berkunang-kunang. Karena itu maka
segera dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk segera
menemukan kesadarannya kembali. Dan akhirnya guru Pasik itu pun mampu
pula mengangkat kepalanya. Perlahan-lahan ia bangkit betapapunggungnya
terasa sakit. Ketika ia telah berhasil duduk dan bertelekan di atas
kedua tangannya, dilihatnya Mahisa Agni telah berdiri di hadapannya.
"Setan!" desisnya, "hantu mana yang telah menyelamatkanmu dari aji Kala Bama?"
Mahisa Agni menarik nafas. Kala Bama. Aji itu pun betapa dahsyatnya
sehingga hampir saja dadanya dipecahkannya. Namun Mahisa Agni tidak
menjawab pertanyaan itu.
Ditatapnya wajah orang itu dengan tajamnya. Dan dibiarkannya ia berusaha untuk berdiri pula.
Dengan tertatih-tatih akhirnya orang itu pun tegak pula. Namun sesaat
kemudian ia berdiam diri seperti sedang merenung. Dan tiba-tiba pula
tanpa disangka-sangka orang itu memutar tubuhnya dan terhuyung-huyung
meloncat berlari meninggalkan halaman yang celaka itu.
Sesaat Mahisa Agni terpaku di tempatnya, namun kemudian disadarinya
bahwa orang itu akan tetap berbahaya baginya. Karena itu maka segera ia
pun berusaha untuk mengejarnya. Tetapi keadaan tubuhnya sendiri betapa
letihnya, sehingga tenaganya pun telah menjadi sangat jauh berkurang.
Meskipun demikian, orang yang dikejarnya itu pun tidak dapat berlari
terlalu cepat.
Mahisa Agni dan guru Pasik itu pun kemudian dengan terhuyung-huyung
berlari berkejaran. Tetapi tiba-tiba ketika Mahisa Agni hampir meloncati
dinding halaman yang rendah, guru Pasik itu pun berhenti. Secepat kilat
ia memutar tubuhnya dengan sisa-sisa ketangkasannya yang terakhir,
kemudian dengan tiba-tiba pula, Mahisa Agni melihat sebilah pisau yang
meluncur terbang ke arahnya.
Mahisa Agni terkejut melihat pisau itu. Cepat ia mengendapkan diri dan
pisau itu terbang beberapa jengkal di atasnya. Namun karena ia
tergesa-gesa dan kekuatannya pun telah hampir habis, maka dengan tak
disangka-sangka Mahisa Agni itu pun tergelincir jatuh di tanah.
Mahisa Agni mengumpat di dalam hatinya. Pada saat ia bangun ia mendengar
orang itu tertawa tinggi sambil berkata hampir berteriak, "Mahisa Agni.
Kau menang kali ini. Tunggulah beberapa lama, apabila guruku telah
selesai dengan pekerjaannya menempa Kuda Sempana, maka akan datang
giliranmu untuk aku penggal lehermu.
Mahisa Agni itu pun berusaha bangun secepat-cepatnya. Namun karena
tenaganya yang lemah itu, maka ketika ia berhasil berdiri masih di dalam
pagar, maka guru Pasik itu telah tidak dilihatnya lagi.
"Alangkah liat kulitnya," gumam Mahisa Agni. Bagaimanapun juga ia
terpaksa mengagumi orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu,
sebagaimana orang itu mengaguminya. Mereka masing-masing telah
mempergunakan ilmu tertinggi yang mereka miliki. Namun mereka mampu
untuk bertahan, meskipun dada mereka seakan-akan menjadi rontok
karenanya.
Tetapi yang mengejutkan Mahisa Agni, orang itu telah menyebut nama Kuda
Sempana. Karena itu maka ia menjadi gelisah. Apakah hubungannya dengan
Kuda Sempana
Tiba-tiba Mahisa Agni itu ingat kepada Pasik. Anak itu masih berbaring
di tangan ayahnya. Mungkin ia bisa bertanya kepadanya apakah hubungan
antara orang ini dan Kuda Sempana.
Karena itu, maka kemudian dilepaskannya maksudnya untuk mencari guru
Pasik itu sebelum keadaan tubuhnya memungkinkan. Bahkan segera ia
berjalan kembali ke halaman untuk menemui Pasik yang masih dengan
lemahnya berbaring. Tetapi ketika ia melihat Mahisa Agni datang
kepadanya tiba-tiba ia tersenyum. Kemudian dengan lemahnya ia berusaha
untuk duduk.
"Tuan ternyata luar biasa," desisnya.
Mahisa Agni tidak menjawab. Ditatapnya wajah ibu Pasik yang agaknya
masih marah kepadanya. Tetapi ketika perempuan itu mendengar kata-kata
Pasik itu, dan dilihatnya anaknya tersenyum, ia menjadi heran.
Dan tiba-tiba perempuan itu bertanya kepada anaknya, "Apakah kau sudah berangsur baik?"
Pasik berpaling. Dipandangnya wajah ibunya yang penuh kecemasan.
Kemudian ditatapnya pula wajah ayahnya yang sayu. Tiba-tiba terasa
sesuatu berdesir di dadanya. Dan tanpa sesadarnya ia berkata, "Maafkan
aku Ibu, maafkan aku Ayah."
Ibunya terkejut ketika dengan tiba-tiba ia mendengar kata-kata anaknya
itu. Beberapa saat ia terdiam seperti patung. Namun tiba-tiba pula
diraihnya kepala anaknya, dan dipeluknya anaknya itu seperti ketika
masih kanak-kanak. Ibu Pasik itu pun menangis sejadi-jadinya.
Beberapa orang masih tampak di halaman itu. Selangkah demi selangkah
mendekat. Mereka merasakan sesuatu yang berbeda dengan saat-saat
sebelumnya. Dan mereka melibat Mahisa Agni masih di halaman itu. Dengan
demikian maka mereka menjadi tenang.
Ayah Pasik itu pun menggosok-gosok matanya yang menjadi nyeri.
Satu-satunya anaknya kini telah kembali kepadanya, kepada ayah dan
ibunya. seakan-akan anak yang telah hilang itu datang kembali pulang.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Betapa ia ikut serta mengalami
keharuan melihat peristiwa itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
mengucap syukur di dalam hatinya. Mudah-mudahan untuk seterusnya Pasik
menyadari keadaannya. Ia adalah anak Kajar, dilahirkan di Kajar dan
dibesarkan di Kajar pula.
Baru sesaat kemudian, kepala Pasik itu pun dilepaskan. Namun air mata
masih saja mengalir meleleh di pipi perempuan yang telah dipenuhi oleh
garis-garis umur dan duka.
Patik itu kemudian menatap Mahisa Agni dengan mata yang buram. Katanya,
"Tuan telah membuka hatiku. Dan tuan telah mengampuni aku. Sebab kalau
tuan mau membunuh aku, maka aku pun pasti sudah mati. Ternyata tuan
benar-benar menyelamatkan diri dari aji Kala Bama, dan bahkan tuan
berhasil mengusir Bahu Reksa Kali Elo dari halaman ini."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Katanya, "Jangan pikirkan itu.
Sekarang sembuhkan luka-lukamu. Luka badan dan luka jiwamu.
Mudah-mudahan kedua-duanya akan lekas menjadi sembuh."
Pasik menganggukkan kepalanya. Katanya lirih kepada ayahnya, "Ayah.
Mintakan aku maaf kepada penduduk Kajar. Kepada tetua padukuhan ini, dan
kepada siapa saja."
"Mereka akan memaafkan kau, Pasik," terdengar suara di belakang mereka. Suara tetua padukuhan itu.
"Terima kasih Kiai," sahut Pasik.
Halaman itu kemudian hening untuk sesaat. Masing-masing sedang tenggelam
dalam angan-angannya. Mereka sedang menilai peristiwa yang haru saja
mereka saksikan. Peristiwa yang telah menolong seorang anak padukuhan
mereka yang selama ini tenggelam dalam arus yang hitam.
Tetapi kegelisahan di dada Mahisa Agni masih saja mengguncangnya. Ia
ingin segera tahu hubungan guru Pasik itu dengan Kuda Sempana. Dalam
tangkapannya, maka Kuda Sempana yang digarap pula oleh guru Pasik itu,
adalah saudara seperguruan dengan orang yang menamakan diri Bahu Reksa
Kali Elo.
Karena itu, ketika halaman itu telah menjadi tenang, maka Mahisa Agni
itu pun segera melangkah mendekati Pasik yang sudah dapat duduk
bersandar kedua tangannya.
Dengan ragu-ragu Mahisa Agni itu pun berkata kepada ayah Pasik. Katanya,
"Paman, apakah tidak sebaiknya Pasik dibawa masuk untuk mendapatkan
perawatan yang baik?"
"Ya, ya," jawab ayah Pasik itu tergagap. Dan kemudian dibantu oleh
Mahisa Agni, maka Pasik itu pun dipapah masuk ke rumahnya. Dengan
perlahan-lahan anak muda itu dibaringkannya di atas pembaringan.
"Terima kasih," desis Pasik, "aku sudah mendingan."
"Jangan banyak bergerak, Pasik," Mahisa Agni berpesan. Dan Pasik itu pun mengangguk.
Setelah Pasik itu minum kembali beberapa teguk, maka keadaannya menjadi
semakin baik. Dan kata-katanya yang ke luar dari mulutnya pun menjadi
semakin lancar.
Beberapa orang yang berdiri di halaman satu-satu menengok juga dari
lubang ke dalam rumah, namun mereka tidak berkehendak masuk. Bahkan
kemudian satu-satu mereka meninggalkan halaman itu pulang ke rumah
masing-masing. Namun di dalam dada mereka tersimpan suatu perasaan yang
lain daripada saat mereka datang dengan tergesa-gesa ke halaman itu.
Rumah Pasik itu pun kemudian menjadi sepi yang berdiri di pintu adalah
tertua padukuhan Kajar, dan menantunya berdiri di belakangnya. Walaupun
ia melihat bahwa Pasik itu terluka, namun ketakutannya masih juga belum
mereda.
"Angger Mahisa Agni," berkata orang tua itu, "aku akan pulang dahulu. Apakah Angger pergi bersama-sama aku ke rumahku?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku akan menyusul, Bapa."
Orang itu pun kemudian minta diri pulang bersama menantunya yang masih berdebar-debar
Ketika halaman itu telah benar-benar sepi, maka barulah Mahisa Agni
bertanya kepada Pasik. Katanya, "Pasik, apakah kau pernah mendengar nama
Kuda Sempana?"
Pasik itu mengerutkan keningnya. Sesaat ia ragu-ragu, namun kemudian jawabnya, "Ya, Tuan. Aku pernah mendengar."
"Panggillah aku dengan namaku," sahut Mahisa Agni.
"Ya, ya Mahisa Agni," berkata Pasik dengan kaku.
"Nah. Demikianlah," sambut Mahisa Agni, kemudian katanya melanjutkan pertanyaannya, "siapakah Kuda Sempana itu?"
"Dari mana tuan, eh, kau tahu nama itu?´ bertanya Pasik.
"Aku mendengar dari gurumu. Ia akan datang mencari aku setelah gurunya
selesai dengan pekerjaannya, menempa orang yang bernama Kuda Sempana."
Pasik menganggukkan kepalanya. Kembali ia beragu. Tetapi ketika
ditatapnya wajah Mahisa Agni yang bening ia berkata, "Kuda Sempana
adalah adik seperguruan guruku."
"Hem," Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Siapakah dia?"
"Kuda Sempana adalah seorang prajurit pelayan dalam Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel."
"Hem," kembali Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi Kuda
Sempana itu benar-benar Kuda Sempana yang pernah dikenalnya. Bukan orang
lain yang hanya kebetulan bernama sama.
"Siapakah guru dari gurumu itu?" bertanya Mahisa Agni.
Pasik menggeleng. "Aku tak tahu. Guruku mempunyai saudara seperguruan
yang cukup banyak. Ada di antaranya prajurit, ada pula pejabat, namun
ada pula penjudi dan penjahat. Mereka akan diterima menjadi murid asal
mereka dapat menyerahkan berbagai macam imbalan. Namun jumlah murid itu
tidak lebih dari sepuluh orang. Di antaranya adalah guruku. Karena
itulah maka guruku harus memeras orang-orang di sekitarnya untuk dapat
memberikan imbalan kepada gurunya."
"Dan agaknya gurumu berbuat serupa."
"Ya. Ia pun menerima beberapa orang murid dengan cara yang sama untuk menutup kebutuhannya."
"Hem," kembali Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Guru orang yang
menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu pasti seorang yang sakti pula.
Ternyata bahwa muridnya memiliki kesaktian yang mengagumkan. Namun
agaknya orang itu telah memilih jalan yang sesat, yang menjual
kesaktiannya untuk kepentingan-kepentingan lahirlah. Itulah sebabnya
maka muridnya tersebar dari segala penjuru. Ternyata siapa pun yang
mampu memberinya imbalan sesuai dengan permintaannya, maka mereka akan
dapat menghisap ilmu daripadanya tanpa dihiraukannya akibat. Dan
akibatnya, itu pada umumnya adalah sangat tidak baik.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Agni pun segera menghubungkan penempaan
diri Kuda Sempana dengan kekalahan yang pernah dialaminya di
padukuhannya. Karena itu, maka ia bertanya pula, "Apakah kau kenal
dengan Kuda Sempana secara pribadi, Pasik?"
Pasik menggeleng. "Tidak," jawabnya, "namun aku pernah melihat orangnya Aku pernah mendengar ia bercakap-cakap dengan guruku."
"Kenapa Kuda Sempana itu berguru pula pada guru Bahu Reksa Kali Elo itu?"
"Aku tidak tahu," kembali Pasik menggeleng.
"Apakah kau tahu, apa yang mendorongnya sehingga ia dengan tergesa-gesa
menempa diri? Apakah memang sudah saatnya ia menerima ilmu itu, ataukah
hanya karena Kuda Sempana sudah mempunyai cukup uang untuk berbuat
demikian?"
"Mungkin," sahut Pasik, "namun Kuda Sempana itu juga menyimpan dendam di dalam hatinya.:
Terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa Agni. Dan ia pun kemudian
mendengar Pasik itu meneruskan, "Kuda Sempana telah mengalami kekecewaan
terhadap seorang gadis. Karena itu, ia telah bersiap untuk menebus
kekecewaannya."
"He," Mahisa Agni terkejut, "dari mana kau tahu?"
Pasik menjadi heran atas tanggapan Mahisa Agni itu. Kemudian katanya, "Apakah tuan, eh, kau kenal Kuda Sempana."
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan Pasik, tetapi ia berkata, "Dari mana kau tahu?"
"Aku pernah melihat Kuda Sempana mengatakan itu kepada saudara-saudara
seperguruannya, termasuk guruku. Meskipun aku tidak sengaja
mendengarkannya."
Denyut jantung Mahisa Agni pun terasa menjadi semakin cepat mengalir.
Nafasnya pun kemudian seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir berebut
dahulu lewat lubang hidungnya. Dengan terbata-bata ia bertanya, "Apa
katanya?"
Pasik menjadi semakin heran. Karena itu ia bertanya, "Kenapa tuan menaruh perhatian yang sangsi besar atas orang itu?"
Sekali lagi Mahisa Agni tidak mendengarkan pertanyaan Pasik. Bahkan ia mendesaknya, "Apa yang dikatakan Kuda Sempana itu?"
Pasik tidak segera menjawab. Namun Mahisa Agni itu pun mendesaknya sekali lagi, " Apa?"
Pasik tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaan itu,
katanya, "Kuda Sempana perah dikecewakan oleh seorang gadis. Katanya,
‘Apabila aku tak dapat memetik bunga itu, maka lebih baik akan aku
gugurkan saja daun-daun mahkotanya’.
Darah di dalam tubuh Mahisa Agni serasa mengalir lebih cepat. Kata-kata
semacam itu pun pernah didengarnya dahulu dari mulut Kuda Sempana
sendiri, meskipun tidak sejelas itu. Tetapi apa yang dikatakan itu
adalah benar-benar mencemaskan hatinya.
Pasik yang melihat perubahan wajah Mahisa Agni menjadi semakin heran.
Sekali lagi ia mencoba bertanya, "Mahisa Agni, apakah kau mengenal Kuda
Sempana?"
"Aku pernah mendengar namanya," jawab Mahisa Agni.
"Tetapi kau terpengaruh oleh berita yang kau dengar."
"Setiap orang akan terpengaruh mendengar cerita itu. Bukankah itu akan
merupakan pelanggaran atar sendi-sendi pergaulan. Ia akan memaksakan
kehendaknya atas seorang gadis, sedang gadis itu tidak menerimanya.
Apakah haknya untuk memaksa gadis itu? Apalagi orang tua gadis itu pun
sama sekali tak menyetujuinya. Bahkan gadis itu dengan resmi telah
dipertunangkan. Bukankah itu suatu perkosaan atas nilai-nilai
kemanusiaan?"
Pasik mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berkata, "Mahisa Agni kau
pasti mempunyai hubungan dengan Kuda Sempana. Dari mana kau tahu bahwa
gadis itu tak menerimanya?"
—–
Pasik tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaan itu,
katanya, "Kuda Sempana pernah dikecewakan oleh seorang gadis. Katanya,
‘Apabila aku tak dapat memetik bunga ini maka akan kugugurkan daun-daun
mahkotanya’.
—–
"Dari mana kau tahu bahwa ayah gadis itu tak menyetujuinya? Dan dari mana kau tahu bahwa gadis itu telah dipertunangkannya?"
"Oh," Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi
ia sudah terlanjur mengatakannya. Karena itu maka ia harus menjawabnya.
Namun sesaat ia menjadi ragu-ragu. Pasik adalah orang yang jauh dari
lingkungan pergaulan mereka, sehingga tak ada perlunya untuk
memberitahukannya. Namun mulutnya sudah terlanjur mengucapkannya.
"Mahisa Agni," bertanya Pasik Tiba-tiba, "apakah kau anak muda yang dipertunangkan dengan gadis itu?"
"Tidak, tidak," cepat Mahisa Agni menjawab hampir berteriak sehingga
Pasik itu pun terkejut. Ibunya yang sedang berada di dapur pun berdiri
sesaat menengok ke ruang depan. Tetapi ketika dilihatnya Pasik masih
berbaring, dan di sampingnya duduk Mahisa Agni dan ayahnya, maka
perempuan itu pun kembali merebus air. Sedang ayahnya yang duduk di
samping Pasik itu sama sekali tidak tabu, apakah yang sebenarnya mereka
percakapkan.
Bahkan Mahisa Agni sendiri pun terkejut mendengar suaranya sendiri.
Namun yang lebih berpengaruh di hatinya adalah pertanyaan Pasik itu.
Bukankah ia sendiri bukan laki-laki yang dipertunangkan dengan gadis
itu. Bukankah gadis itu telah mempunyai seorang calon suami yang akan
dapat melindunginya?
"Persetan dengan gadis itu!" katanya di dalam hati, "Bukankah Ken Dedes menjadi kewajiban Wiraprana."
Tetapi getar di dalam dada Mahisa Agni pun menjadi semakin cepat. Betapa
ia berusaha menekan perasaannya, namun kegelisahannya bahkan menjadi
semakin mengganggunya. Meskipun Ken Dedes, gadis yang dikatakan oleh
Kuda Sempana itu merupakan duri di dalam hatinya, namun duri itu
merupakan sebagian dari seluruh keindahan dari Bunga kaki Gunung Kawi
itu. Karena itu, maka jantungnya semakin lama menjadi semakin keras
berdentang. Meskipun betapa pedihnya luka-luka yang tergores di hatinya
karena tajamnya duri itu, namun ia tidak rela melihat seluruh keindahan
Bunga kaki Gunung Kawi itu akan digugurkan.
"Pasik," tiba-tiba Mahisa Agni itu berkata, "aku akan mohon diri."
Pasik terkejut. Terkejut sekali sehingga tiba-tiba ia bangkit. Namun
kembali terasa dadanya akan pecah, dan dengan lemahnya ia terkulai
kembali.
"Jangan bergerak dahulu," minta Mahisa Agni ketika ia melihat mulut Pasik menyeringai.
"Kenapa kau menjadi sedemikian tergesa-gesa. Apakah kau akan pergi ke tempat Kuda Sempana karena kau mendengar ceritaku?"
Mahisa Agni menggeleng. "Tidak," jawabnya, "aku akan pergi ke rumah tetua Padukuhan Kajar.
"Oh," Pasik menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bergumam, "Aku
menjadi sangat terkejut. Aku sangka kau akan pergi ke rumah Kuda
Sempana. Bukankah dengan demikian kau akan membunuh diri?"
Sekali lagi Mahisa Agni menggeleng. Namun terdengar ia bertanya, "Kenapa
membunuh diri? Bukankah Kuda Sempana itu adik seperguruan gurumu?"
"Ya," jawab Pasik, "tetapi penempaan yang dilakukan oleh gurunya ini
merupakan penempaan yang tertinggi. Apakah dengan demikian Kuda Sempana
itu tidak akan menjadi lebih dahsyat dari guruku?"
Mahisa Agni itu pun merenung. Namun akhirnya ia mengambil kesimpulan,
bahwa guru Kuda Sempana itu pasti tak akan ikut terjun dalam setiap
bahaya yang mengancam dirinya. Ia hanya memberikan ilmu untuk sekedar
mendapat upah. Kalau upah itu telah diterimanya serta ilmu yang dibeli
itu telah diberikannya, maka apapun yang akan dialami oleh muridnya
adalah tanggung jawab murid-murid itu sendiri. Guru yang demikian, pasti
tidak mau ikut seria melibatkan diri apabila persoalannya akan dapat
membahayakan dirinya pula. Karena itu, maka ilmu diberikannya pasti ilmu
yang hanya terbatas dalam tataran yang tertentu.
Karena itu, maka menurut perhitungan Mahisa Agni, murid-murid guru Bahu
Reksa Kali Elo itu pasti hanya akan mendapat bagian yang sama dari ilmu
gurunya itu. Kalau ada perbedaan sedikit-sedikit, maka itu pasti hanya
karena kemampuan murid-murid itu sendiri.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu pun dapat memperhitungkan
kemungkinan yang dimiliki oleh Kuda Sempana. Meskipun demikian, Mahisa
Agni tidak boleh merendahkan siapa pun. Satu-satunya jalan yang terbaik,
ialah mematangkan ilmunya sendiri.
Tetapi Mahisa Agni tidak boleh menunda-nunda waktu lagi. Kuda Sempana
setiap saat dapat datang ke Panawijen. Adalah berbahaya sekali apabila
gurunya, Empu Purwa masih juga belum pulang, sehingga dengan demikian
Kuda Sempana akan dapat berbuat sesuatu yang sama sekali tak
disangka-sangkanya. Meskipun demikian, betapapun saktinya Kuda Sempana,
namun apakah Kuda Sempana mampu melawan kekuatan seluruh penduduk
Panawijen. Sebab apabila terjadi sesuatu dengan Ken Dedes, maka seluruh
penduduk Panawijen pasti akan membelanya. Tetapi kalau Kuda Sempana
datang berdua atau bertiga saja, apalagi lebih, maka keadaannya pasti
akan menyulitkan, sekali.
Maka yang segera harus dilakukan adalah pulang kembali ke Panawijen.
Mahisa Agni itu pun kemudian sekali lagi minta diri ke pada Pasik.
Betapa Pasik mencoba mencegahnya, juga ayah ibunya, namun Mahisa Agni
yang mencemaskan nasib padukuhannya, ternyata sudah tidak dapat menunda
rencananya. Meskipun yang dikatakannya kepada Pasik, Mahisa Agni hanya
akan kembali ke rumah tetua padukuhan Kajar, karena ia sudah berjanji
untuk segera menyusulnya.
"Ah," berkata Pasik, "nanti malam pun tak, mengapa. Bukankah kau tidak takut kepada apapun?"
"Terima kasih Pasik. Tetapi orang tua itu nanti terlalu lama menunggu,"
sahut Mahisa Agni, "nanti, besok, atau kapan lagi aku akan dapat
menengokmu kembali."
Dan keluarga Pasik itu benar-benar sudah tidak dapat mencegahnya. Dengan
ucapan terima kasih yang tak berhingga, maka Mahisa Agni itu pun
kemudian dilepas pergi.
Mahisa Agni itu pun kemudian benar-benar singgah di rumah tetua
padukuhan Kajar, tetapi hanya untuk minta diri. Kegelisahan yang
menghentak-hentak dadanya tak dapat ditunda-tundanya lagi. Seolah-olah
selalu didengarnya, kampung halaman di mana ia mendapatkan pendidikan
dan keteguhan tabir batin, memanggilnya untuk segera pulang kembali.
Orang tua, tetua padukuhan Kajar itu pun mencoba mencegahnya. Mereka
mempersilakan Mahisa Agni untuk berada di lingkungan keluarga mereka
sehari atau dua liari. Apalagi anak serta menantunya, merasa bahwa
Mahisa Ainlah yang telah mengurungkan bencana yang akan menimpa mereka.
Bencana yang akan memisahkan mereka suami istri. Namun Mahisa Agni
dengan menyesal sekali menolak permintaan itu. Meskipun demikian, supaya
orang tua itu tidak terlalu kecewa, maka Mahisa Agni pun menunggu
sesaat, sampai nasi jagung yang mereka masak menjadi masak.
"Bawalah Ngger," berkata orang tua itu, "Angger memerlukan bekal di perjalanan Angger yang tak tentu kapan akan berakhir."
"Terima kasih Bapa," jawab Mahisa Agni, "demikianlah pekerjaan seorang perantau. Dan aku senang akan pekerjaan itu."
Mahisa Agni pun kemudian menerima bekal itu dengan senang hati.
Dimasukkannya bekal itu ke dalam bungkusannya yang ditinggalkannya di
rumah tetua padukuhan Kajar itu. Kemudian disangkutkannya bungkusan itu
di ujung tongkat kayunya.
Kembali kini Mahisa Agni berjalan dengan memanggul bungkusan kecilnya
sebagai seorang perantau. Selangkah demi selangkah ia meninggalkan
halaman rumah orang tua. Suami istri beserta anak menantunya
mengantarkan Mahisa Agni sampai ke regol halaman rumah mereka. Dan
kemudian mereka mengawasi langkah perantau yang baik hati itu sampai
hilang di tikungan jalan.
Ketika Mahisa Agni sampai di mulut lorong padukuhan Kajar, sekali lagi
ia berpaling. Tetapi ia tidak melihat seseorang di belakangnya. jalan
itu sepi. Di sebelah tikungan di belakangnya didapatinya rumah tetua
padukuhan Kajar. Dan di ujung yang lain didapatinya rumah Pasik. Dua
buah rumah yang meninggalkan kenangan di hati Mahisa Agni.
Demikianlah Mahisa Agni menempuh jalan kembali ke Panawijen. jalan yang
pernah dilaluinya beberapa waktu yang lampau. Namun kini perjalanan
Mahisa Agni seolah-olah jauh lebih cepat daripada saat ia berangkat, ia
tidak perlu mencari-cari kemungkinan untuk tidak tersesat. Dengan bekal
ingatan serta pengenalannya yang baik, ia segera dapat menemukan kembali
jalan yang dahulu dilewatinya. Sehingga perjalanannya kali ini hanya
memerlukan waktu separuh dari waktu yang diperlukannya pada saat ia
berangkat.
Hutan dan ngarai yang panjang, serta padang rumput yang luas dilewatinya
dengan tergesa-gesa. Tenaga Mahisa Agni seakan-akan menjadi jauh lebih
besar dari tenaganya semula. Ketangkasannya bergerak serta pernafasannya
yang semakin teratur, telah menambah kecepatan perjalanannya. Meskipun
demikian, apabila ia bangun di pagi-pagi hari setelah ia bermalam di
cabang-cabang pepohonan, sekali-sekali diperlukannya juga memperlancar
getaran-getarannya bergerak-gerak di dalam tubuhnya dalam ilmunya
Gundala Sasra. Semakin sering ia menerapkan ilmunya, maka
getaran-getaran itu semakin cepat mencapai tempat-tempat yang
dikehendakinya. Bahkan kemudian seakan-akan Mahisa Agni sudah tidak
memerlukan lagi waktu, sejak saat ia menerapkan ilmunya itu, sampai pada
penggunaannya. Apabila ia telah menyilangkan tangannya di muka dadanya,
sambil memusatkan pikiran serta segenap kekuatan lahir dan batinnya,
maka sesaat itu pula, ilmunya telah mapan untuk dilontarkannya lewat,
bidang-bidang permukaan tubuhnya yang dikehendakinya. Berkali-kali ia
telah mencoba di sepanjang perjalanan itu. Batu-batu padas, batu-batu
hitam dan bahkan pepohonan dan binatang-binatang buas yang menyerangnya.
Sesuai tuntunan-tuntunan yang diberikan oleh gurunya, Mahisa Agni selalu
dengan tekun mencoba meningkatkan setiap kemampuan dari ilmu Gundala
Sasra itu. Di sepanjang jalan dan di setiap kesempatan.
Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah, Mahisa Agni telah meninggalkan
daerah-daerah hutan yang lebat, dan di mukanya membentang daerah yang
subur dan ramai. Mahisa Agni telah menginjak batas jantung pemerintahan
Tumapel.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin berjalan melewati kota. Sudah beberapa
lama ia berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Karena itu ia kini
ingin melihat tempat-tempat yang agak ramai, meskipun tanpa sesuatu
maksud tertentu.
Maka Mahisa Agni itu pun segera membersihkan dirinya di sebuah kali. Ia
tidak ingin masuk kota sebagai seorang yang tampaknya terlalu kotor.
Dipakainya pakaiannya yang masih terlipat di dalam bungkusannya.
Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni menjadi agak bersih karenanya,
setelah ia tinggal di antara rimbunnya dedaunan di hutan yang lebat,
serta bekas-bekas param yang diberikan oleh gurunya untuk mencegah
keracunan karena gigitan binatang-binatang serangga beracun. Ketika
matahari kemudian menjadi semakin tinggi, setinggi ujung rumah-rumah
joglo, maka Mahisa Agni telah masuk ke keramaian kota Tumapel.
Tetapi Tiba-tiba Mahisa Agni terkejut. Dari kejauhan ia melihat seorang
anak muda yang gagah dia tas punggung kuda. Semakin lama semakin dekat.
Dan hati Mahisa Agni itu pun menjadi ber-debar-debar. Anak muda itu
adalah Kuda Sempana.
Ketika kuda itu lewat di sampingnya, Mahisa Agni mencoba melambaikan tangannya sambil tertawa. "Kuda Sempana," sapanya.
Kuda Sempana menarik kekang kudanya. Dipandangnya wajah Mahisa Agni
dengan tajamnya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Namun dari
matanya itu memancar sinar dendam yang menyala-nyala meskipun demikian,
Mahisa Agni masih mencoba untuk tersenyum. Bahkan kemudian sekali lagi
ia menyapa, "Kuda Sempana, akan ke manakah kau sepagi ini?"
"Hem," Kuda Sempana menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan
tiba-tiba Kuda Sempana itu menggerakkan kendali kudanya, dan sesaat
kemudian kuda itu telah berlari kembali di jalan-jalan kota.
Beberapa orang mengawasi Mahisa Agni. Mereka menjadi heran, apakah anak
yang berkuda itu bendaranya yang sedang marah kepada budaknya.
Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling juga, dan dilibatnya wajah-wajah
yang memandangnya dengan aneh. Bahkan ada di antaranya yang
tersenyum-senyum dan ada pula yang menjadi iba.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kembali dikenangnya pergaulan di
padukuhannya. Pergaulan yang rapat dan jujur di antara sesama. Ia
menjadi sangat kecewa terhadap Kuda Sempana. Namun Mahisa Agni ini
kemudian menyadarinya, bahwa Kuda Sempana masih sangat marah kepadanya,
Ia tidak ingin berprasangka terhadap anak-anak muda dari kota.
Tetapi ketika Mahisa Agni melangkahkan kakinya, untuk meninggalkan
tempat itu, Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa berderai tidak jauh di
belakangnya, kemudian terdengar suara, "Anak yang malang. Agaknya ia
bersahabat karib dengan Kuda Sempana, pelayan dalam Akuwu Tumapel itu."
Mula-mula Mahisa Agni tidak menghiraukan ejekan itu. Sebagai orang yang
asing di kota itu, maka Mahisa Agni tak ingin mengalami perselisihan.
Karena itu, kembali ia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat
yang tak menyenangkannya itu.
Tetapi ketika ia baru satu langkah maju, kembali suara tertawa itu terdengar. Bahkan kemudian disusul oleh suara yang lain.
"Kenapa Kuda Sempana itu tak menjawab," sapanya.
Berkata yang lain, "Bukankah Kuda Sempana juga anak Panawijen seperti anak itu."
Keduanya tertawa-tawa. Dan terdengar salah seorang berkata pula.
"Kuda Sempana takut kepada anak Buyut padukuhannya yang garang itu. Takut kalau anak muda yang gagah itu minta uang kepadanya."
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata mereka. Cepat ia dapat menebak
siapakah yang telah sengaja membangkitkan kemarahannya itu. Yang
menyangka bahwa dirinya adalah anak Buyut Panawijen yang bernama
Wiraprana adalah Mahendra.
Dan sebenarnyalah. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra berdiri di tepi jalan di samping saudara seperguruannya. Kebo Ijo.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak itu masih tertawa
berkepanjangan. Bahkan kemudian Mahendra itu melangkah maju sambil
berkata, "Selamat pagi Wiraprana yang perkasa."
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Namun ia mengangguk pula sambil menjawab, "Selamat pagi Mahendra."
"Apa kerjamu sepagi ini di sini, Wiraprana?" bertanya Mahendra.
"Aku baru datang dari suatu perjalanan Mahendra," jawab Mahisa Agni, "aku hanya singgah sebentar."
Mahendra tertawa. Kemudian sambil menunjuk arah Kuda Sempana pergi, anak muda itu berkata, "Kau kenalan anak muda berkuda itu?"
Mahisa Agni mengangguk. "Ya," jawabnya.
Mahendra masih tertawa, "Tetapi ia tidak kenal kepada mu. Sayang kalau
ia segera pergi, aku ingin memperkenalkannya kepada anak Buyut
Panawijen. Aku kenal baik kepadanya."
"Terima kasih," sahut Agni pendek.
"Barangkali kau memerlukan pekerjaan daripadanya di istana?" ejek Mahendra.
Sekali lagi Mahisa Agni menggigit bibirnya ia menyadari bahwa Mahendra
sedang mencoba membangkitkan kemarahannya. Anak itu sedang mencari sebab
yang memungkinkan timbulnya pertengkaran. Seperti Kuda Sempana, maka
Mahendra pun agaknya mendendamnya.
"Hem," Mahisa Agni menarik nafas. Tidak disangkanya, bahwa ia akan
mempunyai banyak lawan yang tak diharapkannya. Alangkah senangnya
apabila hidupnya dipenuhi oleh rasa persahabatan dengan siapa pun juga.
Namun ia dihadapkan pada suatu keadaan yang tak dapat disingkirkannya.
Baik Kuda Sempana, maupun Mahendra seolah-olah memang dilahirkannya
sebagai lawan-lawannya. Meskipun demikian, Mahisa Agni benar-benar tidak
ingin berselisih di tengah-tengah kota yang ramai dan asing baginya.
Maka katanya, "Sudahlah Mahendra, aku akan meneruskan perjalananku."
"Ke mana?" bertanya Mahendra dengan nada tinggi.
"Pulang ke Panawijen."
"Apakah kau sudah mendapat pekerjaan di kota? Menjadi juru pekatik atau
apapun? Kalau belum kau dapat ikut aku. Kudaku memerlukan seorang
perawat yang baik."
Terasa dada Mahisa Agni terguncang mendengar ejekan itu. Apalagi
kemudian terdengar Kebo Ijo tertawa berkepanjangan. Bahkan tidak saja
Kebo Ijo, tetapi juga beberapa pemuda yang lain. Agaknya Mahendra dan
Kebo Ijo berada di tempat itu bersama-sama dengan beberapa orang
kawan-kawannya.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas untuk meredakan gelora di dadanya.
Ia mencoba untuk tidak menampakkan perubahan di wajahnya. Bahkan
kemudian ia berkata, "Mahendra, sebaiknya kita tidak usah bertemu di
tempat ini."
Mahendra tertawa, katanya, "Kita tidak ketemu di sini Ki Sanak. Aku tadi
melihatmu di seberang jembatan. Aku sengaja mengikutimu. Ternyata kau
berjumpa dengan Kuda Sempana. Aku kira kau akan minta pekerjaan
kepadanya."
"Tidak Mahendra," jawab Mahisa Agni, "aku tidak memerlukan pekerjaan."
Mahendra tertawa semakin keras. Kebo Ijo dan kawan-kawannya pun tertawa
pula. Salah seorang dari mereka bertanya, "Siapakah anak itu
sebenarnya?"
"Putra Buyut Panawijen. Wiraprana," jawab Mahendra dengan menekankan setiap suku kata.
Kini Mahisa Agni tidak berkata-kata lagi. Dengan sudut matanya ia
melihat beberapa orang muda yang berdiri di belakang Kebo Ijo. "Tujuh
orang," desisnya di dalam hati, "sembilan dengan Mahendra dan Kebo Ijo."
Dan anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. "Kasihan," berkata salah seorang daripadanya.
Mahendra yang berdiri paling dekat dengan Mahisa Agni berkata, "Wiraprana, apakah tawaranku kau terima?"
Mahisa Agni menggeram. Jawabnya, "Mahendra, apakah maksudmu sebenarnya?
Kau sebenarnya tahu benar, bahwa aku sama sekali tidak sedang mencari
Kuda Sempana. Kau tahu betul bahwa sikapmu itu tidak pada tempatnya.
Mahendra, apakah kau sengaja memancing persoalan supaya kau mendapat
alasan untuk berkelahi?"
Mahendra terdiam. Tampaklah kerut-kerut di wajahnya. Ia tidak menyangka
bahwa Mahisa Agni akan berkata langsung menebak maksudnya. Tetapi sesaat
kemudian Mahendra itu sudah tertawa lagi. Memang sudah disengaja
olehnya, Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu, akan dibuatnya
marah. Ia ingin sekali lagi mengadu tenaga. Sekarang kawan-kawannya akan
menjadi saksi. Setelah beberapa bulan ia mencoba mengembangkan ilmunya,
maka apabila ada kesempatan bertemu dengan Mahisa Agni, ia akan menebui
kekalahannya.
Karena itu Mahendra menjawab, "Apakah kau marah Wiraprana? Jangan lekas
marah. Di Tumapel, jangan kau samakan dengan padukuhan yang sepi
Panawijen, meskipun kau di Panawijen menjadi putra tetua padukuhanmu,
tetapi kau tidak dapat mengangkat wajahmu di Tumapel. Seorang Buyut pun
apabila masuk ke kota ini harus menundukkan wajahnya. Apalagi kau, hanya
anak seorang buyut. Kau tidak dapat memperlakukan anak-anak muda di
sini seperti anak-anak muda di desamu. Kau, bagi kami di sini sama
sekali tidak berarti."
Mahisa Agni kini sudah pasti, bahwa sebenarnyalah Mahendra sedang
memancingnya ke dalam suatu bentrokan. Karena itu, maka untuk yang
terakhir kalinya ia mencoba menghindari bentrokan itu apabila mungkin.
Jawabnya, "Baik Mahendra. Baik. Aku adalah anak Panawijen. Anak dari
pedesaan. Dan aku memang tidak ingin berbuat apapun di sini. Aku hanya
akan lewat, seperti anak-anak desa yang lain yang tak pernah mendapat
gangguan dari siapa pun apabila ia lewat di jalan kota. Sekarang biarlah
aku berlalu."
Mahendra terkejut mendengar jawaban itu. Sama sekali tak disangkanya
bahwa Mahisa Agni itu tidak segera marah mendengar ejekan-ejekan yang
telah dilontarkannya. Karena itu sesaat ia menjadi bingung untuk
membangkitkan kemarahan anak muda itu.
Ketika Mahendra melihat Mahisa Agni itu memutar tubuhnya dan melangkah
pergi, maka dengan tergesa-gesa ia memanggilnya, "Wiraprana. Jangan
pergi!"
Wiraprana terhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra melangkah maju mendekatinya.
"Jangan pergi!" bentak Mahendra.
"Apakah hakmu melarang aku pergi," sahut Agni.
Mahendra menjadi bingung. Ketika ia terpaling ke arah kawan-kawannya
melihat Kebo Ijo menjadi tegang. beberapa orang kawan-kawannya itu pun
sudah tidak tertawa lagi. Bahkan kemudian Kebo Ijo itu berkata, "Jangan
biarkan anak itu pergi. Ia telah menghina kita."
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata Kebo Ijo. Tetapi sekali lagi ia
merasa, bahwa apapun yang dikatakan oleh anak-anak muda itu adalah
suatu kesengajaan untuk memancing persoalan. Karena itu Mahisa Agni
kemudian tidak melihat lagi kemungkinan untuk meninggalkan daerah itu
tanpa timbulnya suatu perselisihan. Maka kini Mahisa Agni sama sekali
tidak berusaha untuk menghindar. Ia berdiri saja menunggu apapun yang
akan terjadi.
Mahendra yang melihat sikap Mahisa Agni itu pun menjadi marah. Karena
itu, maka ia pun tidak ingin melingkar-lingkar lagi. Ternyata Mahisa
Agni tidak dapat dipancingnya untuk marah dan mendahuluinya menyerang.
Dengan demikian, maka Mahendra tidak dapat menghindari tuduhan, ialah
yang mulai apabila timbul perkelahian. Tetapi kini mau tidak mau ia
harus mendahuluinya, sebab Mahisa Agni benar-benar dapat menguasai
dirinya.
Ketika Mahendra ini sekali lagi berpaling, maka dilihatnya beberapa
orang yang lewat, tertarik juga melihat ketegangan yang terjadi. Apabila
semula mereka hanya melihat anak-anak muda itu tertawa-tawa, kini
mereka melihat sikap-sikap yang keras dan tegang. Karena itu beberapa
orang yang melihat mereka itu pun berhenti. Beberapa di antaranya saling
mendekat dan berdiri di sekitar anak-anak muda itu. Beberapa orang
saling berpandangan dan bertanya sesamanya, "Apakah yang terjadi?"
Mahendra kini melangkah beberapa langkah maju. Dengan wajah yang menyala
ia berdiri tegak seperti tonggak di hadapan Mahisa Agni.
Seorang yang telah menjelang setengah abad, menggeleng-gelengkan kepala
sambil bergumam, "Anak-anak muda. Kerjanya tak ada lain membuat ribut
saja."
Seorang kawan Kebo Ijo yang mendengar gumam orang tua itu memandang
dengan tajamnya. Dan orang tua itu menjadi ketakutan. Sambil
merunduk-runduk ia berjalan pergi menjauhi pertengkaran itu.
Anak-anak muda kawan Mahendra itu pun kemudian berdesakan maju di antara
beberapa orang yang lain. Seorang yang berkumis tebal mencoba melerai
mereka. Katanya, "Apakah yang kalian perselisihkan?"
Kebo Ijo sama sekali tidak senang melihat kehadiran orang itu. Meskipun
ia berkumis tebal dan bertubuh tegap, namun dengan sekali dorong orang
itu terpental beberapa langkah. Dan seterusnya ia tidak berani mendekat
lagi. Hanya perlahan-lahan ia berkata, "Anak-anak muda tak ubahnya
seperti kuda-kuda liar yang lepas kendali."
Mahisa Agni- mendengar beberapa orang yang menyesal atas peristiwa itu.
Dan ia pun sebenarnya lebih menyesal dari mereka itu. Tetapi ia
dihadapkan pada dua pilihan. Dihinakan atau mempertahankan harga diri.
Dan Mahisa Agni pun ternyata bukan anak dewa-dewa yang lepas dari segala
macam kesalahan, kekhilafan dan kebanggaan lahiriah. Sehingga dengan
demikian, betapapun yang terjadi, Mahisa Agni tidak mau menjadi
permainan anak-anak muda dari kota yang kehilangan pengekangan diri.
Mahendra kini benar-benar sudah sampai ke puncak rencananya. Sekali lagi
bertempur dengan anak Panawijen itu. Meskipun ia sudah tidak akan dapat
mengharapkan Ken Dedes lagi, namun setidak-tidaknya ia dapat melepaskan
sakit hatinya dengan melumpuhkan Mahisa Agni Bahkan menjadikan anak itu
cacat atau apapun yang akan membuat anak Panawijen itu menyesal
sepanjang hidupnya atas keberaniannya mendesak Mahendra dari arena
sayembara pilih.
Dengan senyum yang menyakitkan hati Mahendra itu maju setapak sambil
berkata, "Nah, Wiraprana. Apakah kata mu sekarang? Apakah kau masih akan
menengadahkan wajahmu? Aku sama sekali sudah melupakan gadis kaki
Gunung Kawi itu. Namun aku sama sekali tak dapat melupakan kekalahan
yang pernah aku alami. Kekalahan yang tidak adil, hanya karena kakak
seperguruanku menganggap aku kalah. Kini kita dihadapkan kepada saksi
yang lebih banyak lagi. Apakah kau masih berkata bahwa Mahendra dapat
dikalahkan oleh anak pedesaan?"
"Aku sama sekali tidak pernah mempersoalkan tentang kalah dan menang,"
jawab Mahisa Agni yang telah mulai kehilangan kesabarannya, "Katakan
saja, apakah maksudmu sebenarnya? Menantang aku berkelahi atau apa?"
Dada Mahendra berdesir mendengar ketegasan sikap Mahisa Agni. Namun ia
pun harus bersikap setegas itu pula. Maka jawabnya, "Ya. Marilah kini
buktikan kebenaran dari keseimbangan di antara kita. Kita akan yakin,
sebab kita dihadapkan kepada saksi-saksi."
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia meletakkan bungkusannya serta
tongkat kayunya. Kemudian ia bersiap untuk menghadapi setiap
kemungkinan.
Sekali lagi dada Mahendra berdesir. Sikap Mahisa Agni benar-benar
meyakinkan, seolah-olah tak ada suatu apapun yang ditakutinya. Sehingga
meskipun ia dihadapkan pada suatu keadaan yang pasti tidak
disangka-sangkanya, namun ia tidak kehilangan ketenangannya.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara Kebo Ijo, "He, Wiraprana. Apakah yang ada di dalam bungkusan mu itu? Ular atau jampi-jampi?"
Kata-kata ini disusul oleh derai suara tertawa dari beberapa orang kawannya.
Alangkah sakit hati Mahisa Agni. Ketika ia melihat Mahendra tertawa
pula, maka berkatalah Agni dengan lantangnya, "Ayo Mahendra, apakah yang
sebenarnya kau kehendaki?"
Mahendra berhenti tertawa. Dengan tajam ia memandang wajah Mahisa Agni
yang telah mulai menjadi kemerah-merahan. Bahkan Mahisa Agni itu
kemudian berkata, "Mumpung hari masih pagi. Aku akan segera meneruskan
per jalanan."
"Jangan mengigau!" bentak Mahendra, "Kau sangka kau berhadapan dengan seekor tikus?"
"Aku berhadapan dengan seorang manusia. Karena itu, maka ia pun akan berlaku sopan dan menghargai orang lain."
Bukan main marahnya Mahendra mendengar sindiran itu. Kini ia sudah siap
dengan setiap kemungkinan. Ketika Mahendra itu bergeser setapak ke
samping, maka kaki Mahisa Agni pun segera merenggang.
"Hem," geram Mahendra, "kau yakin akan dirimu Wiraprana. Tetapi sebentar lagi kau akan menyesal."
"Aku menyesal sejak semula ketika aku sadari, bahwa pertemuan ini tidak bermanfaat sama sekali," sahut Agni.
"Diam!" bentak Mahendra. Kemudian katanya, "mulutmu setajam bisa ular. Ayo, minta maaf kepadaku."
Mahisa Agni pun anak muda semuda Mahendra. Karena itu darahnya pun masih
hangat-hangat panas. Ketika ia sudah tidak berhasil menahan diri lagi,
maka ia pun menjawab, "Aku sudah bersiap untuk mempertahankan harga
diriku, bukan untuk menyembahmu."
Jawaban itu seakan-akan membakar telinga Mahendra. Karena itu tiba-tiba
ia berteriak nyaring. Dengan satu loncatan, maka Mahendra menyerang
Mahisa Agni dengan dahsyatnya. Tangannya terjulur lurus mengarah dada
lawannya. Kecepatan gerak Mahendra benar-benar mengagumkan. Namun Mahisa
Agni benar-benar telah bersiap. Karena itu dengan kecepatan yang sama,
ia segera mencondongkan tubuhnya sehingga seakan-akan tangan Mahendra
yang terjulur itu terhenti beberapa cengkang saja di muka dadanya.
Tetapi Mahendra tidak membiarkan kegagalan itu. cepat ia meloncat sekali
lagi. Kali ini kakinya berputar setengah lingkaran pada tumitnya, dan
kakinya yang lain menyambar lambung Mahisa Agni. Namun sekali lagi
Mahisa Agni dengan lincahnya, meloncat ke samping menghindari kaki
lawannya. Bahkan dengan cepat, Mahisa Agni berhasil menyentuh kaki itu
dengan telapak tangannya, sehingga Mahendra terdorong selangkah ke
samping.
Mahendra terkejut mengalami kegagalan yang berulang itu. Ia merasa
seakan-akan ilmunya sudah jauh meningkat sejak beberapa bulan yang
lampau. Tetapi ia masih gagal dalam serangannya berganda atas lawannya.
Karena itu, maka kemarahannya menjadi semakin menyala. Apalagi kini
beberapa orang kawannya menyaksikan perkelahian itu. Sehingga setiap
kegagalan yang dialaminya, pasti akan menyebabkan kawan-kawannya itu
menjadi kecewa. Mereka menganggap bahwa di antara mereka Mahendra adalah
seorang anak muda yang pilih ta ding. Sehingga tidak ada di antara
mereka yang berani melawannya.
Mahendra kali ini ingin memamerkan kepada kawan-kawannya. bahwa
sebenarnya ia memiliki ilmu yang tak dapat diabaikan. Karena itu, maka
sengaja dipancingnya persoalan atas Mahisa Agni itu.
Dengan demikian, maka Mahendra itu pun kemudian menyerang lawannya
kembali. Bertubi-tubi seperti angin ribut melanda ujung-ujung pepohonan.
Tetapi ternyata lawannya kali ini sangat mengejutkannya. Mahisa Agni
mampu bertahan sekokoh batu karang. Betapa angin melandanya, namun ia
tetap tegak di tempatnya tanpa tergeser seujung rambut pun.
Namun Mahendra pun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya. Tangannya
bergerak-gerak dengan tangkasnya, menyambar-nyambar seperti ujung cambuk
yang mematuk-matuk. Sepasang tangan itu seakan-akan berubah menjadi
sepuluh, bahkan ratusan pasang tangan yang menyambar dari segala arah.
Namun Mahisa Agni dapat pula bergerak selincah burung sikatan. Tubuhnya
melontar seperti bayangan melingkar, kemudian menyambar seperti burung
rajawali. Namun kemudian menyerbu dengan dahsyat, sedahsyat banteng
jantan.
Maka perkelahian itu pun semakin lama semakin menjadi sengit. Dan
orang-orang pun semakin lama semakin banyak berkerumun di sekitar
perkelahian itu. Beberapa orang perempuan berteriak-teriak, dan beberapa
orang laki-laki mencoba bertanya-tanya, apakah sebab dari perkelahian
itu. Tetapi tak seorang pun yang mendapat jawabnya.
Kawan-kawan Mahendra melihat pertempuran itu dengan tegangnya. Kebo Ijo
bahkan ikut meloncat ke sana kemari, seakan-akan ikut terputar bersama
gerakan-gerakan mereka yang berkelahi itu.
Di panas yang semakin lama semakin terik, di tepi jalan kota jantung
pemerintahan Tumapel itu, terjadi pergulatan yang semakin lama menjadi
semakin seru. Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu mengenal,
bahwa salah seorang dari mereka adalah Mahendra, tetapi siapa yang
seorang.
Seorang anak muda yang bertubuh tinggi kekar mendesak maju mendekati
Kebo Ijo. Digamitnya Kebo Ijo sambil bertanya, "Dengan siapakah Mahendra
itu berkelahi?"
Kebo Ijo berpaling. Ketika dilihatnya orang bertubuh tinggi itu, ia
terkejut. Tetapi kemudian ia menjawab, "Dengan anak Panawijen.
Wiraprana."
"Apakah sebabnya?"
"Anak itu menghina kami. Anak-anak muda Tumapel."
"He?" bertanya orang bertubuh kekar itu, "ia menghina kita?"
"Ya."
"Apa katanya?"
Kebo Ijo tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Karena ia katanya,
"Aku tidak jelas. Mahendra yang mendengarnya, dan karena itu ia marah
kepada anak Panawijen itu."
"Hem," geram orang yang bertubuh kekar itu, "kenapa lehernya tidak dipatahkannya saja."
Kebo Ijo sekali lagi berpaling. Ia tersenyum di dalam hati. Orang yang
tinggi besar itu adalah seorang prajurit pengawal Akuwu Tumapel. Maka
katanya untuk membakar hati prajurit itu, "Kaulah yang berhak memutar
lehernya."
Tetapi prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian sekali lagi ia menggeram, "Aku tidak bersangkut paut dengannya."
"Kenapa? Apakah kau tidak terhina pula?"
"Anak itu anak Panawijen seperti Kuda Sempana, pelayan dalam Akuwu. Aku tidak mau berselisih dengan anak muda itu."
Kebo Ijo tertawa pendek. Katanya, "Kuda Sempana tidak mengenalnya."
Prajurit pengawal Akuwu Tumapel itu mengerutkan keningnya.."Aneh,"
pikirnya. Tetapi ia tidak bertanya. Kini ia memperhatikan perkelahian
itu. Mahendra agaknya telah mengerahkan segenap tenaganya, namun ia nama
sekali tidak dapat menguasai keadaan. Bahkan kemudian tampaklah
kelebihan-kelebihan yang mengagumkan dari lawannya itu. Kelincahan dan
ketangguhannya. Bahkan kekuatannya pun melampaui kekuatan Mahendra.
Dan sebenarnyalah Mahisa Agni telah meloncat lebih jauh dari lawannya
itu. Meskipun selama ini Mahendra telah berhasil meningkatkan ilmunya,
namun kecepatan Mahisa Agni dalam olah kanuragan jauh lebih pesat
daripadanya. Sehingga dengan demikian jarak dari keduanya menjadi
semakin jauh.
Orang yang tinggi besar itu menjadi heran. Mahendra adalah anak muda
yang pilih tanding. Tetapi kini, berhadapan dengan anak yang datang dari
pedesaan, agaknya ia mengalami kesulitan-kesulitan.
Prajurit itu menarik nafas. Seorang-seorang ia tidak lebih dan Mahendra.
Tetapi bukankah ia prajurit pengawal Akuwu yang mempunyai lingkungan
yang cukup banyak. Bahkan di antara mereka, pemimpinnya adalah seorang
yang pasti melampaui keunggulan Mahendra, yaitu kakak seperguruannya.
Witantra. Maka prajurit itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
melihat bahwa Mahendra tidak segera dapat mengatasi keadaan, bahkan
semakin lama tampaknya semakin terdesak, maka prajurit itu pun segera
melangkah pergi, menerobos di antara para penonton yang semakin lama
semakin berjejal-jejal.
"Anak itu harus mendapat sedikit pelajaran," gumamnya sepanjang jalan.
Dengan tergesa-gesa ia pergi ke rumah Witantra. Ia ingin mendapatkan
pujian darinya. Namun dengan menyesal ia tidak menemuinya di rumah.
Maka, karena itu segera ia pergi ke barak penjagaan prajurit pengawal
Akuwu Tumapel. Namun di sana Witantra itu pun tak ditemuinya. Ia takut
terlambat karenanya. Sehingga akhirnya ia ingin bertindak sendiri.
Dengan beberapa orang kawannya, prajurit yang bertubuh tinggi tegap itu
pergi ke tempat Mahendra berkelahi melawan Mahisa Agni.
Sementara itu, pertempuran antara Mahendra dan Mahisa Agni masih
berlangsung terus. Mahendra benar-benar telah kehilangan pengamatan
diri. Kalau mula-mula ia hanya ingin menunjukkan kemampuannya yang telah
bertambah-tambah, serta membuat Mahisa Agni menyesali diri atas
keberaniannya bersaing dengan Mahendra, maka kemudian Mahendra telah
melupakan segala-galanya. Ia telah sampai pada puncak kemarahannya.
Bertempur antara hidup dan mati.
Sedang Mahisa Agni justru bersikap lain. Ketika ia telah dapat menjajaki
kekuatan lawannya, maka ia menjadi bertambah tenang. Ternyata ilmunya
telah meloncat sedemikian jauhnya, sehingga Mahendra sebenarnya bukanlah
lawan yang dapat memancarkan keringat. Kalau kemudian ia bertempur,
maka sebenarnya ia tidak lebih daripada melayani lawannya. Hanya
sekali-sekali ia memberi tekanan-tekanan yang berat, supaya Mahendra
cepat menjadi lelah dan berhenti dengan sendirinya. Tetapi ternyata
Mahendra pun mempunyai tenaga yang kuat. Betapa ia terdesak, namun ia
masih juga berjuang sekuat tenaganya. Bahkan geraknya masih nampak
garang, dan serangan-serangannya tetap berbahaya.
Namun demikian, betapa kecemasan merayapi dadanya. Anak muda itu
benar-benar menjadi heran. Apakah Mahisa Agni itu anak gendruwo.?
Mahendra yang merasa bahwa ilmunya telah meningkat, namun Mahisa Agni
itu masih belum dapat dikalahkan. Bahkan semakin lama tandangnya menjadi
semakin mantap dan serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat.
Tetapi Mahendra tidak mau menunjukkan kekurangannya di hadapan
kawan-kawannya. Ia harus dapat mengalahkan lawannya supaya namanya tetap
dikagumi oleh kawan-kawannya itu. Karena itu maka diperasnya tenaganya
habis-habisan. Geraknya menjadi semakin cepat, secepat burung seriti
menari-nari di udara, selincah anak kijang berkejar-kejaran di padang
rumput. Tubuhnya melontar-lontar dengan cepatnya, berputar dan melibat
lawannya seperti angin pusaran.
Namun Mahisa Agni sama sekali tidak menjadi bingung karenanya. Dengan
tenangnya ia melawan serangan angin pusaran yang melibat dirinya dari
segala arah itu. Seperti gunung anakan, ia tegak menghadapi badai yang
betapapun kencangnya.
Mahendra semakin lama menjadi semakin cemas. Mahisa Agni benar-benar
sekukuh batu karang. Sekali-kali terasa bahwa tenaganya menjadi semakin
susut, sedang lawannya masih belum juga mampu dikuasainya. Malahan
Mahisa Agni itu sekali-sekali menekannya dan memaksanya untuk meloncat
mundur dan mundur.
Kebo Ijo yang mengikuti perkelahian itu dengan seksama menjadi heran.
Kakak seperguruannya ternyata telah benar-benar mengerahkan ilmunya.
Namun agaknya lawannya itu benar-benar seperti asap yang tak dapat
disentuh tangan. Dari perkelahian itu Kebo Ijo pun dapat menilai, bahwa
sebenarnya ilmu Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu benar-benar
melampaui ilmu kakaknya. Karena itu, maka. Kebo Ijo pun menjadi bingung.
Ia tidak mau melihat seandainya kakak seperguruannya itu dikalahkan.
Tetapi ia tidak dapat terjun membantunya. Apabila demikian, dan kakak
seperguruan mereka yang lebih tua, Witantra, mendengarnya, maka
akibatnya akan tidak menyenangkan sekali. Namun demikian ia mempunyai
satu harapan lagi. Kawannya, prajurit yang bertubuh tinggi kekar, datang
kembali bersama kakak seperguruannya itu. Mahendra, dirinya dan
beberapa kawannya akan dapat dijadikan saksi, bahwa Mahisa Agni telah
menghina mereka. Mudah-mudahan kakaknya mempercayainya dan merasa
terhina pula.
Demikianlah perkelahian itu semakin lama semakin nampak, bahwa kekuatan
Mahendra menjadi semakin berkurang. Sehingga akhirnya Mahendra menjadi
hampir berputus asa, dan bertempur tanpa kendali. Ia menyerang dengan
garangnya dan dengan penuh kegelisahan Namun serangan-serangan itu
seperti angin yang lewat di antara batu-batu karang yang kokoh kuat.
Lewat, tanpa kesan dan tanpa meninggalkan bekas.
Tiba-tiba, beberapa orang yang menonton perkelahian itu terkejut ketika
mereka mendengar beberapa bunyi cambuk berledakan di belakang mereka.
Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang prajurit pengawal
Akuwu berada di sekitar mereka. Karena itu dengan gugupnya mereka
berpencaran dan berlarian menjauh.
Seorang yang berperawakan tinggi tegap berdada bidang setegap kawan Kebo
Ijo, namun tidak berkumis, segera tampil ke depan. Dengan cambuk di
tangan ia berteriak lantang, "Berhenti!"
Mahendra segera meloncat mundur. Dan Mahisa Agni pun tidak mengejarnya, sehingga perkelahian itu pun berhenti.
"Kenapa kalian berkelahi?" bertanya orang yang tinggi besar itu.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Persoalan ini akan menjadi semakin
berlarut-larut. Ia tergesa-gesa pulang ke Panawijen karena
kegelisahannya atas nasib padukuhannya dan nasib Ken Dedes, tetapi
tiba-tiba ia akan terpaksa berhenti beberapa lama di Tumapel.
Yang mula-mula menjawab adalah Mahendra. "Bertanyalah kepada mereka yang
melihat persoalan ini dari permulaan," katanya sambil menunjuk Kebo Ijo
dan beberapa anak muda yang lain.
Kebo Ijo kemudian melangkah selangkah maju. Meski pun ia belum begitu
mengenal prajurit itu, namun ia pernah melihatnya sekali dua kali.
Kemudian katanya, "Anak itu menghina kami, Kakang."
Orang itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia bertanya pula, "Apakah yang sudah dilakukan?"
Kebo Ijo berpaling kepada Mahendra. Ia tidak tahu bagaimana menjawab
pertanyaan itu. Mahendra pun kemudian mengerutkan keningnya. Setelah
berpikir sejenak ia berkata, "Anak Panawijen ini menganggap kami,
anak-anak muda Tumapel sebagai anak-anak liar. Apakah demikian keadaan
kami?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa
Mahendra akan sampai hati berkata demikian atas dirinya. Ia tidak
menyangka bahwa Mahendra dapat melakukan fitnah. Alangkah mengherankan.
Dan bahkan hampir tak masuk di akalnya.
Sebenarnya Mahendra sendiri terkejut mendengar kata-katanya itu. Namun
ia tidak dapat berbuat lain. Semula sesekali memang tidak terkandung
maksud untuk melakukan perbuatan itu, tetapi ia dihadapkan pada
peristiwa yang sama sekali tak diperhitungkannya.
Maksudnya mula-mula hanyalah untuk menghinakan Mahisa Agni. Menebus
sakit hatinya atas kekalahan yang pernah dialaminya. Namun tanpa
diduganya, ternyata ia sama sekali tidak mampu untuk melakukan
pembalasan dendam itu. Bahkan sekali lagi ia dikalahkan. Karena itu,
ketika ia dihadapkan pada pertanyaan yang tiba-tiba itu, maka dijawabnya
tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya.
Prajurit itu, yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang, dengan
cemeti di tangannya, mengerutkan keningnya. Dipandangnya Mahisa Agni
dari ujung rambut sampai ke ujung hatinya. Kemudian dipandanginya
Mahendra dengan tajamnya. Kepada Mahendra prajurit itu pernah melihatnya
sekali dua kali. Dan pernah dikenalnya pula namanya.
Suasana di sekitar tempat itu menjadi sepi tegang. Semua mata tertancap
kepada prajurit yang memegang cambuk itu. Ketika kakinya bergeser
setapak, tiba-tiba saja Mahisa Agni pun menggeser kakinya.
Namun Prajurit itu tidak berbuat apa-apa. Ia menjadi bimbang. Pernah
didengarnya nama Mahendra sebagai seorang arak muda yang perkasa.
Dikenalnya nama itu sebagai adik seperguruan pemimpinnya.
Tiba-tiba terdengarlah suara prajurit itu parau," He, anak muda, siapakah namamu?"
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Mahendra, Kebo Ijo mengenalnya sebagai Wiraprana, putra Buyut Panawijen.
Karena Mahisa Agni masih belum menjawab, maka prajurit itu membentaknya, "He siapakah namamu?"
"Wiraprana," jawab Agni gemetar.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia berpaling kepada
Mahendra, dan sekali lagi ia bertanya, "Apa yang dikatakan tentang
kalian?"
Kini Mahendra menjadi ragu-ragu. Ia malu untuk mengurungkan tuduhannya.
Namun yang menyahut Kebo Ijo, "Ia menganggap kami, anak-anak muda
Tumapel sebagai anak yang liar. Bukankah itu suatu penghinaan?"
Prajurit itu mengangkat alisnya. Dalam waktu y mg singkat ia mampu
membuat perhitungan. Mahendra adalah anak yang memiliki ilmu tata bela
diri tinggi. Namun sudah lama anak muda dari Panawijen itu tak dapat
dikalahkan. Dengan demikian, maka anak mula itu setidak-tidaknya
memiliki ilmu setingkat dengan Mahendra.
Jawaban prajurit itu kemudian benar-benar mengejutkan Kebo Ijo dan
kawan-kawannya, katanya, "Hem. Aku sangka kata-kata anak muda itu tidak
terlalu salah."
"Apa?" teriak Kebo Ijo, "Kau berkata sebenarnya?"
Prajurit itu mengangguk. Sahutnya, "Aku menganggap bahwa kata-katanya
tidak terlalu salah. Anak ini datang dari pedesaan. Apakah kau sangka
bahwa ia berani berbuat sesuatu kalau kalian tidak memulainya?"
Wajah Kebo Ijo, Mahendra dan anak-anak muda yang lain menjadi merah
padam Sehingga Kebo Ijo kemudian berteriak lantang, "Jadi kau
membenarkan binaan itu?"
Prajurit itu menggeleng, katanya, "Aku tidak membenarkan suatu
penghinaan dari siapa pun untuk siapa pun. Namun aku ragu-ragu akan
kebenaran kata-katamu."
"Kami menjadi saksi," sahut salah seorang anak muda kawan Kebo Ijo, "dan kalian dapat bertindak atasnya."
"Anak ini anak Panawijen," berkata Prajurit itu, "aku tidak mau
berselisih dengan anak-anak Panawijen yang tinggal juga di dalam
istana."
"Kuda Sempana?" sahut Mahendra.
Prajurit itu mengangguk.
"Kuda Sempana tak mengenal anak ini. Baru saja Kuda Sempana lewat
berkuda di jalan ini, dan ia memandang anak ini seperti memandang
hantu."
Prajurit itu kini benar-benar mengerutkan dahinya. Sejenak ia berpikir.
Dan sekali lagi kata-katanya mengejutkan, "Aku sangka anak-anak pedesaan
lebih bersikap jujuur dari kalian. Biarlah aku bertanya kepadanya."
"Bohong!" sahut Kebo Ijo sambil melangkah maju. Wajahnya yang merah
menyala menunjukkan kemarahannya. Sebenarnya Kebo Ijo adalah anak yang
berani. Seandainya Mahendra tidak menggamitnya maka prajurit itu pasti
sudah ditantangnya berkelahi. Namun meskipun demikian ia masih berkata,
"Anak-anak pedesaan adalah anak-anak muda yang licik."
Tetapi jawab prajurit itu tegas, "Aku adalah anak pedesaan."
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin merah karenanya. Dan karena itu maka
justru ia terdiam. Namun terdengar giginya gemeretak menahan
kemarahannya yang telah memuncak. Sedang Mahendra pun menjadi marah
pula. Diamat-amatinya prajurit itu dengan seksama. Katanya di dalam
hati, "Suatu ketika kita akan membuat perhitungan."
Tetapi Prajurit itu bukan seorang penakut. Karena itu dengan lantang ia
bertanya kepada Mahisa Agni, "Wiraprana, apakah kata-kata mereka itu
benar?"
Mahisa Agni menggeleng. "Tidak!" sahutnya.
Prajurit itu menarik nafas. Kemudian kepada Mahendra ia berkata, "Kau dengar?"
Dari mata Mahendra telah menyala kemarahan yang tiada taranya. Namun
sebelum ia menjawab, maka prajurit kawan Kebo Ijo maju selangkah.
Tubuhnya tidak kalah garangnya dengan prajurit yang bercemeti itu.
Dengan wajah yang tegang ia berkata lantang, "Aku anak muda Tumapel.
Anak-anak muda Tumapel bukan anak-anak muda yang liar.
Prajurit yang bercemeti itu terkejut. Tak disangkanya sama sekali kalau
seorang kawannya tiba-tiba telah berbuat demikian. Karena itu ia mencoba
membetulkan kata-katanya, "Tidak semua anak-anak muda dari kota Tumapel
berbuat demikian. Tetapi apakah kau tidak kenal sebagian dari anak-anak
muda ini?"
Prajurit kawan Kebo Ijo itu menjawab, "Aku kenal mereka. Mereka adalah kawan-kawan ku."
"Nah," sahut prajurit itu, "kalau demikian kau pasti sudah tahu, apa saja yang sudah mereka lakukan."
"Mungkin mereka sering melakukan kenakalan-kenakalan anak-anak. Tetapi kami, anak-anak muda dan Tumapel tidak mau dihinakan."
Prajurit bercemeti itu menggigit bibirnya. Namun kemudian katanya,
"Marilah kita lihat, siapakah yang sebenarnya bersalah. Jangan bertanya
kepada mereka, dan jangan bertanya kepada anak Panawijen itu."
"Hanya akan membuang-buang waktu," sahut prajurit kawan Kebo Ijo, "anak
itu harus ditangkap. Biarlah ia tahu, bahwa seseorang tidak boleh
melakukan penghinaan."
Prajurit bercemeti itu menjadi bingung. Ditatapnya beberapa wajah yang
ada di sekitarnya. Kemudian katanya berbisik, "Terserahlah kepadamu.
Semuanya ini bukan tanggung jawabku. Aku tidak mau ikut serta. Sebab kau
sudah berpihak. Kalau aku kemudian berpihak pula, maka kita tidak akan
dapat menegakkan peraturan-peraturan yang berlaku. Kita akan ditelan
oleh perasaan kita sendiri-sendiri. Dan kita akan melihat kebenaran dari
pihak kita masing-masing. Karena itu, aku lebih baik tidak berbuat
sesuatu. Supaya kita tidak saling bertengkar sesama kita di hadapan
orang banyak."
Kawannya itu tidak menjawab. Tetapi ia merasa bahwa kawannya yang
bercemeti itu segan kepadanya. Karena itu, maka ia pun melangkah maju
sambil berkata lantang, "Wiraprana, kau aku tangkap!"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dilihatnya beberapa orang prajurit
yang lain maju pula. Mereka adalah kawan-kawan prajurit yang akan
menangkap Agni itu. Sedang prajurit yang bercemeti itu masih berdiri di
tempatnya. Tetapi ia kini berdam diri. Dengan penuh kesadaran ia lebih
baik tidak ikut campur dalam persoalan ini supaya tidak menimbulkan
kesan yang jelek bagi orang-orang yang melihat, bahwa di antara para
prajurit itu timbul pendapat yang berbeda-beda tentang masalah yang
sama.
Sedang kawan Kebo Ijo itu melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan
dapat menyenangkannya. Orang itu akan diserahkannya kepada Witantra,
kakak seperguruan Mahendra. Pasti orang itu akan memujinya dan
seterusnya biarlah Mahendra yang mengatakan, apa yang sudah dilakukan
oleh anak Panawijen itu.
Tetapi Mahisa Agni sudah mendapat ketetapan hati. Ketika ia melihat
bahwa tidak semua prajurit dengan membabi buta menelan saja pengaduan
yang sama sekali tidak benar itu, ia menjadi tenang. Karena itu, maka ia
bertekad untuk menurut saja, apa yang akan dilakukan oleh
prajurit-prajurit itu. Ketika sekali lagi ia mendengar prajurit itu
berkata kepadanya, maka jawab Mahisa Agni, "Baiklah. Aku tidak akan
melawan kalian, sebab kalian adalah prajurit-prajurit Tumapel."
"Jangan banyak mulut," bentak prajurit kawan Kebo Ijo itu sambil menarik
lengan Mahisa Agni. Tetapi prajurit itu terkejut Mahisa Agni itu sama
sekali tak dapat digesernya walaupun setapak.
Karena itu maka wajahnya tiba-tiba menjadi merah. "Jangan melawan!" bentaknya.
"Tidak," sahut Mahisa Agni, "aku tidak akan melawan. Tetapi aku sudah dapat berjalan sendiri."
"Setan!" desis prajurit itu.
Mahisa Agni itu pun kemudian sama sekali tidak melawan ketika ia dibawa oleh para prajurit itu ke barak mereka
Mahendra, Kebo Ijo dan beberapa orang yang lain ikut pula beramai-ramai
di belakang para prajurit itu. Sekali-kali terdengar mereka
berteriak-teriak. Kebo Ijo benar-benar tak dapat menguasai luapan
perasaannya sehingga kata-katanya semakin lama menjadi semakin kotor.
Tetapi sekali-kali Mahendra membentaknya pula, "Kebo Ijo, jangan
berteriak-teriak!"
"Biarlah ia jera. Untuk lain kali ia tidak berani menghina kita lagi, Kakang."
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun terasa sesuatu berdesir di
dadanya. Dengan tanpa disengaja Kebo Ijo telah memperingatkan akan
kesalahannya, sehingga perlahan-lahan ia berdesis, "Apakah benar
Wiraprana menghina kita Kebo Ijo?"
Kebo Ijo itu terdiam. Tetapi kebenciannya kepada Mahisa Agni yang
disangkanya Wiraprana itu melampaui Mahendra. Sedang Mahendra sendiri
tiba-tiba menjadi malu atas perbuatannya. Namun semuanya telah
terlanjur. Dan ia kini tinggal mempertahankan ketelanjurannya itu.
Sekali ia berdusta, maka ia akan berbuat serupa terus menerus untuk
mempertahankan kedustaannya itu.
Iring-iringan itu berjalan semakin lama semakin panjang. Beberapa orang
yang melihat mereka bertanya di antara sesama. Anak-anak muda yang lain
pun ikut serta di antara kawan-kawannya, sedang mereka yang sebenarnya
anak-anak nakal, seakan-akan mendapat suatu permainan. Tetapi
sekali-kali prajurit yang bercemeti, yang berjalan di paling belakang,
membentak mereka, dan mengusir mereka itu pergi.
Mahendra yang berjalan di belakang prajurit bercemeti itu menundukkan
wajahnya. Ia menyesal akan sikapnya. Lebih baik ia menerima kekalahan
yang dialaminya daripada menjerumuskan dirinya dalam suatu sikap yang
memalukan itu.
"Hem," Mahendra menarik nafas dalam-dalam. "Sudah terlanjur," gumamnya berkali-kali.
Tetapi berbeda sekali dengan sikap Kebo Ijo. Bahkan anak itu meloncat ke
sana kemari, membisiki kawan-kawannya yang baru saja mereka temui di
perjalanan itu. Mereka yang mendengar ceritanya dengan serta-merta
tertawa tergelak-gelak. Ada juga di antara mereka yang dengan sengaja
bertanya dengan suara keras-keras, supaya Mahisa Agni mendengarnya.
Namun mereka itu terdiam apabila mereka mendengar meledaknya cambuk dari
prajurit yang bertubuh kekar itu. Bahkan sekali-sekali didorongnya
beberapa anak muda sampai jatuh berguling. Namun setiap kali ia hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba iring-iringan itu terkejut, ketika mendengar derap kuda
berlari. Kemudian muncullah dari tikungan jalan di depan mereka, dua
orang berkuda kencang-kencang ke arah iring-iringan itu.
Ketika prajurit kawan Kebo Ijo melihat orang berkuda itu, maka ia pun
tersenyum. Kepada Mahisa Agni ia berkata, "Itulah pemimpin kami. Kau
akan dihadapkan kepadanya."
Mahisa Agni pun terkejut melihat orang itu. Ia pernah melihatnya.
Meskipun pada waktu itu di dalam gelapnya malam, namun ia masih cukup
dapat mengenalnya. Orang itu adalah kakak seperguruan Mahendra.
Demikian kuda itu sampai di hadapan mereka, maka Witantra, penunggang
kuda itu, segera menarik kekang kudanya sambil berkata lantang, "Aku
dengar, kau bertengkar Mahendra?"
Mahendra mengangguk. Tetapi sebelum ia menyahut, terdengar Kebo Ijo
berkata, "Itulah Kakang. Anak Panawijen yang barangkali telah Kakang
kenal. Ternyata ia masih merindukan kemenangan yang pernah dilakukan.
Ketika ia bertemu dengan Kakang Mahendra, maka dengan serta-merta ia
menghinanya. Tetapi ternyata bahwa Kakang Mahendra bukanlah Kakang
Mahendra beberapa bulan yang lalu. Untunglah bahwa beberapa orang
prajurit sempat melerainya, dan membawa anak itu kepada Kakang. Kalau
tidak entahlah, apa yang akan dilakukan oleh Kakang Mahendra atasnya."
Sekali lagi Mahisa Agni heran mendengar pengaduan itu. Apakah sebabnya maka Kebo Ijo itu sedemikian mendendamnya?
Witantra pun ternyata terkejut sekali melihat Mahisa Agni, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, "Apakah kau Wiraprana?"
Mahisa Agni mengangguk. "Ya," jawabnya.
Witantra memandangnya dengan kecewa. Sama sekali tak disangkanya bahwa
anak Panawijen itu dapat berlaku sombong. Karena itu ia bertanya kepada
Mahendra, "Apakah kata-kata adikmu Kebo Ijo itu benar?"
Mahendra ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus menjawab. Karena itu ia tidak dapat berbuat lain, selain menganggukkan kepalanya.
Witantra itu menarik nafas panjang. Mula-mula ia mengagumi Mahisa Agni
itu, ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya. Namun kini ia menjadi
kecewa, kenapa anak itu dapat menyombongkan dirinya. Bahkan kemudian
didengarnya seorang anak muda berkata, "Ia tidak saja menghina Kakang
Mahendra, tetapi ia menghina kami. Disebutnya anak-anak muda Tumapel
sebagai anak-anak yang liar. Karena itu kami marah pula karenanya."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun berkata lantang, "Bawa ia ke rumahku."
Mahisa Agni masih mencoba untuk menjelaskan persoalannya. Namun ia tidak
mendapat kesempatan lagi. Witantra segera menarik kekang kudanya dan
berlari meninggalkan mereka bersama seorang kawannya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar