Mahisa Agni mengumpat-umpat tak habis-habisnya, “Setan pengecut! Apakah kau sedang bersembunyi karena kau lihat Mahisa Agni lewat?”
“He, hantu Karautan! Inilah Mahisa Agni! Jangan menunggu orang-orang lemah yang dapat kau jadikan umpan keganasan. Keluarlah dari persembunyianmu!”
Sekali lagi suaranya disahut oleh sepinya malam. Dan sekali lagi Mahisa Agni memandang berkeliling dengan nanar.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar gemeresik daun-daun perdu di sisinya. Cepat ia memutar tubuhnya dan bersiaga.
“Nah, kaukah itu?” ia berteriak keras-keras, meskipun rumpun perdu itu tak jauh daripadanya.
Apa yang ditunggunya itu ternyata datang. Dari balik daun-daunan yang rimbun itu, muncullah sebuah kepala. Mahisa Agni segera mengenal orang itu. Sambil tertawa berderai ia berkata, “Keluarlah dari persembunyianmu, hei setan yang menakutkan orang seluruh wilayah Tumapel. Tetapi aku, Mahisa Agni, jangan kau sangka takut seperti mereka itu. Marilah sekali lagi kita membuat perhitungan. Dan kali ini biarlah salah satu dari kita membayar taruhan ini dengan nyawa.”
Orang yang muncul dari balik gerumbul itu sebenarnyalah orang yang bernama Ken Arok. Untuk sesaat ditatapnya wajah Mahisa Agni yang menyalakan kemarahan hatinya. Tetapi hantu padang rumput Karautan itu tidak segera menanggapinya. Bahkan perlahan-lahan ia melangkahi ranting-ranting perdu dan dengan tenangnya ia berjalan selangkah demi selangkah maju.
“Ayo, bersiaplah!” tantang Mahisa Agni, “Meskipun kau bernyawa rangkap tujuh, kau tak akan mampu mempertahankan hidupmu apabila kau tersentuh kerisku.”
Ken Arok menggigit bibirnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang, tetapi pandangannya tidak menjadi liar seperti pada saat Mahisa Agni bertemu untuk yang pertama kalinya.
“Apa yang kau tunggu?” bentak Mahisa Agni.
Mahisa Agni menjadi heran ketika dilihatnya hantu Karautan itu mengangguk-angguk. Kemudian terdengar ia berkata tenang, “Mahisa Agni. Adakah kau mendendam?”
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Sesaat ia terpaku diam. Ditatapnya mata Ken Arok. Dan seakan-akan dilihatnya wajah yang lain dari wajahnya dahulu. Meskipun demikian, Agni itu pun berkata, “Jangan mencoba merajuk! Cerita tentang hantu Karautan harus segera tamat.”
“Ya,” sahut Ken Arok, “cerita tentang hantu Karautan memang sudah tamat.”
Kembali Mahisa Agni terkejut. Sekali lagi ditatapnya wajah Ken Arok, dan sekali lagi ia mendapat kesan lain pada wajah itu. Karena itu kemudian Mahisa Agni menjadi bingung.
“Mahisa Agni,” berkata Ken Arok. Suaranya pun lain dari suara yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lampau, “Aku memang sedang menunggumu di sini. Berhari-hari. Aku mengharap bahwa aku akan dapat bertemu dengan kau dan orang tua yang lewat bersamamu dahulu.”
“Adakah kau tidak puas dengan pertemuan kita yang pertama itu,” bertanya Mahisa Agni dengan penuh prasangka.
“Ya,” jawab Ken Arok sambil mengangguk.
“Nah, sekarang aku telah datang. Apa maumu? Apakah kau masih ingin mencoba kesaktianmu?” bertanya Mahisa Agni.
Ken Arok menggeleng lemah. Rambutnya yang terurai lepas ke pundaknya itu bergerak-gerak ditiup angin malam. Tetapi rambut itu sudah tidak seliar seperti yang pernah dilihatnya. Perlahan-lahan terasa pada Mahisa Agni, bahwa ia melihat perubahan pada hantu Karautan itu. Apalagi ketika ia mendengar Ken Arok menjawab, “Tidak Mahisa Agni. Sudah kukatakan, cerita tentang hantu Karautan telah tamat.”
“Lalu apa maumu menghadang aku?” bertanya Agni.
“Berhari-hari aku menunggumu. Setiap malam aku tidur di gerumbul ini. Tetapi aku tidak pernah lagi berniat untuk menghentikan orang-orang yang lewat di padang ini. Aku hanya menunggumu dan orang tua itu,” berkata Ken Arok.
“Ya, sudah kau katakan,” potong Mahisa Agni, “tetapi apa maksudmu?”
“Duduklah Agni,” pinta Ken Arok.
Mahisa Agni menggeleng, “Kau akan membuat aku tidak bersiaga?”
Wajah Ken Arok itu menjadi suram. Katanya, “Aku sadar, bahwa kesan perkelahian itu tak akan terhapus di sepanjang umurmu. Tetapi duduklah Agni.”
Agni menjadi semakin heran. Di mata anak muda itu memancar sesuatu yang tak dimengertinya. Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni duduk di samping anak muda yang belum begitu dikenalnya.
“Mahisa Agni, apakah orang tua dahulu itu benar gurumu?” bertanya Ken Arok
“Ya,” jawab Agni singkat.
“Aku iri kepadamu,” gumam Ken Arok.
“Kenapa?”
“Agni, kata-kata itu terdengar terlalu dalam. Aku melihat perubahan pada sikapmu. Apakah kau bersikap baik hanya apabila gurumu ada?”
Mahisa Agni menjadi semakin heran mendengar pertanyaan itu. Dan kembali ia bertanya, “Kenapa?”
“Sikapmu dahulu tidak segarang sekarang, meskipun aku melihat kejantananmu sejak saat itu.”
Pertanyaan Ken Arok itu benar menembus dada sehingga langsung menyentuh hatinya. Dicobanya untuk melihat sikapnya sendiri. Kenapa orang yang hidupnya seliar Ken Arok berkata demikian kepadanya. Meskipun demikian Mahisa Agni bertanya, “Apakah yang berubah. Sejak dahulu guruku berkata kepadaku, bahwa setiap kejahatan harus ditumpas. Sekarang aku sedang berusaha menumpas kejahatan yang merajalela di padang rumput ini.”
Ken Arok seakan-akan tidak mendengar jawaban itu. Bahkan ia berkata terus, “Aku melihat, pada waktu kau datang bersama gurumu. Betapa kagumnya aku melihat kejantananmu. Namun sikap itu wajar. Sekarang sikapmu benar-benar lain daripada sikapmu waktu itu. Adakah sesuatu yang terjadi? Atau karena gurumu kini tidak ada?”
“Jangan mengigau!” bentak Mahisa Agni, ”Ayo berdirilah, kita bertempur. Aku tetap dalam perjuanganku.”
“Mahisa Agni,” berkata Ken Arok lirih, “Adakah kau sempat mendengar sebuah kisah yang pendek?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia terpengaruh oleh permintaan Ken Arok itu. Karena itu ia berdiam diri di tempatnya.
“Mahisa Agni,” Ken Arok mulai dengan kisahnya, “aku telah bertemu dengan seorang Brahmana di tempat perjudian. Brahmana itu bernama Danghyang Lohgawe.”
Tiba-tiba Mahisa Agni memotong, “Apa peduliku dengan Danghyang Lohgawe. Apakah kau sedang menakut-nakuti aku dengan gurumu yang baru itu?”
Ken Arok menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “orang itu bukan guruku. Dimintanya aku menjadi anaknya.”
“Nah. Suruhlah bapa angkatmu itu datang kemari!” sahut Agni.
“Hem,” Ken Arok menarik nafas, “kau benar-benar tak seperti yang aku sangka.”
Kembali kata-kata itu langsung menyentuh hatinya. Dan kembali Mahisa Agni berdiam diri. Sehingga Ken Arok sempat meneruskan, “Orang tua itu berkata kepadaku seperti yang pernah dikatakan gurumu kepadaku dahulu.”
“Apa katanya?” bertanya Mahisa Agni tak sesadarnya.
“Bukankah gurumu pernah berkata, bahwa aku akan lebih berbahagia apabila aku dapat menempuh cara hidup yang lain dari cara hidupku yang liar itu?” sahut Ken Arok.
“Adakah sekarang kau sependapat dengan nasihat guru?” bertanya Mahisa Agni pula.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku pernah bertanya kepada Brahmana itu. Apakah seorang yang telah berjalan jauh dan ditempuhnya jalan yang sesat, ia akan dapat menemukan jalan kembali?”
Ken Arok berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya, “Brahmana itu berkata, jalan kembali itu tak akan pernah tertutup selama-lamanya buat siapa pun juga.”
Kembali Ken Arok berhenti sejenak. Kepalanya itu pun tertunduk lesu, dan seterusnya ia berkata, “Menurut Danghyang Lohgawe, jalan itu terbuka pula bagiku.”
Mahisa Agni pun kemudian menundukkan wajahnya. Dan untuk sesaat mereka berdua tenggelam dalam sepi hati mereka berdua.
Sesaat kemudian terdengar kembali Ken Arok berkata, “Brahmana itu pernah berkata pula kepadaku, bahwa jalan yang benar itu terlalu sempit dan jelek, sedang jalan ke arah yang salah itu selalu lapang dan licin, sehingga karena itu maka banyak orang yang tersesat karenanya. Lebih banyak yang memilih jalan yang lapang dan licin daripada yang sempit dari jelek. Namun jalan itu akhirnya akan sampai ke daerah yang gelap, sedang yang jelek itu akan sampai ke daerah ketenteraman abadi.”
Ken Arok menarik nafas sekali, namun dalam sekali. Kemudian ia meneruskan, “Mahisa Agni, aku ingin berkata kepadamu dan gurumu, bahwa aku akan berusaha memilih jalan yang sempit dan jelek. Gerbang di ujung jalan itu selalu terbuka, namun jarang-jarang orang yang memasukinya. Aku sangka kau dari dulu telah berada di jalan yang sempit itu pula. Mudah-mudahan sangkaanku itu benar.”
Kata-kata Ken Arok itu benar-benar menghunjam langsung ke pusat dadanya. Karena itu Mahisa Agni pun menjadi berdebar-debar. Dilihatnya dirinya sendiri yang sedang dibakar oleh perasaan yang tidak menentu. Hantu yang liar itu kini sedang berusaha mencari jalan kembali. Lalu apakah yang akan dilakukan itu?
Mahisa Agni menarik nafas sedalam luka di hatinya. Namun tiba-tiba hantu itu telah menariknya dari kealpaan. Hampir saja ia terjerumus ke jalan yang lapang dan licin, yang disebut-sebut oleh Ken Arok itu. Memang alangkah mudahnya terjun ke daerah yang akan bermuara di dalam kegelapan. Dan hampir saja dirinya terjun ke dalamnya...[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar