Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-21

Tubuh Mahisa Agni menggigil seperti orang kedinginan. Dadanya terbakar oleh suatu perasaan yang aneh. Seperti belanga yang terbanting di atas batu, maka hatinya pecah re muk berkeping-keping. Hampir ia tidak percaya pada pendengarannya. Apakah yang didengarnya benar-benar nama Wiraprana?
Dari dalam bilik Ken Dedes itu kemudian masih terdengar Ken Dedes menyebut namanya. Namanya sendiri.
“Emban,” berkata Ken Dedes, “tak ada orang lain yang dapat menyampaikannya kepada Kakang Wiraprana selain Kakang Mahisa Agni. Kakang Agni adalah sahabat yang paling dekat daripadanya. Kakang Agni akan dapat mendesaknya untuk segera melangsungkan tata cara adat itu. Sehingga kemudian nama Kakang Wiraprana pasti akan disebut oleh Ayah, apabila pada suatu kali aku dipanggilnya kembali.”
“Oh,” orang tua itu mengeluh. Tetapi ia menahan gejolak perasaannya. Nama itu benar-benar tak disangka-sangkanya.
Mahisa Agni pun menggigit bibirnya sehingga berdarah. Terdengar giginya kemudian gemeretak. Ia mencoba menguasai keseimbangan perasaannya. “Persetan!” umpatnya di dalam hati, “Terkutuk kau, Wiraprana!”
Mahisa Agni itu pun kemudian tidak tahan lagi untuk tetap berdiri di tempatnya. Dengan berjingkat ia berjalan tergesa-gesa ke biliknya sendiri. Dengan serta-merta dibantingnya tubuhnya di atas pembaringannya, sehingga terdengar amben itu berderak-derak. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat terbaring tenang. Tubuhnya masih menggigil dan perasaannya menggigil pula. Tak disangkanya bahwa pada suatu saat Wiraprana akan memotong hari depan yang diidamkannya. Apakah ia akan berdiam diri?
“Kenapa aku turut campur pada saat Kuda Sempana sedang bertempur dengan anak itu?” gumamnya. “Biarlah ia mati, supaya tak ada orang yang melintang, di hadapanku,” Ia melanjutkan. Bahkan kemudian timbul pula pikirannya, “Aku adalah Mahisa Agni. Apakah aku tak akan mampu bersaing dengan anak muda itu? Biarlah besok aku datang kepadanya. Kita adalah laki-laki jantan. Aku tantang ia bertempur buat menentukan masa depan.”
“Tidak besok pagi. Sekarang!” geramnya dengan kemarahan yang meluap-luap.
Dan Mahisa Agni itu pun segera meloncat dari pembaringannya. Dengan gerakan yang cepat ia melambung di udara dan kemudian tegak di atas kedua kakinya. Cepat ia membenahi pakaiannya. Ikat pinggangnya dan kainnya ditariknya ke belakang. Mahisa Agni kini siap untuk bertempur. Dengan satu loncatan panjang anak muda itu meraih pusakanya. Bukan sekedar senjata untuk berlatih. Tetapi sebuah keris peninggalan ayahnya, buatan pamannya, seorang Empu yang sakti. Empu Gandring.
Dengan cepat anak muda itu meloncati tlundak pintunya, dan kemudian berlari menghambur di antara batang-batang perdu di pertamanannya.
“Kubunuh Wiraprana dan aku larikan Ken Dedes,” Mahisa Agni menggeram di sepanjang jalan, “Kuda Sempana berani berbuat demikian. Mengapa aku tidak. Aku tak perlu perlindungan dari istana Tumapel. Akan aku bawa Ken Dedes ke Lulumbang. Apakah pamanku itu tidak dapat melindungi aku seandainya Empu Purwa marah. Pamanku adalah empu sakti pula.”
Mahisa Agni berlari semakin kencang Ditelusurinya jalan desanya yang setiap hari selalu dilewatinya. Berpuluh bahkan beratus kali. Setiap kali ia mengunjungi Wiraprana dan pulang dari rumah anak itu, jalan ini pula yang selalu dilaluinya. Tetapi terasa jalan itu, kali ini bertambah panjang.
Mahisa Agni hampir tak sabar dengan langkahnya sendiri. Ia berlari dengan langkah yang panjang-panjang.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai rumah Buyut Panawijen itu tidak selalu lama. Hanya beberapa saat ia telah berdiri di muka regol halaman Buyut Panawijen. Dilihatnya regol itu tertutup, meskipun ia tahu pasti bahwa regol itu tidak terkunci. Kalau ia mendorongnya sedikit, regol itu pasti terbuka.
Tetapi halaman itu begitu sepi.
Mahisa Agni ragu sejenak. Meskipun gelora di dadanya serasa tak dapat dihambatnya lagi namun ia masih sempat membuat perhitungan-perhitungan. Kalau ia masuk ke halaman, dan memaksa bertemu dengan Wiraprana, maka Buyut Panawijen itu pun akan terbangun. Dengan demikian, maka akibat yang akan timbul mempunyai banyak kemungkinan. Mungkin ia harus bertempur melawan mereka berdua, Wiraprana dan Buyut Panawijen. Meskipun kedua orang itu sama sekali tak berarti bagi Mahisa Agni, namun peristiwa itu pasti akan menimbulkan keonaran. Kalau Empu Purwa kelak mengetahuinya maka segala rencananya akan gagal. Orang tua itu pasti akan menjaga anaknya baik-baik. Dan apakah ia masih akan diperbolehkan tinggal di padepokan itu?
Dengan susah payah Mahisa Agni menyabarkan dirinya. Gumamnya, “Biarlah aku tunggu sampai besok. Aku ajak anak itu ke bendungan. Di sana dapat kita buat perhitungan.”
Mahisa Agni menggeram penuh kemarahan. Sekali lagi ditatapnya rumah yang senyap itu. Dan sekali lagi ia mengancam, “Awas kau Wiraprana!”
Kemudian tanpa disadarinya Mahisa Agni berkata seperti yang pernah didengarnya dari Kuda Sempana, “Wanita sama harganya dengan curiga. Taruhannya adalah nyawa.”
Kemudian Mahisa Agni itu pun melangkah pergi, dengan menyimpan bara di dalam dadanya. Betapapun juga, dada itu serasa akan meledak. Karena itu, Mahisa Agni berjalan dengan tanpa tujuan. Kakinya yang kokoh itu menyepak apa saja yang dijumpainya. Batu, kayu, bahkan pohon-pohon kayu pun tidak luput dari sasaran kemarahannya. Sekali-sekali diraihnya cabang kayu di tepi jalan. Kemudian dengan tenaganya yang luar biasa, cabang-cabang itu direnggutnya, sehingga patah berderak-derak.
Beberapa orang yang rumahnya dekat di pinggir jalan itu terkejut, namun mereka tak berprasangka apapun. Dan kembali mereka tetap di dalam pelukan malam.
Mahisa Agni masih, berjalan terus Tergesa-gesa seperti ada sesuatu yang mengejarnya. Bulan di langit serasa tersenyum mengejeknya. Dilihatnya sekali lagi lingkaran yang mengelilingi bulan itu, dan dilihatnya sebuah bintang menyala di dalam lingkaran.
“Bintang itu telah berada di dalam lingkaran,” geramnya, “besok pagi satu jiwa akan melayang.”
Dan Mahisa Agni masih berjalan menyusur jalan itu. Terus. Sehingga tak dirasanya, Mahisa Agni telah meninggalkan desa Panawijen dan berjalan di daerah persawahan. Dilihatnya kemudian batang-batang padi yang hijau kekuning-kuningan di dalam limpahan cahaya bulan.
Mahisa Agni adalah seorang pengagum keindahan. Ia dapat duduk seperempat malam menatap gunung- gunung yang berselimut mega, atau menunggui bendungan, mendengarkan gemericik air di antara batu-batu kali. Tetapi kali ini perasaan itu seakan-akan terbunuh mati. Yang tampak adalah malam yang suram sesuram hatinya.
Tiba-tiba Mahisa Agni tersentak ketika ia melihat takbir malam yang terentang di hadapannya. Kalau ia berjalan terus, maka ia akan sampai ke padang rumput Karautan.
“Ha,” tiba-tiba Mahisa Agni berkata sendiri, “apakah demit padang rumput itu masih di sana?”
Mahisa Agni merasa, seakan-akan ia mendapat tempat untuk menumpahkan kemarahannya. Karena itu ia menggeram, “Besok aku baru dapat membunuh Wiraprana pengecut itu. Biarlah sekarang aku cari hantu Karautan. Setan itu pun harus mati. Empu Purwa mencegah aku dahulu. Sekarang biarlah aku ulangi tanpa orang tua itu. Biarlah aku tangkap atau bunuh sekali hantu Karautan yang sering mengganggu orang.”
Dan tiba-tiba sekali lagi Mahisa Agni meloncat berlari. Seperti sedang dikejar hantu ia berlari semakin lama semakin cepat. Diloncatinya batu-batu besar yang berserak-serak di padang rumput itu, dan disasaknya gerumbul-gerumbul kecil yang berada di garis perjalanannya. Kelinci-kelinci dan binatang-binatang kecil lainnya terkejut, dan berloncatan menjauh. Namun Mahisa Agni tak sempat memperhatikannya. Matanya tertancap jauh-jauh ke tengah padang rumput itu. Di sana ia beberapa waktu yang lampau bertemu dengan orang yang ditakutinya, dan bernama Ken Arok. Dalam kemarahannya itu, ia tidak ingat apa-apa lagi, selain membunuh, menghancurkan dan apa saja yang dapat memberinya kepuasan.
Sekali-kali terlintas juga di kepalanya, menurut kata gurunya, ia tak akan mampu mengalahkan hantu itu. “Omong kosong!” geramnya dan diteruskannya kata-kata itu, “Aku dahulu dapat menyentuhnya dengan tanganku. Kalau sekarang tersentuh keris Pamanku, muka umur setan itu tak akan sampai esok pagi.”
Padang rumput Karautan adalah padang rumput yang luas. Karena itu Mahisa Agni memerlukan waktu untuk sampai ke tengah padang itu. Ia langsung menuju ke tempat ia bertemu dengan Ken Arok di perjalanannya pulang bersama gurunya. Ia mengharap Ken Arok masih berada di sana, dan mencegatnya. Hantu itu harus sadar, bahwa di dunia ini ada orang yang tak takut kepadanya, dan tak dapat dikalahkannya.
Mahisa Agni yang berlari-lari itu akhirnya sampai juga ke tengah padang itu. Namun bulan telah jauh di sisi cakrawala. Sebentar lagi bola langit itu segera akan tenggelam dibalik punggung Gunung Kawi. Mahisa Agni kemudian berhenti. Nafasnya terasa berkejaran, secepat ia berlari. Sesaat ia tegak di tengah-tengah padang itu sambil mencoba menenangkan dirinya.
Beberapa kali Mahisa Agni menghisap nafasnya dalam-dalam dan dihirupnya udara padang yang segar. Perlahan-lahan nafasnya pun dapat diaturnya kembali.
Kini Mahisa Agni itu bertolak pinggang dengan kaki renggang. Dipandangnya keadaan di sekelilingnya. Namun sepi. Tak seorang pun dilihatnya. Tiba-tiba ia menjadi semakin marah. Maka seperti orang yang kehilangan kesadarannya ia berteriak, “He, hantu Karautan! Inilah Mahisa Agni! Jangan menunggu orang-orang lemah yang dapat kaujadikan umpan keganasanmu. Keluarlah dari persembunyianmu!”
Suara Mahisa Agni itu seperti membelah langit. Mengumandang dan melingkar-lingkar seluas padang Karautan. Namun setelah gema suaranya itu berhenti, kembali malam menjadi sepi...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar