Kekecewaan yang memukul dadanya, pada saat ia mendengar nama Wiraprana disebut oleh Ken Dedes, telah hampir saja menyeretnya ke dalam daerah yang kelam itu. Dan kini, seakan-akan dilihatnya sebuah cahaya yang menerangi hatinya yang gelap. Justru dikatakan oleh hantu yang menakutkan itu.
Karena itu untuk sesaat Mahisa Agni jadi terbungkam. Tak sepatah kata pun yang dapat dikatakannya. Sedang Ken Arok pun kemudian berdiam diri, sehingga kembali padang rumput Karautan itu menjadi sepi.
Tetapi hati Mahisa Agni kini tidak sesepi padang rumput itu. Terjadilah di dalam dadanya suatu pergulatan yang sengit. Penilaiannya atas perbuatannya sendiri, serta kisah yang diucapkan oleh Ken Arok telah menolongnya, membebaskannya dari suatu tindakan yang kotor. Karena itu, sesaat kemudian terdengar ia berkata parau, “Maafkan aku Ken Arok.”
Ken Arok terkejut, “Apa yang harus aku maafkan?”
“Pada saat kau menemukan jalan kebenaran itu,” sahut Mahisa Agni, “justru bersamaan waktunya dengan keadaan yang sebaliknya yang terjadi padaku. Pada saat-saat aku hampir terjebak oleh kekecewaan dan nafsu.”
“Oh,” desis Ken Arok, “kini terasa pula olehmu, bahwa kau agak berubah.”
“Mudah-mudahan,” sahut Mahisa Agni.
“Kenapa mudah-mudahan?” bertanya Ken Arok.
“Mudah-mudahan tidaklah menjadi watakku sejak semula. Mudah-mudahan apa yang aku lakukan kini benar-benar karena hatiku yang gelap. Dan mudah-mudahan aku dapat meyakini kesalahan itu,” jawab Mahisa Agni.
Ken Arok menatap wajah Mahisa Agni seperti baru sekali itu dilihatnya. Dan wajah itu kini sedang diliputi oleh kabut yang suram. Karena itu maka terdengar Ken Arok bertanya, “Aku yakin bahwa bukan sifatmu sekasar itu. Tetapi apakah yang sudah terjadi?”
Mahisa Agni menggeleng lemah, “Bukan apa-apa. Suatu kesalahan kecil di dalam lingkunganku.”
“Hem,” Ken Arok menarik nafas, “kesalahan kecil yang hampir berakibat besar. Hati-hatilah untuk lain kali. Apabila hal yang sekasar itu dilakukan oleh Ken Arok, maka itu bukanlah sesuatu yang pantas disesalkan. Tetapi kalau itu dilakukan oleh Mahisa Agni, maka kau pasti akan menyesal sepanjang hidupmu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih,” gumamnya, “untunglah bahwa kau pun banyak mengalami perubahan. Apabila tidak, akibatnya dapat dibayangkan.”
“Untunglah,” sahut Ken Arok, “aku menyadari sepenuhnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam diriku. Tanggapanku kepada dunia, kepada manusia di sekelilingku kini telah berubah. Karena itulah sebenarnya aku ingin bertemu denganmu dan gurumu. Aku minta kepadamu, supaya orang-orang di sekitar padang ini mendengar, bahwa cerita tentang hantu Karautan telah tamat. Selebihnya aku akan mohon diri kepadamu dan gurumu, bahwa aku akan segera pergi ke Tumapel mengikuti Brahmana itu.”
“Apakah kau ingin berjumpa dengan Empu Purwa?” bertanya Mahisa Agni,
“Sayang, waktuku sudah terlalu sempit,” jawab Ken Arok, “kesempatan ini adalah kesempatan yang sebaik-baiknya bagiku untuk mengakhiri cara hidup yang liar ini. Danghyang Lohgawe akan membawaku ke istana Akuwu. Mudah-mudahan aku diterima pengabdianku, meskipun sebagai juru pakatik sekali pun.
“Syukurlah, “gumam Mahisa Agni, “kau akan menempuh suatu kehidupan yang lain dari masa-masa lampaumu.”
Ken Arok itu pun mengangguk lemah.
“Tekunilah kehidupan yang baru itu,” Mahisa Agni meneruskan, “mudah-mudahan kau sabar melampaui masa-masa peralihan itu.”
Kembali Ken Arok mengangguk. “Mudah-mudahan,” desisnya.
“Kapan kau akan berangkat?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku belum tahu pasti,” sahut Ken Arok, “tetapi aku harus segera pergi kepada Danghyang Lohgawe.”
Mereka berdua pun kemudian terdiam. Langit di timur telah membayangkan warna fajar. cahaya yang ke merah-merahan memancar di wajah langit yang biru. Bulan yang semalaman berkisar dari satu titik kesatu titik di udara, kini telah tenggelam d balik Gunung.
Sesaat kemudian terdengar Ken Arok berkata, “Aku akan segera pergi.”
Sesaat kemudian terdengar Ken Arok berkata, “Aku akan segera pergi.”
“Adakah kau masih takut mendengar ayam jantan berkokok,” bertanya Mahisa Agni,
Ken Arok tersenyum. “Tidak,” jawabnya, “Ada soal lain. Sepeninggalku, tak perlu kau menggantikan hantu di padang ini.”
Mahisa Agni pun tersenyum. Meskipun mereka belum rapat berkenalan, namun pertemuan yang aneh itu, menyebabkan hati mereka menjadi berat menghadapi perpisahan yang bakal terjadi.
Ken Arok dan Mahisa Agni pun kemudian berdiri. Ketika Ken Arok akan meninggalkan padang rumput, yang selama ini menjadi daerah pengembaraannya di malam hari, maka sekali lagi ia berpamitan, katanya, “Mahisa Agni. Baktiku buat gurumu. Ialah orang yang pertama-tama membangunkan sebuah teka-teki di dalam hatiku. Teka-teki tentang Yang Maha Agung. Doakan semoga aku dapat menyesuaikan diri dengan cara hidup yang baru ini.”
“Aku akan berdoa untukmu,” sahut Mahisa Agni.
Ken Arok itu pun segera meninggalkan Mahisa Agni. Dengan cepatnya ia berjalan melintasi padang rumput yang selama ini telah mengikatnya. Ken Arok itu seakan-akan telah menjadi bagian yang hidup dari padang Karautan. Dan kini daerah itu ditinggalkannya.
Namun terngiang di telinga Mahisa Agni, kata-kata Ken Arok, meskipun ia hanya ingin bergurau, “Sepeninggalku, tak perlu kau menggantikan hantu di padang ini.”
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas panjang, “Untunglah, semuanya belum terjadi. Seandainya ia berhasil membunuh hantu itu dengan kerisnya. dan seandainya pula ia telah terlanjur membunuh Wiraprana. Apakah akan jadinya? Dengan demikian, mungkin aku akan benar-benar menggantikan anak muda itu menjadi hantu di padang ini.”
Mahisa Agni menjadi ngeri sendiri. Dan mengucaplah ia di dalam hatinya puji syukur kepada yang Maha Agung, bahwa ia telah dibebaskan dari bencana itu.
Mahisa Agni pun kemudian melangkah pergi. Tetapi ia tidak berlari lagi seperti pada saat ia datang. Di sepanjang jalan itu, terasa betapa hatinya menjadi pedih. Pedih atas hilangnya harapan bagi masa depan yang manis, pedih karena ia hampir-hampir tenggelam dalam kegelapan.
“Wiraprana itu sama sekali tak bersalah,” gumamnya, “Akulah yang bersalah. Kenapa aku selama ini berdiam diri. Kenapa aku lebih senang menyimpan perasaanku daripada melimpahkannya? Karena itu jangan menyalahkan orang lain.”
Namun betapapun juga, luka di dadanya terasa betapa sakitnya. Tetapi Mahisa Agni kini telah menemukan dirinya kembali. Karena itu tak seorang pun yang didendamnya. Wiraprana tidak dan Ken Dedes pun tidak.
“Ayahnya, Empu Purwa tak bisa memaksanya,” katanya di dalam hati, “Apalagi aku.”
Bahkan tiba-tiba timbullah di dalam hati Mahisa Agni itu, “Biarlah gadis itu menemukan kebahagiaannya. Dan mudah-mudahan dengan demikian aku akan ikut berbahagia karenanya.”
Mahisa Agni itu berjalan perlahan-lahan di dalam sentuhan angin pagi. Tetesan embun yang hinggap di dedaunan, membentuk butiran-butiran, seakan-akan butiran mutiara yang satu-satu lepas dari untaiannya, seperti butiran-butiran mutiara harapan yang pecah dari ikatan hati Mahisa Agni.
Sebagai seorang anak muda yang sedang melambungkan cita-citanya setinggi bintang, maka peristiwa itu tak akan dapat dilupakannya. Namun ia pun dapat mengetahui bahwa tak seorang pun akan mampu mengubah perasaan orang lain dengan paksa dalam tanggapannya atas cinta.
Padang rumput itu adalah padang yang luas. Karena itu maka kini terasa, bahwa perjalanan yang telah ditempuhnya semalam adalah perjalanan yang cukup jauh. Mahisa Agni pun tiba-tiba menjadi cemas, apakah kata orang apabila salah seorang di antara tetangga-tetangganya melihatnya berlari-lari.
Matahari yang semakin tinggi di langit, terasa panasnya semakin tajam menyengat kulit. Namun sinarnya yang bertebaran di segenap wajah padang rumput itu sama sekali tak terasa. Mahisa Agni sedang bergelut dengan angan-angannya, “Apakah yang harus aku lakukan kini?”
Namun di sepanjang perjalanan itu tak ditemuinya jawaban yang memuaskan hatinya. Kadang-kadang timbul keinginannya untuk pergi saja meninggalkan gurunya dan desa Panawijen, namun kadang-kadang ada juga maksudnya untuk melihat betapa Ken Dedes dan Wiraprana berbahagia. Tetapi di dalam sudut hatinya yang lain terdengar pula suara, “Biarlah apa saja yang akan mereka lakukan, jangan mencampurinya dalam segala segi.”
Mahisa Agni menggeleng-geleng lemah. Wiraprana ternyata belum tahu apa yang semestinya harus dilakukan, dan Ken Dedes semalam menemuinya, bukan untuk menyatakan cintanya kepadanya, tetapi gadis itu akan minta kepadanya untuk menyampaikannya kepada Wiraprana. Mahisa Agni menarik nafas dalam sekali. Gumamnya, “Ternyata Wiraprana datang setiap hari ke rumah Empu Purwa tidak semata-mata menemui aku. Ternyata di belakang tirai persahabatannya itu terkandung maksud-maksud yang lain.”
Perjalanan pulang itu terasa betapa menjemukan. Baru kemudian terasa, betapa lelahnya setelah semalam suntuk matanya tak terpejamkan. Bahkan kemudian ia berlari-lari sepanjang hampir setengah malam. Dan kini ia harus menempuh jalan itu kembali.
Ketika matahari telah hampir mencapai puncak langit, maka tampaklah di hadapan Mahisa Agni beberapa buah desa yang membujur di pinggir padang rumput itu. Sekali dilampauinya desa yang pertama, kemudian ia akan segera sampai ke rumah gurunya. Namun desa-desa yang hijau itu kini sama sekali tak memikatnya seperti beberapa waktu yang lampau. Ikatan yang selama ini. terasa menjerat dirinya, tiba-tiba kini telah terurai lepas. Desa itu tak menarik lagi baginya, selain sebagai tempat tinggalnya...[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar