Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-24

Mahisa Agni memasaki desanya dengan hati yang kosong. Selangkah demi selangkah ia menyusuri jalan yang semalam dilaluinya. Masih dilihatnya beberapa ranting yang patah sebagai tempat untuk menumpahkan kemarahan dan kegelapan hatinya semalam.
Ketika dari kejauhan dilihatnya pagar batu yang melingkari halaman rumah gurunya, hatinya berdesir. Tak ada gairah lagi untuk segera pulang. Tetapi apabila diingatnya, apa yang telah dilakukan oleh gurunya untuknya, dan apa yang telah diberikan oleh orang tua itu kepadanya, maka timbullah sedikit niatnya untuk kembali masuk ke dalamnya.
Tetapi kembali hatinya berdesir ketika ia melihat Wiraprana telah berdiri di muka regol halaman itu. Terungkit kembalilah perasaan yang pedih di dadanya. Sekilas tebersitlah kemarahannya kepada anak muda itu. Namun kemudian perasaan itu ditekannya kuat-kuat.
Wiraprana tersenyum ketika ia melibat Mahisa Agni. Anak muda itu kemudian berjalan menyongsongnya. Tak ada suatu kesan apapun di wajahnya. Bersih.
Mahisa Agni melihat wajah yang jujur itu. Dan kembali ia berkata di dalam hatinya, “Anak itu tidak bersalah.”
“Dari mana kau, Agni?” bertanya anak muda itu.
Mahisa Agni menjadi agak bingung. Terasa betapa canggungnya kali ini berhadapan dengan Wiraprana. Anak muda yang telah bertahun-tahun bergaul dengan rapatnya, tiba-tiba terasa sebuah jurang telah membujur di antaranya.
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka Wiraprana mengulangi pertanyaannya seramah semula, “Dari mana kau Agni?”
Mahisa Agni merasa seperti orang yang baru saja terbangun dari mimpi. Dengan terbata-bata ia menjawab sekenanya, “Aku tidur di bendungan, Prana.”
Wiraprana terperanjat. “He,” sahutnya, “aku juga pergi ke bendungan semalam. Kenapa kita tidak bertemu?”
Mahisa Agni bertambah bingung. “Aku pergi sesudah tengah malam,” jawab Agni sekenanya.
“Oh,” berkata Prana, “tengah malam aku sudah pulang. Kenapa kau tak mengajak aku serta?”
Pertanyaan itu melingkar-lingkar seperti putaran yang sangat membingungkan. Maka jawabnya, “Aku tak bermaksud pergi ke bendungan. Aku hanya berjalan-jalan saja. Tetapi kemudian aku sampai ke sana.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika dilihatnya keris terselip di pinggang sahabatnya, Wiraprana mengerutkan keningnya. Mahisa Agni melihat sambaran mata Wiraprana atas kerisnya itu. Karena itu ia menjadi semakin bingung. Apabila anak itu bertanya tentang keris itu, apakah jawabnya. Tetapi untunglah Wiraprana tak bertanya-tanya lagi.
“Ayolah,” ajak Wiraprana, “kau tampak lelah.”
Mahisa Agni tak menjawab. Maka berjalanlah mereka berdua memasuki regol halaman rumah Empu Purwa yang luas. Mahisa Agni melihat tanam-tanamnya yang hijau subur. Bunga-bungaan, rerumputan dan perdu. Dilihatnya pula tanah yang berpetak-petak dan di samping rumah itu sebuah kolam. Tetapi semuanya itu kini terasa hambar. Bunga-bunga yang sedang kembang sama sekali tak menarik perhatiannya. Batang-batang anggrek yang dipeliharanya dengan hati-hati, serta bunga-bunganya yang putih bersih tampak betapa suramnya.
Mereka berdua langsung pergi ke bilik Mahisa Agni. Wiraprana duduk di sebuah bale-bale besar di ruangan dalam, sedang Mahisa Agni langsung masuk ke biliknya. Dilihatnya biliknya itu kotor dan barang-barangnya berhambur-hamburan. Agaknya semalam ia telah dengan tidak sengaja menghambur-hamburkan barang-barangnya itu. Dengan dada yang serasa akan retak, Mahisa Agni menarik keris dari pinggangnya. Ketika ia menatap keris itu, terasa hatinya berdesir. Untunglah bahwa keris itu belum ditariknya dari wrangkanya. Tanpa disengajanya, diciumnya ukiran keris itu sambil berbisik, “Betapapun kau telah diselamatkan dari penggunaan yang sia-sia.”
Mahisa Agni pun kemudian segera membenahi barang-barangnya. Pakaiannya, beberapa alat-alat lain dan lontar-lontar bacaannya. Adalah menjadi kebiasaannya untuk membersihkan biliknya sendiri, sehingga jaranglah orang lain masuk ke dalamnya. Dengan demikian, maka tak seorang pun yang mengetahui, bahwa bilik itu menjadi kotor dan bercerai berai.
Setelah pekerjaan itu selesai, Agni pun tidak segera keluar dari biliknya. Dengan lesunya ia duduk di sudut pembaringannya. Matanya yang sayu. beredar dari satu benda ke benda yang lain di dalam bilik itu. Terasa betapa ia menjadi asing. Dinding-dinding, tiang, dan sebuah gelodog bambu. Dan tiba-tiba tebersit pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah aku masih akan dapat tinggal di tempat ini?”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Ia tersadar ketika didengarnya Wiraprana terbatuk-batuk di ruang dalam. Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri, dan dengan lunglai ia berjalan keluar menemui sahabatnya yang telah memadamkan harapannya di masa depan.
Wiraprana tersenyum melihat Agni keluar dari biliknya. Katanya sambil tertawa, “Ah, aku sangka kau tertidur Agni. Aku takut kalau aku harus menunggumu sampai senja.
Kelakar itu pun demikian hambar di hati Mahisa Agni.
Meskipun demikian dipaksanya juga bibirnya untuk tersenyum. Senyum yang pahit. Dan hatinya pun bertambah pahit ketika ia melihat kenyataan bahwa Wiraprana itu sama sekali tak berprasangka apa pun kepadanya. Tak ada perubahan pada tingkah lakunya dan tak ada setitik kecurigaan apa pun dalam sikapnya. Hatinya tidak akan sepedih itu seandainya Wiraprana itu bersikap kasar dan keras. Seperti Kuda Sempana. Seandainya Wiraprana itu berkata kepadanya, “Agni, marilah kita selesaikan persoalan kita dengan bertaruh nyawa.”
Meskipun seandainya ia kalah, bahkan sampai pada ajalnya pun, maka ia akan mati dengan bangga. Tetapi Wiraprana sama sekali tak bersikap demikian. Matanya yang bening memancar seperti mata kanak-kanak yang belum mengenal dosa. Karena itu Mahisa Agni mengeluh di dalam hatinya.
Dengan lesu Mahisa Agni duduk di samping Wiraprana. Dan dengan kaku ia bertanya, “Dari mana kau sepagi ini Prana?”
Wiraprana terperanjat, “He? Apakah kau sedang bermimpi? Lihatlah, bayangan matahari telah tegak di lantai.”
Mahisa Agni menyadari, kesalahannya, dan dipaksanya juga dirinya untuk tertawa, “Ah, agaknya aku benar-benar lelah dan bingung. Maksudku, apakah kau telah datang sejak pagi-pagi?”
Wiraprana memandang wajah Mahisa Agni dengan herannya. Dilihatnya pada wajah itu suatu pancaran yang aneh. Tak pernah ia melihat kerut-kerut di kening sahabatnya itu. Mahisa Agni adalah anak yang selalu gembira. Ah, Mahisa Agni terlalu lelah, katanya di dalam hati, namun yang terlontar dari mulutnya adalah, “Seharusnya akulah yang bertanya Agni, dari mana kau sampai sesiang ini. Apakah kau tidur di bendungan sampai matahari merambat ke puncak langit? Apakah kau kemudian mencuci pakaianmu tanpa membawa rangkapan, dan kau tunggu pakaian itu kering sambil merendam diri?”

Mahisa Agni benar-benar menjadi bingung. Tak tahu bagaimana ia akan menjawab pertanyaan Wiraprana. Karena itu ia hanya dapat tertawa, namun hatinya merintih.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni teringat kepada Ken Arok yang baru dijumpainya di padang Karautan. Diingatnya pesan anak muda itu kepadanya. Supaya orang-orang di sekitar padang ini mendengar, bahwa cerita tentang hantu Karautan telah tamat. Karena itu, maka Mahisa Agni bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan mereka. Katanya, “Wiraprana, sebenarnya aku tidak tidur di bendungan semalam.”
Sekali lagi Wiraprana terkejut, “Lalu ke manakah kau semalam malaman?”
“Ke padang Karautan,” sahut Mahisa Agni.
“He,” Wiraprana benar-benar terkejut mendengar jawaban itu sehingga ia bergeser maju, “adakah kau pergi ke sana?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Siapakah yang memaksamu, sehingga kau pergi ke daerah hantu yang mengerikan itu?’ bertanya Wiraprana pula.
“Tak ada,” jawab Agni, “aku hanya ingin melihat hantu. Karena itu kau lihat aku membawa senjata?”
“Ya, ya, Aku lihat kerismu.”
Mahisa Agni pun kemudian bercerita tentang padang itu. Tentang pertemuannya dengan hantu itu untuk pertama kali dan tentang pertemuannya yang terakhir. Mahisa Agni bercerita sedemikian asyiknya dan kadang-kadang tak sesadarnya, diceritakannya kemampuannya melawan hantu itu. Ia bercerita demikian saja untuk melepaskan himpitan-himpitan yang menekan dadanya. Tidak saja sebagai pelarian untuk menghindarkan pertanyaan Wiraprana, tetapi lambat laun dengan tak diketahuinya sendiri, cerita itu telah berubah sebagai suatu cerita untuk menolong kekerdilan perasaannya. Pilihan Ken Dedes atas Wiraprana, telah menyebabkan Mahisa Agni merasa tak berharga. Dan kini ia sedang menutupi perasaan itu dengan menceritakan kedahsyatannya.
“Alangkah dahsyatnya kau Agni,” Wiraprana menyela dengan penuh kekaguman. Dengan jujur anak muda itu berkata pula, “Sejak kau berkelahi dengan Kuda Sempana, aku telah menjadi kagum dan tidak mengerti. Dari mana kau mendapat ilmu itu. Kini ternyata kau pun sanggup melawan hantu itu. Ah. Alangkah kecilnya aku. Kenapa baru sekarang aku tahu?”
Mendengar pujian yang diucapkan dengan ikhlas itu, Mahisa Agni tersadar dari pelariannya. Karena itu betapa ia menyesal. Namun semuanya terjadi, dan cerita itu tak akan dapat ditelannya kembali. Dengan demikian, maka Agni pun justru terdiam, dan luka di hatinya menjadi semakin parah...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar