Ketika ia sedang merenungkan dirinya, kesombongannya dan ceritanya, didengarnya langkah kaki lewat di sampingnya. Mahisa Agni mengangkat wajahnya, dilihatnya Ken Dedes berjalan dengan tergesa-gesa. Ketika gadis itu melihatnya, segera ia berhenti dan berkata, “Kakang, ke mana kau semalam? Ayah mencarimu.”
Hati Mahisa Agni berdesir. Apalagi ketika dilihatnya, betapa Ken Dedes menundukkan wajahnya yang kemerah-merahan ketika terpandang olehnya Wiraprana yang duduk di sampingnya.
Mahisa Agni harus berjuang sekuat tenaga untuk menenangkan hatinya yang bergelora seperti angin ribut di lautan. Dengan gemetar ia menjawab, “Adakah guru menanti aku?”
“Tidak sekarang,” sahut Ken Dedes perlahan-lahan, namun wajahnya masih menatap lantai, “Ayah sedang di sanggar pamujan.”
“Oh,” Agni pun terdiam,
Suasana di ruang dalam itu menjadi kaku, seperti garis-garis tiang yang lurus. Ken Dedes sama sekali tak berani mengangkat wajahnya. Kehadiran Wiraprana benar-benar menjadikannya segan. Apakah Kakang Agni telah mengatakannya, pertanyaan itu merayap di hatinya. Kalau pengasuhnya yang tua itu telah menyampaikan perasaannya kepada Mahisa Agni, maka ada kemungkinan Agni telah mengatakannya kepada Wiraprana. Perasaan Ken Dedes sebagai seorang gadis menjadi bergelora. Tiba-tiba ia tak dapat menahannya. Betapa ia malu seandainya Wiraprana tak memenuhi harapannya. Bahwa apa yang dilihatnya di mata anak muda itu, dan apa yang dirasakan di dalam kata-katanya saat-saat bila mereka bercakap-cakap dan bergurau itu keliru.
Wiraprana merasakan kekakuan itu. Suasana itu demikian anehnya pada perasaannya. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Agni, apakah Ken Dedes menunggumu makan?”
Agni sadar, bahwa Wiraprana hanya bergurau. Tetapi akibatnya kata-kata seperti air yang tepercik di lukanya. Pedih. Maka jawabnya terbata-bata, “Tidak Prana.”
Tiba-tiba sekali lagi dada Agni berdesir ketika Ken Dedes berkata lirih dengan sama sekali tak mengangkat wajahnya, “Kakang. Aku mencari Kakang sejak tadi. Bukankah Kakang belum makan?”
“Oh,” Agni mengeluh di hatinya. Pergaulan ini benar-benar menyiksanya.
“Nah,” sahut Wiraprana sambil tertawa, “pantaslah. Ceritamu dan kata-katamu selama ini bersimpang siur tak keruan. Makanlah Agni, supaya hatimu menjadi terang. Dan kau tidak akan gemetar lagi.”
Perasaan Mahisa Agni benar seperti biduk yang kecil di dalam permainan gelombang yang ganas. Tetapi ketika sekali lagi ia menatap wajah sahabatnya itu, sekali lagi ia mengeluh di dalam hatinya. Wajah itu sedemikian bersih dan jujur. Karena itu kembali terdiam. Dan kembali suasana menjadi kaku.
Timbullah suatu harapan di hati Ken Dedes, agar Wiraprana ikut makan bersama Agni seperti kebiasaan mereka. Adalah menjadi kebiasaannya pula mengajak anak muda itu berbuat demikian. Tetapi kali, ini mulutnya serasa terkunci. Dan tak sepatah kata pun dapat diucapkan. Ken Dedes menjadi bingung ketika Wiraprana berkata, “Ken Dedes, kenapa kau tidak minta aku makan bersama Kakang Agni?”
Hati Ken Dedes berdesir mendengar pertanyaan itu, dan hati Mahisa Agni pun berdesir. Pertanyaan itu bukan untuk pertama kali diucapkan. Sepuluh, dua puluh bahkan anak itu sudah sedemikian seringnya datang ke rumah ini, sesering Mahisa Agni datang ke rumahnya. Mahisa Agni pun tidak tahu lagi berapa kali ia pernah dipersilakan makan di rumah Ki Buyut Panawijen. Tetapi senda gurau Wiraprana kali ini benar-benar memusingkan kepalanya.
Ken Dedes tidak dapat mengucapkan sepatah jawaban pun. Bahkan tiba-tiba gadis itu berlari meninggalkan mereka.
Wiraprana menjadi heran. Kenapa sikap gadis itu tidak seperti biasanya. Apakah ia berbuat suatu kesalahan. Wiraprana itu pun kemudian sibuk melihat dirinya, sikapnya dan kata-katanya. Aku tidak berbuat kesalahan, katanya di dalam hati. Namun perubahan sikap Ken Dedes yang manja itu benar-benar mencemaskan.
Betapa jujurnya hati Wiraprana ketika ia mengucapkan sebuah pertanyaan kepada sahabatnya, “Agni, apakah kau bertengkar dengan Ken Dedes?”
Mahisa Agni menjawab dengan gugup, “Tidak Prana. Tidak.”
“Syukurlah,” sahut anak muda itu, “aku melihat sesuatu yang agak lain.”
“Mungkin,” jawab Mahisa Agni sekenanya.
Tetapi ia terkejut sendiri atas jawabannya itu. Apalagi ketika Wiraprana bertanya, “Benarkah dugaan itu?”
Mahisa Agni merenung. Ia tidak tahu bagaimana akan menjawab pertanyaan itu.
Wiraprana menarik nafas. Kini ia tidak bergurau lagi. Tiba-tiba ia mencoba menilai, apakah yang dilihatnya sejak Mahisa Agni datang. Lesu dan berwajah sayu. Anak muda itu seakan-akan menjadi bingung dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya sekenanya saja, bahkan kadang-kadang menjadi gugup. Tertawanya yang kosong dan keningnya yang berkerut-kerut.
“Hem,” Wiraprana berdesah. “Alangkah tumpulnya perasaanku,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak dapat segera berpamitan. Ia takut kalau Mahisa Agni salah mengerti, dan menyangkanya kurang bersenang hati. Karena itu ia masih duduk saja di amben yang besar.
Sesaat mereka saling berdiam diri, Wiraprana menebak-nebak di dalam hati, sedang Mahisa Agni dengan susah payah berusaha menekan perasaannya.
Kemudian terdengar Wiraprana berkata, “Agni, makanlah. Biarlah aku menunggumu di tepi kolam. Adakah guramemu sudah bertambah banyak?”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dengan demikian setidak-tidaknya ia dapat melepaskan ketegangan perasaannya meskipun hanya sesaat ia makan. Karena itu jawabnya, “Baiklah Prana. Tetapi tidakkah kau ikut makan pula?”
Wiraprana menggeleng. Kemudian ia pun berdiri dan berjalan keluar. Mahisa Agni melihat pemuda itu pada punggungnya. Tinggi, berdada bidang. Rambutnya yang lebat digelungnya di belakang kepalanya. Langkahnya yang tegap tenang. Tiba-tiba terdengar ia bergumam lirih. Lirih sekali, “Berbahagialah kau Wiraprana. Mudah-mudahan aku dapat ikut berbahagia karenanya.”
Dan tiba-tiba saja terloncat dari mulut Mahisa Agni, “Wiraprana, pulanglah. Datanglah kembali nanti senja.”
Wiraprana terkejut , sehingga ia berputar. Ditatapnya wajah Agni. Betapa ia menjadi heran. Tak sahabatnya itu berkata demikian.
Mata Wiraprana yang bening itu pun menjadi suram. Dari dalamnya memancar pertanyaan melingkar-lingkar di dadanya. Kini terasa benar, bahwa ada sesuatu yang terjadi di rumah itu. Namun Wiraprana tidak bertanya lagi. Ketika ia melihat wajah Mahisa Agni yang sayu, maka Wiraprana pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Agni. Senja nanti aku akan datang kembali.”
Tetapi hati Wiraprana itu pun menjadi gelisah. Di perjalanan pulang, di rumah, di setiap saat ia berteka-teki, “Apakah kira-kira yang akan dilakukan Mahisa Agni senja nanti?”
Sepeninggal Wiraprana, Mahisa Agni pergi ke dapur. Dilihatnya makan baginya telah tersedia di amben. Tetapi ia tidak melihat Ken Dedes. Memang ia tidak mengharap gadis itu menungguinya makan seperti biasanya.
Meskipun demikian, setiap gumpal nasi yang masuk ke mulutnya terasa seakan-akan menyumbat lehernya. Dan Agni pun tidak dapat merasakannya, apakah yang sedang dimakan itu. Asin, manis, masam atau apapun. Mahisa Agni benar-benar tidak mempunyai nafas untuk makan.
Setelah makan, Mahisa Agni langsung masuk ke biliknya. Ken Dedes tidak tahu, apakah yang sedang dilakukannya, dan apakah yang terjadi atasnya, sebab Ken Dedes sendiri itu pun kemudian merendam dirinya di dalam biliknya pula.
Mahisa perlahan-lahan meletakkan tubuhnya di atas pembaringannya. Ia kini tidak membanting diri lagi seperti semalam, sehingga ambennya berderak-derak. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mengatur perasaannya. Sehingga kemudian tumbuhlah pikirannya yang hening. Kini ia tinggal menunda sampai senja. Ia mengharap Wiraprana akan datang dan dengan demikian ia akan menyelesaikan pekerjaannya. Ia menyadari, bahwa Ken Dedes benar memerlukan pertolongannya. Betapa pun sakitnya. Ia tidak dapat berbuat lain, daripada berkata dengan hati yang pedih kepada Wiraprana, seperti yang didengarnya dari mulut Ken Dedes semalam. Diminta atau tidak diminta. Biarlah mereka menemukan kebahagiaan, gumamnya.
Mahisa Agni terkejut, ketika ia mendengar seseorang mengetuk pintu biliknya. Kemudian didengarnya sebuah pertanyaan lirih, “Ngger, apakah Angger sedang tidur?”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Suara itu adalah suara emban tua, pengasuh Ken Dedes. Orang itu pasti akan datang kepadanya, dan akan mengulangi permintaan Ken Dedes kepadanya.
“Persetan!” teriaknya di dalam hati.
Tetapi sesaat kemudian ia menjadi tenang kembali. Perlahan-lahan ia bangkit, dan membuka pintu biliknya.
“Masuklah, Bibi,” terdengar Mahisa Agni mempersilakan. Namun suaranya bergetar.
Orang tua itu pun masuk ke dalam bilik Agni dan duduk di amben di samping anak muda itu. Wajahnya yang telah berkerut-kerut itu ditundukkan jauh-jauh menghujam ke jantung bumi.
Nafas Mahisa Agni pun serasa tertahan-tahan di hidungnya. Ia menanti kata-kata emban tua itu. Kata-kata yang sudah didengarnya sendiri. Kata-kata yang telah menyobek jantungnya. Tetapi untuk beberapa saat emban tua itu tidak berkata apa pun. Bahkan terdengar betapa ia berkali-kali menarik nafas dalam-dalam.
Bilik itu pun kemudian diliputi oleh suasana sepi. Sepi yang tegang. Namun orang tua itu masih berdiam diri.
Alangkah terkejutnya Mahisa Agni, ketika kemudian ia melihat, air mata orang tua itu satu-satu menetes di pangkuannya. Mahisa Agni menjadi heran. Apakah sebabnya? Seharusnya, seandainya dirinya seorang perempuan, maka ialah yang harus menangis melolong-lolong. Bukankah perempuan itu hanya harus datang kepadanya, mengatakan seperti apa yang dikatakan Ken Dedes kepadanya? Tetapi kenapa ia menangis?..[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar