“Kenapa Bibi menangis?” tiba-tiba terdengar Mahisa Agni bertanya.
Orang tua itu mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah Mahisa Agni yang suram. Kemudian orang tua itu berdesah, “Ah. Alangkah anehnya hidup ini.”
“Apa yang aneh, Bibi?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku tidak menyangka Ngger, bahwa perjalanan hidupmu dan Ken Dedes, pada suatu saat akan sampai di persimpangan,” jawab orang tua itu.
Melonjaklah hati Mahisa Agni mendengar kata-kata itu. Ia ingin meyakinkan pendengarannya, maka ia pun bertanya, “Kenapa?”
“Aku adalah orang tua Ngger,” sahut orang tua itu, “sudah belasan tahun aku hidup di padepokan ini sebagai emban pemomong putri Empu Purwa itu. Dan sudah belasan tahun pula aku mengenalmu. Betapa aku melihat tingkah laku kalian berdua, hubungan kalian berdua sebagai kakak beradik. Aku, yang hidup di luar ikatan itu, merasa betapa kalian tak akan terpisahkan. Namun tiba-tiba semalam aku mendengar suatu keajaiban. Keajaiban yang tak pernah aku sangka-sangka.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Ditatapnya kembali wajah orang tua itu. Orang tua yang seakan-akan memancarkan perasaan belas kasihan kepadanya. Karena itu tiba-tiba luka di hati Mahisa Agni seperti diungkit-ungkitnya. Sebagai seorang laki-laki Mahisa Agni tidak akan tenggelam dalam kegagalan itu. Maka justru harga dirinyalah yang tersinggung. Tetapi, jauh di dasar dadanya terdengar hatinya menangis. Tidak, ia mencoba menutupi tangis itu. Karena itu dengan gagahnya ia berkata, “Ada yang bibi tangiskan? Apakah bibi menyangka bahwa aku dan gadis itu akan dapat tetap hidup bersama-sama. Aku adalah laki-laki. Suatu ketika aku akan meninggalkan padepokan ini. Bukankah aku di sini hanya sekedar berguru?”
Orang tua itu tidak menjawab. Tetapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang mulai berkeriput.
“Jangan Bibi berprasangka,” Agni meneruskan, “tak ada hubungan apa pun antara aku dan gadis itu, selain sebagai anak guruku. Apabila kemudian aku dan gadis itu akan sampai di persimpangan jalan, itu adalah wajar. Aku atau gadis itulah yang akan pergi dahulu meninggalkan padepokan ini. Aku akan dapat segera pergi untuk merantau menambah pengalaman hidup dan pengalaman ilmu yang aku miliki, atau gadis itulah yang pergi dahulu mengikuti suaminya di rumah Buyut Panawijen.”
“Oh?” perempuan tua itu terkejut, sehingga ia berkisar maju.
Mahisa Agni pun terkejut, ketika ia melihat emban tua itu sedemikian terkejutnya mendengar jawabannya. Barulah kemudian ia sadar, bahwa kata-kata yang terloncat dari mulutnya agaknya telah mendahului kabar yang akan dibawa perempuan itu kepadanya. Ternyata pula kemudian orang tua itu bertanya, “Adakah Ken Dedes telah mengatakannya kepadamu?”
Mahisa menjadi bingung. Ia tidak tahu bagaimana akan menjawab pertanyaan itu, sehingga kemudian wajahnya pun tunduk lesu. Dan mulutnya serasa terbungkam. Hanya tubuhnyalah yang kemudian bergetar.
Emban tua itu menjadi sedemikian heran, sehingga ia mengulangi pertanyaannya, “Angger, dari manakah Angger tahu, bahwa Ken Dedes pada suatu ketika akan meninggalkan padepokan ini dan mengikuti suaminya ke rumah Buyut Panawijen?”
Mahisa Agni akhirnya merasa, bahwa ia harus menjawab pertanyaan itu. Tak mungkin ia mengelak lagi. Maka dengan angkuhnya ia berkata untuk menutupi kekurangan yang mencengkam perasaannya, “Kenapa tidak? Aku telah mengatakan kepadanya, Wiraprana adalah pilihan satu-satunya baginya. Aku, yang telah menganggap Ken Dedes itu sebagai adik kandungku, telah menyetujuinya gadis itu berbuat demikian, daripada ia harus memilih salah satu dari anak-anak yang belum dikenal watak dan tabiatnya.”
“Oh,” desah perempuan itu, namun ia bertanya, “sejak kapan kau mengatakan kepadanya?”
“Sudah lama aku berkata demikian kepadanya,” jawab Agni. Ia sudah terdorong masuk ke lubang yang digalinya. Karena ia tidak dapat meloncat keluar. Bahkan ia akan menjadi semakin dalam terbenam ke dalamnya, sehingga kemudian terdengar perempuan itu bertanya, “Sudah lama? Sehari?”
“Sebulan,” sahut Mahisa Agni.
“Oh,” kembali emban tua itu berdesah. Dan alangkah gelisahnya Mahisa Agni, ketika ia melihat mata orang tua itu, yang seakan-akan menjadi semakin kasihan kepadanya. Sedemikian gelisahnya, sehingga Mahisa Agni itu bertanya, “Kenapa bibi memandang aku sedemikian?”
“Aku kasihan kepadamu, Ngger,” jawabnya jujur.
“He?” Agni hampir berteriak, “kenapa kasihan? Aku laki-laki yang tidak perlu belas kasihan orang lain. Juga belas kasihan darimu, Bibi. Juga tidak dari Ken Dedes.”
Perempuan itu mengerutkan keningnya, “Kenapa Ken Dedes?”
Kembali Agni terbungkam. Dan kembali ia tidak tahu, bagaimana ia akan menjawabnya.
“Angger,” berkata perempuan itu kemudian perlahan-lahan, “jangan membohongi aku. Pasti kau belum mengatakannya kepada Ken Dedes, bahwa sebaiknya gadis itu memilih Wiraprana.”
Orang tua itu berhenti sejenak, lalu lanjutnya, “Baru semalam gadis itu minta kepadaku untuk menyampaikannya kepadamu. Tetapi kau sudah mendengarnya. Adakah semalam kau mendengarkan percakapan kami?”
Mahisa Agni benar-benar terkejut mendengar pertanyaan itu. Sehingga ia menjadi bingung dan gugup. Namun ia tidak mau melihat kekurangan dirinya. Ia tidak mau seseorang menganggapnya bahwa ia tidak dapat memadai Wiraprana, sehingga seorang gadis lebih menyukai Wiraprana daripadanya. Karena itu maka katanya, “Apa salahnya aku mendengar percakapan kalian. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku sudah berjanji, bahwa aku akan menyampaikannya kepada Wiraprana. Membawanya kepada gadis itu. Kenapa tidak? Aku sama sekali tak berkepentingan dengan keduanya, selain Ken Dedes adalah adikku dan Wiraprana adalah sahabatku.”
Mahisa Agni masih berkata terus, namun orang tua itu memotong kata-katanya, “Adakah sedemikian juga kata hati mu?”
“Jangan mengada-ada, Bibi,” sahut Mahisa Agni sambil berdiri. Kemudian ia melangkah beberapa langkah, dan berdiri di pintu sambil bersandar tiang. Pandangannya jauh menyeberangi ruang dalam seakan-akan menembus dinding-dinding rumah Empu Purwa.
Tetapi Mahisa Agni kemudian memutar tubuhnya, dan sekali lagi ia heran. Perempuan itu menangis. Karena itu sekali lagi Mahisa Agni bertanya, “Kenapa kau menangis?”
Kini emban tua itu menunduk. Dari sela-sela isak tangisnya ia berkata, “Angger, aku ingin melihat kau berbahagia. Aku ingin melihat kau dan Ken Dedes, hidup bersama-sama dalam ikatan keluarga.”
“Tidak,” potong Mahisa Agni, “tidak! Jangan Bibi mencoba mempengaruhi kemurnian anggapanku terhadap gadis itu. Aku tidak lebih dari kakak kandungnya.”
“Agni,” kata perempuan itu, “jangan berbohong kepadaku. Dan jangan berbohong kepada diri sendiri.”
“Cukup!” Mahisa Agni membentak. Tetapi ia menyesal. Karena itu ia berkata lirih sambil mendekati perempuan itu, “Maaf, Bibi. Tetapi Bibi jangan menyebut-nyebut itu lagi.”
Mahisa Agni menjadi gelisah ketika kembali wanita tua itu memandangnya. Sinar matanya itu seakan-akan langsung menghunjam ke jantungnya. Karena itu sekali lagi Mahisa Agni melangkah, bersandar uger-uger pintu.
“Aku menjadi bersedih, Ngger,” bisik emban itu, “ketika aku mendengar Ken Dedes menyebut sebuah nama. Dan nama itu bukan namamu.”
“Jangan pedulikan aku Bibi,” potong Agni.
“Tidak dapat Ngger. Aku menitipkan harapan di hari depanmu.”
Mahisa Agni tersentak. Cepat-cepat ia berpaling dan bertanya, “Kenapa?”
“Kau masih mau mendengar?”
“Tentang harapan itu, bukan tentang seorang gadis.”
Perempuan itu menunduk. Kemudian ia berkata-kata, namun seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Kau adalah satu-satunya harapan bagi masa depan yang panjang Agni. Bukankah kau tidak bersaudara? Kalau masa depanmu suram, masa depanku pun menjadi gelap. Lebih gelap daripada masamu itu. Sebab umurku tidak akan melebihi hitungan jari sebelah tangan.”
Mahisa Agni menjadi semakin tidak tahu arah pembicaraan perempuan tua itu. -Apakah hubungannya hari depannya dengan hari depan orang tua itu. Karena itu, maka dengan berbagai pertanyaan di dadanya ia mendengar perempuan itu berkata, “Kalau kalian tidak terpisahkan. Maka aku pun akan selalu bersama kalian. Aku pasti akan ikut Ken Dedes sebagai pemomongnya. Kalau kau terpisah daripadanya, maka aku pun tak akan melihatmu lagi setiap hari.”
“Oh,” Agni menjadi kecewa mendengar alasan itu. Betapa sederhana. Maka jawabnya, “Bibi terlalu mementingkan kepentingan sendiri. Bibi hanya ingin mengikuti Ken Dedes dan melihat aku setiap hari. Itu saja? Baik. Baik. Kelak aku juga akan ikut Ken Dedes dan Wiraprana. Biarlah aku menjadi juru pengangs atau menjadi pakatik pemelihara kuda.”
Kata-kata Agni terputus ketika orang tua itu menutup kedua wajahnya dengan tangannya yang kisut. Terdengarlah orang tua itu terisak.
Dan Agni pun menjadi semakin tidak sabar. Maka katanya, “Kenapa Bibi menangis saja? Bukankah Ken Dedes minta Bibi menyampaikan kepadaku permintaan supaya aku berkata kepada Wiraprana bahwa Ken Dedes menunggunya. Bahkan Wiraprana harus datang kepada Empu Purwa dengan sebuah upacara lamaran. Dan bahwa lamaran itu pasti akan diterimanya? Bukankah begitu?”
“Ya, ya, Agni,” potong perempuan itu, “demikianlah.”
“Nah. Kenapa Bibi tidak mengatakannya? Malahan Bibi menangis saja?”..[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar