“Tetapi, “terdengar suara Ken Dedes di antara isaknya, “bukankah kau mau menolong aku, Kakang?”
Sekali lagi Ken Dedes ingin meyakinkan.
Dan sekali lagi Mahisa Agni mengangguk dan terloncat jawabannya singkat, “Tentu.”
Tetapi Agni terkejut ketika tangis Ken Dedes kembali meledak. Dengan kedua telapak tangannya gadis itu menutup mulutnya seakan-akan takut apabila kata-katanya akan berloncatan keluar.
Karena itu kembali Mahisa Agni mematung. Tetapi dengan penuh harapan ia menanti. Namun tak sepatah kata pun yang didengarnya. Bahkan Agni menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba saja Ken Dedes berdiri, dan dengan tergesa-gesa ia berlari kembali ke biliknya.
Mahisa Agni masih berdiri tegak di tempatnya Hanya satu kali terdengar ia memanggil, “Ken Dedes.”
Ketika Ken Dedes tidak berhenti, Mahisa Agni tidak mengulanginya. Ia takut kalau-kalau ada orang lain yang mendengar panggilannya. Karena itu dengan gelisah dan cemas dipandangnya gadis putri gurunya itu lenyap di sudut rumah.
Ketika Ken Dedes sudah tidak tampak lagi, Mahisa Agni mengusap dadanya. Dilepasnya sebuah tarikan nafas yang panjang sekali. Tetapi ia kecewa. Dari Ken Dedes, ia belum mendengar apapun tentang dirinya.
Sesaat kemudian, setelah gelora di dadanya mereda, Mahisa Agni duduk kembali di amben bambu di teritisan. Bahkan kemudian ia menyesal, kenapa bukan ia sendiri yang mengatakannya kepada gadis itu.
“Kenapa aku harus menunggu?” pikirnya. Mahisa Agni menggeleng. “Mulutku pun terkunci.” desahnya.
Mahisa Agni kemudian menjadi gelisah sendiri. Ia menjadi iri hati, kepada pemuda yang terbuka hatinya. Dalam kesempitan yang demikian pasti tidak perlu lagi berteka-teki. Tetapi Mahisa Agni, bukanlah pemuda yang demikian. Sejak ayahnya meninggal, maka ia lebih banyak menyimpan perasaan daripada menyatakannya. Kepada siapa pun juga. Demikian pula dalam persoalan ini.
Anak muda itu mencoba menghibur hatinya dengan serulingnya. Tetapi ia tidak mampu lagi meniupnya. Karena itu, kembali serulingnya diletakkannya. Dan tanpa dikehendakinya, ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di pertamanan itu.
Bulan di langit mengapung dengan tenangnya. Mahisa Agni me-ngerutkan keningnya ketika dilihatnya sebuah lingkaran putih di sekeliling bulan itu.
“Bulan berkalang,” gumamnya. Dan dilihatnya sebuah bintang yang menyala dengan terangnya pada lingkaran itu. Tidak di dalam, tetapi tidak pula di luar. Namun hati Mahisa Agni sama sekali tidak tertarik pada bulan, lingkaran dan bintang yang menyala pada lingkaran itu. Karena itu ia berjalan terus sambil menunduk, menyusuri jalan-jalan kerikil di halaman rumah itu
Di dalam biliknya, Ken Dedes menjatuhkan dirinya di pembaringannya. Ditelungkupkannya wajahnya di antara kedua tangannya yang terlipat. Bagaimanapun juga ia bertahan, namun tangisnya meloncat juga. Ketika ia menahannya, maka terdengar isaknya menjadi semakin keras.
“Nini,” didengarnya suara lirih di depan pintunya.
Cepat-cepat Ken Dedes mengusap matanya. Dan dicobanya menjawab perlahan-lahan, “Tinggalkan aku sendiri.”
“Nini,” terdengar kembali, “bolehkah aku masuk?”
“Pergi,” jawabnya, “aku akan tidur.”
“Tidak,” katanya pula, “kau tidak akan tidur. Kenapa kau menangis?”
Ken Dedes tidak menjawab lagi. Dan dibiarkannya orang itu masuk. Ken Dedes mengenal orang itu seperti ia mengenal dirinya sendiri. Seorang perempuan tua yang mengasuhnya sejak kecil. Apalagi setelah ibunya meninggal .Perempuan itu mengasuhnya melampaui anak sendiri.
“Kenapa kau bersedih, Nini,” terdengar suara perempuan tua itu sambil duduk bersimpuh di samping amben Ken Dedes.
Tangis Ken Dedes menjadi semakin deras betapapun ia me-nahannya. Dan terdengar di antara isaknya, “Tidak apa-apa, Bibi.”
“Jangan berbohong,” sahut orang tua itu, yang seakan-akan turut serta menghayati kepedihan hati gadis itu, “aku mengenalmu sejak kau kanak-kanak. Aku mengenal tabiatmu seperti aku melihat matahari. Karena itu, jangan bersembunyi di balik lidi sehelai. Anakku, aku dapat menduga sebagian besar dari kedudukanmu.”
Sedikit demi sedikit tangis Ken Dedes mereda. Seakan-akan orang tua itu dapat menjadi kawan berbagi duka. Perlahan-lahan diangkatnya wajahnya. Dan di antara isaknya ia berkata, “Kau tahu bibi?”
“Ya,” sahut pengasuhnya itu, “setiap gadis remaja akan mengalaminya. Aku sudah mendengar apa yang dikatakan Empu kepadamu dan Angger Mahisa Agni.”
Ken Dedes terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya, “Dari manakah kau mendengarnya?”
“Ayahmu berkata kepadaku, embanmu yang tua ini,” sahut perempuan itu.
“Ayah?” bertanya Ken Dedes.
“Ya. Tetapi Ayahmu pun menjadi gelisah, karena tak seorang pun yang kau kehendaki,” jawab pengasuh itu, “Tetapi jangan kau sangka, bahwa kami orang-orang tua ini tidak dapat meraba hati gadisnya.”
“Oh,” Ken Dedes menarik nafas, “apakah yang diketahuinya?”
Orang tua itu diam untuk sesaat. Ditatapnya gadis itu dengan pandangan lembut. Tangannya yang telah dipenuhi oleh garis-garis umur itu kemudian dengan mesranya membelai rambut momongannya. “Jangan menangis anakku,” bisiknya.
Hati Ken Dedes menjadi berdebar-debar karenanya. Apakah yang diketahui tentang dirinya oleh pengasuh dan ayahnya. Dengan penuh pertanyaan ditatapnya wajah orang tua itu. Namun untuk sesaat mereka masih berdiam diri.
Di luar angin masih bermain-main dengan daun-daun talas dan kelopak-kelopak bunga. Dengan tak disengaja, Mahisa Agni, lewat melintas di samping bilik Ken Dedes. Ketika ia mendengar isak gadis itu, ia berhenti. Dan didengarnya kemudian Ken Dedes bercakap-cakap. Anak muda itu tak kuasa untuk mencegah keinginannya, mendengarkan percakapan dibalik dinding bilik itu Karena itu, dengan hati-hati sekali ia melekatkan kepalanya dan mencoba menangkap setiap kata-kata yang menggetarkan udara malam yang sepi.
“Nini,” terdengar pengasuh tua itu berkata dengan hati-hati, “jangan berahasia kepadaku seperti aku juga tidak berahasia kepadamu. Ketahuilah Nini, bahwa Empu Purwa pernah bertanya kepadaku tentang dirimu. Disangkanya aku mengetahui seluruhnya, apa yang tersimpan di hatimu. Karena itu anakku, untuk kepentinganmu, berkatalah kepadaku.”
Ken Dedes tidak segera menjawab pertanyaan pengasuhnya itu. Hanya isaknya sajalah yang terdengar memecah sepi malam. yang terdengar kemudian adalah suara pemomongnya, “Tak ada orang tua ingin melihat anaknya menderita di hari tuanya. Karena itu, orang tua yang baik, pasti akan mendengarkan tangis anaknya. Nah tangismu pasti akan didengarnya. Empu Purwa tidak akan marah apabila kau minta kepadanya apapun yang ia dapat memberinya. juga kesempatan untuk menentukan hari depanmu. Namun jangan dibiarkan kami, orang-orang tua ini meraba-raba. Berilah kami penjelasan. Apakah yang kau tunggu, dan siapakah anak muda itu?”
Dengan susah payah Mahisa Agni mencoba menguasai pernafasannya yang mendesak. Seperti orang yang tertarik oleh sebuah pesona yang tak dapat disingkiri, anak muda itu menjadi kaku tegang melekat dinding.
“Bibi,” jawab Ken Dedes, “apakah Ayah tidak akan marah kepadaku?”
“Tidak Ngger, tidak,” sahut orang tua itu, “Ayahmu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau akan mendapat kesempatan untuk memilih sisihanmu itu. Meskipun kami dapat menduganya, namun kau sendirilah yang harus mengucapkannya. Dan Ayahmu pasti akan menunggu, pada saatnya orang-orang yang dianggapnya dapat mewakili anak muda itu, pasti akan datang kepada Ayahmu.”
“Bibi, anak itu bukanlah anak yang terbuka hatinya. Tetapi sinar matanya serta tutur katanya apabila kami bercakap-cakap telah meyakinkan aku, bahwa pada suatu saat jalan hidup kami akan bertemu.”
Ken Dedes berhenti sesaat, dan nafas Mahisa Agni serasa akan berhenti juga.
“Ya, ya Nini,” sela pengasuhnya itu.
“Aku telah mencoba mengatakannya kepada Kakang Agni, namun mulutku seperti terkunci,” Ken Dedes meneruskan.
Pengasuhnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Bibi,” berkata Ken Dedes pula, namun suaranya menjadi serak dan seakan-akan sedemikian pepat dadanya, sehingga kata-katanya itu menjadi terpotong-potong, “aku ingin berkata kepada anak itu, supaya segera dipenuhinya adat dan tata cara.”
Ken Dedes berhenti sesaat untuk menelan ludahnya.
“Ya, Nini,” potong emban tua itu, “namun kau belum menyebut namanya.”
Ken Dedes menatap langsung ke dalam mata orang tua yang bening itu. Dan tiba-tiba ia yakin bahwa orang tua itu benar-benar akan menolongnya. Maka katanya, “Namanya Wiraprana.”
“Oh,” orang tua itu terkejut seperti disengat lebah biru. Tanpa disengaja kedua tangannya menutup mulutnya yang berteriak lirih itu, “Adakah kau menyebut nama Angger Wiraprana?”
Ken Dedes mengangguk. Dan orang tua itu pun kemudian tepekur.
Di luar dinding, Mahisa Agni mendengar percakapan itu. Pada saat Ken Dedes mengucapkan nama itu, terasa seakan-akan di malam yang terang itu, Mahisa Agni mendengar suara petir meledak di kepalanya. Betapa ia terkejut mendegarnya, Wiraprana. Wiraprana...[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar