Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-19

Tak ada jawaban. Dicobanya sekali lagi, namun sepi
“Mereka telah tertidur,” desis Ken Dedes.
Gadis yang gelisah itu, dengan hati-hati melangkah di antara para endang yang tertidur nyenyak. Perlahan-lahan sekali supaya mereka tidak terbangun. Ken Dedes sendiri tidak tahu, mengapa ia bangun dan ke mana ia akan pergi. Tetapi ketika telah dilangkahinya tlundak pintu terasa perasaannya makin gelisah.
Ken Dedes berjalan selangkah demi selangkah, menyusuri jalan- jalan sempit di halaman. Angin yang silir, mengalir lembut dan bermain-main dengan rambutnya yang terurai di punggungnya.
Tanpa sesadarnya, Ken Dedes berjalan ke arah suara lagu yang beralun di antara daun-daun perdu pertamanan. Dan tiba-tiba saja gadis itu terkejut ketika suara lagu itu terhenti.
Mahisa Agni melihat Ken Dedes datang ke arahnya. Karena itu pemuda itu menjadi berdebar-debar. Tak disangkanya, bahwa di malam yang telah lama lelap itu, Ken Dedes akan datang menghampirinya. Karena itu, maka anak muda itu menjadi gugup, dan hilanglah nada-nada lagunya dari kepalanya, sehingga akhirnya ia berhenti.
Langkah Ken Dedes pun terhenti pula. Gadis itu pun kemudian melihat Mahisa Agni duduk di teritisan. Sesaat ia menjadi bimbang. Tetapi gadis itu tidak melangkah kembali. Bahkan dihampirinya Mahisa Agni.
Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Perasaan yang belum pernah terjadi padanya. Ken Dedes telah bertahun-tahun tinggal sehalaman dengan anak muda itu. Setiap hari mereka bertemu, bercakap, bergurau. Tak pernah Agni berdebar karenanya. Tetapi kali ini perasaannya menjadi lain.
Mahisa Agni masih berdiam diri ketika Ken Dedes kemudian duduk di sampingnya, di amben bambu itu.
Sesaat mereka saling membisu. Hanya nafas Mahisa Agnilah yang terdengar berkejaran. Sehingga ia tak dapat lagi menyapa putri gurunya.
Ken Dedeslah yang mula-mula berkata. Namun suaranya benar-benar telah mencerminkan kedewasaannya, “Lagumu indah, Kakang,” katanya.
Agni berdesir mendengar pujian itu. Pujian yang jauh lebih merdu dari suara serulingnya. jawabnya terbata-bata, “Tidak Ken Dedes. Aku tidak pandai meniup seruling.”
“Lagumu bercerita tentang kesyahduan cinta,” berkata gadis itu pula.
“Aku tak tahu,” jawab Agni, “demikian saja aku meniup seruling itu. Dan apakah yang terpancar daripadanya?”
“Cinta dan gairah bagi masa depan,” sahut Ken Dedes.
Mahisa Agni tidak menjawab. Dan untuk sesaat Ken Dedes pun berdiam diri. Namun tiba-tiba di dalam dada gadis itu pun tumbuh sebuah persoalan. Persoalan yang lama terpendam di dalam dadanya. Beberapa waktu yang lalu, putri itu pun telah mengambil keputusan untuk mengatakan persoalannya kepada Mahisa Agni. Namun ia menjadi ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan menodai namanya. Tetapi ia tidak akan dapat membiarkan persoalan itu semakin berlarut-larut. Dan selalu terngiang kembali kata-kata ayahnya, ‘Jangan terlalu lama anakku’.
Gadis itu pun kemudian menjadi gelisah. Terdorong oleh keinginannya untuk mengungkapkan perasaan yang menghimpit dadanya. Namun kemudian yang terloncat dari bibirnya, “Kakang, tiuplah serulingmu kembali.”
“Tidak, Ken Dedes,” jawab Mahisa Agni.
“Kenapa?” bertanya gadis itu.
Agni menggeleng. “Tak tahu,” desisnya.
Kembali mereka membisu. Angin yang lembut membelai mahkota dan daun-daun bunga.
“Kakang…,” terdengar kemudian suara Ken Dedes lirih tertahan.
Agni tidak menjawab, tetapi hatinya berdesir.
Ken Dedes tidak segera meneruskan kata-katanya. Matanya yang suram jauh memandang puncak-puncak pepohonan yang bergoyang-goyang disentuh angin. Dan malam pun bertambah malam.
Gelora yang melanda dada Ken Dedes menjadi semakin dahsyat. Akhirnya meledak juga kata-katanya, “Kakang, bukankah kau telah mendegar sendiri, apa yang dikatakan Ayah kepadaku?”
Mahisa Agni mengangguk. Dan terasa tangannya bergetar.
“Bagaimanakah menurut pertimbanganmu, Kakang?” bertanya gadis itu.
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab. Bahkan terasa keringat dinginnya mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya. Sehingga karena anak muda itu diam saja, Ken Dedes mendesaknya, “Apakah pertimbanganmu Kakang?”
Mahisa Agni menjadi gugup. Namun dicobanya juga untuk me-nenangkan detak jantungnya. Bahkan kemudian Agni dapat juga menjawab dengan suara bergetar, “Sebagian terbesar adalah tergantung padamu sendiri Ken Dedes.”
Seandainya jawaban Mahisa Agni itu diucapkan beberapa hari yang lalu, serta dalam persoalan yang berbeda, Ken Dedes pasti akan mencubitnya dan berteriak dengan manjanya, “Buat apa aku bertanya kepadamu, kepada kakakku, apabila persoalannya akan diserahkan kembali kepadaku?”
Tetapi kali ini Ken Dedes bersikap lain. Dengan sayunya gadis itu menundukkan wajahnya.
“Ya,” desisnya, “sebagian terbesar adalah tergantung kepadaku.”
Tetapi gadis itu bergumam pula, “Tetapi tidakkah ada orang lain yang dapat menolongku?”
Mahisa Agni mendengar kata-kata itu. Ingin ia menjawab. Bahkan ingin ia berteriak sambil menepuk dada, “Aku Ken Dedes, aku yang akan menolongmu.”
Namun kata-kata itu terhenti, tersangkut di kerongkongan. Dan yang terdengar oleh Ken Dedes adalah, “Adakah orang lain yang dapat menolongmu?”
Ken Dedes mengangkat wajahnya. Dipandangnya wajah Agni yang gelisah. Jawaban Agni sama sekali tak memberinya keyakinan. Dan sekali lagi wajah Ken Dedes terkulai lemah. Terasa matanya menjadi panas, dan tak disadarinya mata itu pun menjadi basah.
“Kau sama sekali tidak menjawab pertanyaanku Kakang,” desah Ken Dedes perlahan-lahan, “Malahan kau menjadikan aku bertambah bingung.”
Tetapi Mahisa Agnilah yang lebih dahulu bertambah bingung. Dalam kebingungannya itu, ia mencoba memperbaiki kesalahannya. Dan tanpa terkendali ia berkata, “Ya. Ya, Ken Dedes. Aku akan mencoba menolongmu.”
Sekali lagi Ken Dedes memandang wajah Mahisa Agni. Dan tiba-tiba matanya yang redup menjadi sedikit menyala. Katanya, “Benarkah Kakang akan menolong aku?”
Mahisa Agni mengangguk, tetapi dadanya bergetar.

Ken Dedes menarik nafas dalam sekali, Katanya perlahan-lahan sekali, “Aku tidak tahu, apakah Kakang Agni dapat merasakan perbedaan perasaan antara seorang anak muda dan seorang gadis. Namun yang aku rasakan Kakang, alangkah rumitnya perjalanan hidup ini.”
Ken Dedes berhenti sejenak, kemudian meneruskan, “Aku tidak mengeluh karena aku seorang gadis. Bahkan menurut Ayah aku harus berbangga, bahwa yang Maha Agung mempercayakan kepadaku jenisku untuk menurunkan, membesarkan dan mengasuh angkatan yang bakal datang Tetapi….”
Suara Ken Dedes terputus Dan kembali lehernya terasa tersekat.
Mahisa Agni menjadi semakin bingung. Ketika Ken Dedes kemudian terisak, maka dengan gelisahnya Mahisa Agni berdiri dan berjalan hilir mudik. Ingin ia menghibur gadis itu, namun ia tidak tahu bagaimana melakukannya. Sebab tiba-tiba saja gadis itu seakan-akan menjadi orang asing baginya.
“Kakang,” desah Ken Dedes, “aku takut kalau peristiwa di belumbang itu akan terulang kembali, seperti Ayah pun takut pula. Apalagi kalau pada suatu ketika, tak seorang pun yang melihat peristiwa semacam itu. Apakah akan jadinya. Karena itu Kakang, aku tak akan dapat menghindari permintaan Ayah.”
Mahisa Agni berhenti sesaat dan tegak seperti tonggak di hadapan Ken Dedes. Namun mulutnya masih terkunci.
“Tetapi Kakang,” Ken Dedes masih berkata terus, “di hadapan Ayah, aku tak dapat berbuat sesuatu. Aku hanya dapat mendengarkan Ayah menyebut nama demi nama. Tetapi aku tak dapat mengucapkan sebuah nama pun. Tidak. Aku tidak dapat Kakang….”
Tangis Ken Dedes semakin menjadi-jadi. Dan Mahisa Agni pun menjadi semakin bingung. Sekali-kali ia memandang dengan gelisahnya di antara daun-daun pertamanannya. Ia takut kalau ada seseorang yang melihat mereka.
Akhirnya tangis Ken Dedes itu mereda sendiri. Patah-patah gadis itu meneruskan, “Kakang, sekarang aku mencoba datang kepadamu. Aku menyangka bahwa aku akan dapat mengatakan sesuatu.”
Dada Mahisa Agni pun kemudian menjadi sesak, seperti terhimpit. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai perasaannya yang bergolak, sehingga setelah ia berjuang mati-matian, maka dapatlah ia mengucapkan kata-kata, “Berkatalah Ken Dedes.”
Ken Dedeslah yang kemudian menjadi gelisah. Kalimat demi kalimat telah disusunnya. Namun kalimat-kalimat itu seakan-akan tersangkut di dalam dadanya. Sehingga tak sepatah kata pun yang dapat diucapkan.
Malam pun menjadi semakin tetap. Sehelai demi sehelai awan hanyut di wajah bulan yang kuning. Seperti buih di lautan yang biru bersih...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar