Empu Purwa melihat kedua anak muda yang duduk, di hadapannya itu. Agaknya perasaan mereka selama ini menjadi tegang dan penat. Karena itu katanya, “Nah, Ken Dedes. Keperluanku hari ini telah selesai. Namun persoalannya yang belum selesai. Ingatlah bahwa banyak persoalan yang dapat terjadi. Susul menyusul. Karena itu jangan menunggu sehingga persoalan-persoalan itu menjadi bertambah banyak dan rumit. Sekarang kalian berdua, beristirahatlah.”
Ken Dedes mengangguk. Izin itulah yang ditunggu-tunggunya setelah sekian lama ia harus menahan hati. Perlahan-lahan ia bangkit, dan kemudian ditinggalkannya ruangan yang serasa menyesakkan nafasnya itu.
Mahisa Agni pun kemudian mohon diri. Ingin ia duduk di halaman di belakang untuk melapangkan dadanya.
Empu Purwa melibat anak muda itu berjalan keluar pintu dengan langkah yang pasti dan tenang. Langkah seorang laki-laki yang menyimpan berbagai ilmu di dalam dirinya. Ilmu yang bermanfaat bagi tubuh dan jiwanya.
Sejak hari itu, para cantrik dan endang dari padepokan Empu Purwa melihat beberapa perubahan dalam tata pergaulan di dalam padepokan mereka. Meskipun Empu Purwa sendiri tidak pernah mengubah sikapnya kepada siapa pun juga. Namun Ken Dedes dan Mahisa Agni tidak demikian.
Tak seorang pun dari para cantrik dan endang yang mengetahui, apakah sebabnya. Namun yang mereka lihat, Ken Dedes tiba-tiba saja telah berganti sikap. Meskipun sifat kemanjaannya belum lagi dapat ditinggalkannya, tetapi ia tidak lagi bersifat terlalu kekanak-kanakan. Bahkan gadis itu menjadi lebih banyak tinggal di dalam biliknya dan mengurung diri. Yang aneh bagi para pemomongnya, putri Empu Purwa itu kadang-kadang menjadi bersedih tanpa sebab. Malahan gadis itu kadang-kadang menangis di tengah malam.
Empu Purwa pun melihat perubahan itu. Namun tak pernah ia bertanya. Sebab orang tua itu tahu pasti, mengapa anaknya menjadi demikian.
Sedang Mahisa Agni pun kemudian menjadi perenung. Anak muda yang rajin itu, kini, apabila pekerjaannya telah selesai, lebih senang duduk seorang diri di halaman belakang, atau di tepi kolam. Hanya kadang-kadang saja, Agni masih memerlukan pergi kepada sahabatnya, putra Buyut Panawijen, Wiraprana. Tetapi Wiraprana sendiri tak pernah memperhatikan perubahan itu. Karena itu, setelah tubuhnya kuat kembali, maka diulangnya kebiasaannya dahulu. Hampir setiap hari ia berkunjung ke rumah Empu Purwa. Bermain-main dengan Mahisa Agni. Maka apabila anak itu datang, Mahisa Agni terpaksa menerimanya seperti biasa. Bermain seperti biasa dan bekerja di sawah bersama seperti biasa. Ke bendungan dan mengairi sawah di malam hari. Tetapi apabila anak itu pergi, kembali Mahisa Agni menyepikan dirinya. Namun dengan demikian, anak muda itu menjadi semakin tekun dengan ilmunya. Lahir maupun batin.
Tetapi akhirnya Agni sadar, bahwa perasaan yang bergelut di dalam dirinya, bahwa keadaan yang dialaminya itu, tak akan dapat selesai dengan sendirinya. Kegelisahan dan keadaan yang tak menentu itu harus segera diakhiri. Namun bagaimana mengakhirinya.
Itulah sebabnya Mahisa Agni semakin bertambah murung. Terasa jarak yang menabiri antara dirinya dan Ken Dedes menjadi bertambah luas. Gadis itu kini jarang benar dapat ditemuinya. Hanya kadang-kadang ia melihat dari mata gadis itu sebuah ucapan yang tak dimengertinya. Namun benar-benar terasa di dalam hatinya, Ken Dedes ingin mengucapkan sesuatu kepadanya. Dan karena itu Mahisa Agni menjadi semakin gelisah.
Di saat-saat yang sepi, selalu datang kembali ingatan tentang ayah bundanya yang hampir tak dapat diingatnya lagi. Meskipun kepergian orang tuanya itu telah diikhlaskannya, namun dalam kesempitan keadaan seperti keadaannya kini, Mahisa Agni berulang kali menyebut namanya. Tetapi anak itu sadar, bahwa ayah dan bundanya itu, sudah tidak akan dapat berbuat sesuatu untuknya.
Ketika langit bersih, dan bulan mengapung di udara, Mahisa Agni mencoba mencari ketenangan di luar biliknya. Seperti biasa anak muda itu duduk di atas batu hitam di sudut pertamanan. Dalam malam yang sepi, di taburan warna cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dipandangnya malam yang suram dengan hati yang suram. Bunga-bunga yang beraneka warna. Daun-daun dan batang-batang perdu yang ditanamnya berpetak-petak. Namun semuanya tak menyegarkan hatinya. Yang tampil di hatinya, adalah kegelisahan dan kecemasan.
Tetapi Agni itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Bulan yang kuning itu seakan-akan menjadi cerah seperti hatinya. Perlahan-lahan bibirnya tergerak. Agni tersenyum sendiri. Ia puas dengan penemuannya. Di dalam hatinya yang sepi itu, tiba-tiba saja tampil sebuah nama yang hampir dilupakannya. Pamannya. Bukankah pamannya itu dapat dimintanya untuk mengganti ayah bundanya?”
“Empu Gandring,” desisnya, “kenapa aku melupakan paman itu?”
Sekali lagi Mahisa Agni tersenyum. Seakan-akan jalan yang terbentang di hadapannya adalah sebuah jalan yang lurus dan licin. Direka-rekanya di dalam angan-angannya, besok atau lusa ia akan mohon izin dari gurunya untuk menengok pamannya di Lulumbang. Dan dua hari kemudian ia akan kembali beserta pamannya. Tidak berdua saja, tetapi dengan beberapa orang membawa sebuah upacara. Pamannya akan melamar Ken Dedes untuknya.
Tetapi tiba-tiba pula, kecemasannya tumbuh kembali. Apakah gurunya akan mengizinkannya untuk berbuat demikian. Bukankah Empu Purwa telah menganggapnya sebagai anak sendiri, sebagai saudara tua Ken Dedes.
“Alangkah malangnya nasib ini, apabila terjadi demikian,” gumamnya. Namun ia masih mencoba menghibur diri, “Bukankah aku berhak ikut serta dalam sayembara pilih itu,” bisiknya kepada diri sendiri.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba di matanya, bunga-bunga di pertamanannya itu menjadi bertambah asri. Bunga kaca piring di tengah-tengah pertamanan itu menebarkan bau yang harum tajam. Terasa di bahu Agni yang telanjang, angin menyapu kulitnya perlahan-lahan. Sejuk.
Dalam kesejukan angan-angan yang penuh harapan itu, Mahisa Agni kemudian berdiri dan berjalan perlahan-lahan mengambil serulingnya di amben bambu di teritisan. Dengan tenangnya anak muda itu duduk bersandar dinding dan kedua tangannya melekat pada lubang-lubang serulingnya. Dengan hati yang lapang, Mahisa Agni melekatkan seruling itu di bibirnya. Maka mengalunlah lagu yang sejuk merdu. Lagu yang menggambarkan gairah cinta manusia. Cinta yang luhur dan suci, seperti cinta Ratih dan Kama. Demikianlah nada kasih itu membakar jiwa Agni dan malam itu pun dihangatkannya dengan kesyahduan lagunya.
Beberapa orang cantrik menjadi terbangun karenanya. Mereka seakan-akan mendengar bunyi gamelan lokananta di atas langit yang dibunyikan oleh dewa-dewa. Sedang para endang yang mendengar lagu itu, tersenyum-senyum di antara kesadaran dan mimpinya. Didengarnya lagu yang syahdu itu lewat telinganya, namun dilihatnya di dalam mimpinya Arjuna sedang tersenyum kepadanya. Dan ketika mereka terbangun oleh gigitan nyamuk, maka mereka menjadi kecewa. Namun lagu yang merdu itu masih didengarnya.
“Siapa?” bisik salah seorang dari mereka.
“Mahisa Agni. Siapa lagi?” jawab yang lain. Namun serentak mereka memandang warana yang memagari ruangan itu dengan pintu bilik Ken Dedes.
Endang itu pun kemudian saling berpandangan. Terdengar salah seorang berbisik, “Alangkah bahagianya Ken Dedes mendengar lagu itu.”
Para endang itu pun tertawa lirih.
Dan lagu itu masih menyusup lewat lubang-lubang dinding, membuaikan mereka yang terkantuk-kantuk. Para endang itu pun kemudian kembali menguap dan tertidur dengan senyum di bibir mereka. Dan kembali pula mereka bermimpi indah.
Di belakang pintu bilik di sebelah warana itu Ken Dedes mendengar pula lagu yang hening namun penuh gairah atas masa depan yang gemilang. Gadis itu pun segera mengetahuinya bahwa yang meniup seruling itu adalah Mahisa Agni. Dan karena lagu itu pula hatinya bergetaran.
“Kenapa lagu itu?” desahnya di dalam hati, “apakah Kakang Agni tahu, apa yang tersimpan di dalam dadaku?”
Gadis itu pun kemudian berangan-angan di antara oleh kesyahduan lagu Mahisa Agni. Sebagai seorang gadis, maka Ken Dedes pun merindukan kasih dan kebahagiaan di masa depan. Diangan-angankannya suatu masa yang mesra dalam perjalanan hidupnya.
Namun sebagai seorang gadis yang tahu akan harga dirinya, maka gairah yang membakar dadanya itu pun disimpannya di dalam hati. Tetapi sejak ayahnya memanggilnya bersama Agni, sejak ayahnya menyebut beberapa nama untuknya, maka api yang menyala di dalam dadanya itu menjadi semakin berkobar-kobar. Berbagai perasaan telah bergulat di dalam dirinya. Takut, cemas namun tak dapat ia berbuat banyak. Ingin ia berlari-lari kepada ayahnya, dan dengan manjanya memeluk pinggangnya sambil berkata, “Ayah, aku telah jatuh cinta kepada seorang anak muda. Tolong Ayah katakan kepadanya, supaya ia segera datang melamar.”
“Tidak. Tidak,” desisnya.
Ia dapat berbuat demikian, apabila gadis itu ingin sehelai kain tenun yang baru, atau subang bermata berlian. Dan ayahnya selalu akan berkata, “Jangan ribut Ken Dedes. Besok biarlah ayah belikan.”
Dan kalau ayahnya tidak mampu untuk membelinya ayahnya selalu menghiburnya, “Mintalah yang lain anakku, mintalah yang ayah mampu mengadakannya.”
Tetapi tidak demikian dengan seorang kekasih. Mungkin seorang pemuda dapat berbuat demikian. Tetapi tidak bagi seorang gadis.
Apabila kemudian para endang tertidur dengan nyamannya, maka sebaliknya dengan Ken Dedes. Lagu itu telah menggelitik hatinya, sehingga bahkan ia bertambah gelisah. Ketika di luar biliknya, telah menjadi sepi, maka Ken Dedes justru bangkit dari pembaringannya. Perlahan-lahan ia menjengukkan kepalanya dan memanggil lirih, “Endang.”..[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar