Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-17

Himpitan ketegangan di hati Ken Dedes pun tiba-tiba serasa berguguran. Sejak semula ia mendengarkan kata-kata ayahnya dengan penuh kecemasan. Mula-mula ia menyangka bahwa ayahnya akan menyebut untuknya sebuah nama dari nama-nama mereka yang datang melamarnya. Apabila demikian, Ken Dedes memejamkan matanya. Ia tak tahu, apakah yang terjadi dengan dirinya. Dan tiba-tiba disadarinya bahwa ia pasti akan keberatan seandainya ayahnya menerima baginya siapa pun dari mereka.
Ken Dedes menjadi malu sendiri. Seakan-akan ayahnya dapat membaca setiap perasaan yang bergolak di dalam dadanya. Apalagi ketika ayahnya meneruskan, “Tetapi Ken Dedes. Aku tidak akan dapat menyelenggarakan sayembara pilih yang demikian itu. Aku tidak akan membuat untukmu sebuah menara, dan di bawah menara itu beberapa orang satria berkuda dengan pakaian yang indah-indah lewat berturut-turut dengan penuh harapan untuk menerima kemurahan hatimu. Tidak, Anakku. Yang akan aku selenggarakan adalah sebuah sayembara pilih yang sederhana sekali. Dengarlah baik-baik Ken Dedes. Apabila diperkenankan oleh Yang Maha Agung, maka menilik tata lahir yang kasatmata, engkau masih akan menempuh suatu masa yang panjang. Karena itu masa-masa itu harus kau lewati dengan gairah dan ketenteraman. Maka adalah menjadi kewajibanmu untuk ikut serta menentukannya sendiri masa depan itu, meskipun aku tak akan melepaskan tanganku.”
Empu Purwa berhenti sejenak. Dan Ken Dedes pun menjadi gelisah kembali. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Empu Purwa pula, “Anakku, supaya tak terulang peristiwa yang tidak aku ingini dan tentu saja kalian juga, maka sudah sampai saatnya kini, kau menentukan pilihan.”
Wajah Ken Dedes yang kemerah-merahan menjadi panas. Terasa seluruh bulu-bulu tubuhnya meremang. Kata-kata itu sudah diduganya. Namun ketika diucapkan juga oleh ayahnya, perasaannya tersentuh pula. Untuk sesaat Ken Dedes menjadi bingung. Tak tahu apa yang akan dilakukan. Hanya tiba-tiba saja, tanpa sesadarnya ia mengerling kepada Mahisa Agni. Namun dilihatnya pemuda itu tunduk kaku. Tetapi wajah itu kemudian menengadah ketika terdengar Empu Purwa berkata, “Nah Ken Dedes, dapatkah kini sayembara pilih yang sederhana ini kita mulai?”
Ken Dedes tidak menjawab. Namun desir di jantungnya serasa semakin tajam menggores. Dan ia menjadi semakin gelisah. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi tak sepatah kata pun dapat diucapkan.
Karena Ken Dedes tidak menjawab, maka berkatalah Empu Purwa, “Biarlah kau berapa dalam keadaanmu, seorang gadis yang harus memilih satu di antara beberapa anak muda. Dan biarlah aku menyebut nama-nama itu. Kalau nama itu berkenan di hatimu, Anakku, maka aku harap kau menganggukkan kepalamu, supaya aku segera dapat menjawab kepada orang-orang tua mereka.”
Ken Dedes menjadi bertambah bingung karenanya. Sekali lagi tanpa disadarinya, gadis menatap wajah Mahisa Agni. Namun Mahisa Agni itu telah menundukkan wajahnya kembali.
“Dengarlah nama itu baik-baik, Ken Dedes,” berkata ayahnya, “kalau pada suatu saat kau menganggukkan kepala mu, biarlah Mahisa Agni menjadi saksi.”
Tetapi mulut Ken Dedes terbungkam. Dan ayahnya pun tidak memaksanya untuk menjawab Gadis itu hanya dimintanya menganggukkan kepalanya, apabila telah jatuh pilihannya.
“Yang pertama,” berkata Empu Purwa. Ken Dedes menjadi bertambah bingung. Bahkan Mahisa Agni pun menjadi sangat gelisah.
“Seorang anak muda yang kaya, putra Buyut Tatrampak, Namanya Jumna. Bukankah anak muda itu pernah kau kenal?”
Wajah Ken Dedes masih terpaku pada anyaman tikar pandan tempat duduknya. Dan ia sama sekali tidak menggerakkan kepalanya. Meskipun anak muda itu tampan dan gagah, namun sama sekali tak terlintas di kepala Ken Dedes, bahwa pada suatu saat ia akan hidup bersamanya.
Empu Purwa menarik nafas. Tampaklah kerut keningnya, “Baiklah. Kau tak menghendakinya,” gumamnya, “Sekarang, dengarlah. Orang kedua. Kau pasti telah mengenalnya. Putra, pamanmu Paniat. Saudagar yang terkenal sampai ke daerah Tumapel. Bukankah anak itu kawan bermain Mahisa Agni? Namanya Pandaya.
Mahisa Agni mengangguk kosong. Setiap nama yang disebut gurunya, serasa sebuah goresan, di dadanya. Dua luka telah menganga. Jumna dan yang kedua, Pandaya. Dengan tegang, Mahisa Agni menatap wajah Ken Dedes yang tepekur. Sesaat ia menunggu, dan Ken Dedes tetap mematung.
Empu Purwalah yang kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian disebutnya anak muda yang ketiga, Mahendra, seorang anak muda dari Tumapel, putra sahabat Empu Purwa. Ken Dedes belum pernah mengenal anak muda itu, sehingga nama itu sama sekali tak menarik perhatiannya.
Nama-nama berikutnya adalah Lembu Santan, Jumerut dan Galung Paran. Namun seperti Mahendra, nama-nama itu baru didengarnya kali ini, sehingga dengan demikian, jangankan mengangguk, bahkan Ken Dedes menjadi jemu dan penat oleh ketegangan yang menekannya. Sedang Mahisa Agni pun tak kalah tegangnya. Setiap kali anak muda itu menarik nafas panjang, dan setiap Empu Purwa menyebut nama yang lain, keningnya tampak berkerut.
Empu Purwa tak dapat melepaskan tangkapan perasaan Mahisa Agni, namun ia masih akan menyebut satu nama lagi, katanya, “Ken Dedes, nama ini, adalah nama yang terakhir. Terserah kepada keputusanmu. Bukankah sudah aku katakan, bahwa kini sedang berlangsung sebuah sayembara? Akulah pengganti dari setiap pemuda yang datang berturut-turut di bawah menaramu. Nah, dengarlah nama ini. Putra sahabatku seorang empu yang bijaksana, ahli membuat senjata. Beberapa kali anak muda itu pernah berkunjung kemari bersama ayahnya. Nama anak itu Wajastra. Bukankah anak itu pernah kau kenali?”
“Wajastra?” nama itu diulang oleh Mahisa Agni di dalam hatinya. Nama yang baik dan anak muda itu pun baik pula kepadanya.
Wajastra adalah seorang pendiam. Seperti ayahnya, anak muda itu berminat benar pada pekerjaan ayahnya. Dengan tekun ia pun ikut pula membantu dan bahkan dengan pesatnya ia maju dalam bidangnya.
Ken Dedes telah mengenal anak muda itu dengan baik, seperti Mahisa Agni mengenalnya.
Mendengar nama itu Mahisa Agni menjadi tegang. Dan tiba-tiba kecemasan menjalar di dadanya. Ia sadar kini, bahwa ia mencemaskan Ken Dedes. Diam-diam ia berdoa, mudah-mudahan Ken Dedes kali ini pun tidak menganggukkan kepalanya.
Sesaat ruangan itu menjadi kaku dan tegang. Mahisa Agni memandang wajah Ken Dedes dengan tajamnya, seakan-akan kedua tangannya akan terjulur dan menahan kepala itu supaya tidak bergerak. Sedang Empu Purwa masih duduk sambil melipat tangannya. Orang tua itu pun memandangi putrinya dengan baik.
Tetapi kali ini pun nama itu tidak dapat menggerakkan hati Ken Dedes. Karena itulah maka kepalanya pun tidak bergerak pula. Meskipun Empu Purwa menunggunya beberapa saat. Namun Ken Dedes itu sama sekali tidak mengangguk.
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Dan terdengarlah ia berkata, “Anakku, sayembara pilih itu kini sudah selesai. Namun tak seorang pun yang dapat memenangkan sayembara ini. Karena itu, anakku, masalah ini, masalahmu, masih belum dapat dipecahkan. Aku tidak tahu, apa yang tersimpan di dalam dadamu. Namun demikian, adalah menjadi harapanku, apabila Ken Dedes segera menentukan pilihan. Nah, kalau demikian, biarlah aku menunggu beberapa lama lagi, tetapi tidak terlalu lama. Mudah-mudahan sepanjang waktu itu,aku akan mendengar, bahwa salah seorang anak muda akan dapat menggerakkan hatimu.”
Ken Dedes menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia tahu benar, betapa ayahnya mencemaskan nasibnya. Apabila masalahnya itu akan berkepanjangan, maka orang tuanya pasti akan bersedih. Tetapi, di dalam hatinya Ken Dedes merasa, betapa besar kesempatan yang telah diberikan oleh ayahnya itu kepadanya, sehingga ia diberi kesempatan untuk mengemukakan pendiriannya. Tidak seperti beberapa orang ayah yang lain, yang dengan serta-merta menentukan jodoh anaknya tanpa setahu anak itu sendiri. Karena itu, betapa besar rasa terima kasih itu menggores di hatinya, sehingga tiba-tiba terasa bahwa memang sudah seharusnya ia membantu ayahnya segera. Tetapi sebagai seorang gadis, Ken Dedes tidak dapat berbuat banyak.
Sebenarnyalah, di dalam dada Ken Dedes telah terukir sebuah nama. Nama yang telah dikenalnya baik-baik, yang telah disebutnya beratus, bahkan beribu kali. Tetapi alangkah kecewanya, ketika ayahnya menyebutkan sekian nama yang telah melamarnya, namun nama itu tak tersebutkan. Karena itu,maka tak sebuah nama pun yang menarik minatnya. Ia menunggu nama yang telah tersimpan di hatinya. Namun ia menunggu sampai nama yang terakhir. Dan ia masih harus menunggu lagi.
”Sampai kapan?” desahnya di dalam hati. Ken Dedes pun kemudian menjadi cemas. Kalau anak muda itu tidak segera datang kepada ayahnya, maka jangan-jangan ayahnya akan kehabisan kesabaran. Dan dipaksanya ia memilih satu di antara mereka. Dan di antara mereka itu tak ada nama yang diharapkannya.
Sebagai seorang gadis, adalah tidak mungkin baginya, untuk meminta ayahnya justru datang kepada pemuda itu. Memintanya untuk menjadi menantunya. Dengan demikian tidak saja ayahnya akan mendapat aib, namun dirinya pun demikian.
Ken Dedes masih menundukkan wajahnya, Bahkan kini tubuhnya seakan-akan menjadi kejang. Tak berani ia menggerakkan, meskipun hanya ujung jarinya. Dan gadis itu tidak berani pula mengerling lagi kepada Mahisa Agni.
Mahisa Agni pun kemudian menekurkan kepalanya, Namun terasa kini dadanya telah menjadi lapang kembali. Kini ia tidak akan dapat mengingkari dirinya sendiri. Selama ini ia telah dicengkam oleh ketakutan. Sebagai seorang laki-laki, Agni tidak pernah merasa ngeri menghadapi setiap persoalan. Namun tiba-tiba ia merasa ngeri mendengar beberapa nama disebut oleh gurunya.
Akhirnya Mahisa Agni sampai pada suatu kesimpulan, meskipun selama ini ia telah mencoba untuk menyembunyikannya. Ken Dedes baginya, bukanlah sekedar putri gurunya, atau gadis yang menganggapnya seorang kakak saja. Lebih daripada itu.
Tetapi apakah yang dapat dilakukan? Kini ia sudah tidak berayah dan tidak beribu. Tak ada orang yang dapat dimintanya untuk datang kepada gurunya dengan upacara, sebagai lazimnya. Tak ada orang yang akan menempelkan namanya pada deretan nama-nama yang pada suatu saat akan disebut oleh gurunya, seperti nama-nama anak-anak muda yang lain. Jumna, Pandaya, Mahendra dan sebagainya. Dan tiba-tiba Mahisa Agni mengeluh di dalam hatinya. Tak pernah hal yang demikian itu dipikirkannya dahulu. Sepeninggal ayah dan ibunya, Agni telah mencoba melupakannya dan meletakkan dirinya dengan tawakal dalam asuhan Empu Purwa yang menerimanya sebagai seorang murid. Tetapi kini, tiba-tiba timbullah suatu persoalan. Persoalan yang rumit baginya...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar