Ketika kemudian putrinya muncul dari balik pintu, Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Duduklah Ken Dedes, di mana Mahisa Agni? Hampir aku mengantuk menunggumu di sini.”
Ken Dedes adalah gadis yang manja. Ayahnya itu pun suka pula bergurau. Namun kali ini tampaklah wajahnya bersungguh-sungguh. Hening. Namun sepi.
Karena itu Ken Dedes pun tidak berani bersikap manja seperti sikapnya sehari-hari. Dengan wajah tunduk ia pun segera duduk di muka ayahnya.
“Di mana Agni?” ayahnya bertanya.
“Di dapur Ayah,” jawab Ken Dedes, “baru saya Kakang Agni selesai makan.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. “Biarlah kita tunggu,” katanya.
Ken Dedes menjadi semakin berdebar-debar. Apakah persoalan itu penting sekali? Meskipun demikian ia sudah dapat meraba-raba. Pasti ayahnya akan bertanya kepadanya, hubungan apakah yang pernah dilakukan dengan Kuda Sempana. Dan Ayahnya itu akan menjadikan Mahisa Agni sebagai saksi.
Sesaat kemudian Agni pun datang pula. Langsung ia duduk di atas tikar pandan itu. Seperti Ken Dedes, dada anak muda itu pun berdebar-debar pula.
Setelah keduanya duduk beberapa saat, berkatalah Empu Purwa, “Mahisa Agni dan Ken Dedes. Aku sangka kalian menduga-duga di dalam hati, persoalan yang agak bersungguh-sungguh ini. Namun aku rasa kalian telah menemukan jawabannya”
Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, “Belum Bapa. Sewaktu Bapa minta aku datang sampai pada saat ini, tak ada yang dapat aku kira-kirakan.
Empu Purwa tersenyum. Dipandanginya anak gadisnya. Kemudian katanya, “Benarkah begitu Ken Dedes?”
Ken Dedes mengangguk.
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku menyesal bahwa peristiwa pagi tadi harus terjadi. Dengan demikian keluarga kita akan menjadi buah percakapan.”
Ken Dedes pun menjadi semakin tunduk. Perkataan ayahnya itu mengingatkannya kepada berbagai perasaannya yang bercampur baur. Malu, sedih, takut dan segala macam, Karena itu, tiba-tiba terasa air matanya mengambang di pelupuk matanya yang masih bendul.
Ketika Empu Purwa melihat anaknya bersedih, cepat-cepat ia meneruskan, “Tetapi itu bukan salahmu, Anakku. Banyak saksi-saksi yang berkata demikian. Dan aku pun tak menyalahkanmu.”
Justru karena kata-kata itu, air mata Ken Dedes menjadi semakin banyak, dan kemudian setetes demi setetes membasahi pangkuannya,
“Jangan menangis,” sambung ayahnya, “aku belum selesai. Bahkan aku belum sampai kepada persoalannya.”
Ketika Empu Purwa diam sejenak maka pringgitan itu menjadi sepi. Di kejauhan terdengar bunyi jangkrik sahut-menyahut dengan siul angkup nangka dihembus angin. Ngelangut.
Nyala lampu di dapur pun telah padam. Tak terdengar lagi suara cantrik dan endang yang lagi bergurau, Padepokan Empu Purwa telah mulai lelap tertidur.
“Ken Dedes,” suara Empu Purwa lirih, namun dalam malam yang sepi itu terdengar jelas kata demi kata, “kalau kau sekali-sekali becermin di belumbang di samping rumah kita ini, kau akan sempat memperhatikan dirimu. Telah hampir dua puluh tahun kau menikmati sinar matahari, Karena itu, sadari anakku, kau telah menginjak masa dewasa.”
Wajah Ken Dedes yang tunduk itu menjadi semakin tunduk. Sebagai searang gadis remaja Ken Dedes sudah merasakan, betapa sesuatu selalu bergolak di dalam dadanya. Banyaklah keinginan- keinginan yang tak dimengertinya sendiri Kadang-kadang timbullah nafsunya untuk selalu menghias diri. Tiba-tiba gadis itu menjadi malu. Apakah ayahnya sering melihatnya becermin di wajah air kolam yang tenang diam itu?
Bahkan pernah gadis itu melempari angsa dengan batu ketika tiba-tiba saja angsa itu menggoyang-goyang permukaan air selagi ia becermin. Apalagi ketika terasa perubahan-perubahan yang terjadi pada wadagnya, ketika tubuhnya mekar seperti bunga yang sedang kembang. Dan sekarang jawaban atau persoalan-persoalan yang tak dimengertinya itu didengarnya dari ayahnya. Ken Dedes sudah dewasa.
“Karena itu, Anakku,” terdengar ayahnya berkata pula, “banyaklah persoalan-persoalan yang akan timbul karenanya, karena kedewasaanmu itu.”
Kembali Empu Purwa berhenti. Ditatapnya wajah anaknya yang tunduk. Orang tua itu ingin mengetahui. apakah yang terasa di hati anak gadisnya.
Ken Dedes diam seperti patung. Hanya sekali-kali terdengar isaknya. Dan sekali-kali pula ia mengusap hidungnya dengan ujung kainnya.
“Tetapi kau jangan cemas anakku,” sambung ayahnya, “persoalan-persoalan yang timbul karena kedewasaanmu adalah persoalan-persoalan yang wajar, yang pasti akan timbul pula pada orang-orang lain. Sebab setiap orang pada dasarnya akan mengalami persoalan yang sama. Setelah ia menjadi dewasa maka akan dilampauinya suatu masa yang penting dalam hidup ini.”
Mahisa Agni pun masih duduk tepekur. Namun terasa seakan-akan jantungnya berdentang-dentang. Orang tua itu berbicara terlalu lambat baginya. Ia ingin Empu Purwa berkata langsung sampai ke ujungnya, untuk mengurangi ketegangan di hatinya. Tetapi agaknya Empu Purwa ingin berhati-hati sehingga kata-katanya tidak akan menyinggung perasaan anaknya.
“Ken Dedes,” berkata orang tua itu, “setelah kau menyadari keadaanmu, maka apa yang terjadi pagi tadi adalah persoalan yang wajar. Hanya bentuknyalah yang berbeda-beda bagi setiap gadis. Ada yang langsung mengalami masa baik, namun ada pula yang pernah melewati kesulitan-kesulitan yang panjang. Bahkan bagi mereka yang tak beruntung, masa ini dilampauinya dengan melangkah bencana. Karena itu anakku. Selagi bencana yang tak dikehendaki itu datang, aku ingin memberi tahukan kepadamu, bahwa sebenarnyalah hal ini pernah terjadi, namun aku belum pernah menyampaikan kepadamu. Sejak beberapa minggu yang lampau telah datang berturut-turut kepadaku beberapa orang dengan upacara yang tak kau mengerti maknanya. Yang pasti, hanya kau sangka upacara-upacara keagamaan biasa. Namun ketahuilah anakku, mereka adalah utusan-utusan yang datang untuk menanyakan, apakah Ken Dedes telah cukup waktunya untuk meninggalkan masa remajanya.”
Ken Dedes berdesir mendengar kata-kata ayahnya itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa hal itu pernah terjadi. Dan kini ia mengerti, bahwa beberapa anak muda pernah datang melamarnya.
Karena itu maka terasa jantungnya semakin berdebar-debar. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah dan Ken Dedes menahan hatinya dengan menggigit bibirnya.
Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang. Belum pernah ia mendengar dari siapa pun bahwa hal itu pernah terjadi. Dan tiba-tiba saja ia ingin benar mengetahui, siapa sajakah yang pernah datang kepada gurunya untuk melamar gadis itu. Tetapi ia tak sampai hati untuk bertanya. Karena itu Mahisa Agni menjadi gelisah,
“Ken Dedes,” berkata Empu Purwa seterusnya, “aku adalah ayahmu. Karena itu aku wenang untuk menolak atau menerima lamaran itu.”
Mahisa Agni menjadi bertambah gelisah. Dan Ken Dedes pun menjadi gelisah pula, sehingga tak disengajanya ia menggeser duduknya.
Tetapi ayahnya meneruskan, “Anakku. Adalah suatu kesulitan bagiku untuk menentukan pilihan dari sekian lamaran-lamaran yang pernah aku terima. Seandainya, ya, seandainya kau dilahirkan sebagai putri seorang raja atau setidak-tidaknya putri seorang akuwu, maka aku dapat mendirikan sayembara untukmu. Sayembara tanding atau sayembara ketangkasan. Tetapi kau tidak lebih dari seorang anak pendeta yang hidup di pedukuhan yang terpencil. Kau tidak lebih dari anak seorang kecil yang miskin. Karena itu anakku, aku tak akan pantas untuk membuat sayembara apa pun.”
Kembali orang tua itu berhenti. Dan kembali ruangan itu dicengkam kesepian. Hanya detak jantung Mahisa Agni dan Ken Dedeslah yang serasa terdengar berdentingan di dalam dada mereka.
Karena itu ketika Empu Purwa meneruskan kata-katanya maka perhatian kedua anak muda itu tercurah seluruhnya kepada setiap kata yang mereka dengar, “Meskipun demikian, Anakku. Masa depanmu adalah di tanganmu. Karena itu, meskipun aku tidak mengadakan sayembara terbuka, aku mengenal satu bentuk sayembara yang dapat aku selenggarakan. Tetapi sudah pasti, aku tidak akan mengumumkannya kepada siapa pun juga, sebab dengan demikian maka akan berteriaklah segenap tetangga kita dengan tawa mereka yang asam. Empu Purwa tidak berpijak di atas buminya, dan merasa dirinya terlalu besar. Karena itu anakku, akan aku selenggarakan sayembara ini dengan diam-diam”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti kata-kata gurunya. Bagaimana mungkin sayembara dapat diselenggarakan dengan diam-diam. Bukankah sayembara itu diselenggarakan untuk diikuti oleh mereka yang mengetahui dan dengan penuh kesadaran akan tujuan sayembara itu. Karena itu maka Mahisa Agni menjadi semakin berminat kepada setiap kata yang akan didengarnya
“Adapun bentuk sayembara itu, Anakku,” Empu Purwa berkata seterusnya, “adalah sayembara pilih.”
“Sayembara pilih?” Mahisa Agni bergumam.
“Sayembara ini,” kata orang tua itu, “sering terjadi pula untuk putri-putri luhur. Sayembara semacam ini biasanya diselenggarakan di tempat-tempat terbuka. Putri yang diperebutkan itu berada di menara, sedang para pengikut berjalan berturut-turut di bawah menara itu. Siapa yang menerima selendang putri itu, ialah yang terpilih dan memenangkan sayembara.”
Malam yang sepi menjadi semakin sepi. Yang terdengar kini adalah angin malam yang lembut membelai daun-daun pepohonan yang sedang tertidur nyenyak. Gemeresik seperti suara orang berbisik-bisik.
Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang. “Adil,” serunya di dalam hati...[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar