Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-15

KARENA MAHISA AGNI masih tegak di pintu, berkatalah Ken Dedes, “Apakah kau akan berdiri saja di situ?”
“Oh,” dan Mahisa Agni pun berjalan memasuki ruangan itu. Dilihatnya beberapa endang sedang sibuk membersihkan piring-piring tanah dan mangkuk.
“Kau terlambat makan Kakang. Ayah, para cantrik dan endang, dan aku sudah makan. Ayah mencarimu tadi. Ternyata kau ditemukannya di bilik belakang,” berkata Ken Dedes sambil mempersiapkan makan Agni.
“Aku lelah sekali,” jawab Agni.
Ken Dedes menundukkan wajahnya. Jawaban Agni itu bagi Ken Dedes terdengar seolah-olah berkata ‘Aku sangat lelah Ken Dedes, setelah aku berkelahi mempertahankan kau’.
Dan tiba-tiba terdengar Ken Dedes berdesis, “Terima kasih, Kakang.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Maka ia pun bertanya, “Kenapa terima kasih?”
Ken Dedes tersadar dari angan-angannya. Karena itu ia pun menjadi tersipu-sipu. Sahutnya, “Terima kasih, bahwa kau masih akan memberi aku pekerjaan dengan bekas-bekas makan itu.”
“Oh,” Mahisa Agni pun tersenyum, “maafkan aku.”
Dan Mahisa Agni pun makanlah. Anak muda itu duduk bersila di atas bale-bale bambu, sedang Ken Dedes duduk pula di sampingnya. Dilayaninya Mahisa Agni dengan cermatnya. Tidak bedanya ia melayani ayahnya.
Bagi Mahisa Agni, hal yang demikian itu sudah sering benar dialami. Ken Dedes yang bersikap sebagai seorang adik itu, tahu benar apa yang harus dilakukan untuk ayah dan saudara tuanya. Namun, kali ini terasa sikap itu agak berbeda. Ken Dedes tidak banyak berbicara seperti biasanya. Bahkan kadang-kadang ia tunduk diam dan sekali-sekali dipandanginya titik-titik yang jauh di dalam kegelapan malam.
Dan tiba-tiba terdengar gadis itu bergumam tanpa melepaskan pandangannya yang menghunjam ke gelap malam, “Kakang, Ayah memanggil aku menghadap setelah Kakang selesai makan malam.”
Jantung Mahisa Agni pun berdesir. Gadis itu pun dipanggil pula oleh ayahnya.
“Kalau demikian,” pikir Mahisa Agni, “masalahnya pasti masalah gadis itu. Mungkin akibat sikap Kuda Sempana siang tadi. Agaknya gurunya pun melihat ketidak ikhlasan anak itu. Tetapi mungkin, meskipun terdorong oleh peristiwa pagi tadi, ada juga persoalan-persoalan lain.”
Mahisa Agni menarik nafas panjang.
“Kenapa kau berdesah?” bertanya Ken Dedes.
Mahisa Agni terkejut. Dicobanya tersenyum. Jawabnya, “Aku lupa bahwa aku sudah terlalu kenyang.”
“Bohong!” bantah Ken Dedes.
Sikap manjanya kadang-kadang masih tampak, meskipun ia mencoba bersikap sungguh-sungguh. Dan tiba-tiba saja Ken Dedes kini telah benar-benar menjadi gadis dewasa di dalam tangkapan Mahisa Agni.
Dan tiba-tiba gadis itu memberengut. Katanya, “Kau tidak mengacuhkan aku.”
“Kenapa?” bertanya Agni, “bukankah aku memperhatikan setiap kata-katamu.”
“Tidak,” sahut gadis itu, “aku berbicara dengan sungguh-sungguh. Tetapi mendengar pun kau tidak.
“Aku mendengar,” jawab Agni.
“Apa yang aku katakan?” ia bertanya.
“Bapa Pendeta memanggil kau menghadap,” Agni mengulangi kata-kata Ken Dedes.
“Kau mendengarnya?” desis Ken Dedes, “kalau demikian kau benar-benar tidak menaruh perhatian.”
“Aku memperhatikan dengan sungguh-sungguh pula,” Agni mencoba membela diri.
“Kau tidak memberikan tanggapan apa-apa. Kau tidak terkejut dan kau tidak bertanya, kenapa aku dipanggil Ayah. Bahkan kau malahan berdesah karena kau makan terlalu kenyang. Mungkin kau baru merenungkan sesuatu sehingga perut kakang sendiri pun Kakang lupakan. Apakah Kakang Agni sedang merenungkan Witri atau Sita yang manis itu?” tuduh Ken Dedes.
“Ah,” bantah Mahisa Agni, “jangan mengada-ada Ken Dedes. Aku mendengar kata-katamu dan aku merenungkannya. Aku sedang berpikir apakah kira-kira sebabnya.”
“Bohong,” Ken Dedes mencibirkan bibirnya.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tersenyum melibat putri gurunya yang manja namun bersungguh-sungguh itu.
“Aku benar-benar terlalu kenyang,” Mahisa Agni bergumam, “justru karena aku merenungkan kata-katamu.”
“Bohong. Bohong,” sekali lagi gadis itu mencibirkan bibirnya.
“Sudahlah Ken Dedes. Nanti Bapa Pendeta terlalu lama menunggu. Disangkanya aku terlalu lama makan,” berkata Agni kemudian.
“Bukankah sebenarnya demikian. Kakang makan terlalu lama meskipun Kakang makan terlalu cepat,” jawab Ken Dedes.
Mahisa Agni diam saya. Dipandangnya Ken Dedes itu, yang kemudian berdiri membenahi piring-piring dan mangkuk-mangkuk. Diambilnya kendi dari glodog dan disodorkannya kepada Mahisa Agni.
“Terima kasih Ken Dedes,” sambut Mahisa Agni.
Ken Dedes yang hampir melangkah pergi berhenti memandangi Mahisa Agni, katanya, “Sejak kapan Kakang berterima kasih kepadaku?”
Agni menundukkan wajahnya. Ia tidak menjawab kata-kata itu. Sehingga Ken Dedes pun melangkah pergi. Dengan sudut matanya Mahisa Agni melihat gadis itu. Tidak terlalu tinggi, bulat dan langsing. Pekerjaannya sehari-hari telah membentuk tubuh gadis itu menjadi serasi. Kuat namun tidak terlalu kasar. Dan tiba-tiba Mahisa Agni bergumam di dalam hatinya, “Hem, benar juga kata anak-anak muda. Putri Bapa Pendeta itu bagaikan Bunga di lereng Gunung Kawi. Dan bunga itu kini mulai kembang.”
Mahisa Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan kembali ia tunduk dalam-dalam ketika Ken Dedes datang kepadanya dan kembali duduk di sampingnya.
“Kakang,” gadis itu berkata pula. Kali ini bersungguh-sungguh, “Ayah memanggil aku.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya, katanya, “Kenapa kau dipanggil?”
Tetapi tiba-tiba gadis itu memberengut kembali. Katanya, “Kakang, kau menggodaku sejak tadi.”
“He,” Agni tidak mengerti, “kenapa?”
“Kau tidak bersungguh-sungguh. Kau bertanya karena aku tadi berkata demikian,” Ken Dedes bersungut.
“Ah,” desah Mahisa Agni, “lalu bagaimanakah aku harus bersikap. Ken Dedes, sebenarnyalah aku ingin mengetahui, apakah sebabnya kau dipanggil oleh Bapa Pendeta. Bukankah hal yang demikian itu bukan menjadi kebiasaan?”
Ken Dedes mengangguk. Dan kembali ia bersungguh-sungguh. Katanya, “Aku tak tahu. Mungkin Ayah marah kepadaku.”
“Aku sangka tidak. Sebab kau tidak bersalah. Namun mungkin pula ada hubungannya dengan peristiwa pagi tadi.”
Mahisa Agni diam sebentar, kemudian ia meneruskan perlahan-lahan, “Aku pun dipanggilnya.”
“Oh,” desis Ken Dedes. Tetapi tak ada sepatah kata pun lagi yang melontar dari sela-sela bibirnya yang tipis itu.
Untuk sesaat mereka berdua berdiam diri. Masing-masing sibuk dengan angan-angannya sendiri. Para endang telah hampir selesai dengan pekerjaan mereka. Sehingga kemudian Agni pun berkata, “Ken Dedes, pergilah kau dahulu. Bapa Pendeta sudah lama menunggu.”
“Mungkin,” sahut Ken Dedes, “Baiklah aku pergi dahulu. Kapankah Kakang akan menghadap Ayah?”
“Sebentar lagi aku datang,” jawab Agni
Ken Dedes pun kemudian berdiri. Ketika ia berjalan keluar. Mahisa Agni mengikutnya dengan pandangan matanya. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar seorang cantrik batuk-batuk di sudut dapur.
“Apa kerjamu di situ?” pertanyaan itu demikian saja meluncur dari mulut Agni.
“Mengisi jambangan,” jawabnya sambil tersenyum.
“Ah,” Mahisa Agni kemudian tidak memedulikan lagi. Segera ia pun berdiri dan dengan langkah panjang-panjang ia pun pergi meninggalkan ruangan itu
Di pringgitan Empu Purwa duduk di sudut ruangan, di atas tikar pandan yang putih. Dilipatnya kedua tangannya di dadanya, sambil duduk bersandar dinding. Kadang-kadang dikecupnya mangkuk air sere hangat-hangat sambil menggigit gula kelapa. Sedap.
Dengan sabarnya ia menunggu putrinya dan Mahisa Agni datang kepadanya seperti permintaannya. Hal yang demikian hampir tak pernah dilakukan. Ia berbicara dengan kedua anak itu di mana saja mereka bertemu. Di pendapa, di pertamanan, di tepi kolam atau di perjalanan. Namun agaknya kali ini ada sesuatu yang dianggapnya sedemikian pentingnya sehingga ia harus berbicara bersungguh-sungguh...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar