Pendeta tua itu tersentak ketika kemudian Wiraprana berkata, “Empu, aku melihat sesuatu membayang di wajah Kuda Sempana.”
“Apakah itu?” bertanya Empu Purwa.
“Dendam,” jawab Wiraprana.
“Oh,” sahut Empu Purwa, “Tidak. Jangan berprasangka, Ngger. Tak baik orang menyimpan dendam di dalam dirinya.”
“Yang menyimpan dendam itu bukan aku Empu,” jawab Wiraprana sambil tersenyum, “tetapi Kuda Sempana.”
“Ya, ya,” potong pendeta itu cepat-cepat, “maksudku bukan Angger. Tetapi siapa saja. semua orang.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun wajahnya masih merah biru, namun anak muda itu selalu tersenyum saja. Hanya kadang-kadang tampak ia menyeringai, kalau nyeri-nyeri di punggungnya terasa seperti menyengat-nyengat sampai ke ubun-ubun.
Sesaat kemudian Empu Purwa itu teringat kepada anaknya yang masih duduk lesu di atas pasir. Dengan lembut orang tua itu berkata sambil menarik lengan putrinya, “Ken Dedes, marilah kita pun pulang. Ambillah cucianmu.”
Ken Dedes menatap wajah ayahnya. Wajah seorang yang paling dikasihi dari semua orang yang dikenalnya.
“Adakah kau sudah selesai dengan cucianmu?” bertanya ayahnya.
Ken Dedes menggeleng.
“Apakah kau ingin menyelesaikannya,” bertanya ayahnya pula.
Sekali lagi gadis itu menggeleng.
“Kalau demikian marilah kita pulang. Biarlah kau selesaikan di rumah,” ajak Empu Purwa.
Perlahan-lahan Ken Dedes berdiri dan berjalan ke belumbang untuk mengambil cuciannya. Namun wajahnya yang pucat itu selalu ditundukkannya. Tak berani ia menatap wajah kawan-kawannya yang seakan-akan memandangnya dengan penuh persoalan.
Sesaat kemudian mereka itu pun pulang bersama-sama. Empu Purwa berjalan membimbing putrinya. Di belakang mereka berjalan Mahisa Agni dan Wiraprana, Namun kadang-kadang Wiraprana masih harus berpegangan pundak sahabatnya itu.
Di perjalanan itu pun mereka tak banyak bercakap-cakap. Mereka sedang asyik bermain-main dengan angan-angan. Di dalam kepala Mahisa Agni masih saja membayang wajah Kuda Sempana yang menyala-nyala liar. Karena itu, mau tidak mau Mahisa Agni harus berpikir, “Bagaimanakah kalau anak itu datang sebelum waktu yang ditentukan? Apalagi kalau anak itu datang tidak seorang diri, tetapi dengan beberapa kawannya dari Tumapel?”
Tetapi kemudian dihiburnya sendiri hatinya, “Empu Purwa pasti tidak akan membiarkan anaknya mengalami nasib sedemikian Kalau perlu, perlu sekali, maka orang tua itu pasti akan membela anaknya. Kalau terpaksa, pasti ia akan mempertahankan dengan kekerasan pula.”
Demikianlah batin Mahisa Agni menjadi agak tenteram karenanya.
Setelah menghantarkan Wiraprana, Agni pun segera pulang ke rumah gurunya. Dan sehari itu sama sekali tak dijumpainya Ken Dedes, yang kemudian merendam diri di dalam biliknya.
Empu Purwa pun tidak dijumpainya di halaman atau di pendapa. Seorang cantrik berkata kepadanya, bahwa Empu Purwa sedang berada di sanggarnya.
Terasa sehari-hari rumah itu menjadi sepi. Mahisa Agni berjalan hilir mudik dengan gelisahnya. Sekali dipegangnya senggot timba untuk mengisi jambangan, tetapi belum lagi pekerjaan itu selesai Mahisa Agni telah berpindah pekerjaan. Diambilnya cangkul dan sabit. Dicobanya melupakan kegelisahannya dengan menyiangi pertamanan di belakang. Namun pekerjaan ini pun tak menyenangkannya. Burung-burung peliharaannya yang bernyanyi riuh itu pun tak menarik perhatiannya.
Akhirnya Mahisa Agni pun menyekap diri di bilik belakang. Bilik yang dipergunakannya untuk mesu diri, melatih tubuh wadagnya sejak ia mulai berguru kepada Empu Purwa itu. Dengan serta-merta dilepasnya ikat pinggangnya, diikatkan di pinggangnya. Dengan sebuah loncatan tinggi Mahisa Agni mulai dengan latihannya. Latihan yang lain daripada saat-saat berlatih. Ia hanya ingin melepaskan kesepian dan kegelisahan yang mencengkamnya. Dilakukannya berbagai gerakan, dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit yang pernah dipelajarinya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat seperti kijang. Melingkar, berputar dan melambung ke udara. Ketika ia telah menjadi jemu dengan segala gerakan itu, tiba-tiba di tangannya telah tergenggam sebilah pedang yang diraihnya dari dinding biliknya. Dengan lincahnya Mahisa Agni mempermainkan pedangnya. Kadang-kadang ia mencoba membuat gerakan-gerakan yang indah, namun tiba-tiba gerakannya menjadi cepat dan kaku.
Demikianlah Mahisa Agni melepaskan kejemuan dengan berbagai-bagai senjata. Pedang, tombak, cemeti dan jenis-jenis senjata lain. Sehingga akhirnya Mahisa Agni menjadi lelah. Satu demi satu senjata-senjata itu dikembalikannya pada tempatnya, dan yang terakhir Mahisa Agni meletakkan tubuhnya di sudut bilik itu. Demikian lelahnya setelah semalam ia harus bertempur melawan hantu Karautan, pagi itu dengan Kuda Sempana dan masa latihannya berlebih-lebihan, maka akhirnya Mahisa Agni pun tertidurlah dengan nyenyaknya.
Betapa mimpi yang aneh-aneh telah mengganggunya. Dilihatnya di dalam mimpi itu, Ken Dedes meloncat ke dalam perahu yang megah di sebuah danau yang tenang. Tetapi tiba-tiba air danau itu pun bergolaklah. Sebuah angin yang kencang telah mengguncang perahu yang megah itu sehingga perahu itu bergoyang dengan kerasnya. Ken Dedes yang berada di dalam perahu itu terlempar dan segera ditelan oleh gelombang yang ganas. Dan yang terakhir Mahisa Agni melihat perahu itu tenggelam. Bagaimana- pun ia mencoba untuk menolong Ken Dedes maupun perahunya, namun sia-sia. Bahkan akhirnya dirinya pun terguncang keras-keras.
Mahisa Agni terkejut. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Dilihatnya bilik itu telah menjadi gelap. Seorang tua dengan lampu di tangan berdiri di sampingnya. Berkata orang itu, “Apakah kau sedang bermimpi?”
Perlahan-lahan Mahisa Agni bangkit. Dilihatnya keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia masih berada di dalam biliknya.
Sekali ia menggeliat, kemudian jawabnya, “Ya Guru, sebuah mimpi yang jelek.”
“Aku sudah menduga. Di dalam tidur kau menggeram,” sahut gurunya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Syukurlah bahwa semuanya itu hanya terjadi di dalam mimpi. Namun meskipun demikian mimpi itu sangat mengganggunya. Sehingga kemudian terluncur juga dari mulutnya, “Guru, mimpiku menggelisahkan sekali. Adakah setiap mimpi itu mempunyai arti?”
“Apakah mimpimu itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni mencoba untuk menceritakan mimpinya. Sejak awal sampai betapa ia meronta-ronta melawan ombak yang menghempas-hempaskannya.
Empu Purwa mengerutkan keningnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum, katanya, “Waktu mimpimu itu adalah waktu yang tak membawa arti. Mimpi yang mengandung makna adalah mimpi pada saat-saat antara ayam jantan berkokok untuk kedua dan ketiga kalinya. Mimpimu adalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur, Agni.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi senyumnya itu pun sama sekali tidak meyakinkan. Mahisa Agni telah mengenal gurunya baik-baik, sehingga ia tahu benar tabiat orang tua itu. Meskipun orang tua itu mencoba menghapuskan kesannya atas mimpi Mahisa Agni, namun tertangkap juga oleh Mahisa Agni, kegelisahan yang membayang di wajah itu, meskipun hanya sesaat. Tetapi ia tidak berani bertanya lebih lanjut.
“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian, “bersihkanlah dirimu. Kami sudah makan malam. Makanlah dahulu, kemudian datanglah kepadaku. Ada yang akan aku bicarakan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Gurunya memanggilnya. Pasti ada sesuatu yang penting.
Mahisa Agni pun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keluar. Panggilan gurunya itu agak mengganggunya, di samping mimpi yang menggelisahkan itu.
“Mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur,” gumamnya, “Mudah-mudahan.”
Namun meskipun demikian Mahisa Agni tak dapat melupakannya.
Setelah membersihkan diri, Mahisa Agni segera pergi ke dapur. Dilihatnya Ken Dedes duduk di atas bale-bale bambu. Ketika dilihatnya ia datang, segera gadis itu menyapanya, “Kau tertidur di bilik belakang Kakang?”
Mahisa Agni mengangguk. Ditatapnya wajah gadis itu. Pucat, dan tampak bendul di kedua pelupuk matanya. Agaknya gadis itu sehari-harian menangis di dalam biliknya.
Ken Dedes memalingkan wajahnya. Ia merasa Mahisa Agni memandang bendul di pelupuk matanya itu.
“Apa yang kau tatap itu Kakang? Apakah kau belum pernah melihat mataku?” katanya sambil mencoba tersenyum.
“Bukan apa-apa,” jawab Agni. Dan tiba-tiba saja sikapnya menjadi canggung. Ia telah berkumpul dengan Ken Dedes dalam satu rumah bertahun-tahun lamanya. Namun kini terasa gadis itu menjadi asing baginya...[Bersambung ke Jilid-2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar