Maka akhirnya semua mata pun tertuju kepadanya. Apakah yang akan dikatakan oleh orang tua itu. Apabila orang tua itu menganggap bahwa Kuda Sempana telah melarikan anak gadisnya, dan maksud itu dapat dicegah, maka ia dapat menuntut hukuman atas anak muda itu.
Kuda Sempana pun sadar akan hal itu. Namun telah bulat tekad di dalam hatinya, bahwa wanita, pusaka dan nyawanya tak berbeda nilainya. Karena itu maka ia pun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Menghadapi Mahisa Agni sekali pun, meskipun akan berakibat maut baginya.
Empu Purwa menyadari keadaannya. Ditatapnya setiap wajah dari tetangga-tetangganya itu. Dilihatnya keragu-raguan dan kecemasan di wajah-wajah itu. Sekali dipandangnya wajah anaknya pula. Pucat dan gemetar. Hatinya masih saja dicengkam oleh perasaan malu dan hina. Ketika kemudian Empu Purwa memandang wajah Mahisa Agni, dilihatnya wajah itu merah membara. Dengan tajam anak muda itu tak melepaskan pandangannya atas Kuda Sempana.
“Angger Kuda Sempana,” kemudian terdengar orang tua itu berkata, “adakah angger tadi benar-benar bermaksud melarikan Ken Dedes?”
Kuda Sempana menggigit bibirnya. Ketika terpandang olehnya wajah Wiraprana yang bengap merah biru, dilihatnya anak muda yang tinggi besar itu tersenyum sambil mengangguk kecil.
“Persetan!” umpatnya di dalam hati, namun mulutnya terpaksa menyahut, “Ya, Empu.”
Empu Purwa menarik nafas, dan hampir setiap mulut kemudian mengucap berbagai kata-kata yang tidak jelas.
Ketika untuk sesaat kemudian Empu Purwa terdiam, maka keadaan menjadi tegang. Orang-orang Panawijen itu melihat wajah Empu Purwa seakan-akan tanggul yang sudah penuh dengan air. Apabila tanggul itu bobol, maka akan datanglah banjir. Dan orang-orang yang berdiri tegak memagari itu pun harus ikut serta. Dan Kuda Sempana adalah biduk yang akan digulung oleh kedahsyatan banjir itu.
Tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh pertanyaan Empu Purwa kepada Kuda Sempana, “Angger, adakah angger menyesal?”
Pertanyaan itu benar-benar tak terduga. Baik oleh Kuda Sempana sendiri maupun oleh orang-orang Panawijen. Karena itu Kuda Sempana tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Empu Purwa dengan ragu. Sehingga Empu Purwa yang tua itu mengulangi pertanyaannya, “Angger, adakah Angger menyesal atas perbuatan itu?”
Pertanyaan itu jelas. Kata demi kata. Setiap orang tahu maksud pertanyaan itu. Karena itu setiap orang menarik nafasnya. Seakan-akan mereka melihat air yang memenuhi tanggul itu menjadi surut. Namun Kuda Sempana masih belum menjawab. Di dalam dadanya timbullah suatu pergolakan yang riuh. Sudah pasti sama sekali tak dihendakinya, apabila orang-orang sekampungnya akan beramai-ramai mengeroyoknya seperti seekor harimau yang tersesat masuk ke kampung. Tetapi untuk menarik diri terasa bahwa harga dirinya tersentuh. Ketika dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti karang, sekali lagi ia mengumpat di dalam hatinya, “Kalau saja anak gila itu tidak ada di sini, maka orang-orang Panawijen. laki-laki perempuan, tua muda, akan dihadapinya. Tetapi kini Agni yang garang itu masih berdiri tegak di hadapannya. Maka sesaat Kuda Sempana pun membuat perhitungan-perhitungan. Ia tidak takut mati. Namun ia masih ingin menunda kematian itu. Meskipun demikian anak muda yang gagah itu pun tidak segera menjawab, sehingga kemudian kembali terdengar suara pendeta tua itu, “Angger, aku tahu, betapa berat untuk mengucapkan kata-kata yang tak pernah terucapkan. Apalagi oleh seorang satria seperti Angger Kuda Sempana. Karena itu, maka baiklah aku pakai cara seorang tua. Kalau Angger Kuda Sempana menyesal, sarungkanlah keris angger.”
Kembali keadaan menjadi tegang. Semua mata terpaku pada tangan Kuda Sempana yang menggenggam kerisnya erat-erat. Kuda Sempana sendiri pun memandang tangannya itu. Dan tangan itu menjadi gemetar. Setiap orang yang memandang tangan itu pun kemudian menjadi ngeri. Keris itu benar-benar pusaka yang menakjubkan. Kalau Kuda Sempana tak mau menyarangkan keris itu, maka keris itu pun segera akan menari-nari. Setiap orang akan dapat mengalami nasib yang jelek karenanya.
Ketika tangan Kuda Sempana itu bergerak perlahan-lahan maka orang-orang yang terdekat pun bergeser. Namun semua orang menarik nafas lega ketika mereka melihat, ujung keris yang gemetar itu manjing ke dalam wrangkanya.
“Syukurlah berkata Empu Purwa kemudian sambil mengangguk-angguk kecil, “ternyata Angger berjiwa besar.”
Kemudian pendeta tua itu pun berkata kepada Buyut Panawijen, “Ki Buyut marilah persoalan ini kita hadapi dengan jiwa besar pula. Marilah semuanya ini kita lupakan.”
Ki Buyut Panawijen mengangguk-angguk pula. Di dalam hatinya pun tersimpan perasaan semacam itu. Meskipun di sudut hati itu yang paling dalam melengking pula pertanyaan, “Adakah Kuda Sempana itu akan dibiarkan membawa kesalahannya tanpa hukuman apapun?”
Namun terdengar pula jawaban dari sudut yang lain, “Ayah gadis itu tak menuntutnya. Dan, bukankah anak muda itu pengawai dalam istana Tumapel.”
Ki Buyut Panawijen memandangi Kuda Sempana yang gagah itu. Pakaian kelengkapannya yang indah meskipun kotor dan kusut, sabuk bertimang emas dengan mata berlian.
Akhirnya Buyut Panawijen itu pun berkata, “Angger Kuda Sempana. Angger telah berbuat Kesalahan. Tetapi untunglah segala sesuatu masih belum terlanjur. Aku tak dapat menyalahkan Wiraprana dan Angger Mahisa Agni, bukan karena Wiraprana itu anakku. Berterima kasihlah Angger Sempana kepada anak-anak muda yang mencegah Angger, sebelum Angger sempat menyentuh gadis yang akan Angger larikan, sehingga kebebasan Angger dari setiap hukuman tidak terasa sebagai pelanggaran yang mutlak atas adat di kampung kita. Namun janganlah hal ini menjadi contoh. Kalau Empu Purwa menghendaki, hukuman itu mempunyai alasan yang cukup untuk dijatuhkan. Tetapi dengan demikian, peristiwa ini akan benar-benar mengganggu ketenteraman pedukuhan kita. Maka bijaksanalah Empu Purwa. Meskipun demikian, tak dapat angin lalu tanpa menggoyangkan daun-daun pepohonan. Karena itu, baiklah aku minta, sebagai orang yang diserahi tanggung jawab atas pedukuhan ini, agar Angger Kuda Sempana segera meninggalkan kampung kita. Jangan kembali sebelum sampai pada bilangan tahun.”
Kuda Sempana yang gagah itu mengerutkan keningnya. Ia memandang hampir semua orang yang berdiri di sekelilingnya. Hukuman yang jauh lebih ringan dari yang diduganya itu tidak juga menyenangkan hatinya. Terasa bahwa sejak saat itu, ia akan dipisahkan dari tanah kelahirannya, sedikitnya untuk setahun.
“Persetan tanah kelahiran yang beku ini!” pikirnya, “Di Tumapel aku mempunyai lingkungan yang jauh lebih baik dari orang-orang yang bodoh dan keras kepala ini. Apakah artinya bagiku, bendungan, belumbang, rumpon, sawah, parit dan segala macam yang pasti akan menjemukan. Di Tumapel, aku dapat bermain-main dengan kuda, tombak, dan kemewahan.”
Tetapi Kuda Sempana memandang Ken Dedes yang masih duduk di pasir tepian. Terasa hatinya berdesir. Dan tiba-tiba menyalalah dendam yang membakar hatinya atas kampung halamannya, atas orang-orang yang melingkungi hidupnya semasa kanak-kanaknya. Dan dendam itu harus ditumpahkan. Kalau ia tak dapat memetik Bunga dari lereng Gunung Kawi itu, maka biarlah bunga itu akan digugurkan saja dari tangkainya. Sama sekali ia tidak rela melihat orang lain, apalagi pemuda-pemuda desa seperti Agni atau Wiraprana kelak akan memetiknya.
Sekali lagi Kuda Sempana memandangi setiap wajah itu dengan muaknya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia meloncat pergi meninggalkan mereka dengan dendam yang membara di dadanya.
Berpuluh-puluh pasang mata mengikuti langkah pemuda yang gagah itu. Sesaat kemudian Kuda Sempana telah meloncat ke atas punggung kudanya yang sedang asyik makan rerumputan segar. Namun ketika terasa sentuhan pada lambungnya, segera kuda yang tegar itu menengadah, dan meloncatlah ia dengan lajunya meninggalkan tepian sungai itu.
Beberapa orang menarik nafas lega. Mereka seakan merasa terlepas dari bencana. Ki Buyut Panawijen dan Empu Purwa pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Anak yang keras kepala,” desis Ki Buyut.
Tak seorang pun yang menyahut.
“Marilah kita tinggalkan tempat ini,” berkata Buyut Panawijen itu pula.
Beberapa orang yang lain pun segera bergerak mengikuti Buyut Panawijen itu. Tanpa berkata-kata sepatah pun mereka mendaki tebing dan hilang di belakang tanggul.
Yang tinggal kemudian adalah Empu Purwa, Ken Dedes, Mahisa Agni dan Wiraprana. Sedang gadis-gadis yang mengintip dari atas tanggul, satu demi satu menuruni tebing untuk mengambil cucian-cucian mereka yang tinggal di belumbang.
Untuk beberapa saat Empu Purwa, Mahisa Agni dan Wiraprana masih memandang ke arah Kuda Sempana menghilang. Empu yang tua dan bijaksana itu mengeluh di dalam hatinya Sebenarnya Empu Purwa yang telah cukup banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan, segera dapat mengerti bahwa Kuda Sempana sama sekali tidak ikhlas atas keputusan yang diambilnya. Namun perasaan itu sama sekali tak diungkapnya. Tetapi betapa pendeta tua itu terkejut ketika terdengar suara Mahisa Agni lirih, “Bapa, adakah Kuda Sempana menerima keputusan ini dengan jujur?”
Empu Purwa memandang Agni dengan seksama. ia pun sadar, bahwa tidak mustahil orang-orang lain pun menyimpan pertanyaan yang demikian di dalam hatinya. Meskipun demikian ia menjawab, “Angger Kuda Sempana adalah seorang satria yang berjiwa besar. Seorang yang demikian akan melihat kenyataan dengan jujur.”
Mahisa Agni kecewa mendengar jawaban itu. Tetapi ia sadar, bahwa di kampung halamannya, gurunya itu tidak lebih dari seorang pendeta yang meluluhkan diri dalam ketekunan beribadah. Dalam pedukuhan yang tenteram damai itu, tak seorang pun yang pernah melihat, bahwa Empu Purwa yang tua dan alim itu mampu menggenggam segala macam senjata di kedua sisi tangannya. Mampu menghantam hancur lawan yang betapa pun tangguhnya hanya dengan tangannya. Tetapi masa-masa yang demikian telah lampau bagi pendeta tua itu. Namun demikian, ia tidak menutup mata atas suatu kenyataan, bahwa kadang-kadang kebenaran harus dibela dengan kemampuan yang demikian. Kadang-kadang diperlukan kekuatan jasmaniah untuk menegakkan keadilan dan terutama untuk melawan segala bentuk kejahatan dan pengingkaran atas kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya. Kebenaran dan keadilan yang dibenarkan oleh Yang Maha Agung. Karena itulah maka ia menempa anak muda yang bernama Agni itu. Semoga anak itu dapat mengamalkan ilmunya. Mengamalkan, dan bukan sebaliknya...[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar