Kuda Sempana pun tak dapat menjawab pertanyaan itu, sehingga tanpa disadarinya kembali pandangan matanya terkulai di atas pasir tepian.
“Empu,” terdengar kemudian Buyut Panawijen berkata, “aku pun sedang berusaha mengerti, apakah yang sedang terjadi di sini.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, ya Ki Buyut. Aku menjadi gemetar ketika aku mendengar anak-anak berteriak-teriak di jalan, katanya Angger Kuda Sempana, Angger Wiraprana dan Mahisa Agni saling berkelahi. Aku jadi sedemikian bingung sehingga aku tidak sempat bertanya-tanya lagi.”
“Aku pun mendengar dari anak-anak itu,” sahut Ki Buyut Panawijen. Kemudian kepada Wiraprana ia bertanya, “Benarkah itu Prana?”
“Tidak seluruhnya,” jawab anak muda itu, “Yang mula-mula berkelahi adalah aku dan Kuda Sempana.”
“Kau?” ulang ayahnya.
“Ya,” jawab Wiraprana, “tidakkah anak-anak itu berkata demikian?”
“Aku tak sempat mendengarnya,” sahut ayahnya.
“Dan akhir dari perkelahian itu,” Wiraprana meneruskan, “Aku kalah. Tidakkah Ayah lihat mukaku yang bengap?”
“Aku tidak bertanya akhir dari perkelahian itu,” potong ayahnya, “tetapi kenapa perkelahian itu mulai?”
Wiraprana pun menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Kuda Sempana yang masih tunduk dalam-dalam. Kemudian ketika ia melayangkan pandangannya ke atas tanggul, dilihatnya beberapa kepala gadis-gadis tampak berderet-deret mengintip. Dan tiba-tiba dilihatnya Ken Dedes masih berdiri menggigil di tebing sungai.
Orang-orang yang berdiri memagari itu pun menjadi gelisah. Beberapa orang sebenarnya telah mendengar apa yang sebenarnya terjadi dari anak-anak mereka, namun ketika di tempat itu hadir pula Empu Purwa maka mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk mengatakannya.
Tetapi sesaat kemudian Ki Buyut itu pun mendesak pula, “Wiraprana, tidakkah kau bisa berkata?”
Wiraprana menarik nafas dalam-dalam dan ketika ia sudah tidak dapat mengelak lagi, maka katanya, “Ayah, bertanyalah kepada mereka yang menceritakan perkelahian itu. Itulah mereka, anak-anak yang tadi sedang mencuci pakaian di belumbang ini. Mereka kini sedang mengintip apa pula yang akan terjadi di sini.”
Mendengar jawaban itu, maka semua mata tiba-tiba bergerak ke atas tanggul. Sehingga tampak pulalah oleh mereka itu, kepala-kepala gadis yang sedang mengintip dengan keinginan tahu, bagaimanakah akhir dari peristiwa itu.
Ken Dedes yang melihat, semua mata memandang ke arah tanggul di atasnya, merasa seolah-olah mata itu memandangnya dengan penuh hinaan dan penyesalan. ia merasa bahwa dirinya sebab dari keributan itu. Karena itu maka perasaan bersalah, malu, sesal dan segala macam bercampur baur di dalam dadanya. Alangkah rendah martabatnya, sehingga beberapa orang laki-laki terpaksa berkelahi karenanya. Karena itu maka tiba-tiba perasaan yang bergolak di dadanya itu tak dapat dibendungnya lagi, sehingga tiba-tiba gadis itu berlari menghambur sambil berteriak, “Ayah, akulah yang bersalah.”
Empu Purwa terkejut mendengar teriakan itu. Ketika ia melihat anaknya berlari kepadanya, ia pun menyongsongnya.
Demikian Ken Dedes sampai kepada ayahnya itu, maka dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya sambil menangis sejadi-jadinya. Katanya di sela-sela tangis itu, “Ayah. Akulah sumber dari malapetaka yang menimpa padukuhan kita yang damai. Karena itu Ayah, betapa hinanya aku. Maka adalah lebih baik bagiku kalau Ayah sudi membunuhku. Biarlah aku mati di hadapan penduduk Panawijen yang tenteram ini untuk menebus kesalahan dan arang yang mencoreng di wajah keluarga.”
“Ken Dedes,” sahut ayahnya, “kenapakah kau ini?”
“Bunuh saja aku, Ayah,” tangis gadis itu.
Empu Purwa kemudian tegak seperti patung. Ditatapnya rambut anaknya yang panjang berombak, terurai menutup punggungnya.
“Bangunlah anakku,” bisiknya, “katakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku adalah ayahmu.”
“Tidak!” teriak Ken Dedes, “Bunuh aku, Ayah.”
Ki Buyut Panawijen pun kemudian mendekatinya pula. Dengan lembut ia berkata, “Ken Dedes, jangan menyalahkan diri sendiri. Berkatalah apa yang terjadi.”
Mula-mula gadis itu tidak juga mau berkata. Tetapi lambat laun, setelah beberapa orang membujuknya, maka Ken Dedes pun mengangkat wajahnya, memandang ayahnya dengan sayu. Katanya, “Apakah ada gunanya?”
“Berkatalah, supaya kami mendengar,” sahut Ki Buyut Panawijen. Sebenarnya Ki Buyut itu pun telah dapat menduga, apa sebabnya maka tiba-tiba saja pedukuhannya yang tenteram itu diributkan oleh sebuah perkelahian yang mengerikan. Dan tiba-tiba pula ia pun menjadi malu. Satu di antara mereka yang berkelahi adalah anaknya.
“Hem,” pikirnya. “adakah anakku berkelahi karena seorang gadis?”
Ken Dedes pun kemudian bercerita terbata-bata. Dikatakannya apa yang telah terjadi, sejak awal sampai orang-orang itu melihat apa yang terjadi di tepi sungai itu.
Kuda Sempana pun mendengar kisah itu pula. Setiap kata yang diucapkan oleh gadis itu, serasa sebuah pukulan yang menampar dadanya. Diamat-amatnya setiap wajah dari orang-orang Panawijen. Terbayanglah pada wajah-wajah itu, perasaan sesal dan marah. Kuda Sempana tahu pasti, bahwa orang-orang itu pasti akan menyalahkannya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan? Nafas anak muda itu pun menjadi semakin cepat mengalir, dan karena itu maka digenggamnya hulu kerisnya semakin erat.
Tetapi kemudian Kuda Sempana itu pun sadar, bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Ketika dipandangnya wajah anak muda itu, hati Kuda Sempana berdesir. Dilihatnya Mahisa Agni pun telah bersiap pula.
“Hem,” geram Ki Buyut Panawijen setelah Ken Dedes selesai berbicara. Dipandanginya wajah Kuda Sempana yang kaku tegang. Kemudian terdengar Buyut Panawijen itu berkata, “Angger Kuda Sempana. Benarkah cerita putri Empu Purwa itu?”
Kuda Sempana mengerling ke setiap wajah laki-laki Panawijen yang berdiri melingkar di sekitarnya. Kemudian disambarnya pula wajah Mahisa Agni dan Wiraprana dengan sudut pandangannya. Kuda Sempana tak dapat mengelak lagi. Di hadapannya berdiri beberapa orang saksi. Selain Wiraprana dan Mahisa Agni, dilihatnya pula beberapa orang gadis berderet-deret di atas tanggul. Sehingga karena itu terpaksa ia mengangguk sambil berkata, “Ya, Ki Buyut. Tetapi aku terdesak oleh keadaan. Aku telah mencoba datang ke rumah Ken Dedes. Tetapi gadis itu tak ada di rumah,”
“Adakah demikian adat di pedukuhan kita?” desak Ki Buyut, “Kenapa angger Kuda Sempana tidak mencari ayahnya. Bahkan seharusnya dengan sebuah upacara?”
“Aku ingin mendapat kepastian, sedang waktuku terlalu pendek. Besok aku harus terus kembali ke Tumapel,” jawab anak muda itu.
“Di pinggir sungai?” bertanya Ki Buyut.
Kuda Sempana tak dapat menjawab. Tetapi hatinya mengumpat. Hampir saja ia menyebut ada yang akan ditempuhnya. Melarikan Ken Dedes, dan menyembunyikannya sampai terdapat keturunan daripadanya. Tetapi niat itu urung. Akibat dari adat itu pun tak akan mau ditanggungkan. Sebab bila niat itu gagal, dan keluarga gadis yang dilarikan itu menuntutnya, ia akan dapat perlakuan yang mengerikan. Mati dirampok orang seperti seekor harimau yang masuk ke dalam padukuhan.
Karena Kuda Sempana tidak menjawab, maka sejenak suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah gemericik air yang mengalir dan jatuh berderai dari atas bendungan. Bulatan demi bulatan melingkar di wajah air yang jernih itu, semakin lama semakin besar. Dan kemudian pecah membentur tepian. Yang satu disusul dengan yang lain. Tak henti-hentinya sejak bendungan itu selesai dibuat beberapa tahun lampau.
Di dalam kepala Ki Buyut Panawijen itu pun melingkar-lingkar pula berbagai pertanyaan. Tanpa terucapkan, namun a tahu apa yang akan ditempuh oleh Kuda Sempana. Dikenalnya anak itu sebagai anak yang cenderung menuruti kemauan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia berdesis, “Sayang. Sebenarnya kami, penduduk dari pedukuhan ini merasa bangga, bahwa seorang anaknya telah berhasil merebut hati sang Akuwu Tumapel, sehingga mendapat tempat yang baik di sisinya. Kepercayaan itu sebenarnya kami rasakan sebagai suatu kepercayaan pula buat kami, penduduk Panawijen yang sepi. Angger Kuda Sempana akan dapat menjadi tempat kami untuk berteduh jika hujan turun, dan bernaung jika terik matahari membakar tubuh. Tetapi sayang. Sayang….”
Penyesalan yang dalam membayang di wajah Buyut Panawijen itu.
Tak seorang pun menyambung kata-kata itu. Mereka tinggal menunggu apa yang akan dilakukan oleh pimpinan pedukuhan itu. Namun timbullah di dalam setiap kepala, keragu-raguan untuk berbuat sesuatu. Pikiran itu bertolak dari pendapat yang sama pula. Kuda Sempana adalah pengawal dalam Akuwu Tumapel. Sedang setiap orang tahu sifat dan tabiat yang aneh dari Tunggul Ametung itu. Tunggul Ametung dapat berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Akuwu, namun ia dapat pula berbuat se-kejam-kejamnya. Akuwu itu benar-benar orang yang keras hati, sekeras batu akik, namun pada suatu saat hati itu dapat selunak kapas.
Karena itu tak seorang pun dapat membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh Tunggul Ametung, jika salah seorang pengawalnya mengalami perlakuan yang jelek di kampung halamannya. Meskipun demikian adat harus ditegakkan. Meskipun Kuda Sempana itu senapati sekali pun, maka seharusnya ia mendapat perlakuan yang sama, apabila telah dilakukan sesuatu kesalahan.
Dan semuanya itu tergantung kepada Empu Purwa, ayah dari gadis yang akan dilarikan itu...[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar