Namun Mahisa Agni adalah murid Empu Purwa yang tekun. Tak ada kesempatan yang dilepaskannya. Karena itu Agni memiliki beberapa kelebihan dari Kuda Sempana. Meskipun anak muda itu bersenjata, namun akhirnya terasa, bahwa ujung kerisnya sama sekali tak dapat mengimbangi ujung jari-jari Mahisa Agni. Ujung jari-jari Agni dengan lincahnya menyentuh-nyentuh Kuda Sempana hampir di setiap bagian tubuhnya yang dikehendaki. Dan jari-jari Mahisa Agni benar-benar seperti batang-batang besi. Sehingga kedua tangan Agni itu mirip benar seperti dua batang tombak yang masing-masing bermata lima. Tetapi keris Kuda Sempana pun keris yang ampuh pula. Namun meskipun keris itu berbisa setajam bisa ular bandotan, serta meskipun Mahisa Agni tak berani terkena akibat meskipun sentuhan seujung rambut sekali pun dengan keris itu, tetapi lambat laun namun pasti, Mahisa Agni tampak selalu menguasai lawannya.
Ken Dedes yang tidak dapat menilai perkelahian itu mengikutinya dengan gemetar. Perasaan takut dan ngeri menjalari dadanya. Tetapi setiap kali ia menutup matanya, setiap kali ia mengintipnya dari sela-sela jarinya, bahkan kemudian, seperti terpukau ia memandang pergulatan itu dengan hati yang tegang dan kehilangan kesadaran.
Dada Wiraprana pun tak kalah tegangnya. Masih terasa betapa berat tangan Kuda Sempana. Dan di tangan itu kini tergenggam keris. Namun ia percaya bahwa Mahisa Agni ternyata memiliki ketangkasan jauh melampaui ketangkasannya.
“Aku tidak mengira,” desisnya lemah, “Aku tidak pernah melihat anak itu membentuk dirinya menjadi seekor burung rajawali yang perkasa.”
Mahisa Agni kini benar-benar bertempur seperti seekor rajawali yang garang. Sekali-sekali ia menyambar dengan tangkasnya, dan sekali-sekali ia mematuk dengan cepatnya. Jari-jari Mahisa Agni benar-benar tidak kalah berbahayanya dari keris Kuda Sempana. Mula-mula Kuda Sempana tidak mau melihat kenyataan itu. Matanya benar-benar dibutakan oleh kesombongannya.
Namun lambat laun hatinya digetarkan oleh kenyataan. Mahisa Agni melawannya dengan gigih. Karena itu hatinya menjadi semakin gelap, dan anak muda itu bertempur membabi buta.
Akhirnya Mahisa Agni menjadi tidak sabar lagi. Perkelahian itu sudah berlangsung terlalu lama. Matahari yang merambat dari kaki langit kini telah hampir mencapai puncak ketinggian.
Meskipun hampir segenap perhatian Mahisa Agni tertumpah pada perkelahian itu, namun didengarnya pula, suara riuh yang semakin lama semakin dekat. Terlintaslah di dalam benaknya, bahwa suara riuh itu pasti suara orang-orang Panawijen yang telah mendengar berita perkelahian itu. Beberapa orang gadis yang lari ketakutan telah menceritakan tentang peristiwa itu kepada orang-orang tua mereka, kepada kawan-kawan mereka dan kepada anak-anak muda seluruh desa. Karena itu maka beramai-ramailah mereka pergi ke sungai.
Agaknya Kuda Sempana pun mendengar suara riuh itu. Maka ia pun menjadi gelisah. Tetapi ia yakin, meskipun dikerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, namun Agni tak akan dapat dikalahkan. Bahkan tiba-tiba tanpa diduganya, Agni menyerangnya bertubi-tubi seperti prahara. Beberapa kali ia melangkah surut. Namun putaran angin prahara itu seakan-akan telah memeluknya.
Sebenarnya Agni telah berusaha sedapat ia lakukan untuk memperpendek perkelahian itu. Ia ingin menyelesaikannya sebelum orang-orang Panawijen datang. Agni tidak akan dapat mengira-ngira apakah yang akan mereka lakukan terhadap Kuda Sempana.
Agaknya usaha Mahisa Agni itu berhasil. Dengan sebuah serangan lambung yang mendatar, Mahisa Agni berhasil memutar tubuh Kuda Sempana yang berusaha untuk menghindar, namun tiba-tiba Mahisa Agni meloncat ke sisi, dengan tangannya ia menghantam tengkuk lawannya. Sekali lagi Kuda Sempana berusaha menghindari. Dengan merendahkan diri ia berputar menghadap lawannya. Tangan kanannya tiba-tiba terjulur lurus, dan ujung kerisnya mengarah ke dada Agni. Namun Agni cukup tangkas. Setengah langkah ia miring. Ketika keris itu lewat secengkang di hadapan dadanya, cepat-cepat ia memukul pergelangan tangan Kuda Sempana. Pukulan itu demikian Kerasnya, sehingga terdengarlah seakan-akan tulang pergelangan tangan itu retak. Kuda Sempang terkejut bukan kepalang. Gerak yang sedemikian cepatnya itu sama sekali tak pernah diduganya. Apalagi dilakukan oleh Mahisa Agni, anak yang menghabiskan waktu remajanya di belakang dinding desa Panawijen.
Tetapi yang terjadi adalah, kerisnya terlepas dan terpelanting lebih dari tiga langkah daripadanya. Sedang perasaan sakit yang menyengat pergelangan tangannya, seakan-akan merambat sampai ke ubun-ubunnya. Terdengar Kuda Sempana mengaduh tertahan. Kemudian wajahnya menjadi semakin membara. Ia hanya dapat menunggu apa yang akan dilakukan Mahisa Agni atasnya. Meremukkan tulang-tulang iganya, atau merobek wajahnya. Kuda Sempana telah mengakui di dalam hatinya, bahwa ia tak akan mampu membela diri seandainya Mahisa Agni akan membunuhnya.
Suara riuh di kejauhan semakin lama menjadi semakin dekat. Karena itu Kuda Sempana menjadi semakin gelisah. Kalau penduduk Panawijen menganggap bahwa ia telah mencoba melarikan Ken Dedes, serta penduduk itu berhasil menangkapnya, maka akibatnya dapat mengerikan sekali. Sekali-sekali terlintas di dalam otaknya, bahwa lebih baik berkelahi mati-matian daripada menyerahkan diri. Kalau ia mati, maka dua tiga orang pasti dapat dibunuhnya. Kuda Sempana tahu benar bahwa penduduk Panawijen yang tenteram itu, tidak terlalu berbahaya baginya. Bahkan mungkin tak seorang pun yang akan berani menangkapnya Apalagi anak Buyut Panawijen telah ditundukkannya. Tetapi tiba-tiba Kuda Sempana menyadari, bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Karena itu, maka terdengar giginya gemeretak menahan hati.
“Kuda Sempana,” terkejut ketika terdengar Mahisa Agni berkata perlahan-lahan, “Kuda Sempana, ambil kerismu.”
Kuda Sempana memandang wajah Agni dengan mata yang memancarkan keragu-raguan hatinya. Benarkah Agni berkata demikian, atau telinganya telah rusak karena pukulan-pukulan Agni yang keras. Tetapi sekali lagi ia mendengar Sempana berkata, “Ambillah kerismu.”
Kuda Sempana masih ragu. Kakinya masih tetap tak beranjak dari tempatnya, sehingga Mahisa Agni mengulangnya sekali lagi, “Ambillah kerismu.”
Seperti mimpi Kuda Sempana berjalan beberapa langkah, kemudian membungkuk memungut pusaka. Tetapi ia tidak tahu, apa yang harus dilakukan kemudian,
Mahisa Agni pun kemudian menjadi bingung. Apa yang sebaiknya dilakukan. Kuda Sempana adalah pelayan dalam Akuwu Tumapel. Kalau terjadi sesuatu atasnya di desa kelahirannya, apakah Tunggul Ametung akan berdiam diri.
Selagi Mahisa Agni menimbang-nimbang, suara riuh itu pun telah dekat benar di belakangnya. Ketika ia menoleh, di atas tanggul muncullah beberapa orang laki-laki, yang langsung berlari menghambur menuruni tebing sungai.
Kuda Sempana melihat mereka itu pula. Dengan gerak naluriah ia bersiap. Meskipun perasaan sakit pada tubuhnya semakin terasa seakan-akan menggigit tulang, namun ia masih berdiri dengan kokohnya.
Yang mula-mula mencapai tepian, tempat perkelahian antara anak-anak muda itu terjadi, adalah seorang yang bertubuh tinggi kekar, berdada bidang. Ia adalah Buyut Panawijen. Rambutnya yang digelung tinggi di kepalanya tampak sudah mulai ditumbuhi uban di pelipisnya. Dengan penuh wibawa ia memandang berkeliling. Kepada Mahisa Agni yang masih tegak seperti tonggak, Kuda Sempana yang berdiri dengan kaki renggang dan berwajah tegang. Kemudian kepada anaknya Wiraprana. Anak muda itu dengan susah payah mencoba berdiri. Ketika ditatapnya wajah ayahnya tiba-tiba ia tersenyum.
“Latihan yang jelek, Ayah,” katanya.
Tetapi Buyut Panawijen itu sama sekali tidak tersenyum. Bahkan tampak ia menyesal. Desisnya, “Kalian telah menjadikan pedukuhan yang damai ini menjadi gempar.”
Wiraprana tidak tersenyum lagi. Tertatih-tatih ia berjalan mendekati ayahnya. Sementara itu, beberapa orang laki-laki tiba-tiba saja telah melingkari mereka bertiga. Seakan-akan sengaja mengepung rapat-rapat.
“Apakah yang telah terjadi?” geram Buyut Panawijen itu.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian. Wiraprana, Mahisa Agni dan Kuda Sempana menundukkan wajah mereka. Apalagi ketika kemudian mereka mendengar suara nyaring dari tebing, “Agni, apakah yang kau lakukan?”
Agni mengangkat wajahnya. Hatinya berdebar-debar ketika ia melihat gurunya yang tua itu berlari tersuruk-suruk. Sesaat kemudian semua mata memandang ke arahnya, Empu Purwa, ayah gadis yang menimbulkan perkelahian tanpa dikehendakinya itu.
Kuda Sempana pun melihat orang tua itu. Timbullah beribu-ribu pertanyaan di dalam dadanya. Orang tua itu sama sekali tidak tampak sebagai seorang sakti selain seorang yang tekun beribadah. Apakah Agni mempunyai guru yang lain dalam pengolahan badan wadagnya? Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa anak muda itu telah mengalahkannya.
“Agni,” berkata Empu Purwa terengah-engah setelah ia sampai ke tempat orang-orang Panawijen itu berkerumun, “Adakah kau telah membuat onar?”
Mahisa Agni tak berani memandang wajah gurunya. Ingin ia mengatakan apa yang sudah terjadi sebenarnya, tetapi mulutnya seperti terkunci. Ia takut kalau dengan demikian ia akan menyinggung Ken Dedes, dan menjadi semakin malu karenanya.
“Agni,” terdengar Empu Purwa berkata pula, “Apakah pula sebabnya engkau berkelahi? Apakah kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah laki-laki muda yang pandai bertengkar?”
Mahisa Agni menarik nafas. Namun mulutnya tetap membisu, sehingga terdengar Wiraprana berkata, “Bukan salah Agni, Empu.”
Empu Purwa menoleh. Dilihatnya Wiraprana yang wajahnya menjadi merah biru. Katanya, “Adakah itu perbuatan Agni?”
“Bukan, Empu,” jawab Wiraprana cepat-cepat, “Agni tak akan berbuat demikian.”
Orang tua itu kemudian merenungi Mahisa Agni, seakan-akan anak itu belum pernah dilihatnya. Kemudian matanya beredar dan sehingga di wajah Kuda Sempana. Dengan terbata-bata Empu Purwa itu bertanya, “Angger Kuda Sempana, kenapa Angger nganggar keris. Apakah Agni mengganggumu?”...[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar