Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-10

Sebelum ia sempat berkata sepatah kata pun, terdengar batu karang itu seperti menggeram, “Kuda Sempana. Apakah yang telah kau lakukan?”
Mata Kuda Sempana seakan-akan menyala karena kemarahannya. Mahisa Agni itu pun akan mencoba menghalang-halanginya. Maka katanya, “Agni. Jangan bersikap seperti seorang perwira tamtama. Lihatlah Wiraprana. Ia telah mencoba melawan kehendakku.”
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kuda Sempana itu dahulu adalah kawannya bermain pula seperti Wiraprana. Tetapi tiba-tiba ia menjadi muak melibat wajah yang sombong itu. Maka katanya, “Kuda Sempana. Jangan kau mencoba memperkecil arti kami anak-anak Panawijen. Kau juga anak dari tanah ini. Kau mampu menjabat pekerjaanmu sekarang. Demikian juga anak-anak yang lain. Kau telah menghina kampung halamanmu sendiri.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana, “Kalau kau ingin mengalami nasib seperti Wiraprana, bilanglah.”
Selangkah demi selangkah Mahisa Agni berjalan maju, menuruni tebing. Wajahnya menjadi tegang dan matanya menjadi bercahaya. Kemarahan di dadanya telah menjalari kepalanya. Ditatapnya wajah Kuda Sempana seperti menatap wajah hantu. Ya, baru semalam Mahisa Agni berkelahi melawan hantu padang Karautan. Dan hantu itu tidak dapat mengalahkannya, meskipun ia pun tak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Tetapi yang berdiri di hadapannya sekarang bukan hantu Karautan yang menakutkan setiap orang. Yang ada di hadapannya tidak lebih dari Kuda Sempana.
Tetapi Mahisa Agni tak pernah merendahkan orang lain. Karena itu tak pernah ia kehilangan kewaspadaan. Demikianlah pada saat ia berhadapan dengan Kuda Sempana. Diamatinya setiap lekuk kulit anak yang sombong itu. Pakaian yang mewah, namun sudah kusut dan kotor karena perkelahiannya melawan Wiraprana.
Kuda Sempana, yang telah mendapat tempaan keprajuritan beberapa tahun di Istana Tumapel itu pun tidak sabar lagi. Dengan garangnya ia berlari menyongsong Mahisa Agni. Tak ada sepatah kata pun lagi yang meluncur dari mulutnya. Yang dilakukannya adalah langsung menyerang lawannya.
Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu, dengan cepat mengelakkan diri. Sekali ia melingkar, dan dengan sapuan yang cepat, ia berhasil menyentuh lambung lawannya dengan tumitnya. Sentuhan itu tidak terlalu keras, dan Kuda Sempana pun tidak merasakan sesuatu karena sentuhan itu. Namun sentuhan itu telah benar-benar mengejutkannya.
Ia sama sekali tidak menduga, bahwa Mahisa Agni mampu bergerak sedemikian cepatnya. Karena itu, sentuhan itu telah memperingatkannya, bahwa Mahisa Agni mampu mengelak dan sekaligus menyerang dengan cepatnya, sehingga ia tidak seharusnya melayani Mahisa Agni seperti melayani Wiraprana yang tegap tinggi itu. Tetapi Kuda Sempana terlalu percaya kepada dirinya. Dikenalnya seluruh anak-anak muda di Panawijen. Di antara mereka tak seorang pun yang pernah menerima gemblengan seperti yang dialaminya di Istana Tunggul Ametung. Wiraprana tidak dan Mahisa Agni pun juga tidak. Karena itu kembali ia membusungkan dadanya. Dengan penuh keyakinan kepada diri sendiri, Kuda Sempana meloncat dan menyerang kembali dengan garangnya. Namun Mahisa Agni menyambut serangan itu dengan tangkas. Disadarinya bahwa lawannya kali ini telah memiliki bekal yang cukup bagi kesombongannya. Karena itu Mahisa Agni sadar, bahwa ia harus berhati-hati.
Kuda Sempana menyerang Agni seperti badai yang melandai. Cepat, keras dan kuat. Tangan dan kakinya bergerak terayun-ayun membingungkan. Berputar, melingkar, tetapi kadang-kadang menempuh dadanya seperti angin ribut menghantam gunung.
Namun Mahisa Agni benar-benar seperti gunung yang tegak tak tergoyahkan. Angin ribut dan badai yang betapapun kuatnya, seakan-akan hanya sempat mengusap tubuhnya, seperti angin yang silir membelai kulitnya. Serangan-serangan Kuda Sempana, betapapun cepat dan kerasnya, tak banyak dapat menyentuh kulit Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian Kuda Sempana menjadi semakin marah. Sama sekali tak diduganya bahwa Mahisa Agni telah memiliki ilmu tata bela diri sedemikian baiknya. Anak itu dikenalnya beberapa tahun yang lalu sebagai anak yang patuh kepada gurunya, patuh melakukan ibadah, dan rajin bekerja di sawah ladang dan di rumah gurunya. Tetapi sama sekali tak diketahuinya, bahwa dibalik dinding-dinding batu yang memagari rumah Empu Purwa, Agni mendapat tempaan lahir dan batin. Di setiap perjalanan yang mereka lakukan, di setiap kesempatan yang ada. Bahkan hampir di setiap tarikan nafas, Agni selalu menekuni dan mendalami ilmu lahir dan batin dari gurunya. Ilmu yang akan dapat menjadi penguat tubuh dan nyawanya. Tubuhnya yang harus melawan setiap tantangan lahiriah, dan nyawanya yang harus dipersiapkan untuk menghadap Yang Maha Agung.
Demikianlah maka perkelahian antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kuda Sempana telah kehilangan pengamatan diri. Anaki itu telah lupa segala-gala selain secepat-cepatnya mengalahkan lawannya.
Wiraprana, yang kemudian telah mendapat seluruh kesadarannya kembali, dengan susah payah mencoba mengangkat wajahnya yang penuh berlumuran darah. Dari sela-sela pelupuk matanya yang bengkak ia melihat perkelahian yang sengit antara Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Sekali-kali tampak mulutnya menyeringai menahan sakit, namun kemudian tampak ia tersenyum. Tetapi senyum itu pun segera lenyap dari bibirnya. Bahkan ia menjadi cemas, apabila Mahisa Agni akan mengalami nasib seperti dirinya.
Wiraprana mencoba mengumpulkan segenap sisa-sisa kekuatannya. Perlahan-lahan ia mencoba mengangkat tubuhnya dan duduk di atas pasir. Kedua tangannya yang lemah dengan susah payah berhasil menyangga tubuhnya.
Pandangan matanya yang semula agak kabur, kini berangsur terang. Lambat laun ia dapat melihat perkelahian antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni dengan jelas. Desak mendesak, hantam menghantam singa lena.
Meskipun Wiraprana tidak memiliki ilmu sebaik Mahisa Agni maupun Kuda Sempana, namun Wiraprana telah mampu menilai keduanya. Dengan bekal ilmunya yang sedikit, Wiraprana dapat mengetahui bahwa keadaan Mahisa Agni cukup baik. Diam-diam ia berbangga dan berharap di dalam hatinya. Ia mengharap Mahisa Agni dapat memenangkan perkelahian itu.
Kuda Sempana yang dibakar oleh kemarahan dan kesombongannya bertempur dengan seluruh tenaganya. Matanya yang menyala memancarkan dendam yang tersimpan di hatinya. Sekali-sekali ia melontarkan pandangannya kepada Ken Dedes. Ia masih melihat gadis itu berdiri kaku di tanggul bendungan. Kuda Sempana mengharap gadis itu untuk tetap tinggal di sana. Sehabis pekerjaannya ini, ia akan menangkap gadis itu dan membawanya lari. Perkelahian yang terjadi di antara anak-anak muda itu, akan menutup kemungkinan yang sebaik-baiknya baginya untuk menempuh cara yang wajar dan sopan. Ia takut kalau Empu Purwa akan keberatan.
Tetapi Mahisa Agni tidak segera dapat dikalahkan. Bahkan anak itu semakin lama seakan-akan menjadi semakin kuat dan cekatan. Memang, ketika tubuh Agni telah dibasahi oleh peluhnya, maka tenaganya menjadi seakan-akan bertambah.
Akhirnya Kuda Sempana benar-benar menjadi mata gelap. Ia sudah tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi dengan otaknya. Hanya ada satu pilihan yang ada padanya. Membawa Ken Dedes bersamanya ke Tumapel saat itu juga. Karena itu siapa yang menghalang-halangi harus disingkirkan. Dengan cara kasar atau halus. Wiraprana telah dilumpuhkan, dan kini Mahisa Agni melintang di hadapannya. Tiba-tiba terdengar Kuda Sempana berteriak nyaring, “Rawe rawe rantas, malang-malang putung!”
Bersamaan dengan itu terdengar pula Ken Dedes berteriak nyaring dibarengi geram Wiraprana parau. Katanya, “Agni, hati-hatilah!”
Mahisa Agni meloncat surut. Ditatapnya Kuda Sempana dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia berdesis, “Adakah itu pilihanmu Kuda Sempana yang perkasa?”
“Wanita adalah sama berharganya dengan pusaka,” sahut Sempana, “taruhannya adalah nyawa. Kau atau aku yang binasa.”
Mahisa Agni menggeram. Terdengar gemeretak giginya oleh ke-marahannya yang meluap-luap. Ternyata Kuda Sempana tega pada pati uripnya untuk mendapatkan gadis idamannya. Dilihatnya di tangan anak muda itu sebilah keris.
Kini Mahisa Agni tak dapat berbuat, lain kecuali berkelahi mati-matian. Ia sama sekali tak bersenjata. Namun ia pun tak dapat disilaukan hatinya oleh Kuda Sempana yang kini bersenjata.
Perlahan-lahan Mahisa Agni menggosokkan kedua telapak tangannya, Tetapi tiba-tiba ia menggeleng lemah. Diamatinya kedua telapak tangannya itu. Terdengar ia bergumam perlahan sekali, sehingga hanya dapat didengarnya sendiri, “Tidak. Belum waktunya aku mempergunakan pusaka pula. Aku akan mencoba menyelesaikan perkelahian ini dengan wajar.”
Namun yang terdengar adalah suara Kuda Sempana, “Agni, aku masih memberimu sekedar waktu. Tinggalkan tempat ini!”
Mahisa Agni menggeleng lemah, jawabnya, “Harus ada seseorang yang mencegah perbuatan gilamu itu.”
Kuda Sempana tidak menunggu mulut Agni mengatub. Seperti tatit ia menyambar dada lawannya dengan ujung kerisnya.
Untunglah bahwa Agni tetap bersiaga, sehingga ia berhasil menyelamatkan dirinya. Dengan tangkas ia menghindari ujung maut yang menghampirinya. Berbareng dengan kemarahannya yang merayap ke ubun-ubunnya. Kuda Sempana telah benar-benar bertempur antara hidup dan mati.
Mahisa Agni pun kemudian tidak mau diombang-ambingkan oleh ketidaktentuan dari ujung dan pangkal perkelahian itu. Meskipun anak muda, murid Empu Purwa itu, belum mempergunakan senjata apapun, namun ia telah melepaskan segenap ilmu lahiriahnya. Telah diperasnya tenaga serta keprigelannya untuk melawan keris Kuda Sempana. Dan keris Kuda Sempana memang berbahaya. Ujungnya seperti seekor lalat yang mendesing-desing di sekeliling tubuhnya. Tetapi Agni cukup lincah, sehingga lalat itu tidak sempat hinggap di kulitnya. Meskipun demikian, seluruh tubuh Agni telah basah kuyup oleh keringatnya yang mengalir semakin lama semakin deras...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar