Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-9

Wiraprana terkejut. ia terdorong beberapa langkah ke samping. Terasa betapa nyeri pukulan itu. Tetapi untunglah bahwa ia tidak terbanting ke air.
“Sempana,” katanya sambil berdesis menahan sakit, “jangan terlalu kasar.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana, “Tinggalkan tempat ini!”
“Kau telah melanggar kebiasaan kampung halaman kita, Sempana,” berkata Wiraprana lantang, “adat itu tetap kita hormati.”
Sekali lagi Kuda Sempana tidak dapat mengendalikan dirinya. Tangannya terayun kembali ke wajah Wiraprana, Namun kali ini Wiraprana tidak mau dikenainya untuk kedua kalinya. Karena itu cepat-cepat ia membungkukkan badannya. Tangan Kuda Sempana hanya sejari terbang di atas kepalanya. Tetapi Sempana adalah pelayan dalam istana, sehingga dengan cepat ia dapat membetulkan kesalahannya. Ketika dirasa tangannya tak menyentuh tubuh Wiraprana, segera ia mengulangi serangannya yang lain. Geraknya benar-benar tak diduga oleh Wiraprana, karena itu selagi ia masih membungkuk, terasa sebuah tamparan menyengat pipinya yang lain. Sekali lagi Wiraprana terdorong ke samping dan sekali lagi ia berdesis menahan sakit.
Ketika Wiraprana telah tegak kembali terdengarlah giginya gemeretak dan matanya memancarkan sinar kemarahan. Telah dua kali pipinya di kedua sisi merasakan betapa berat tangan Kuda Sempana. Bagaimanapun juga Wiraprana adalah laki-laki juga seperti Kuda Sempana. Karena itu katanya lantang, “Kuda Sempana. Jangan membusungkan dada hanya karena kau telah mendapat kedudukan baik di samping Akuwu Tunggul Ametung. Persoalanmu adalah persoalan adat kampung halaman.”
“Apa pedulimu!” bentak Kuda Sempana, “Kalau aku tidak dapat menemui ayah gadis yang aku senangi, aku masih mempunyai cara lain. Aku akan melarikannya. Kelak aku akan kembali dengan seorang cucu yang manis bagi Empu Purwa. Dan ia harus menerima kedatangan kami.”
Wajah Wiraprana menjadi merah padam. Katanya kepada Ken Dedes, “Adakah kau telah bersepakat untuk kawin lari?”
“Tidak! Tidak!” teriak Ken Dedes serta-merta.
“Hem,” geram Wiraprana kepada Kuda Sempana, “kalau kau telah bersepakat, aku tak dapat mengalamimu. Tetapi kalau tidak, dan kau akan memaksakan cara itu, aku akan mencegahmu.”
Kuda Sempana tertawa dengan sombongnya. Katanya, “Bagus. Seseorang dibenarkan untuk melakukan pencegahan. Tetapi tata cara itu pun menuntut pengorbanan bagi gadis yang diidamkan. Nyawaku menjadi taruhan.”
Wiraprana mengangkat alisnya. Ia ngeri mendengar kata-kata Kuda Sempana. Mengorbankan nyawa berarti kematian. Dan ia ngeri memikirkan kematian. Tetapi ia harus mencegahnya. Karena itu katanya, “Aku tidak menghendaki bencana apapun. Baik bagimu, maupun bagiku. Tetapi aku hanya akan mencegahmu.
Kuda Sempana tidak sabar lagi. Dengan berteriak nyaring ia meloncat menyerang Wiraprana. Tetapi kali ini Wiraprana telah bersiaga. Karena itu, ia pun berhasil mengelakkan serangan Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana tidak puas dengan serangannya yang gagal, segera ia pun memperbaiki kedudukannya, dan dengan garangnya ia mengulangi serangannya.
Segera terjadilah perkelahian antara keduanya. Wiraprana yang bertubuh tinggi tegap itu cukup mempunyai kekuatan, namun Kuda Sempana yang tidak sebesar Wiraprana, mempunyai kelincahan yang mengagumkan. Serangannya benar-benar datang seperti sikatan yang menari-nari di padang rumput yang hijau.
Gadis-gadis yang melihat perkelahian itu menjadi semakin ke-takutan. Mereka berlari bercerai berai sambil memekik-mekik. Namun ada di antara mereka yang sedemikian takutnya, sehingga mereka terduduk lemas, seakan-akan tulang belulangnya dicopoti.
Ken Dedes sendiri, seperti orang yang kehilangan kesadarannya, duduk di atas pasir di tepi belumbang. Beberapa kali ia mencoba menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Tetapi kadang-kadang ia terpaksa mengintip perkelahian itu dari celah-celah jarinya. Ia takut melihat perkelahian itu, namun ia terpaksa untuk melihatnya. Perkelahian yang demikian benar-benar jarang terjadi di Panawijen yang tenteram. Hampir tak pernah terdengar perselisihan di antara anak-anak muda. Namun tiba-tiba mereka harus melihat sebuah perkelahian yang mengerikan.
Kuda Sempana benar-benar memiliki kelincahan dan ketangkasan. Sebagai seorang abdi yang dipercaya, Sempana mempunyai bekal yang cukup. Karena itu ia pun memiliki ilmu tata berkelahi yang baik. Sedang Wiraprana, meskipun dari ayahnya Buyut Panawijen, telah pernah dipelajarinya ilmu itu, namun anak muda itu sama sekali tidak menekuninya. Ketenteraman hidup dan kedamaian hati penduduk Panawijen tidak pernah menuntunnya ke dalam persoalan yang dapat memaksanya untuk menekuni ilmu semacam itu.
Karena itu, sesaat kemudian terasa, bahwa Wiraprana yang tinggi tegap itu tak akan dapat mengimbangi kelincahan dan ketangkasan lawannya. Berkali-kali ia terdorong surut, dan berkali-kali ia terhuyung karena pukulan-pukulan lawannya.
Untunglah bahwa pekerjaan-pekerjaan berat yang selalu dilakukan dapat menolongnya. Tubuhnya menjadi kuat dan untuk beberapa lama ia dapat menahan sakit yang menjalar hampir di setiap bagian tubuhnya. Pukulan yang bertubi-tubi telah mematangkan kulit wajahnya. Merah biru, dan dari bibirnya mengalir darah yang merah segar.
Tetapi betapa kuat tubuh Wiraprana, akhirnya terasa juga semakin lama semakin menjadi lemah. Nyeri dan pedih menyengat-nyengat tak henti-hentinya, dan setiap kali pula tangan Kuda Sempana masih saja mengenainya. Namun Wiraprana tak mau melepaskan lawannya. Kalau ia melepaskan Sempana dan melarikan dirinya, maka Kuda Sempana pasti akan melaksanakan maksudnya.
Telah terucapkan dari bibirnya bahwa ia akan dapat menempuh cara yang keji terhadap gadis idamannya. Karena itu tidak mustahil bahwa ia pada saat itu pula akan memaksa Ken Dedes mengikutinya ke Tumapel. Ia akan dapat bersembunyi di istana Tunggul Ametung sampai kelahiran anaknya. Dan sesudah itu, tak seorang pun dapat menuntutnya. Tetapi di samping itu, terasa pula pada Wiraprana bahwa akhirnya ia tak akan mampu berbuat apa-apa. Sesaat kemudian ia akan jatuh terjerembab. Mungkin pingsan dan mungkin terjadi peristiwa yang mengerikan itu. Nyawanya harus dipertaruhkan.
Kuda Sempana masih berkelahi dengan penuh nafsu. Meskipun ia sadar bahwa Wiraprana tak akan mampu menandinginya, namun ia tetap berlaku kasar. Tangannya menjambak bertubi-tubi, dan bahkan Kuda Sempana menjadi semakin marah, karena Wiraprana tidak segera jatuh. Karena itu akhirnya ia berketetapan hati untuk menyelesaikan perkelahian itu. Dengan garangnya ia menyerang lawannya, dan dengan kedua tangannya ia menghantam wajah Wiraprana bertubi-tubi. Sekali wajah Wiraprana terangkat karena pukulan Kuda Sempana yang tepat mengenai rahangnya, namun sesaat kemudian kepalanya terkulai ke samping oleh tangan lawannya yang lain.
Oleh keadaannya itu hampir Wiraprana menjadi putus asa. Ia merasa bahwa ia tak akan dapat berbuat banyak. Terbayang di matanya kesudahan dari peristiwa itu. Panawijen akan berkabung. Anak Buyut Panawijen terbunuh dan putri Pendeta Panawijen dilarikan orang.
Ketika Wiraprana hampir menyerahkan dirinya kepada nasib, lamat-lamat didengarnya Ken Dedes memekik kecil. Gadis itu menjadi ngeri ketika dilihatnya darah mengalir dari bibir dan hidung Wiraprana. Namun bagi Wiraprana pekik itu seakan-akan telah menggugah kembali semangatnya. Tiba-tiba terpikir olehnya, kenapa gadis itu tidak saja lari dan pulang ke rumah. Karena itu tiba-tiba dengan tidak menghiraukan keadaan dirinya, Wiraprana mendekap subuh Kuda Sempana erat-erat. Bersamaan dengan itu terdengar ia berkata parau, “Ken Dedes, tinggalkan tempat ini. Cepat, sebelum aku kehabisan tenaga!”
Ken Dedes pun kemudian seperti orang bangkit dari mimpi. Segera ia meloncat berdiri dan berlari meninggalkan belumbang yang mengerikan itu. Tak diingatnya lagi barang-barang cuciannya, serta pakaiannya yang basah kuyup.
Sementara itu Kuda Sempana menjadi marah bukan kepalang. Ketika Wiraprana mendekap tubuhnya, ia tidak sempat mengelak, karena hal itu sama sekali tak diduganya. Tangan Wiraprana itu kemudian seakan-akan terkunci di pinggangnya. Meskipun dengan sekuat tenaga ia menghantam tengkuk, punggung dan kepala Wiraprana, namun tangan itu seperti tangan yang telah melekat dengan jaringan kulitnya sendiri. Sehingga karena marah, jengkel bercampur baur ia pun berteriak, “Wiraprana, jangan gila. Kau tidak berkelahi seperti laki-laki. Lepaskan dan marilah kita berhadapan secara jantan.”
Tetapi Wiraprana tak mendengar kata-kata itu. Telinganya seolah-olah telah tuli dan mulutnya membisu. Tangannya yang melingkar itu menjadi kaku seperti tangan golek kayu.
Kuda Sempana menghempas-hempaskan tubuhnya, menendang memukul dan segala macam. Apalagi ketika dilihatnya Ken Dedes telah berlari memanjat tebing.
Tetapi tiba-tiba langkah Ken Dedes terhenti. Hampir saja ia melanggar sesosok tubuh yang tiba-tiba saja muncul dengan tergesa-gesa. Terdengarlah gadis itu memekik kecil, tetapi kemudian terdengar ia berteriak nyaring, “Kakang Mahisa Agni!”
Mahisa Agni berdiri tegak seperti batu karang yang kokoh kuat di tepi lautan. Sesaat wajahnya menyapu berkeliling, kemudian terhenti pada tubuh-tubuh yang sedang bergulat di bawah bendungan. Dilihatnya Kuda Sempana dengan bengisnya menghujani tubuh Wiraprana yang menjadi semakin lemas. Dan bahkan akhirnya dilihatnya pelukan Wiraprana terlepas, dan anak muda itu jatuh terkulai di atas pasir tepian.
Ketika tangan Wiraprana terlepas dari tubuhnya, segera Kuda Sempana meloncat berlari. Ia tidak mau melepaskan Ken Dedes lagi. Telah bulat hatinya untuk melarikan saja gadis itu. Kalau ia sempat menangkapnya dan membawanya ke atas kudanya. Ia tak perlu pulang. Berita tentang dirinya akan memberitahukan kepada keluarganya, bahwa ia telah kembali ke Tumapel. Ia yakin pula, bahwa tak seorang pun berani mengganggu keluarganya itu, sebab ia akan dapat menakut-nakuti mereka dengan kedudukannya sekarang.
Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika dilihatnya Ken Dedes berdiri rapat di belakang seorang anak muda yang tegak seperti patung raksasa. Kakinya yang renggang seakan-akan berakar jauh terhunjam ke dalam tanah. Serta wajahnya yang tengadah membayangkan betapa teguh hatinya...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar