Ketika Wiraprana melayangkan pandangannya ke belumbang kecil di bawah bendungan itu, dilihatnya beberapa orang gadis sedang mencuci. Satu di antara mereka adalah gadis yang dikenalnya dengan baik, sebaik ia mengenal Mahisa Agni. Gadis yang namanya selalu disebut oleh hampir setiap pemuda di kaki Gunung Kawi itu. Gadis itu adalah Ken Dedes.
Wiraprana menarik nafas. Tetapi kemudian ia dikejutkan oleh derap kaki kuda di sampingnya. Sekali lagi ia berkisar ke balik batu itu. Ia benar-benar tidak mau bertemu lagi dengan Kuda Sempana setelah hatinya dikecewakan dua hari yang lampau.
Tetapi didesak oleh perasaannya, maka dengan hati-hati ia mengintip apakah keperluan anak muda yang sombong itu. Ia menahan nafas ketika ia melihat Sempana berjalan hanya beberapa langkah di mukanya, kemudian membelok ke kanan, menuruni tebing sungai.
Beberapa orang gadis yang melihat kedatangan anak muda itu menjadi heran. Mereka telah biasa melihat Wiraprana, Mahisa Agni dan anak-anak muda dari desa mereka berada di atas tanggul bendungan itu. Namun anak muda dengan pakaian yang sedemikian lengkapnya adalah jarang mereka lihat. Tetapi ketika anak muda itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengarlah hampir persamaan dari mulut gadis-gadis itu sebuah sapa yang riang, “Kuda Sempana!”
Tetapi sapa itu sama sekali tak berbekas di wajah Kuda Sempana yang seakan-akan telah membeku.
Meskipun kemudian gadis-gadis itu menjadi riuh, namun Sempana sama sekali tak terpengaruh olehnya, sehingga akhirnya gadis-gadis itu pun menjadi heran dan berhenti dengan sendirinya.
Tetapi di antara mereka, tampaklah Ken Dedes menjadi pucat. Tiba-tiba terasa tubuhnya gemetar seperti kedinginan. Ia melihat ke-datangan Kuda Sempana seperti melihat hantu. Bagaimanapun ia mencoba menguasai dirinya, namun tampak juga tubuhnya bergetar. Untunglah tak seorang pun dari kawan-kawannya memperhatikannya.
Kuda Sempana kemudian berdiri tegak di tepi belumbang kecil itu. Gadis-gadis yang berada di hadapannya itu seakan-akan tak dilihatnya selain seorang gadis yang dengan gemetar memperhatikan segala tingkah lakunya.
“Ken Dedes,” kemudian terdengar kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Meskipun ia berdiri dengan garangnya, namun terdengar kata-katanya itu lunak dan lambat. Oleh kata-kata Sempana itu, maka gadis-gadis itu pun seperti terpikat oleh sebuah pesona, bersama-sama menoleh ke arah Ken Dedes yang kemudian menundukkan wajahnya.
Ken Dedes sama sekali tidak menjawab sapa itu. Bahkan tubuhnya seraya menjadi lemas. Detak jantung di dadanya seakan-akan berdentang seperti guntur. Ketika sekali lagi ia mendengar anak muda itu memanggilnya, maka ditundukkannya wajahnya semakin dalam.
“Ken Dedes,” berkata Sempana kemudian, “aku tidak banyak mempunyai waktu. Tinggalkan cucianmu sebentar. Ada sesuatu yang akan aku katakan kepadamu.”
Gadis-gadis yang lain pun saling berpandangan. Mereka memuji ketampanan Kuda Sempana, namun mereka berteka-teki pula, mengapa Kuda Sempana menemui seorang gadis di pemandian. Sudah tidak adakah waktu yang lain?
“Aku telah datang ke rumahmu Ken Dedes,” Kuda Sempana meneruskan, “Tetapi kau tak ada. Karena itu aku terpaksa menyusulmu.”
“Kakang Sempana,” akhirnya Ken Dedes terpaksa menjawabnya, “Tunggulah aku di rumah. Aku akan dapat membicarakannya dengan Ayah dan Kakang Agni.”
“Marilah kita pulang bersama-sama,” ajak Sempana.
“Aku belum mandi,” bantah Ken Dedes, “dan cucianku belum selesai. Bukankah hari masih terlampau pagi?”
“Besok aku harus kembali ke Tumapel,” sahut Kuda Sempana, “siang nanti aku akan berkemas. Seandainya kau aku bersedia…”
Sempana tak meneruskan kata-katanya. Ketika ia mendengar beberapa orang gadis menahan senyumnya, ditatapnya wajah gadis-gadis itu dengan tajamnya, sehingga gadis-gadis itu pun menjadi ketakutan dan menjatuhkan pandangan mereka ke atas pasir.
Ken Dedes menjadi semakin gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan. Tetapi pasti bahwa ia tak dapat memenuhi permintaan Kuda Sempana. Karena Ken Dedes tidak segera menjawab, Sempana mendesaknya, “Ken Dedes, berpakaianlah!”
Nafas Ken Dedes menjadi sesak. Apalagi ketika didengarnya Kuda Sempana meneruskan, “Bukankah tidak baik apabila aku menyatakan maksudku di sini?”
Sekali lagi terdengar suara-suara tertawa yang tertahan. Dan sekali lagi mata Sempana yang tajam beredar ke setiap wajah gadis-gadis di belumbang itu, dan sekali lagi gadis-gadis itu melemparkan pandangannya jauh-jauh.
Mulut Ken Dedes telah benar-benar seperti membeku. Karena itu tak sepatah kata pun dapat diutarakan meskipun hatinya meronta-ronta. Adalah suatu aib yang mencoreng di wajahnya apabila kemudian Sempana tak dapat menahan hatinya dan melamarnya langsung tidak setahu ayahnya. Meskipun ia dapat menolaknya, tetapi sikap yang demikian dari seorang pemuda adalah sikap yang tercela. Hanya gadis-gadis yang tak berhargalah yang akan pernah mengalami perlakuan demikian.
Maka merataplah Ken Dedes di dalam hatinya, “Apakah aku ini termasuk dalam lingkaran gadis-gadis yang demikian, maka Sempana memperlakukan aku begini?”
Hampir saja air mata Ken Dedes meledak seandainya ia tidak berusaha sekuat-kuatnya untuk menahannya.
Tetapi Sempana, pelayan dalam Akuwu Tumapel itu benar-benar seperti orang mabuk. Katanya, “Ken Dedes, bukankah sejak aku pulang, aku telah berkata kepadamu, bahwa suatu ketika aku akan datang ke rumahmu? Seharusnya kau tahu akan maksudku itu. Karena itu sekarang marilah kita pulang.”
Ken Dedes masih saja menundukkan wajahnya. Karena itu kemudian Kuda Sempana menjadi tidak sabar lagi. Sorot matanya menjadi semakin tajam. Beberapa orang gadis pergi menjauhinya. Mereka takut melihat sikap Sempana yang menjadi semakin garang. Dada Ken Dedes pun menjadi semakin sesak. Hatinya menjadi tegang. Tak ada yang dapat dilakukannya. Sekali ia mencoba menatap wajah Sempana, tetapi wajah itu terlalu menakutkan baginya, sehingga akhirnya kembali kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang lain dari suara Kuda Sempana. Tidak terlalu keras, namun kata demi kata dapat didengarnya dengan baik. Katanya, “Kuda Sempana, adakah kau akan ikut serta mencuci pakaianmu di belumbang ini?”
Kuda Sempana terkejut. Ketika ia menoleh dilihatnya Wiraprana berjalan perlahan-lahan ke arahnya. Karena itu wajah Sempana segera menjadi merah. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadap Wiraprana. Dan dengan suara lantang ia berkata, “Apa kerjamu di sini?”
“Menunggui tanggul,” jawab Wiraprana singkat.
Kuda Sempana menggeram. Ia benar-benar menjadi marah. Katanya, “Kau mencoba mencampuri urusanku?”
Wiraprana mengerutkan keningnya, “Apa yang aku campuri? Setiap hari aku berada di tempat ini. Mengail, membuka parit, mencuci pakaian dan segala macam pekerjaan anak desa. Kaulah yang aneh. Seorang pelayan dalam Tumapel berada di bendungan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sempana.
Gadis-gadis yang melihat peristiwa itu, menjadi ketakutan pula. Tubuh mereka bergetaran dan dada mereka menjadi sesak. Apalagi Ken Dedes sendiri. Di samping perasaan takut yang membelit hatinya, maka ia pun merasa, bahwa dirinyalah sebab dari pertengkaran itu. Karena itu maka ia menjadi semakin cemas. Meskipun ia merasa bersyukur pula atas ke-hadiran Wiraprana, namun agaknya Kuda Sempana memandang kehadiran Wiraprana sebagai tantangan. Kuda Sempana tidak menjadi malu atau segan, bahkan ia bersikap sebagai lawan.
Pada saat Wiraprana berada di balik batu padas, dilihatnya sikap Kuda Sempana yang kurang wajar. Karena itu perlahan-lahan ia merunduk di balik-balik batu mendekatinya. Meskipun ia tidak jelas, apa yang sebenarnya terjadi, namun adalah pasti baginya, bahwa Ken Dedes berada dalam kesulitan. Maka sikap Sempana itu adalah merupakan penjelasan baginya. Anak muda yang sombong itu benar-benar telah berbuat suatu kesalahan. Karena itu jawabnya tatag, “Kuda Sempana. Jangan terlalu kasar. Bukankah dahulu kau setiap hari juga berada di bendungan ini. Bahkan malam hari pun kau kadang-kadang tidur di atas pasir di tepian itu bersama-sama aku? Marilah kita bersikap wajar. Juga terhadap gadis-gadis kau sebaiknya bersikap wajar.”
“Jangan gurui aku anak desa yang sombong. Selama hidupmu kau dikungkung oleh kepicikan akal dan kesempitan pengetahuan,” jawab Sempana, “Aku telah mencoba berlaku sopan kepada Ken Dedes. Aku hanya ingin persoalanku cepat selesai.”
“Soalmu dan Ken Dedes benar-benar bukan urusanku,” sahut Wiraprana, “Kalau kalian berdua telah bersepakat, maka adalah suatu dosa bagiku, apabila aku datang kepadamu sekarang. Tetapi aku melihat sikap Ken Dedes lain dari sikap yang kau harapkan. Dan kau terlalu bersikap garang kepadanya.”
“Wiraprana!” bentak Kuda Sempana, “sekali lagi aku peringatkan, tinggalkan tempat ini!”
“Jangan bersikap demikian, Sempana,” jawab Wiraprana, “Jangan bersikap seperti orang hendak berkelahi. Aku bukan orang yang biasa berbuat demikian. Namun aku hanya ingin memperingatkan kepadamu. Pulanglah. Pergilah kepada ayahnya, dan biarlah ayahnya bertanya kepadanya, apakah ia bersedia menerima kehadiranmu di dalam perjalanan hidupnya.”
Kuda Sempana yang sombong itu tidak mau lagi mendengar kata-kata Wiraprana. Karena itu selangkah ia meloncat maju. Tangan kanannya terayun menampar mulut Wiraprana. Gerak Sempana cepat seperti kilat, sehingga Wiraprana tak sempat mengelaknya. Terdengarlah seperti sebuah ledakan cambuk di pipi Wiraprana...[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar