Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-7

“Ke sungai, Ngger,” jawab cantrik itu.
“Apa yang dilakukan?” desak Agni.
“Ken Dedes membawa kelenting dan dijinjingnya bakul cucian,” jawab cantrik itu pula.
“Bapa Pendeta?” bertanya Agni pula.
“Di sanggar, sejak beliau datang bersama Angger,” jawab cantriknya itu.
Agni tidak bertanya lagi. Dan keduanya berjalan pula keluar halaman.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika mereka melihat debu yang berhamburan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berlari tidak terlalu kencang. Kuda itu berjalan searah dengan Agni dan Wiraprana.
Agni melihat kuda yang besar dan tegar itu dengan kagumnya. Di punggung kuda itu duduk seorang pemuda dengan pakaian yang rapi dan teratur. Kain lurik merah bergaris-garis cokelat, celana hitam mengkilat dan timang bermata berlian. Di punggungnya terselip sebuah pusaka, keris berwrangka emas.
Melihat anak muda yang duduk di atas punggung kuda itu wajah Agni menjadi terang. Ia tertawa sambil melambaikan tangannya, dan dari sela-sela tertawanya terdengar ia menyapa, “Kuda Sempana!”
Wiraprana berdiri saja di tempatnya. Ia melihat Agni dengan bibir yang ditarik ke sisi. Bisiknya, “Kau akan kecewa, Agni.”
Meskipun Agni mendengar bisik sahabatnya, namun ia tidak segera menangkap maksudnya. Ia masih tegak di tepi jalan menanti anak muda yang berkuda dengan gagahnya itu.
Mula-mula Mahisa menyangka bahwa Kuda Sempana tidak melihatnya. Karena itu sekali lagi menyapa, “He, Kuda Sempana!”
Anak muda yang bernama Kuda Sempana itu memperlambat kudanya. Dilemparkannya pandangannya ke arah Mahisa Agni. Namun hanya sebentar. Ia mengangguk tanpa kesan. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kuda Sempana baru beberapa tahun meninggalkan kampung halaman. Apakah anak itu telah melupakannya? Untuk meyakinkan dirinya Mahisa Agni masih tetap berdiri menanti Kuda Sempana. Tetapi ia menjadi kecewa ketika tiba-tiba kuda yang dinaikinya membelok masuk ke halaman. Justru halaman rumah gurunya.
“Bukankah itu Kuda Sempana?” tanpa sesadarnya Agni bertanya.
“Ya,” jawab Wiraprana.
“Kawan kita bermain dahulu?” Agni menegaskan.
“Ya,” jawab Prana.
“Bukankah anak itu baru beberapa tahun meninggalkan kita,” Agni meneruskan.
“Ya,” sahut Prana pula.
“Aneh,” berkata Agni seperti orang yang menyesal.
“Sudah aku katakan,” jawab Prana, “kau akan kecewa. Dua hari yang lampau, aku menyesal pula seperti kau sekarang. Anak itu sekarang menjadi pelayan dalam dari Akuwu Tunggul Ametung. Ia menjadi kaya, dan tak mengenal kita lagi.”
“Barangkali ia tergesa-gesa,” Agni mencoba untuk memuaskan hatinya sendiri.
“Aku telah mengalami dua hari yang lampau. Ia memandangku seperti orang asing,” sahut Prana.
Tetapi Mahisa Agni masih belum yakin. Tak termasuk di akalnya bahwa hanya karena menjadi pelayan dalam Akuwu Tumapel, seseorang dapat melupakan kawan-kawan bermain sejak masa kanak-kanaknya.
Wiraprana melihat keragu-raguan itu. Maka katanya sambil tersenyum, “Agni, agaknya kau tidak yakin akan kata-kataku. Cobalah kau temui anak itu.”
“Marilah,” ajak Agni.
Wiraprana menggeleng. Jawabnya, “Aku segan. Tak ada gunanya. Aku akan mendahului. Aku tunggu kau di atas tanggul.”
Mahisa Agni sejenak menjadi ragu-ragu. Tetapi bagaimanapun juga ia melihat sikap yang aneh pada Kuda Sempana. Apalagi anak muda itu masuk ke halaman rumah gurunya. Karena itu akhirnya ia berkata, “Baiklah Prana, tunggulah aku di atas Tanggul. Aku segera menyusul.”
Sekali lagi Wiraprana tersenyum. Kemudian ia memutar tubuhnya berjalan perlahan-lahan mendahului Agni, yang karena keinginannya untuk mengetahui keadaan Kuda Sempana, berjalan kembali ke halaman rumahnya.
Ketika ia memasuki halaman, dilihatnya Kuda Sempana masih berada di atas punggung kudanya. Dengan sikap seorang bangsawan ia sedang bercakap-cakap dengan seorang cantrik.
“Sudah lama ia pergi?” terdengar Kuda Sempana itu bertanya.
“Sudah Angger,” jawab cantrik itu.
“Sendiri?” bertanya Kuda Sempana.
“Dengan beberapa endang, Angger,” jawab cantrik itu.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditebarkannya pandangannya ke seluruh sudut halaman. Dan ketika dilihatnya Mahisa Agni, Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Mahisa Agni tersenyum dengan ramahnya. Dengan akrabnya ia berkata, “Sempana. Alangkah gagahnya kau sekarang.”
Anak muda itu memandang Mahisa Agni dengan tajam. Kemudian katanya, “Ya.”
Jawaban itu terlalu pendek bagi dua orang kawan yang telah lama tidak bertemu. Meskipun demikian Agni masih menyapanya lagi, “Apakah keperluanmu? Adakah aku dapat membantumu?”
Kuda Sempana menggeleng, “Aku ter-gesa-gesa.”
Perasaan kecewa mulai menjalari dada Mahisa Agni. Percayalah ia sekarang kepada Wiraprana, bahwa hal yang diragukan itu benar-benar dapat terjadi.
Namun sekali lagi Agni bertanya, “Adakah sesuatu pesan untuk Bapa Pendeta?”
Sempana menggeleng.
“Tidak,” katanya, “Aku tidak mempunyai sesuatu keperluan dengan Empu Purwa. Aku datang untuk putrinya.”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Agni. Tetapi ia mencoba menguasai perasaannya. Dan tahulah ia sekarang, siapakah yang ditanyakan oleh Sempana kepada cantrik itu.
Mahisa Agni terkejut ketika kemudian terdengar Kuda Sempana berkata, “Aku tidak mempunyai banyak waktu.”
Anak muda yang gagah itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia menarik kekang kudanya, dan kuda yang tegar itu pun berputar. Sesaat kemudian kuda itu telah menghambur meninggalkan halaman yang luas dan sejuk itu.
Ketika Kuda Sempang telah hilang di balik pagar, bertanyalah cantrik itu kepada Mahisa Agni, “Bukankah anak muda itu Angger Kuda Sempana?”
“Ya,” jawab Agni sambil mengangguk-angguk kepalanya.
“Tetapi,” cantrik itu meneruskan, “bukankah anak muda itu kawan Angger Agni bermain-main seperti Angger Wiraprana?”
Agni mengangguk. Ditatapnya sisa-sisa debu yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang mengagumkan itu, Jawabnya, “Begitulah.”
Cantrik itu tidak bertanya lagi ketika dilihatnya sorot mata Agni yang aneh. Karena itu segera ia kembali kepada pekerjaannya membersihkan halaman dan tanam-tanam.
Agni pun kemudian tidak berkata-kata pula. Diayunkan kakinya keluar halaman. Ia telah berjanji pergi ke tanggul. Di sana Wiraprana menunggunya. Ia masih melihat Kuda Sempana melarikan kudanya lewat jalan yang akan dilaluinya, namun ia sama sekali sudah tidak menaruh perhatian terhadap anak muda yang sombong itu. Karena itu segera angan-angannya kembali kepada sahabatnya. Wiraprana.
Tanggul yang dimaksud Wiraprana adalah tanggul sebuah bendungan dari sebuah sungai kecil yang membujur agak jauh dari desanya. Dari sungai itulah sawah-sawahnya mendapat aliran air. Karena itu, baik Agni maupun Wiraprana sering benar pergi ke tanggul itu. Bahkan bukan saja anak-anak muda, namun gadis-gadis pun selalu pergi ke sungai itu untuk mencuci pakaian-pakaian mereka dan mandi di belumbang kecil di bawah bendungan.
Tetapi Agni tidak langsung pergi ke tanggul itu. Ketika ia lewat di samping sawah Empu Purwa yang menjadi garapannya, ia berhenti. Dilihatnya beberapa batang rumput liar tumbuh di antara tanaman-tanamannya meskipun masa matun baru saja lampau. Karena itu ia memerlukan waktu sejenak untuk menyiangi tanamannya itu.
Wiraprana yang sudah sampai di pinggir kali, duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas yang menjorok agak tinggi. Ketika ia melihat bahwa tanggul dan bendungan cukup baik, maka yang dikerjakannya adalah menunggu Mahisa Agni, yang akan diajaknya untuk melihat apakah rumpon yang mereka buat telah masak untuk dibuka.
Wiraprana meredupkan matanya ketika ia melihat seekor kuda berlari kencang ke arahnya. Segera ia mengenal bahwa di atas punggung kuda itu duduk Kuda Sempana. Meskipun ia tidak tahu maksud kedatangan anak muda itu, namun perasaan tidak senang telah menjalari dirinya, sehingga tanpa sesadarnya ia turun dan duduk di balik batu padas itu. Ia sama sekali tidak ingin untuk bertemu dengan anak yang sombong itu, meskipun timbul juga keinginannya untuk mengetahui, apakah maksud kedatangan anak mada itu ke bendungan...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar