Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-4

Akhirnya terasa bahwa tandang lawannya menjadi semakin susut meskipun tenaga Agni sendiri seakan-akan telah terperas habis. Berkali-kali hantu itu meloncat surut dan mundur. Semakin lama semakin jauh. Hingga akhirnya hantu itu berteriak, “Kalau kau jantan lepaskan trisula itu. Aku juga akan melepaskan pisauku.”
“Pisaumu itu tak berarti apa-apa,” sahut Empu Purwa, “Tetapi kau memiliki tanda-tanda yang aneh di atas kepalamu.”
“Jangan mencari-cari. Pertimbangkan tantanganku,” jawabnya.
Sekali lagi Empu Purwa mendekati mereka. Katanya dengan nada penuh kedamaian, “Berhentilah berkelahi.”
“Kalian menyerah?” jawab lawan Agni.
Mahisa Agnilah yang menyahut, “Tidak!”
Kembali terdengar suara Empu Purwa, “Berhentilah berkelahi.! Dengarkan kata-kataku!”
Suaranya seakan-akan mengandung suatu wibawa yang agung. Mahisa Agni adalah muridnya sehingga ia sama sekali tak dapat berbuat lain daripada menghentikan perkelahian. Tetapi tidak saja Mahisa Agni yang terpengaruh oleh kata-kata itu, bahkan lawannya pun tiba-tiba meloncat mundur. Sehingga dengan demikian, pertempuran pun menjadi terhenti karenanya.
Empu Purwa melangkah semakin dekat di antara kedua lawan itu. Katanya kemudian, “Ki Sanak, kau memiliki tanda-tanda yang khusus pada dirimu. Karena itu aku dapat mengenalmu.”
“Kau kenal aku?” sahut hantu itu.
“Ya.” jawab Empu Purwa.
“Aku adalah penjaga padang rumput ini. Sato mara satu mati, jalma mara jalma mati. Aku lubangi tengkuknya dan aku hisap darahnya.”
“Tetapi beberapa orang menemukan korbanmu tanpa mengenakan pakaiannya. Tanpa ikat pinggang, tanpa uang dan perhiasan,” potong Empu Purwa.
Hantu itu menggeram. Tetapi sebelum ia menjawab Empu Purwa telah meneruskan kata-katanya, “Jangan menyembunyikannya dirimu. Kau adalah kekasih dewa-dewa.”
Tampak lawan Mahisa Agni itu mengerutkan keningnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” desak Empu Purwa.
“Hantu tidak pernah punya nama ,” jawabnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” ulang Empu Purwa.
“Aku tak punya nama!” teriaknya keras-keras, sehingga suaranya menggema di seluruh padang rumput Karautan.
Tetapi kembali terdengar suara Empu Purwa tenang perlahan-lahan, namun pasti, “Siapakah namamu Ki Sanak?”
Hantu yang menakutkan setiap orang itu tiba-tiba menundukkan kepalanya. Rambutnya yang liar berjuntai di atas bahunya. Angin yang lembut mengalir perlahan-lahan menggerakkan ujung-ujung rambut yang terurai lepas sebebas rumput alang-alang di padang rumput itu.
Tanpa diduga oleh Mahisa Agni tiba-tiba terdengar mulut hantu itu menjawab, “Namaku Ken Arok.”
Mahisa Agni terkejut mendengar nama itu. Tidak saja Mahisa Agni, tetapi yang menyebutkan nama itu pun terkejut pula. Dengan lantangnya ia berteriak, “Jangan ulangi namaku! Dan untuk seterusnya kau tak akan sempat menyebut namaku. Sebab kalian berdua akan kubunuh malam ini, agar Ken Arok tetap tak dikenal orang,”
Tiba-tiba Mahisa Agni bersiap kembali. Nama Ken Arok adalah nama yang menakutkan. Tak ada bedanya dengan hantu di padang rumput Karautan, yang ternyata adalah Ken Arok itu sendiri.
“Kau adalah orang buruan,” berkata Agni dengan lantang, “selagi kau bernama hantu pun aku tidak takut. Apalagi ternyata kau adalah manusia terkutuk. Bersiaplah, kita bertempur sampai hayat kita menentukan, siapakah di antara kita yang akan berhasil keluar dari padang rumput ini.”
“Bagus!” teriak hantu yang ternyata bernama Ken Arok itu.
“Berpuluh, bahkan beratus orang yang telah aku bunuh. Apa artinya kalian berdua?”
Sesaat kemudian Ken Arok dan Mahisa Agni telah siap untuk bertempur kembali, namun segera Empu Purwa berkata, “Perkelahian di antara kalian tak ada gunanya. Sebab perkelahian itu tak akan sampai pada ujungnya. Ken Arok memiliki kelebihan dari manusia biasa, sedang Agni membawa pusaka yang tak ada duanya di dunia ini.”
“Aku akan melayaninya, Bapa,” sahut Agni, “sehari, dua hari bahkan selapan pun aku tak akan meninggalkannya.”
“Sebelum ayam jantan berkokok kau sudah mati,” potong Ken Arok.
“Tak ada artinya, Agni,” berkata Empu Purwa.
Kemudian kepada Ken Arok, pendeta tua itu berkata, “Arok, apakah kau dapat berkelahi dengan mata yang silau? Bagai manakah kalau trisula itu berada di tanganku, kemudian Agni memukulmu semalam suntuk? Kau tak akan dapat membalasnya, sebab aku akan menggerakkan trisula itu di tentang matamu.”
“Curang!” teriak Ken Arok dengan marah.
“Kau juga curang ,” bantah Empu Purwa.
“Kenapa? Hanya karena aku memegang pisau ini? Baiklah. Kalau demikian pisauku akan aku buang. Kita bertempur tanpa senjata.”
“Bukan,” sahut Empu Purwa, “Bukan karena senjatamu. Tetapi kenapa kau seolah-olah menjadi kebal?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu benar-benar aneh. Akhirnya ia menjawab, “Bukan kehendakku. Sejak aku sadar tentang diriku, aku telah menjadi kebal. Dewa-dewalah yang membuat aku demikian. Bertanyalah kepada Dewa-dewa. Kalau itu kau anggap kecurangan, Dewalah yang membekali aku dengan kecurangan itu.”
“Bagus. Dewa pulalah yang memberi aku trisula itu,” sahut Empu Purwa, “Adakah itu juga suatu kecurangan?”
Ken Arok menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Wajahnya menjadi tegang dan tangannya yang memegang pisau menjadi gemetar. Tetapi sesaat kemudian terdengar suara Empu Purwa lunak, “Kemarilah. Duduklah.”
Ken Arok dan Mahisa Agni sama sekali tidak tahu maksud pendeta tua itu. Karena itu untuk sesaat mereka berdiri mematung. Sehingga orang tua itu mengulangi kata-katanya, “Mahisa Agni dan Ken Arok. Kemarilah! Duduklah!”
Meskipun masih diliputi oleh keragu-raguan, namun Mahisa Agni kemudian duduk di samping gurunya. Ken Arok masih tegak seperti tonggak.
“Kemarilah Arok,” panggil Empu Purwa dengan ramahnya.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran Ken Arok melangkah dua langkah maju. Kemudian menjatuhkan dirinya di samping pendeta tua itu.
“Arok,” kata pendeta tua itu, “seharusnya kau sadar dirimu. Siapakah engkau dan apakah yang akan terjadi atas dirimu. Kau memiliki beberapa kelebihan dari orang lain Tetapi kelebihan itu telah kau salah gunakan.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata orang tua itu. Di dalam malam yang gelap, mata itu seakan-akan memancarkan cahaya yang putih bening.
“Ken Arok. Apabila kau sedang berbaring menjelang tidur, tidakkah kau pernah menghitung berapa orang yang telah menjadi korbanmu? Tidakkah kau pernah membayangkan, bahwa orang yang menggeletak mati di padang rumput Karautan ini, atau di tempat-tempat lain yang pernah kau diami, tidak saja menimbulkan kengerian pada saat-saat matinya, tetapi peristiwa itu juga akan meninggalkan goresan yang dalam bagi keluarganya? Bagi anak-anak dan istri mereka yang menunggunya di rumah? Tidakkah kau pernah membayangkan bahwa seorang laki-laki pergi merantau untuk mendapatkan sesuap nasi. Tetapi di jalan pulang laki-laki itu bertemu dengan seorang anak muda yang bernama Ken Arok. Di rumah anak-anaknya yang lapar menunggunya. Tetapi laki-laki itu tak akan pernah pulang.”
Ken Arok belum pernah mendengar seorang pun berkata demikian kepadanya. Kawan-kawannya pada masa kanak-kanaknya, ayah angkatnya yang bernama Lembong, Bango Samparan dan orang-orang yang pernah datang pergi dalam perjalanan hidupnya. yang dikenalnya hanyalah daerah-daerah yang gelap. Judi, tuak, perempuan dan segala macam kejahatan. Sekali dua kali hidupnya terdampar juga ke rumah-rumah yang wajar. Namun tak sempat didengarnya nasihat dan petuah-petuah. Karena itu, maka kata-kata Empu Purwa itu mula-mula asing baginya. Tetapi kalimat-kalimat itu seperti embun yang menetes dari langit. Perlahan-lahan daun-daun rumput yang kering menjadi basah pula. Demikianlah kata-kata asing itu di hati Ken Arok. Meskipun ia belum mengenal seluruhnya, namun terasa bahwa ada dunia lain daripada dunianya yang gelap.
“Ken Arok,” kembali terdengar suara Empu Purwa, “Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang.”
Tiba-tiba Ken Arok menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan diamatinya tangannya. Tangan yang kotor, karena darah dan air mata. Dan kini tangan itu menjadi gemetar.
“Tak ada jalan lain yang dapat aku tempuh,” terdengar suaranya parau. Tetapi tidak sekeras semula.
“Banyak,” sahut Empu Purwa.
“Aku telah asing dari hidup manusia wajar. Semua orang menjauhi aku,” katanya.
“Mereka takut kepadamu. Kepada perbuatan-perbuatanmu,” jawab Empu Purwa.
Ken Arok menggeleng. Matanya menjadi sayu. Katanya, “Tidak. Sejak aku lahir di luar kehendakku. Aku adalah anak panas. Ayahku mati ketika ibuku diceraikannya. Dan orang menyalahkan aku. Kemudian menurut kata orang, pada masa aku masih bayi merah, aku dibuang di perkuburan. Aku dipelihara oleh Bapak Lembong. Seorang pencuri. Salahkah aku kalau aku kemudian mengikuti cara hidupnya?”...[Besambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar