Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-5

“Tidak,” sahut Empu Purwa, “Kau tidak bersalah. Tetapi kau akan lebih berbahagia kalau kau dapat menempuh cara hidup yang lain.”
Ken Arok memandang wajah pendeta tua itu dengan seksama. Kesan wajahnya telah berubah sama sekali dari semula. Matanya kini sudah tidak liar dan ganas. Bahkan kini menjadi suram.
Sekali lagi ia menggeleng, “Aku tidak tahu apakah masih ada cara hidup yang lain yang dapat aku jalani. Aku telah dijauhi oleh sanak kadang.”
“Jangan risau,” sahut Empu Purwa, “meskipun kau dijauhi oleh sanak kadang dan handai tolan, namun apabila kau tundukkan kepalamu dan bersujud kepadanya, maka adalah sahabat manusia yang jauh lebih berharga dari sanak kadang, handai dan tolan.”
“Siapakah dia? bertanya Ken Arok.
“Yang Maha Agung,” jawab Empu Purwa. Perlahan-lahan namun langsung menusuk kalbu Ken Arok. Mahisa Agni telah sering mendengar gurunya berkata demikian kepadanya. Berkata tentang yang Maha Kuasa yang menciptakan langit dan bumi, kemudian memeliharanya dan kelak akan datang masanya langit dan bumi akan dihancurkannya.
Tetapi Ken Arok belum pernah mendengar sebutan itu. Karena itu ia masih berdiam diri menunggu penjelasan.
“Ken Arok,” Empu Purwa melanjutkan, “meskipun kau hidup sendiri di dunia ini, namun kau akan berbahagia kalau yang Maha Agung itu tidak meninggalkanmu.”
Ken Arok masih berdiam diri. Kata-kata pendeta tua itu belum begitu jelas baginya. Ia sama sekali tidak kenal kepada Yang Maha Agung itu.
Tetapi dalam kesibukan berpikir, tiba-tiba Ken Arok teringat pada pengalamannya. Ketika ia dikejar-kejar oleh orang Kemundungan. Ketika ia sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maka memanjatlah ia ke atas pada sebatang pohon tal. Tetapi orang-orang yang mengejarnya memotong batangnya. Pada saat itu, pada saat ia telah kehilangan akal, maka terdengarlah suara dari langit, “Ken Arok, potonglah dua helai daun tal. Pakailah sebagai sayap. Dan kau akan dapat terbang melintasi sungai di bawah pohon tal itu.”
Kemudian ketika dipotongnya dua pelepah daun tal, serta dinaiknya, maka seakan-akan ia terbang melintasi sungai.
Maka tiba-tiba melontarlah pertanyaan menusuk benaknya, “Suara apakah yang telah menyelamatkannya itu?”
Suara itu telah lama dilupakannya. Bahkan dianggapnya tidak pernah ada. Tetapi suara itu kini terngiang kembali. Jelas, seperti baru saja diucapkan. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan. Itulah suara Yang Maha Agung.
Ken Arok terkejut sendiri pada kesimpulan yang ditemukannya. Bersamaan dengan itu, terbayanglah di matanya peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Perampokan, pembunuhan, perkosaan dan segala jenis kejahatan. Tiba-tiba Ken Arok menjadi takut. Takut kepada penemuannya. Pada kesimpulan yang didapatnya. Kalau benar Yang Maha Agung itu ada, maka akan diketahuinya semua perbuatannya.
Ken Arok menjadi gemetar seperti orang kedinginan, wajahnya menjadi pucat. Dan dengan suara yang bergetar Ken Arok bertanya meyakinkan, “Adakah Yang Maha Agung itu kenal kepadaku?”
“Ya,” sahut Empu Purwa, “Yang Maha Agung itu kenal kepadamu, kepadaku, kepada Agni dan kepada semua manusia di dunia ini seperti seorang bapa mengenal anak-anaknya.”
“Tahukah Yang Maha Agung itu atas apa yang pernah dan sedang aku lakukan?” bertanya Ken Arok pula.
“Pasti,” jawab Empu Purwa.
Mendengar jawaban itu Ken Arok menjadi menggigil karenanya. Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulitnya.
Tiba-tiba Mahisa Agni menjadi terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok itu meloncat berdiri. Terdengarlah ia berteriak, “Bohong! Bohong! Kau akan menakut-nakuti aku?”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni pun meloncat berdiri Dengan ke-siagaan penuh ia mengawasi Ken Arok yang berdiri tegang di muka gurunya. Matanya yang sayu suram, kini menjadi liar kembali. Dengan ujung pisaunya ia menunjuk ke wajah Empu Purwa yang masih duduk dengan tenangnya. Katanya, “Kau ingin melawan aku dengan cara pengecut itu? Berdirilah bersama-sama. Kita bertempur sampai binasa.”
Mahisa Agni telah bersiap. Ia akan dapat menyerang Ken Arok dengan satu loncatan. Tetapi ketika hampir saja ia meloncat menyerang, sekali lagi ia terkejut. Dilihatnya Ken Arok itu meloncat mundur dan tiba-tiba hantu padang rumput Karautan itu memutar tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya seperti kuda lepas dari ikatannya. Sesaat Agni diam mematung. Namun kemudian ia pun meloncat mengejar hantu yang mengerikan itu. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti karena suara gurunya, “Agni! Biarkan ia lari. Kemarilah!”
Sekali lagi Agni tidak dapat memahami tindakan gurunya. Ken Arok adalah orang buruan yang berbahaya. Apakah orang itu akan dilepaskannya? Tetapi Mahisa Agni berhenti juga. Dengan wajah yang tegang karena pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dadanya ia berjalan tergesa-gesa mendekati gurunya.
“Bapa,” katanya terbata-bata, “kenapa orang itu kita biarkan pergi?”
Empu Purwa menarik nafas. Perlahan-lahan orang tua itu berdiri.
“Marilah kita lanjutkan perjalanan kita,” berkata orang tua itu. Seakan-akan ia tak mendengar pertanyaan muridnya, bahkan katanya kemudian, “Kita tidak akan sampai tengah malam nanti.”
Karena pertanyaannya tidak dijawab, Agni menjadi semakin tidak puas. Tetapi ia diam saja. Ia pun kemudian berjalan di samping gurunya. Sekali-kali matanya dilemparkannya jauh ke belakang tabir kelamnya malam. Hantu padang rumput Karautan telah hilang seakan-akan ditelan oleh raksasa hitam yang maha besar. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak bertanya-tanya lagi.
Bintang gemintang di langit masih bercahaya gemerlapan. Beberapa pasang telah semakin bergeser ke barat. Dan embun pun perlahan-lahan turun.
Agni masih berjalan di samping gurunya. Dengan matanya yang tajam ditatapnya padang rumput yang terbentang di hadapannya. Beberapa tonggak lagi ia masih harus berjalan.
Dalam keheningan malam itu kemudian terdengar suara gurunya lirih, “Agni, masihkah kau berpikir tentang hantu padang Karautan?”
Mahisa Agni menoleh. Kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Ya Bapa.”
“Apa yang kau lihat pada anak muda itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni tidak tahu maksud gurunya. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab, sehingga Empu Purwa mengulangi, “Adakah sesuatu yang aneh yang kau lihat pada Ken Arok?”
“Apakah yang aneh itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Itulah yang aku tanyakan kepadamu. Sesuatu yang tidak ada pada kebanyakan manusia,” sahut gurunya.
Mahisa Agni termenung sejenak. Dicobanya untuk membayangkan kembali tubuh lawannya. Dada yang bidang, sepasang tangan yang kokoh kuat, rambut yang liar berjuntai sampai ke pundaknya dan wajahnya yang tampan namun penuh kekasaran dan kederasan. Tiba-tiba Agni menggeleng, gumamnya seperti kepada diri sendiri, “Tak ada. Tak ada yang aneh padanya.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Pikirnya, “Aku sudah menduga bahwa Agni tak melihat cahaya di ubun-ubun Ken Arok.”
Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah, “Memang tidak ada Agni, namun ada cerita yang aneh tentang anak muda yang menjadi buruan itu.”
Mahisa Agni mengawasi wajah gurunya dengan seksama. Tetapi tak dilihatnya kesan apapun pada wajah yang tua itu. Mungkin karena gelapnya malam. Mungkin karena di wajah pendeta tua itu segala sesuatu menjadi tenang, setenang permukaan telaga yang terlindung dari sentuhan angin.
Tetapi kemudian terdengar Empu Purwa berkata, “Agni, tak banyak yang aku dengar tentang asal usul Ken Arok. Tetapi aku pernah mendengarnya dari mulut beberapa orang pendeta. Di antaranya pendeta di Sagenggeng. Bahwa dari kepala Ken Arok itu memancar cahaya yang ke-merah-merahan. Dan cahaya yang demikian adalah ciri dari mereka yang dikasihi oleh Brahma.”
“Kalau demikian…?” kata-kata Mahisa Agni terputus.
“Ya,” Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ken Arok adalah kekasih Brahma. Bahkan orang pernah menganggap bahwa Ken Arok adalah pecahan Dewa Brahma sendiri.”
Mahisa Agni menundukkan wajahnya, ditatapnya ujung kakinya berganti-ganti. Seakan-akan ia sedang menghitung setiap langkah yang dibuatnya. Kembali menjalar di benaknya beberapa macam pertanyaan yang kadang-kadang sangat aneh baginya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada trisula di tangannya. Ya, di tangan kirinya masih digenggamnya tangkai trisula yang terlalu kecil baginya. Tanpa sesadarnya, diamatinya trisula itu dengan seksama. Trisula itu benar-benar berkilauan, namun tidak sampai menyilaukan baginya.
Mahisa Agni terkejut ketika didengarnya gurunya berkata, “Agni cerita tentang trisula itu sama anehnya dengan cerita tentang orang buruan itu.”
Agni mengangkat wajahnya. Sekali lagi dipandangnya wajah gurunya. Wajah yang sepi hening.
“Trisula itu adalah hadiah dari Siwa,” Empu Purwa meneruskan.
Memang cerita itu aneh bagi Mahisa Agni. Karena itu ia menjadi heran. Kekasih Brahma yang hampir setiap saat menjalankan kejahatan, dan senjata hadiah Siwa di tangannya. Adakah dengan demikian berarti bahwa membenarkan segala macam kejahatan itu?...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar