Ada kalanya, begitu saya mengangkat tangan dan
mengucap takbir memulai salat, hati atau perasaan saya langsung mengembara ke
mana-mana. Berjalan-jalan ke tempat lain yang tidak ada hubungannya (secara
langsung) dengan makna bacaan yang saya ucapkan di dalam salat. Terutama saat
saya terlanda masalah kehidupan yang menguras perasaan saya sedalam-dalamnya.
Lisan saya melafalkan berbagai kata yang sudah saya hafal di luar kepala,
sementara hati saya mengadukan persoalan lain yang sedang saya hadapi.
Umpamanya, ketika “si dia” ngambek dan
memboikot saya, mengadulah saya:
Kuakui, ya Allaah… telingaku
kecil sekali, teramat mungil tuk bisa menangkap degup jantungnya. Maka kumohon,
pinjamilah aku Telinga-Mu, ‘tuk dengarkan aliran darah merahnya, darah putihnya,
sampai kusimak kata-katanya, kalimat-kalimatnya, yang tidak keluar dari bibir
merahnya, bibir putihnya.
Kuakui, ya Allaah… terhadap
dia dosaku sangaaat banyak, terhadap dia pahalaku amaaat
sedikit. Kini, entah sampai kapan, mana berani ku kembali ke
hadirat-Mu, bila dosaku tak terampuni… sebutir sekalipun, bila
pahalaku tak mengalir… setetes sekalipun?
Hati saya penuh dengan gejolak perasaan yang sedang
mendera. Selalu saja ada dosa yang saya rasa perlu saya mohonkan ampunan.
Selalu saja saya merasa ada banyak sekali kesalahan fatal saya yang layak saya
sesali. Begitu sibuk hati saya. Tahu-tahu, seusai mengucap salam penutup salat,
sajadah dan baju saya sudah basah tertimpa linangan air mata.
Bila Menangis dalam Salat
Menyadari berlinangnya air mata itu, saya sempat Ge-Er
(gede rasa). Saya merasa sukses dalam melakukan salat. Namun, belakangan
saya sadari, “kesuksesan” saya dalam menghadirkan hati di dalam salat yang
dibuktikan dengan berlinangnya air mata itu tidaklah luar biasa. Mungkin saja
tangisan di dalam salat itu terjadi bukan karena saya telah berhasil menegakkan
salat dengan seutuhnya, melainkan lebih terdorong oleh watak saya yang
sentimentil. Toh di luar salat pun saya gampang menangis.
Saat itu, dengan hati yang penuh kemelut, saya
ucapkan bacaan salat di dalam salat saya “sebagaimana biasanya”. Tanpa pikir
panjang, saya baca surat-surat dari Al-Qur’an yang pendek-pendek (yang sudah
saya hafal di luar kepala) seperti al-Ikhlāsh, an-Nashr, al-Lahab, dan
al-Kāfirūn. Begitu saja.
Memang sih, saya sampai meneteskan air mata.
Namun, tangisan saya di dalam salat waktu itu tidak berhubungan dengan bacaan
salat yang saya ucapkan. Meskipun sudah mengerti terjemahan kata-kata yang saya
ucapkan itu, saya kurang menaruh perhatian pada relevansinya dengan luka jiwa
yang menganga di hati saya. Apa akibatnya? Bukannya menyelesaikan masalah
sebaik-baiknya, saya malah kian terjerat.
Bila Emosi Menjerat Diri
Ketika membaca surat al-Kāfirūn [109], misalnya,
hawa nafsu (dan/atau pasukan iblis) menggiring saya untuk mengidentifikasi “si
dia” sebagai “orang yang ingkar (kafir)”. Maka membaralah di hati saya: “…
Hai orang-orang yang ingkar! Aku tidak mengabdi apa yang kamu abdi. … Bagimu
agamamu, bagiku agamaku.”
Dengan hati yang membara begitu, tanpa saya sadari,
kecerdasan sosial (pergaulan) saya tidak berkembang. Walhasil, masalah yang
saya hadapi ini bukannya mereda, melainkan justru kian parah. Perasaan saya
semakin kalut, sementara perseteruan kami kian meruncing. Kejayaan
dunia-akhirat di bidang pergaulan pun menjauh dari saya.
Maka celakalah pelaku salat, yang
membiarkan salatnya [begitu saja], yang memperagakannya belaka, dan enggan
[memanfaatkannya untuk] sesuatu yang berguna. (QS al-Mā’ūn [107]: 4-7)
Solusi Bila Hadirnya Hati
Tak Lagi Memadai
Belakangan—alhamdulillāh—pengerahan
akal sehat saya membawa saya pada hidayah (petunjuk) baru. Saya menjadi sadar,
salat dapat menjadi penolong saya (dan mencegah saya dari berbuat keji dan
munkar) apabila saya di dalam salat sering mengucapkan bacaan yang relevan.
Umpamanya, ketika saya diboikot itu, salah satu
ayat yang relevan ialah QS Fushshilat [41] ayat 34: “… tolaklah [sikap
permusuhan itu] dengan yang lebih baik, maka akan ternyatalah permusuhan yang
ada antara engkau dan dia akan menjadi seperti hubungan [kasih-sayang] yang
sangat setia.”
Dengan tertanamnya ayat-ayat kasih-sayang seperti
itu pada diri saya melalui salat saya, mulai tumbuhlah kecerdasan sosial
(pergaulan) saya. Walhasil, “si dia” mulai melunakkan sikap kerasnya kepada
saya, sehingga hati saya menjadi lapang. Mendekatnya kejayaan dunia-akhirat di
bidang pergaulan pun saya rasakan semakin nyata.
Begitulah. Jika menjalani salat yang tidak
mencerdaskan, yang tidak meningkatkan kecerdasan tertentu yang kita butuhkan
untuk mengatasi persoalan yang sedang melanda kita, maka kita mustahil berjaya
dunia-akhirat. Sebaliknya, bila mendirikan salat yang mencerdaskan, yang
melejitkan kecerdasan tertentu sesuai dengan kebutuhan kita dalam menangani
masalah yang sedang kita hadapi, maka terbukalah pintu kesuksesan dunia-akhirat
di depan kita.
Catatan: Jenis kecerdasan yang dapat kita lejitkan melalui
salat tidak hanya kecerdasan sosial, tetapi semuanya, termasuk:
kecerdasan emosional, spiritual, naturalis, linguistik, matematis, visual,
musikal, fisik-kinestetik, dll. Tentu saja, pengembangan kecerdasan yang
optimal melalui salat tidaklah cukup dengan pengucapan bacaan yang relevan
saja. Masih ada banyak cara lainnya. Satu artikel ini belum mencukupi untuk
menerangkannya. Dibutuhkan sekurang-kurangnya satu jilid buku tersendiri untuk
menjelaskannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar