Jumat, 30 Desember 2011

Usaha Bermodal Salat

Dalam buku E. Kosasih (ed.), “Mukjizat” Salat dan Doa (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), hlm. 23-26, saya jumpai sebuah kisah spiritual menarik yang dialami oleh Sudarto, seorang pengusaha. (Peristiwanya berlangsung selama masa Orde Baru, tetapi masih relevan dengan keadaan kita di zaman sekarang.) Di situ diceritakan bagaimana dia mengatasi tantangan dan persoalan hidup dengan bermodal shalat.


Mau tahu kisahnya? Sebelum menyimak kisahnya, sebaiknya baca lebih dahulu artikel Benarkah dengan bershalat, kita bisa menjadi kaya?.


Sudah? Baiklah. Di bawah ini saya kutipkan cerita tersebut selengkapnya.


Usaha Bermodal Salat
Sudarto, Pengusaha
Berhari-hari aku mencari pekerjaan, tapi selalu gagal. Kemudian aku beralih ke luar kota, namun usahaku tetap sia-sia. Untunglah setiap kali pulang dengan kekecewaan, istriku selalu memberikan semangat, “Sabarlah Mas, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang sedang memberikan cobaan pada kita,” ujarnya dengan tabah.


Akhirnya sedikit demi sedikit, barang-barang perabotan habis dijual untuk makan. Perhiasan istriku dilelang sampai habis. Tahun 1969, kuputuskan untuk menjual rumah dan tanah, hasil jerih payahku bekerja. Istriku menuruti saja tanpa membantah. Habis-habisan, itulah keadaanku saat itu.


Bersama istri dan anakku, aku menumpang di rumah Tamamad, tukang kayu yang mengerjakan tanahku dulu. Tamamad merasa iba melihat keadaan keluargaku. Dengan senang hati dia menerima kedatangan kami untuk menumpang di rumahnya.


Baru beberapa hari di situ aku jatuh sakit. Uang untuk belanja sudah menipis. Di tengah penderitaan itu, rasa malu terhadap istriku mulai tumbuh karena dia tetap menjalankan salat lima waktu dengan tekun. “Bu, mohonkan kesembuhan pada Tuhan Yang Maha Pengasih,” pintaku ketika kulihat dia hendak menjalankan salat malam. Istriku hanya mengangguk sambil tersenyum.


Ajaib. Pagi harinya tubuhku terasa segar dan aku dapat duduk di pembaringan. Sambil menyodorkan bubur hangat istriku berkata, “Coba Mas, kerjakan salat. Tuhan pasti memberi jalan keluar.”


Pada mulanya, sebagai orang Cina aku merasa kikuk untuk melaksanakan salat. Tamamad dan istrinya tersenyum ketika meliaht aku mengambil air wudhu dengan bimbingan dan petunjuk istriku. Demikian pula sewaktu salat mengikuti istriku yang bertindak sebagai “imam” pembimbingku. Istriku dengan bijak berkata, “Salatlah lebih tekun, semua kebuntuan pasti teratasi.”


Akhirnya, aku berserah diri kepada Tuhan. Seandainya Dia berkenan, jalan keluar pasti akan muncul. Petuah istriku benar-benar kulaksanakan. Sampai pada suatu pagi ketika aku sedang berjalan-jalan, tanpa kuduga, aku berjumpa dengan seorang teman yang sedang sibuk mencari barang antik, yaitu lemari pakaian yang terbuat dari kayu jati dan telah berusia ratusan tahun. “Datanglah ke rumahku kalau kau berhasil menemukan lemari kuno itu,” katanya sambil menyodorkan kartu nama.


Ketika hal itu kuceritakan kepada Tamamad, tanpa kuduga dia menunjukkan alamat orang yang memiliki barang tersebut. Transaksi jual beli akhirnya terjadi, dan aku memperoleh komisi dari kedua belah pihak. Benar juga kata istriku, dengan ibadah aku berhasil memperoleh modal usaha walau tak seberapa. Allâhu Akbar!


Walaupun masih kecil-kecilan, aku mulai membuat kecap seperti yang telah kurencanakan. Waktu itu aku baru mampu memberi lima kilogram kedele plus gula dan 20 botol kosong. Kecap buatanku itu kutawarkan kepada para penjual bakso yang lewat di depan rumah Tamamad. Aku mendapat 12 orang pelanggan.


Sungguh Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, semakin lama langgananku semakin bertambah. Aku melabeli kecapku dengan merek dagang “Cap Obor”. Sedikit demi sedikit aku bisa membelikan barang-barang perhiasan untuk istriku sebagai pengganti miliknya yang dulu terjual habis. Bahkan aku bisa membeli sebidang tanah. Tiga tahun kemudian di atas tanah tersebut kubangun sebuah rumah permanen sebagai tempat tinggal keluargaku.

Tanpa kuduga pasaran kecap yang semula lancar itu pada tahun 1979 mengalami kemunduran. Untuk menutup kekurangan pendapatan aku mencari kerja sambilan, tetapi gagal.


Kuakui, ketika usahaku sedang menanjak, aku lalai beribadah, hidupku terasa hampa. Rumah dan tanah sempat kutawar-tawarkan.


Istriku mengingatkan agar aku kembali mengerjakan salat dengan tekun, “Dirikan salat, jangan bolong. Upayakan genap lima waktu, Mas.”


Hatiku tergugah ketika mendengar azan dari masjid yang hanya terpisah oleh rumah tetangga. Seluruh bulu kudukku terasa meremang mendengar ajakan imam masjid tersebut untuk menjalankan salat Maghrib. Segera kupenuhi ajakannya. Bahkan dalam hati aku berjanji untuk kembali tekun menjalankan salat. Kuusahakan sejak itu untuk tidak melewatkan salat.


Setiap hari Jumat selalu kusempatkan berjamaah di mana pun aku berada. Alhamdulillâh usahaku berjalan lancar lagi. Sampai suatu hari seseorang datang kepadaku dan mengemukakan niatnya untuk membeli rumahku sekaligus pekarangannya. Memang, beberapa bulan sebelumnya aku menawarkan rumah berikut tanahnya. Tetapi kemudian penawaran itu kutolak dengan halus. Sebab aku sudah tidak berniat untuk menjualnya.

Tuhan Maha Pengasih. Dia memberiku tambahan rezeki sehingga aku bisa membeli sebuah kendaraan roda empat. Daerah pemasaranku semakin luas. Sekali jalan bukan lagi ratusan botol, tetapi mencapai ribuan. Jelas itu semua merupakan fadhîlah salat lima waktu yang dengan sungguh-sungguh kulakukan. Ketekunan menjalankan salat membuat setiap langkahku menjadi semakin mantap. (Amanah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar