Dalam buku E. Kosasih (ed.), “Mukjizat” Salat dan Doa
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), hlm. 23-26, saya jumpai sebuah kisah spiritual
menarik yang dialami oleh Sudarto, seorang pengusaha. (Peristiwanya berlangsung
selama masa Orde Baru, tetapi masih relevan dengan keadaan kita di zaman
sekarang.) Di situ diceritakan bagaimana dia mengatasi tantangan dan persoalan
hidup dengan bermodal shalat.
Mau tahu kisahnya? Sebelum menyimak
kisahnya, sebaiknya baca lebih dahulu artikel Benarkah dengan bershalat, kita
bisa menjadi kaya?.
Sudah? Baiklah.
Di bawah ini saya kutipkan cerita tersebut selengkapnya.
Usaha Bermodal Salat
Sudarto, Pengusaha
Berhari-hari aku mencari pekerjaan, tapi
selalu gagal. Kemudian aku beralih ke luar kota, namun usahaku tetap sia-sia.
Untunglah setiap kali pulang dengan kekecewaan, istriku selalu memberikan
semangat, “Sabarlah Mas, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang sedang
memberikan cobaan pada kita,” ujarnya dengan tabah.
Akhirnya sedikit demi sedikit,
barang-barang perabotan habis dijual untuk makan. Perhiasan istriku dilelang
sampai habis. Tahun 1969, kuputuskan untuk menjual rumah dan tanah, hasil jerih
payahku bekerja. Istriku menuruti saja tanpa membantah. Habis-habisan, itulah
keadaanku saat itu.
Bersama istri dan anakku, aku menumpang
di rumah Tamamad, tukang kayu yang mengerjakan tanahku dulu. Tamamad merasa iba
melihat keadaan keluargaku. Dengan senang hati dia menerima kedatangan kami
untuk menumpang di rumahnya.
Baru beberapa hari di situ aku jatuh
sakit. Uang untuk belanja sudah menipis. Di tengah penderitaan itu, rasa malu
terhadap istriku mulai tumbuh karena dia tetap menjalankan salat lima waktu
dengan tekun. “Bu, mohonkan kesembuhan pada Tuhan Yang Maha Pengasih,” pintaku
ketika kulihat dia hendak menjalankan salat malam. Istriku hanya mengangguk
sambil tersenyum.
Ajaib. Pagi harinya tubuhku terasa segar
dan aku dapat duduk di pembaringan. Sambil menyodorkan bubur hangat istriku
berkata, “Coba Mas, kerjakan salat. Tuhan pasti memberi jalan keluar.”
Pada mulanya, sebagai orang Cina aku
merasa kikuk untuk melaksanakan salat. Tamamad dan istrinya tersenyum ketika
meliaht aku mengambil air wudhu dengan bimbingan dan petunjuk istriku. Demikian
pula sewaktu salat mengikuti istriku yang bertindak sebagai “imam”
pembimbingku. Istriku dengan bijak berkata, “Salatlah lebih tekun, semua
kebuntuan pasti teratasi.”
Akhirnya, aku berserah diri kepada Tuhan.
Seandainya Dia berkenan, jalan keluar pasti akan muncul. Petuah istriku
benar-benar kulaksanakan. Sampai pada suatu pagi ketika aku sedang
berjalan-jalan, tanpa kuduga, aku berjumpa dengan seorang teman yang sedang
sibuk mencari barang antik, yaitu lemari pakaian yang terbuat dari kayu jati
dan telah berusia ratusan tahun. “Datanglah ke rumahku kalau kau berhasil
menemukan lemari kuno itu,” katanya sambil menyodorkan kartu nama.
Ketika hal itu kuceritakan kepada Tamamad,
tanpa kuduga dia menunjukkan alamat orang yang memiliki barang tersebut.
Transaksi jual beli akhirnya terjadi, dan aku memperoleh komisi dari kedua
belah pihak. Benar juga kata istriku, dengan ibadah aku berhasil memperoleh
modal usaha walau tak seberapa. Allâhu
Akbar!
Walaupun masih kecil-kecilan, aku mulai
membuat kecap seperti yang telah kurencanakan. Waktu itu aku baru mampu memberi
lima kilogram kedele plus gula dan 20 botol kosong. Kecap buatanku itu
kutawarkan kepada para penjual bakso yang lewat di depan rumah Tamamad. Aku
mendapat 12 orang pelanggan.
Sungguh Tuhan Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, semakin lama langgananku semakin bertambah. Aku melabeli kecapku
dengan merek dagang “Cap Obor”. Sedikit demi sedikit aku bisa membelikan
barang-barang perhiasan untuk istriku sebagai pengganti miliknya yang dulu
terjual habis. Bahkan aku bisa membeli sebidang tanah. Tiga tahun kemudian di
atas tanah tersebut kubangun sebuah rumah permanen sebagai tempat tinggal
keluargaku.
Tanpa kuduga pasaran kecap yang semula
lancar itu pada tahun 1979 mengalami kemunduran. Untuk menutup kekurangan
pendapatan aku mencari kerja sambilan, tetapi gagal.
Kuakui, ketika usahaku sedang menanjak,
aku lalai beribadah, hidupku terasa hampa. Rumah dan tanah sempat kutawar-tawarkan.
Istriku mengingatkan agar aku kembali
mengerjakan salat dengan tekun, “Dirikan salat, jangan bolong. Upayakan genap
lima waktu, Mas.”
Hatiku tergugah ketika mendengar azan
dari masjid yang hanya terpisah oleh rumah tetangga. Seluruh bulu kudukku terasa
meremang mendengar ajakan imam masjid tersebut untuk menjalankan salat Maghrib.
Segera kupenuhi ajakannya. Bahkan dalam hati aku berjanji untuk kembali tekun
menjalankan salat. Kuusahakan sejak itu untuk tidak melewatkan salat.
Setiap hari Jumat selalu kusempatkan
berjamaah di mana pun aku berada. Alhamdulillâh
usahaku berjalan lancar lagi. Sampai suatu hari seseorang datang kepadaku dan
mengemukakan niatnya untuk membeli rumahku sekaligus pekarangannya. Memang,
beberapa bulan sebelumnya aku menawarkan rumah berikut tanahnya. Tetapi
kemudian penawaran itu kutolak dengan halus. Sebab aku sudah tidak berniat
untuk menjualnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar