Bahwa sesungguhnya orang shalat Jum’at dengan bilangan empat
mengikuti pendapat yang lemah itu adalah sah apabila mengamalkan
syarat-syaratnya sebagaimana yang berlaku dalam bilangan 40 orang, dan
juga hendaklah jangan mengulang (mu’adah) 61) dengan shalat Dhuhur. Keburukan mu’adah ialah kemudian dapat
menimbulkan keragu-raguan dalam hati, sebab menyangka kurang bilangan
Jum’at. Yang begitu jelas tidak sah ragu-ragu dalam hati.
Konsekuensi I’adah
Kadang sunnah mu’adah itu dapat menyebabkan haram bagi orang yang wajib melakukan qadla yang mendesak (mudlayyaq),62) dan kadang malas, sebab banyak kepayahan mendatangi Jum’at serta
shalat Dhuhur. Hal itu patut kemudian menakibatkan bertambah rusak.
Berbeda dibuat mantap bilangan shalat Jum’at dengan empat orang yang
benar ilmunya. Berhasil sah dan mudah mencari empat orang di dalam
pedesaan untuk bilangan Jum’at. Sangat sulit kumpul 40 orang yang dapat
dijadikan bilangan Jum’at bagi orang-orang pedesaan (waktu itu).
Tidak didapati memilih 40 orang bilangan Jum’at (yang memenuhi
syarat) kecuali yang sudah berjalan shalat Jum’atnya menjadi terlantar.
Sementara, shalat Dhuhurnya tidak sah juga, sebab masih pada awal waktu.
Shalat Dhuhur dapat dilaksanakan hanya sekedar cukup (untuk shalat
Dhuhur) yaitu diahirkan shalat Dhuhur sampai waktu tahrim.63) Ibadah seperti itu sulit dikerjakan dan menjadi tidak sah, karena ibadah dilakukan dengan sikap keragu-raguan.
Alternatif dan Solusi Bilangan Jum’at
Berdasarkan pengamatan Syaih Ahmad Rifa’I, bahwa kondisi umat Islam
di Jawa waktu itu dalam melaksanakan shalat Jum’at sangat
memperihatinkan. Bilangan 40 orang yang bertanggung jawab atas kebenaran
shalat mingguan itu ternyata banyak yang tidak memenuhi persyaratan.
Oleh karena itu, kemudian beliau merasa berkewajiban menata kembali aau
mereformasi shalat Jum’at. Alternatif dan solusi yang didakwahkan, ialah
memilih pendapat Imam Syafi’I yang qadim, yaitu dengan bilangan empat
atau duabelas orang. Hal ini dimaksudkan, agar tidak terjadi pengosongan
masjid atau pengamalan yang tidak benar. Dengan demikian syiar Islam
dalam shalat Jum’at terus berjalan.
Sudah jelas tidak benar bilangan Jum’at hanya 40 orang yang didalamnya tercampur orang yang rusak bacaan (ummi)64 ) karena sengaja tidak mau belajar. Dalam Riayat al-Himmat disebutkan :
“Dan bila terdapat hanya 40 orang bilangan Jum’at, dan di dalam mereka tercampur seorang ummi yang sudah jelas taqsir65 )dalam
belajar Fatihah, dan semua bacaan wajib, maka tidak sahlah shalat
Jum’at mereka, karena shalatnya si ummi menjadi batal, maka kurang
hitungan mereka. Apabila si ummi tidak taqsir dan imamnya qari’66 )
benar bacaan, maka sah shalat Jum’at mereka. Seperti apabila terdapat
semua bilangan Jum’at itu ummi dalam derajat yang satu (sama) manunggal
tidak taqsir, selain imam, maka sahlah Jum’at mereka”. (Riayat al-Himmat: I/177).67 )
61) Mu’adah ialah
mengulang kembali shalat fardlu yang telah dikerjakan di masa lalu,
karena terdapat padanya kesalahan, sehingga shalat itu tidak sah.
Seperti shalat yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau melanggar salah
satu batalnya shalat, maka wajib mengulang kembali ketika shalatnya
sudah benar .
62) Syaih Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
“Syaihina Ahmad Ibnu Hajar ra. Berkata : “Yang dhahir bahwa
sesungguhnya bagi orang yang mempunyai qadla shalat, seluruh waktunya
harus digunakan untuk mengqadla shalat, kecuali untuk kebutuhan hajatnya
yang mendesak. Dan sesungguhnya haram baginya melakukan shalat sunnah”.
(Fath al-Muin pada Hamisy Ianat al-Thalibin: I/23).
63) Waktu Tahrim
yaitu mengahirkan waktu sekiranya waktu tersebut sudah tidak dapat
dipergunakan untuk mengerjakan shalat. Dalam mengahirkan waktu shalat
Dhuhur karena menunggu pelaksanaan shalat Jum’at yang benar, ialah
sekira salam shalat Dhuhur itu selesai lalu masuk waktu Ashar. (al-Bajuri:
I/123). Hal ini sangat sulit untuk dilaksanakan. Maka pandangan Syaih
Ahmad Rifa’I, mengenai perlunya mendirikan shalat Jum’at dengan bilangan
empat atau duabelas orang ini tepat sekali untuk diamalkan.
64) Ummiyu atau Ummi ialah orang yang tidak bisa membaca bacaan dalam shalat secara benar dan tidak bisa menulis (Qamus al-Ma’ab: 21).
65) Taqsir
ialah orang yang jahil sengaja tidak mau belajar ilmu agama. Padahal ia
seorang baligh yang berakal sehat dan hidup di tengah para ulama atau
dekat ulama yang mengajarkan ilmu agama sesuai kebutuhab masyarakat (Riayat al-Himmat: I/25).
66) Imam Qari’ ialah
orang yang diikuti dalam shalat jamaah Jum’at atau shalat lainnya
dengan bacaan yang benar mahraj huruf bacaan, sesuai dengan ilmu Tajwid (Abyan al-Hawaij: II/303-304).
67) Dapat dilihat pula dalam Fath al-Muin, Hal. 40 atau Hamisy Ianat al-Thalibin, jilid II, Hal. 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar