Seorang ulama besar yang mampu memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sebagai media perjuangan membela umat.
Setiap usai salat zuhur atau Asar, tahun 1920-an, sebuah langgar di
langgar Buntet, Cirebon, selalu penuh sesak oleh para tamu. Ada yang
datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan ada yang dari
Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menuntut ilmu agama,
melainkan masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian kepada sang
guru.
Walaupun namanya sudah sangat terkenal di seantero pulau jawa, baik
karena kesaktian maupun kealimannya. Kala itu Kiai Abbas (1879-1946)
tetap saja hidup sederhana. Dilanggar beratap genteng itu, ada dua kamar
dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari
pandan. Di ruang terbuka inilah, sejak tahun 1920 hingga 1945 kiai Abbas
menerima tamu tak henti-hentinya
Kiai Abbas Djamil Buntet adalah putra
sulung Kiai Abdul Djamil, yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah
1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul
Djamil adalah putra KH. Muta’ad, menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni
mbah Muqayyim, salah seorang Mufti pada masa pemerintahan Sultan
Khairuddin I, kesultanan Cirebon.
Masa kecilnya banyak dihabiskan dengan belajar pada ayahnya sendiri,
KH Abdul Djamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, ia baru
pindah ke Pesantren Sukanasari, Pleret, Cirebon, di bawah asuhan Kiai
Nasuha. Kemudian pindah lagi ke Pesantren salaf di daerah Jatisari,
Pimpinan Kiai Hasan, masih di jawa Barat, lalu ia melanjutkan ke sebuah
Pesantren yang diasuh oleh Kiai Ubaidah di Tegal, Jawa Tengah.
Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, ia pindah ke Pesantren yang
sangat kondang di Jawa Timur, Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan
Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi
pendiri NU. Di Pesantren Tebuireng, kematangan dan kepribadian Kiai
Abbas mulai terbentuk. Di Pesantren itu ia mulai bertemu dengan para
santri lain dan Kiai yang terpandang, seperti KH. Wahab Chasbullah
(Tokoh dan sekaligus salah seorang arsitek berdirinya NU), KH Abdul
Manaf (pendiri pesantren Lirboyo, Kediri).
Abbas Djamil dikenal juga sebagai santri yang gigih dan giat belajar,
walaupun ilmunya sudah sangat dalam, ia tetap berniat memperdalam
ilmunya dengan belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia bisa
belajar ke sana. Saat itu di Tanah Mekah itu masih ada ulama Jawa
terkenal sebagai guru utamanya, yaitu KH Mahfudz Termas, asal Pacitan
Jawa Timur.
Sedangkan rekan santri yang lain adalah KH. Bakir (Yogjakarta), KH
Abdillah (Surabaya) dan KH. Wahab Chasbullah (Jombang). Di waktu
senggang, Kiai Abbas ditugasi mengajar para Mukimin (orang-orang
Indonesia yang tinggal di Mekah). Santrinya antara lain, KH Cholil
Balerante (Palimanan), KH Sulaiman Babakan (Ciwaringin).
Sepulang dari Makkah, Kiai Abbas Langsung memimpin Pesantren Buntet
dengan penuh kesungguhan. Kiai muda ini, sangat energik, mengajarkan
berbagai khasanah kitab kuning. Namun ia juga tidak lupa memperkaya
dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Kitab karya
ulama Mesir, seperti Tafsir Tontowi Jauhari dan Fahrurrazi, juga
diajarkan di Pesantrennya.
Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal di seluruh Jawa, sebagai
seorang ulama yang alim dan berpikiran progresif. Namun demikian ia
tetap saja rendah hati kepada para santrinya.
Walaupun usianya ketika itu sudah 60 tahun, tubuhnya masih kelihatan gagah dan tegap. Rambutnya yang lurus, dan sebagian sudah mulai memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban, seperti lazimnya para Kiai. Pada saat itu, tahun 1939, perjuangan kemerdekaan sedang menuju puncaknya. Pengajaran ilmu kenuragan dirasa lebih mendesak untuk mendukung kemerdekaan. Maka Kiai Abbas pun mulai merintis perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kanuragan pada masyarakat luas.
Sudah barang tentu orang-orang yang berguru kepada Kiai Abbas bukan
sembarangan atau pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin
meningkatkan ilmunya. Biasanya tamu yang datang langsung di bawa masuk
ke dalam kamar pribadinya. Dalam kamar itulah mereka langsung dicoba
kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru
setelah diuji kemampuannya, sang Kiai mengijazahkan wirid tertentu
sebagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka
bertambah.
Dengan gerakan itu, Pesantren Buntet dijadikan markas pergerakan kaum
Republik, untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu, pesantren Buntet
menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung
dalam barisan Hisbullah. Di Pesantren Buntet, organisasi ini di ketuai
oleh Abbas dan adiknya, KH Anas, serta dibantu ulama lain, seperti KH.
Murtadlo, KH. Sholeh, dan KH. Mujahid. Karena itu muncul tokoh Hisbullah
di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon, seperti KH
Hasyim Anwar, dan KH Abdullah Abbas, putra Kiai Abbas.
Ketika melakukan perang grilya, tentara Hisbullah memusatkan
perhatiannya di daerah Legok, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan,
dengan front di perbukitan Cimaneungteung, yang terletak di daerah Walet
selatan membentang ke bukit Cihirup, Kecamatan Ciipancur, Kuningan.
Daerah tersebut terus dipertahankan sampai terjadinya perundingan
Renville tahun 1947, ketika kemudian pemerintah RI beserta semua
tentaranya hijrah ke Yogjakarta pada tahun yang sama.
Semasa perang kemerdekaan, banyak warga pesantren Buntet yang gugur
dalam pertempuran. Diantaranya, KH. Mujahid, Kiai Akib, Mawardi, Abdul
Jalil, Nawawi, dan lain-lain.
Basis-basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya Revolusi Nofember di Surabaya tahun 1945. peristiwa itu terbukti setelah KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo segera datang berkonsultasi kepada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi KH Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu tidak dimulai terlebih dahulu sebelum Kiai Abbas dan laskar andalannya datang ke Surabaya.
Memang setelah dipimpin oleh Kiai Abbas dan adiknya KH. Anas, laskar
Pesantren Buntet mempunyai peranan besar dalam perjuangan menentang
tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 November 1945,
atas restu KH. Hasyim Asy’ari. Ia terlibat langsung dalam pertempuran
di Surabaya tersebut. Selanjutnya juga Kiai Abbas mengirimkan para
pemuda yang tergabung dalam tentara Hisbullah ke berbagai daerah
pertahanan, untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali
Republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.
Di mata KH Hasyim Asy’ari, KH. Abbas memang bukan sekedar santri
biasa. Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam
bidang ilmu beladiri maupun ilmu kedigdayaan. Tidak jarang kiai Abbas
diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu. Hubungan
KH. Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika
pertama kali KH Hasyim mendirikan Pesantren Tebuireng, Kiai sakti dari
Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama dari gangguan para
penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran Pesantren
Tebuireng sekitar tahun 1900.
Walaupun revolusi November 1945 di Surabaya dimenangkan oleh
laskar-laskar pesantren dengan gemilang, hal itu tidak membuat mereka
terlena. Belanda dengan segala kelicikannya akan selalu mencari celah
menikam Republiki ini. Karena itu kiai Abbas selalu mengikuti
perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan.
Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi
diplomasi juga dijalankan. Semua tidak terlepas dari perhatian para
ulama. Maka betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang
memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah,
banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam perjanjian Linggarjati pada
tahun 1946, yang hasilnya banyak mengecewakan tentara RI.
Mendengar isi perjanjian seperti itu, Kiai Abbas sangat terpukul,
merasa perjuangannya dikhianati. Ia jatuh sakit, dan akhirnya kiai yang
sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada Hari Ahad,
Subuh, 1 Rabiulawal 1365 atau tahun 1946 M. Beliau dimakamkan di komplek
Pesantren Buntet. Mutiara dari Pesantren Buntet itu telah menyumbangkan
sesuatu yang sangat berarti bagi nusa dan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar