Ia pembaharu tasawuf dan filsafat dalam Islam. Gagasan dan karya-karya Hujatul Islam ini, menjadi rujukan sampai sekarang.
Dalam rak-rak di sebuah toko buku,
tampak berjejer buku-buku tentang sufi. Tetapi ada hal yang mencolok.
Buku-buku karya Al-Ghazali begitu dominan. Hampir dua puluh buku karya
ulama besar ini banyak diminati calon pembeli. Karya Imam Al-Ghazali
memang menarik. Tulisannya tidak hanya memikat, tetapi juga selalu
aktual sepanjang zaman. Tidak salah jika gagasan dan pikirannya tentang
Tasawuf banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Imam Ghazali
adalah ulama yang mampu mendiskripsikan tasawuf, syari’at dan Akhlak
dengan jelas dan argumentatif.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid ibnu Muhammad ibnu Ahmad, lahir di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H atau 1058 M. Karya masterpiece-nya Ihya Ulumuddin
yang empat jilid itu menjadi bacaan wajib bagi orang-orang yang ingin
belajar tasawuf. Ia hidup dalam keluarga yang sangat taat beragama.
Ayahnya yang berasal dari desa Ghazalah adalah seorang pemintal Wool.
Nama desa inilah yang kelak menjadi nama sebutan bagi anaknya, Abu
Hamid, yaitu Ghazali.
Sejak kecil sudah tampak tekadnya yang
kuat untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Mula-mula ia belajar kepada Ahmad
ibnu Muhammad al-Razhani al-Thusi. Setelah merasa cukup, ia melanjutkan
studi ke Kota Jurjan, belajar di sekolah yang dipimpin oleh intelektual
terkenal saat itu, Abu Nash al-Ismail. Selain itu ia juga belajar
kepada sufi besar Syekh Yusuf al-Nasaj (wafat 487 H).
Rasa haus akan ilmu membawanya
melanglang buana ke berbagai kota. Ia sempat belajar kepada Abu Maal
al-juwaini di Naisyaburi yang tersohor karena mendapat julukan Imam
al-Haramain. Di Naisyaburi, ia juga belajar Tasawuf kepada Syekh Abu Ali
al-Fadhl ibnu Muhammad ibnu Ali Farmadi. Di Naisyaburi inilah
kepiawaiannya mulai dikenal orang. Ia tidak hanya berguru, tetapi juga
sudah menulis dan memberi beberapa kajian fikih.
Setelah Imam Juwaini wafat, Al-Ghazali
melanjutkan studinya ke Kota Muaskar. Di sinilah segala pergumulan
intelektual ia lalui dengan prestasi cemerlang.. karena prestasinya ia
diangkat sebagai guru besar sebuah perguruan tingg bergengsi
Al-Nidzomiyah di Bagdd pada tahun 484 H. di sini ia mengajar sambil
memperdalam kajian filsafat Yunani dan Islam.
Di tengah hidupnya yang mapan, jiwanya
guncang, ketika muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis di benaknya:
Apakah pengetahuan yang hakiki itu?, pengetahuan dapat diperoleh melalui
indra atau akal? Hampir dua bulan pertanyaan-pertanyaan filosofis itu
sempat membuatnya linglung. Belakangan problem filosofis ini ia bahas
dalam kitab: Al-Munqiz min al-dzalal. Dalam kitab itu ia memperoleh
jawaban: jalan sufilah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kebenaran
hakiki.
Mempersiapkan Batin
Ia menulis, “Setelah itu perhatianku
kupusatkan pada jalan sufi. Ternyata jalan sufi tidak dapat ditempuh
kecuali dengan jalan ilmu dan amal, dengan menempuh tanjakan-tanjakan
batin dan penyucian diri. Hal itu perlu untuk mempersiapkan batin,
kemudian mengisinya dengan dzikir kepada Allah. Bagiku, ilmu lebih mudah
daripada amal. Maka segeralah aku mulai mempelajari ilmu dari beberapa
kitab, antara lain, Qut’al Qulub, karya Abu Thalib al-Makki, juga beberapa kitab karya Haris Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan Junaid al-Bagdadi, Al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami dan lain-lain.
Ghazali melanjutkan tulisannya
”Penjelasan lebih jauh terdengar sendiri dari lisan mereka. Jelas pula
bagiku, hal-hal yang khusus bagi mereka hanya dapat dicapai dengan Dzauq
(perasaan), pengalaman dan perkembangan batin sangat jauh memaknai
sehat atau kenyang dengan mengalaminya sendiri. Mengalami “mabuk” lebih
jelas daripada hanya mendengar keterangan tentang arti “mabuk”. Padahal
yang mengalaminya mungkin belum pernah mendengar keterangan tentang itu.
Dokter yang sedang sakit lebih banyak mengetahui tentang cara agar dia
tetap sehat, tetapi dia sedang tidak sehat. Mengetahui arti dan syarat
zuhud tidak sama dengan bersifat “Zuhud”.
Ketika Ghazali tengah asyik berpikir secara filosofis, pada saat yang sama ia hidup berkecukupan. Tetapi justru situasi ini membuatnya guncang. Hampir enam bulan ia terombang-ambing antara memperhatikan persoalan duniawi dan ukhrawi. Ketika itulah, mendadak pada tahun 488 H atau 1095 M ia memutuskan pergi dari Bagdad menuju Damaskus – untuk mencari ketenangan dan kesejatian hidup. Ia tinggal di Masjid Umawi bersama sufi. Pernah selama beberapa bulan ia melakukan itikaf di Menara masjid, Riyadhah dan Mujahadah juga dikerjakannya hampir setiap hari.
Tak lama kemudian ia beranjak dari
Damaskus menuju Palestina. Di Baitul Maqdis, Palestina, setiap hari ia
bermunajat kepada Allah SWT. Di Qubah Asy-Syakhrah – gua di bawah batu
cadas di tengah masjid tempat para nabi bermunajat. Semua pintu ia
kunci, sehingga tidak ada yang mengganggunya. Setelah itu ia mengunjungi
kota al-Khalil dan berziarah ke makam nabi Ibrahim. Setelah merasa
cukup melakukan perjalanan rohaniyah, ia menuju Hijaz, (kini Arab
Saudi), untuk menunaikan ibadah haji di Mekah dan berziarah ke makam
Rasulullah SAW di Madinah.
Setelah menunaikan rukun Islam yang
kelima, ia pergi ke Iskandariyah, Mesir dan tinggal beberapa lama di
kota pelabuhan itu. Tetapi berkali-kali perguruan tinggi Nidzamiyah
memanggilnya. Akhirnya ia kembali ke Baghdad untuk mengajar. Namun baru
beberapa bulan tinggal di sana, ia tidak betah. Maka pergilah ia ke Thus
mendirikan sebuah Madrasah bernama Khanaqah untuk memperdalam tasawuf.
Di sana pula ia wafat pada usia 55 tahun pada tahun 1111 M atau 505 H.
Di kalangan para sufi, Imam Ghazali
adalah ikon tersendiri. Ia sangat produktif, sementara karya-karyanya
sungguh luar biasa. Dalam beberapa tulisannya, tasawuf disuguhkan dalam
penalaran dan argumentasi yang sungguh mencengangkan. Hampir semua
karyanya menjadi rujukan dan bahan penelitian hingga kini.
Bagi Ghazali, tasawuf merupakan himpunan antara akidah, syariat dan akhlak. Baginya perjalanan spritual seseorang mampu menjernihkan hati secara berkesinambungan sehingga mencapai tingkat Musyahadah (kesaksian).
Menurut Ghazali, kehidupan seorang
muslim tidak dapat dicapai dengan sempurna kecuali dengan mengikuti
jalan Allah yang di lalui secara bertahap. Tahapan itu antara lain
tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta dan makrifat. Setelah
ketujuh tahapan itu, manusia memperoleh Ridla. Oleh karena itu seseorang
yang mempelajari taawuf wajib mendidik jiwanya. Lebih dari itu juga
harus mendidik akhlaknya. Menurut dia, hati adalah cermin yang sanggup
manangkap makrifat. Kesanggupan itu terletak pada hati yang jernih dan
suci.
Setiap karya Ghazali mempunyai keunikan tersendiri dengan gagasan-gagasan yang orsinil. Tidak kurang dari 228 kitab ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu, anatara lain, tasawuf, Fikih, Teologi, Logika, dan Filsafat.
Di antara karya-karyanya adalah “Ihya
Ulumuddin, Bidayat al-Hidayah, Misykat al-Anwar, Minhaj al-Abidin ila
Jannati Rabbil Alamin, al-Munqidz min al-Dhalal, al-Arbain fi
Ushuluddin, dan lain-lain. Yang paling berbobot ialah Ihya
Ulumuddin, yang terdiri dari empat jilid, kitab ini memuat segudang
teori dan jalan yang harus ditempuh oleh mereka yang mendalami tasawuf.
Hingga kini kitab yang sangat monumental ini menjadi bacaan wajib di
beberapa pesantren salaf.
Jangan lupa, Ghazali bukan hanya pakar tasawuf, ia juga kampiun dalam ilmu filsafat. Dua karyanya di bidang Filsafat yang sangat mengagumkan ialah Tahafutu al-Falasifah dan Maqasishid al-Falasifah. Di zamannya belum ada seorang pun yang mampu dan berani mengkritik pemikiran para fisul dengan senjata logika. Maka layaklah jika mendapat julukan Hujjatul Islam atau tempat kaum muslimin merujuk ilmu agama.
Sayang, sebagian besar karya besar Imam
Ghazali yang sudah menjadi harta budaya dan khasanah intelektual itu
musnah dibakar oleh tentara mongol yang menyerbu Baghdad abad XIII,
sehingga yang tersisa tinggal 54 kitab. Kitab tafsirnya yang 40 jilid
ikut musnah. Bayangkan, betapa kaya khasanah intelektual kita andai
semua karya Hujjatul Islam masih utuh….!
Pujian dan Teguran Sang Adik
Banyak cerita menarik seputar Imam
Ghazali, yang paling terkenal ialah cerita tentang Ahmad, adiknya,
melalui jalan saudaranya inilah jalan tasawuf menjadi pilihan Ghazali.
Saking berterima kasihnya Ghazali mendedikasikan sebuah kitabnya, Madhunun bih Ala Ghairi Ahlih, untuk sang adik. Cerita tentang adik kakak ini sering diperdengarkan di pesantren-pesantren.
Alkisah, suatu hari Ghazali menjadi Imam
shalat di masjid, sementara adiknya menajdi makmum. Ketika itu adiknya
melihat tubuh sang kakak berdarah, maka ia pun membatalkan makmum kepada
kakaknya, dan meneruskan shalat sendiri. Usai shalat, Ghazali bertanya, “Mengapa kamu membatalkan makmum kepadaku?” jawab Ahmad, adiknya, “Aku melihat kanda penuh darah.”
Sejenak Ghazali termenung. “Memang dalam shalat saya sedang berpikir tentang persoalan haid.” Adik kandung Imam Ghazali memang dikenal sebagai ahli Kasyf, mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang awam. Seketika itu Ghazali sadar tentang pentingnya dunia sufi. Dan kejadian inilah yang mendorongnya mendalami tasawuf.
Maka ia memutuskan untuk menjadikan
tasawuf sebagai jalan mengenal Allah – yang tujuan akhirnya disebut
makrifat. Menurut Ghazali, makrifat tidak hanya berarti mengenal Allah,
tetapi juga mengenal alam semesta. Makrifat bukan hanya pengenalan
biasa, meliankan juga ilmu yang tak diragukan kebenaranya, yang disebut Ainu al-Yaqin – tersingkapnya sesuatu secara jelas, tidak ada keraguan, tidak mungkin salah dan keliru.
Makrifat sebenarnya diperoleh melalui
llham. Allah memancarkan Nur ke dalam kalbu seseorang agar ia mengenali
hakikat Allah dan segala ciptaannya. Hanya kalbu yang bersihlah yang
bisa menerima Nur Ilahi. Apa syaratnya? Harus menyucikan diri dari dosa
dan tingkah laku tercela, membersihkan diri dari keyakinan selain
keyakinan kepada Allah. Kalbu harus total berdzikir kepada Allah
sehingga dapat mencapai fana (kesirnaan) secara total. Jika sudah mampu mencapai tahapan ini (maqamat), ia bisa mendapatkan mukasyafah (mampu menjawab persoalan) dan musyahadah (mampu melihat Allah dalam hati).
Banyak pujian dialamatkan kepadanya,
orientalis beken seperti H.A.R. Gibb menyejajarkan Imam Ghazali dengan
filsuf Nasrani ST Agustinus atau pembaharu Kristen Martin Luther. Gibb
menulis dalam sebuah bukunya, nama yang terkait dengan pembaharuan
pemahaman agama adalah Al-Ghazali, pembaharu agama yang sederajat dengan
St. Agustinus dan Martin Luther dalam pendangan keagamaan dan kemampuan
intelektual. Cerita tentang perjalanan spritualnya sungguh menawan hati
dan sangat bernilai. Bagaimana ia menemukan dirinya sendiri dalam
pemberontakannya melawan keruwetan para teolog yang berusaha mencari
realitas tertinggi lewat seluruh sistem keagamaan dan filsafat muslim
pada masanya.
Sementara menurut Samuel M. Zwemer,
ilmuwan asal Jerman dan peneliti dunia sufi, ada empat tokoh yang paling
besar jasanya terhadap Islam, yaitu Nabi Muhammad SAW, Imam Bukhari RA
yang berjasa dalam pengumpulan Hadits, Imam Asy’ari sebagai teolog
terbesar dan penentang rasionalisme, dan Imam Al-Ghazali sebagai sufi dan pembaharu.
Al-Ghazali telah meninggalkan pengaruh paling luas atas sejarah Islam dibanding siapapun setelah Nabi Muhammad SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar