Sebelum dikenal sebagai Wali, Mbah Kiai Musyafa’ dianggap orang Gila. Namun kemudian banyak orang yang menemukan Karomahnya. Karena itu, setelah dia meninggal, makamnya kerap didatangi peziarah.....
Kota Kaliwungu, tepatnya di wilayah Kecamatan Kaliwungu, Kendal Jawa
Tengah, tampak sangat anggun bila dilihat dari bukit yang terletak di
Desa Proto Mulyo, sebelah timur Kampung Gadukan, Kutoarjo, Kaliwungu.
Masjid Al-Muttaqin yang berada di pusat kota terlihat sangat dominan dan
lebih besar dibanding bangunan lain yang ada di sekitarnya. Menara dan
kubah masjid tampak sangat kukuh, seperti menegaskan betapa Allah SWT
Mahabesar.
Dari ketinggian bukit itu, tampak kecantikan kota Kaliwungu yang
mempesona. Disana terdapat makam alim ulama dan para penyiar agama Islam
tempo dulu. Masyarakat menyebutnya sebagai makam Jabal (bukit), sebuah
kawasan perbukitan. Salah seorang ulama besar yang dimakamkan disana
adalah Kiai Musyafa’ bin Haji Bahram.
Seperti halnya makam wali-wali yang lain, makam Mbah Syafa’, demikian
beliau biasa disapa, inipun kerap dikunjungi para peziarah, terlebih
pada hari Kamis wage sore dan Jumat Kliwon. Pada kedua hari tersebut,
ratusan bahkan ribuan peziarah datang kesana. Santri dari beberapa
pesantren juga kerap menjadikannya sebagai tempat untuk melaksanakan
riadah.
Selama hidup (antara tahun 1920 – 1969), Mbah Syafa’ dikenal sebagai
sosok yang zuhud. Ia sangat sederhana, baik dalam berpakaian maupun
dalam bertutur kata. Kesederhanaannya dalam berpakaian, membuat sebagian
orang menganggap Mbah Syafa’ sebagai Kiai yang sangat miskin. Tidak
jarang orang juga mengatakan bahwa Mbah Syafa’ adalah orang gila, karena
ia memang kerap berperilaku Khawariqul Adah, yaitu berperilaku diluar
kebiasaan manusia pada umumnya.
Anggur Mekkah
Sangkaan orang bahwa Mbah Syafa’ adalah orang gila sudah terdengar
sebelum masyarakat mengetahui karomah dan kewaliannya. Pada suatu hari
tetangga disekitar rumah Mbah Syafa’ di bikin geger. Pasalnya setelah
musim haji, ada seorang haji yang datang ke sana, ia mengaku di titipi
anggur oleh seseorang di Mekah untuk diserahkan kepada Mbah Syafa’, yang
baru saja menunaikan ibadah haji di Mekah. Padahal tetangga Mbah Syafa’
menyaksikan sendiri, selama musim haji itu Mbah Syafa’ berada di
rumahnya.
Sejak itu pandangan orang pada dirinya berubah, apalagi setelah
karomah-karomahnya disaksikan orang-orang disekitarnya. Suatu saat Mbah
Syafa’ menjamu tamu yang datang. Masing-masing tamu menuang sendiri air
minum dari ceret yang sudah disediakan. Anehnya air minum yang berasal
dari satu ceret itu di rasakan berbeda-beda oleh tamu yang minum.
Dalam kisah yang lain, sekitar tahun 1060-an, Mbah Syafa’ kedatangan
seorang tentara. Tentara itu bermaksud memohon restu, karena sebagai
pembela negara dia mendapat tugas ikut dalam rombongan pasukan Trikora
yang akan membebaskan Irian Jaya dari pendudukan Belanda. Saat dia
sampai di tempat tinggal Mbah Syafa’, dan mengemukakan maksudnya, Mbah
Syafa’ tidak menjawab sepatah kata pun. Beliau hanya mengambil sebuah
wajan yang telah di bakar hingga merah membara.
Oleh Mbah Syafa’ wajan itu di dekatkan ke kepala orang tersebut
sambil dipukul beberapa kali. Sesaat kemudian beliau masuk kedalam rumah
dan keluar dengan membawa tiga buah biji randu (Klentheng), lantas
menyerahkannya pada orang itu. Orang tersebut tidak mengerti apa maksud
Mbah Syafa’, namun ia tetap menyimpan biji randu pemberian Mbah Syafa’.
Di belakang hari, isyarat tersebut bisa diketahui setelah kapal yang
ditumpangi tentara Indonesia hancur di tengah laut. Namun atas izin
Allah orang tersebut selamat.
Dalam kisah yang lain diceritakan pada 1940an, suatu hari Mbah Syafa’
menggali tanah hingga dalam. Orang-orang disekitarnya merasa heran
dengan apa yang dikerjakannya itu. Sebagian mengira tempat itu akan
digunakan untuk memelihara ikan, sebagian yang lain menyangka akan
dibuat sumur.
Setelah beberapa saat, orang baru sadar bahwa Mbah Syafa’ mengetahui
peristiwa yang bakal terjadi belakangan. Karena tidak lama berselang,
tentara Jepang menyerbu daerah Kaliwungu, dan lubang itu dipergunakan
sebagai tempat persembunyian orang-orang yang ada di sekitarnya.
Berbagai peristiwa aneh terjadi termasuk setelah ia meninggal dunia
pada 13 Maret 1969 (seperti yang tertulis pada nisannya). Suatu ketika
saat sedang membersihkan Balai Desa Krajan Kulon, Mbah Rasyid, tukang
sapu kantor tersebut, ditemui Mbah Syafa’ tanpa berbincang apapun. Mbah
Syafa’ memberinya uang seribu rupiah, padahal ia telah meninggal dunia.
Anehnya, ketika sudah dibelanjakan, uang itu tetap utuh dan tetap ada
di saku Mbah Rasyid begitu ia sampai di rumah. Hal itu berulang hingga
tiga kali, membuat gundah Mbah Rasyid. Hatinya baru tenang setelah uang
itu ia kembalikan ke kuburan Mbah Syafa’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar