Tahapan perkembangan batin manusia yang berkembang di luar pengalaman manusia
akan diri dan dunianya, berawal dari kondisi tertentu dan unik. Hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan perspektif. Tanpa perlu berdebat, kita
bisa saja mengatakan bahwa sudut pandang “dari atas”,
yang diwakili oleh
manusia kontemporer dan manusia primordial, sangat jauh berbeda dari
sudut pandang “dari bawah” yang tercermin dalam mentalitas manusia
tradisional yang “terjatuh” (fallen). Sekilas tampaknya gapini
tidak bisa diatasi. Karena jika rahmat Allah untuk makhluknya yang
berakal ini sungguh tidak terbatas, maka perbedaan adalah konsekuensi
logis dari rahmat tersebut. Tapi di luar itu, perkembangan evolusi
spiritual manusia sekarang ini mencapai suatu titik balik. Kini manusia
punya pilihan untuk melakukan reorientasi diri: atau menuju “ke atas”
(Surga), atau meninggalkan semua kesemuan untuk mencapai aspirasi yang
lebih tinggi dan mengikatkan dirinya secara penuh dalam “dunia ini”.
Manusia yang seperti ini adalah manusia yang berada dalam esensi yang
sesungguhnya. Manusia-jiwa, atau manusia “dalam”. Manusia primordial
mengamati dan mengalami dunia ini juga dari dalam, dari perspektif
langsung dan persepsi yang segera muncul. Sementara manusia yang
“terjatuh” mengamati dan mengalami dunia dari sisi sebaliknya. Karena ia
terbuang dari surga, maka batinnya terhijab dari pengalaman langsung
dan dari realitas objektif tentang Allah. Dan tiba-tiba ia mendapati
dirinya berada di luar wilayah kenikmatan pengalaman batin.
Manusia tradisional mengamati dan mengalami dunia dari sisi luar ke dalam.
Visinya mencakup suatu predisposisi (kecenderungan) alamiah tentang
dimensi batin dan perspektif spiritual. Dunia sosial dan kulturalnya
merefleksikan hasratnya untuk memandang keberadaannya sebagai sarana
utama untuk memahami dirinya sendiri. Ia juga mengapresiasi pengetahuan
yang diwahyukan, yang akan membimbing, membebaskan, dan
menyelamatkannya. Sebaliknya manusia kontemporer mengamati dan memahami
dunia dengan pandangan yang diarahkan pada bagian luar (permukaan)
benda. Dimensi batin lepas dari akalnya yang dipenuhi keingintahuan.
Singkatnya, seluruh perspektif spiritual dinilai tidak bisa dibuktikan,
dan karena itu tidak relevan, sepanjang menyangkut diri manusia
kontemporer.
Jika manusia primordial mengamati dirinya, maka ia juga mengamati suatu
realitas obyektif yang merupakan kaca refleksi dari Realitas (yang
sebenarnya). Jika seorang manusia yang “terjatuh” –dalam keadaan penuh
penyesalan– ingin mengamati dirinya maka ia akan mendapati suatu
subjektivitas yang merupakan refleksi dari disorientasi dan
konflik-konflik emosi, yang terjadi karena perubahan mendadak yang dia
alami.
Manusia tradisional melihat citra Ilahi dalam bayangannya
sendiri. Ia memahami bahwa dirinya adalah citra manusia yang berasal
dari sumber ilahiah. Kemungkinan-kemungkinan ilahiah dalam kodratnya
memungkinkan ia mengatasi berbagai keterbatasannya, untuk pada akhirnya
mentransendir dirinya melalui pencarian pengalaman spiritual. Manusia
kontemporer, di sisi lain, hanya melihat dirinya ketika ia menengok ke
dalam. Mata egonya hanya melihat citra manusia, bentuk manusia yang
murni.
Begitu juga, manusia tradisional melihat adanya bukti kekuasaan dan akal Tuhan
dalam tanda-tanda dan berbagai simbol dalam alam. Sampai pada batas
bahwa ia “menyaksikan kehadiran Tuhan di mana-mana”. Al-Qur’ân sendiri
menyebutkan bahwa alam dan seluruh kosmos adalah sumber pengetahuan
mengenai Tuhan dan dunia yang “tak terlihat”. Sebaliknya, manusia
kontemporer melihat bahwa dalam tanda-tanda dan simbol-simbol alam
terdapat sumber bagi kekuatan dirinya dan ekspresi dari akalnya sendiri.
Sikap manusia terhadap alam terutama untuk menaklukan dan
menghancurkan, ketimbang berusaha memahami alam sebagai sumber
pengetahuan dan penyedia kebutuhan-kebutuhan duniawinya. Ia melihat
suatu citra diri yang mendalam dalam alam dan kosmos, menyerupai sebuah
sketsa kabur tentang diri yang sejati. Diri yang identitasnya tak lebih
dari citra luar, tanpa substansi apa-apa dan tanpa jiwa.
Ini tidak lebih jelas dibanding proyeksi-proyeksi manusia kontemporer
tentang kehidupan di planet lain. Warna biru misterius langit dan
keindahan surga telah direduksi menjadi partikel-partikel atomis yang
tak terbatas. Aspirasi manusia untuk melakukan transendensi telah
direduksi hanya untuk menyelesaikan problem-problem tahun cahaya dan
ketertarikan untuk mengira-ngira kecepatan cahaya. Ketika manusia modern
sedang merenungkan kemungkinan adanya bentuk-bentuk kehidupan berakal
lain –yang oleh manusia tradisional dimulai dari iblis sampai malaikat
dalam suatu hirarki yang jelas– ia hanya memusatkan perhatian pada
kualitas makhluk-makhluk luar angkasa itu. Dan ini hanya menimbulkan
kengerian-kengerian, misalnya apakah makhluk-makhluk tersebut lebih
cerdas, lebih maju, dan –yang paling celaka– lebih cerdas ketimbang
kita.
Manusia tradisional, yang memiliki kapasitas untuk melihat ke dalam, mampu
mempertahankan fokus pada sentralnya, baik dalam dirinya maupun dalam
alam semesta. Pandangan tersebut akan segera mengantarkannya ke pusat
dan asal-muasal dirinya, dan akhirnya akan menuju pada pusat Diri alam
semesta. Mikrokosmos akan tercakup dalam visi makrokosmos, sehingga
tahun-tahun cahaya akan mengalami disintegrasi menjadi pengalaman
langsung, spontan, dan sintetis.
Sebaliknya manusia kontemporer yang berada jauh di luar eksistensi literalnya
maupun lingkungannya, mengamati dengan cermat lubang hitam dan
sumber-sumber gelombang (quasars) di luar angkasa yang seolah
menjanjikan keterbatasan, dan kemampuan untuk menyerap atau menghilang
yang tampaknya pas dengan hasrat bawah sadar manusia. Alih-alih berada
di pusat atau asal dirinya, manusia kontemporer berada di daerah pinggir
(periphery), dan tidak melihat sesuatu apapun selain tepian
dunia yang telah dikenal. Ia ingin memahami diri dan lingkungannya dari
sudut pandang yang sama sekali subjektif, tanpa dukungan dimensi batin
Ruh, yang tanpa objektivitas yang hanya bisa didapat dari Allah. Lebih
jauh, ia ingin mengobjektivasi suatu dunia yang sepenuhnya subjektif,
yakni suatu dunia yang dibangun atas dasar fantasi dan ilusi, dengan
kelima indra sebagai norma desisif, dan keputusan sebagai kriteria
final. Ia melihat dunia sebagai suatu bentuk, permukaan, dan konsekuensi
yang terelaborasi. Sedangkan dirinya adalah sebuah kendaraan yang
sempurna, yang senantiasa siap berubah, dan sebagai pernyataan akhir
dari hukum-hukum kemungkinan, tapi tanpa perkembangan batin dan tanpa
ruh Allah yang bisa menghidupkan dan memberi daya.
Dari sudut pandang ilmiah, materi dan ruh saling berlawanan. Ada
perbedaan-perbedaan yang tidak dapat diakurkan. Keduanya saling
mengingkari hak-hak masing-masing.
Dari sudut pandang spiritual, materi
dan ruh mewakili paradoks yang tercerahkan yang ada dalam realitas
sebagaimana mestinya, seperti fakta dan kebenaran yang saling
berhubungan dan mencapai keadaan harmonis. Menurut pandangan ini, materi
dan ruh, pada sisinya yang paling luar bersentuhan dan bercampur dengan
tahapan kritis realitas. Bahkan pun seandainya keduanya tampak sebagai
norma yang terpisah. Sehingga materi yang paling halus hampir menyerupai
ruh, sementara ruh yang paling kasar mendekati bentuk materi yang
halus. Setiap paradoks spiritual sebenarnya menjadi jembatan untuk
mengatasi perbedaan antara dunia-dunia yang asing. Di luar aspek
paradoksal yang tak bisa diterangkan terletak kesatuan kebenaran.
Selama waktu ini, pandangan dunia ilmiah yang diterima hanya melihat karang
yang menjadi pemisah antara materi dan ruh. Materi dan ruh dimapankan
dalam tempat yang berbeda, dan menggalang pengikutnya masing-masing.
Manusia kontemporer tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya berada dalam
satu kutub dari realitas yang utuh. Sesungguhnya, kodrat sejati dari
hubungan mereka bukan sesuatu yang bersifat transendental. Dengan kata
lain, hubungan sejati manusia kontemporer mengatasi tatanan alam dan
tidak bisa dijelaskan melulu lewat kata-kata.
Betapapun berbedanya mentalitas dan temperamen manusia kontemporer dari para
pendahulunya yang telah mengalami perkembangan spiritual, dalam banyak
hal ia masih menyisakan unsur-unsur, dalam entitasnya, yang merupakan
bukti dari kemanusiaan awal, meski unsur-unsur tersebut sangat
tersembunyi. Jika manusia seperti itu secara penuh diwakili oleh
kekayaan dan kepenuhan jiwanya yang ia peroleh lewat pernyataannya
tentang kebenaran sakral, maka manusia kontemporer hanya bisa
digambarkan sebagai menderita lantaran kesempitan dan kekeringan
jiwanya. Lebih jauh lagi, ia mencoba untuk menangkap kembali esensi
manusia primordial, sejauh ia mencoba memperhitungkan realitas fisik
surga dunia yang ada.
Akan tetapi, manusia kontemporer memperhitungkan secara lebih mendalam
ketimbang manusia yang berdosa. Sebenarnya, ia sangat mungkin tersesat
jika penyimpangan yang ada menyebabkan sikap tak acuh terhadap tuntutan
perspektif spiritual, berlangsung lama. Manusia yang “terjatuh” memiliki
keuntungan atas kedekatannya, baik dari segi waktu maupun ruang, dengan
surga, dan kenangannya atas keindahan langit masih sangat intens dan
dalam. Sedangkan manusia kontemporer telah jauh dari ruh surga sejati
dan jauh dari perasaan sebagai makhluk yang sempurna, yang sebenarnya
inheren dalam kodrat manusia primordial.
Tema Pengasingan
Jauh lebih relevan bagi perspektif manusia kontemporer adalah tema-tema
abadi tentang kesementaraan dan pengasingan yang merupakan ciri utama
manusia yang “terjatuh”. Tema pengasingan kini kembali menghantui psike
manusia modern, yang telah kehilangan jalannya dan tidak tahu harus
melangkah ke mana. Kemungkinan masalah ini kembali menghantui manusia
adalah untuk memperingatkannya tentang perasaan tidak menentu mengenai
diri dan dunianya. Khususnya karena selama ini, baik orang yang beriman
maupun tidak, telah tersedot oleh visi tentang capaian yang sama sekali
material serta kemajuan yang didasarkan pada nilai manusia belaka.
Bagaimanapun hal itu sangat mungkin untuk dipertanyakan, dan
bagaimanapun jauhnya pertolongan dari surga.
Dalam seratus tahun terakhir, manusia telah menyaksikan perkembangan
industri, teknologi, komputer, dan abad nuklir, dalam mana manusia
mendapati suatu kemajuan linear berkat usahanya dan untuk akhir
sejarahnya. Perkembangan ini dalam dirinya sendiri membawa krisis
kepercayaan diri manusia modern. Pada level internal, psikenya harus
belajar agar bisa menyesuaikan dengan perkembangan luar biasa ini.
Dewasa ini, lingkungan seolah membuat manusia berada di pengasingan,
membuatnya kehilangan unsur-unsur alamiahnya, dan tidak cocok dengan
lingkungan sekitar yang dihadapi setiap hari. Tidak seperti dulu, ketika
alam yang masih perawan dan taman surgawi bisa menentramkan batinnya
dan mengurai simpul-simpul dalam jiwanya. Kebenaran dan keindahan yang
ditampilkan oleh alam yang perawan dan menjadi cermin surga kini
dikuasai dan dirusak oleh tujuan-tujuan manusia yang tidak suci, dan
hasrat manusia akan “kemajuan”.
Tema pengasingan muncul dari kedalaman jiwa manusia modern untuk
mengingatkannya akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang paling dalam.
Kebutuhan tersebut akan terus-menerus mengekspresikan dirinya sebagai
frustasi yang tidak terpuaskan, seandainya hal itu tidak juga
diindahkan. Dari sudut pandang spiritual, akal telah direduksi oleh satu
piranti mirip-komputer yang menyimpan fakta-fakta dan gambar-gambar.
Intelek diukur dari banyaknya data dan informasi, dan logika serta akal
manusia sangat mendominasi intelek manusia. Kemampuan pemahaman dan
intuisi manusia terlupakan. Nilai dan makna hati telah direduksi dari
suatu pusat intelejensi menjadi hanya sebuah organ fisik yang vital bagi
berjalannya fungsi tubuh. Dengan demikian makna simbolisnya telah
dihilangkan. Adapun tentang jiwa, manusia modern sangat meragukan
eksistensinya. Ini bisa dilihat dari kegigihannya menempatkan jiwa di
dalam tubuh. Bagaimana seorang manusia beriman bisa merespon dengan baik
implikasi-implikasi semacam itu? Apa kata yang tepat untuk memenuhi
tuntutan modern yang tidak masuk akal ini? Jika manusia kontemporer
tidak menginginkan jiwa, maka apakah manusia beriman harus meyakinkannya
bahwa ia (manusia kontemporer) itu memang memiliki jiwa?
Mungkin psike manusia itu sendiri menyimpan jawaban untuk soal-soal ini.
Ekspresi psike dan jiwa mau tidak mau akan keluar dari dalam diri
manusia kontemporer, bagaimanapun yang bersangkutan ingin meredam suara
tersebut. Tema pengasingan akan memancar selama waktu tersebut dan
dengan cara yang sama sekali tak terduga. Pengasingan kini telah menjadi
fenomena umum. Jumlah mereka (orang yang tersing) meningkat drastis.
Ekspatriot yang mengembara di muka bumi ini semakin meningkat. Mereka
ini mewakili orang-orang yang sangat ingin meninggalkan kampung halaman
untuk satu dan lain alasan. Salah satunya untuk memuaskan dorongan
mencari sesuatu yang lain. Dan ini alasan yang cukup untuk meninggalkan
nilai budaya dan masyarakat yang selama ini mendukung mereka.
Masyarakat sendiri tampaknya berusaha mengembangkan psikis kolektif untuk
membersihkan diri dari rongrongan para pemimpin bermental despotik dan
korup, dan mengusir mereka ke pengasingan. Yakni para pemimpin yang
telah merampok dan menghancurkan negeri mereka sendiri tanpa malu, yang
seringkali malah lari ke pengasingan dengan membawa jutaan dollar yang
mereka curi dari perekonomian lokal. Dengan opini dunia sebagai saksi
bisu, para pemimpin ini tiba-tiba mendapati diri mereka terbuang,
dicaci, dan tak punya tempat berteduh. Seringkali bahkan mereka tidak
mendapatkan satu negara pun yang mau menerima mereka, karena kejahatan
mereka yang amat menjijikan. Tema pengasingan yang dimulai dari
terusirnya Adam ternyata masih terus berlanjut dalam abad modern ini,
dan akan terus demikian, selama sisi terdalam spiritualitas manusia ini
tidak diberi tempat yang wajar dalam pengalaman sadarnya.
Antara Manusia Tradisional dan Kontemporer
Mengenai hubungan yang mungkin ada antara manusia tradisional dan manusia
kontemporer, kita telah menunjukkan bahwa seandainya mereka punya
kesempatan untuk bertemu, mereka tidak akan saling mengenal. Manusia
tradisional yang murni tidak lagi ada, seiring dengan hilangnya
lingkungan tradisional dari muka bumi. Ini tidak berarti bahwa orang
yang beriman sudah tidak ada lagi. Manusia adalah produk lingkungan
tempat mereka tinggal dan merupakan cermin masa mereka hidup.
Sementara itu, makna kehadiran manusia kontemporer dalamsettingmodern
tidak membutuhkan penjelasan serius. Kita adalah manusia modern, maka
subjek tersebut adalah diri kita sendiri. Manusia kontemporer adalah
manusia hari ini, bisa dilihat dan dimengerti secara jelas, karena ia
ada dalam jiwa kita dan mengelilingi kita. Tapi bagaimanapun
perbandingan masih tetap dibutuhkan, karena kita tidak tahan untuk tidak
membandingkan dan melihat bagaimana wajah manusia kontemporer dalam
terang cahaya tradisional. Ini penting untuk mempelajari
perbedaan-perbedaan makna yang amat halus yang ada di antara kedua
makhluk ini, yang amat mirip dalam esensinya namun amat berbeda dalam
mengekspresikan esensi tersebut.
Di atas telah disebutkan bahwa manusia tradisional mengimani Allah,
memasrahkan dan melekatkan dirinya kepada Allah lewat berbagai bentuk
penyembahan, kesalehan, dan kecenderungan mereka kepada jalan
spiritualitas. Tetapi, manusia kontemporer tidak memiliki iman atau
kepercayaan kepada Akal Tertinggi (supreme Intelligence), dan
juga tidak melekatkan dirinya kepada Allah lewat penyerahan diri. Ia
mengikuti garis lintasan peluru yang linear yang akan mengantarkan
dirinya pada pesawat yang bergerak horisontal, yang ia anggap sebagai
suatu kemajuan. Pesawat yang tidak akan pernah dilanggar oleh aspirasi
spiritual yang berdimensi vertikal. Tidak ada iman, kepasrahan,
kecemasan instingtif, dan kecintaan spontan terhadap Allah seperti yang
bisa kita temui dalam hati manusia tradisional. Kesadaran spiritual yang
berakar dalam suara batin manusia telah dibungkam oleh teriakan keras
suara lahirnya. Mikrokosmos jiwa manusia telah menjelma menjadi ego
mikropisnya, dan sebagian besar ego ini menyebar ke seluruh penjuru
dunia bagai tebaran atom yang masing-masing berusaha mencapai kesatuan
dalam dirinya, namun tanpa pertolongan prinsip-prinsip kesatuan. Seperti
pepohonan yang tidak pernah membayangkan adanya hutan, atau setitik air
yang tidak pernah bergabung dengan lautan.
Diluar capaian-capaian teknologis, kepercayaan terhadap diri dan kemajuan
manusia sepanjang sejarah tidak lagi punya daya pikat. Jika pun ada
kepercayaan dalam dirinya itu tidak mempunyai kekuatan untuk
menggerakkan jiwa. Pemahaman hidup masih memerlukan kepercayaan
(keimanan) manusia, namun nyatanya keimanan telah ditenggelamkan oleh
ego yang pada dirinya sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk meyakinkan.
Dalam mentalitas modern, ego telah menggantikan kedudukan jiwa sebagai
kekuatan kesadaran batin, kendaraan bagi dorongan ambisusnya, dan modus operandibagi aspirasi-aspirasi batinnya.
Ekspresi keberadaan diri manusia tradisional yang paling kental muncul dari
pernyataan tentang jiwanya. Sementara pada manusia kontemporer hal itu
keluar dari egonya. Keduanya menunjukkan model eksistensi yang paralel,
namun dalam level ekspresi yang sama sekali berbeda. Ego memandang ke
dalam dirinya sendiri, sedangkan jiwa merefleksikan cahaya Akal ilahiah
dalam mengantisipasi pemenuhan diri dan transendensi jiwa.
Ego melahirkan “Aku” yang sadar. Khususnya selama ego masih diperlukan
–bahkan seandainya ia hanya mewakili diri yang sadar– untuk secara
efektif memenuhi tuntutan-tuntutan dunia empiris. Ego menyaring berbagai
kesan, peristiwa, dan pengalaman yang senantiasa harus dihadapi manusia
dalam hidup sehari-harinya. Jika ego bisa memenuhi fungsinya sebagai
penolong bagi pikiran manusia, dan sebagai pegangan identitas-diri di
tengah serbuan kekuatan-kekuatan eksternal, maka itu baik. Tetapi jika
ego perlahan mulai menggantikan kedudukan jiwa sebagai wadah dan dasar
identitas spiritual manusia, maka jelas manusia berada dalam bahaya.
Pengetahuan absolut ego tentang hal-hal relatif menghalangi pengetahuan
relatif tentang yang Absolut. Ego terjebak dalam visinya sendiri dan
konsepsinya yang menjemukan tentang dunia ini. Itu hanyalah ekspresi
diri yang bersifat temporer dan segera, bukan ekspresi dari dalam jiwa.
Bagi manusia tradisional, jiwa adalah tempat pertemuan antara Allah dan
manusia. Dewasa ini, ego manusia –sebagaimana diekspresikan secara lebih
penuh dalam kepribadian manusia– bukan tempat konfrontasi ataupun
tempat pertemuan dengan Allah, melainkan tempat perjumpaan manusia
dengan dirinya sendiri. manusia menjumpai dirinya yang juga merupakan
kaca refleksi baginya. Dalam tempat eksposisi ini, manusia tumbuh dan
menemukan serta akhirnya mendapati kesadaran dirinya hanya dalam
hubungannya dengan dunia ini. Manusia tidak berdialog dengan Akal Ilahi (Divine Intelligence),
dan ia juga tidak sedang mencari kasih Ilahi. Ia sedang berdialog
dengan dirinya sendiri dan dengan dunia. Dalam pandangan ini, manusia
adalah bentuk luar tanpa substansi batin, dengan kata lain, ia adalah
badan tanpa jiwa.
Ego tanpa iman ini melepas dan mengabaikan perjanjian sakral. Kepercayaan
sakral antara manusia dengan jiwa primordial telah dirusak oleh manusia
kontemporer, yang tidak lagi punya minat untuk melihat Allah melalui
iman dan kepasrahan. Inilah yang mungkin menyebabkan ajaran Islam
menekankan perlunya kepasrahan dan kesaksian terhadap kebenaran, tidak
hanya kepada masyarakat Arab abad ketujuh, tapi juga dalam masa
kontemporer ini. Tanpa benang transparan kepercayaan sakral dalam
dirinya, manusia kontemporer akan menderita. Bahkan bisa-bisa ia tidak
memiliki kepercayaan terhadap manusia lain, atau bahkan pada dirinya
sendiri. Tanpa hubungan yang jelas dan terbuka yang mengarah ke dalam
jiwa, dan selanjutnya melampaui jiwa ke arah ruh, manusia tidak akan
memiliki cukup hasrat utnuk menghubungkan dirinya dengan Diri yang lebih
besar.
Kelekatan manusia kepada Allah telah digantikan oleh kelakatan kepada dunia
bentuk dan dunia kepemilikan. Manusia tidak lagi berupa sebuah buku
terbuka yang menanti guratan Pena Ilahi, untuk menentukan tujuan dalam
jiwanya. Ia mengingkari pertemuannya dengan Penciptanya, dan kerana itu
mengingkari janji masa depan baginya dalam level realitas yang berbeda.
Ia menjadi sebuah sistem tertutup, telah ditentukan –bukan oleh Allah,
melainkan oleh gerakan aneh ego yang selalu berubah dan
perjumpaan-perjumpaan kebetulan dengan dunia yang sukar sekali
dimengerti. Intelejensinya telah direduksi menjadi hanya pencari fakta
dan sekumpulan data, dan mata hatinya yang dulu pernah secara
sungguh-sungguh dididik oleh manusia tradisional, kini tertutup sudah.
Lebih jauh lagi, jiwa manusia yang pernah dianggap sebagai ruang subur dan
terbuka bagi tumbuhnya realita-realitas abadi, kini terperangkap dalam
sekumpulan ilusi yang diabadikan oleh ego yang mengabdi pada diri
sendiri, dan karenanya mereduksi jiwa percaya-diri menjadi sekedar
bayangan ego ketimbang refleksi Ruh Ilahi. Ilusi tersebut tak lain
adalah bahwa manusia percaya dirinya mampu merealisasi dan memfungsikan
keberadaannya sendiri di dunia ini tanpa dukungan dan berkat Allah. Ego
menciptakan ilusi, dan ilusi memuaskan ego dalam mengabadikan lingkaran
realitas palsu yang menantang kebenaran.
Penutup
Manusia—yang diciptakan Allah dengan satu kata: Jadilah!—telah menjadi manusia dunia
yang kosong, terkurung dalam citra tunggal aku-pribadi dalam ego
manusia. Ia adalah pertanyaan tanpa jawaban, atau satu keping dari
dirinya yang sejati. Ia adalah gumpalan tanah liat tanpa ruh Allah. Ciri
karakter manusia primordial –yakni kemurnian, kesederhanaan, dan
spontanitas– kini seperti kabut yang menghantui, di luar jangkauan dan
tidak bisa diraih. Manusia kontemporer kembali menjadi manusia yang
“terjatuh”. Tapi tidak seperti Adam, manusia kontemporer tidak mengambil
hikmah “ayat-ayat” yang diturunkan Allah kepadanya untuk keluar dari
segala bentuk dilema duniawi.
Tanpa kata-kata sakral, ia kehilangan
saluran yang akan menolongnya kembali ke jalan yang benar. Tanpa akses
pada pengetahuan sakral, ia buta dari visi tentang Yang Maha Segalanya.
Prinsip kesatuan yang selama ini menjadi rahmat dan penyelamat telah
dipecah menjadi ribuan keping, dan manusia kontemporer sama sekali tidak
berdaya untuk mengutuhkannya kembali. “Dia tak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat: dan
Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (al-An`âm: 103).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar