Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah pernah
menceritakan dalam bukunya “min rawai’ hadharatina” luhurnya peradaban
kita, dua kisah menarik yang menghiasi sejarah gemilang umat ini.
Di masa khalifah Umar bin Khattab ra, ia pernah mengirim pasukan kaum
muslimin ke Mesir untuk menaklukan negeri piramida itu. Di saat mereka
mengepung benteng Babilonia, Mokaokus ingin berdialog dengan mereka.
Maka Amru bin Ash ra selaku panglima kaum muslimin saat itu mengutus 10
orang sahabat yang dipimpin oleh Ubadah bin Shamit. Ia seorang sahabat
yang berperawakan tinggi dan berkulit sangat gelap. Postur tubuhnya
mencapai 10 jengkal.
Ia ditunjuk Amru sebagai juru bicara. Ketika sampai di hadapan
penguasa Mesir, Mokaokus berkata, “Menyingkirlah dariku! karena aku tak
sanggup menatap wajahmu yang hitam kelam ini.”
Maka ketika Ubadah menangkap bahwa hati Mokaokus telah dibanjiri rasa
takut yang terpantul dari wajahnya, maka dengan penuh izzah dan sangat
diplomatis ia berkata, ”Apabila engkau takut melihat wajah gelapku ini,
maka ketahuilah bahwa di belakangku masih ada 1000 pasukan yang kulitnya
lebih hitam dariku.”
Dan demikianlah akhirnya Mesir pun futuh di tangan kaum muslimin.
Tanpa ada kontak senjata. Tanpa ada korban jiwa. Suatu negeri yang
pernah melahirkan Fir’aun, Haman dan Qarun dengan segala kecongkakan dan
kepongahannya, ternyata takluk hanya lewat seorang Ubadah bin Shamit.
Kisah kedua saudaraku..
Abdul Malik bin Marwan, sang khalifah bani Umayyah menobatkan Atha’
bin Abi Rabah sebagai satu-satunya mufti Mekkah di musim haji pada masa
itu. Tidak diperkenankan seorang ulama pun memberikan fatwa kepada
manusia selain dirinya.
Ia seorang ulama tabi’in yang tidak memiliki kesempurnaan fisik. Ia
seorang yang berkulit hitam. Matanya cacat tidak sempurna. Pincang
kakinya dan kriting ikal rambutnya. Namun muridnya cukup banyak memenuhi
majlis ilmunya. Apabila ia duduk di tengah-tengah muridnya yang
berjumlah ribuan maka seolah-olah ia seperti burung gagak hitam yang
berada di tengah kebun kapas nan putih bersih.
Tetapi ia menjadi rujukan terhadap permasalahan agama, menjadi imam
dalam fatwa. Dan sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa madrasah
Atha’ bin Abi Rabah telah melahirkan ribuan ulama handal yang berkulit
putih. Ia senantiasa dihormati, dicintai dan dihargai oleh
murid-muridnya.
Saudaraku..
Itulah potret dari kemuliaan sejati. Izzah yang didamba umat ini. Gambaran dari luhurnya peradaban Islam. Yang tidak membedakan warna kulit. Status sosial. Garis ketutunan. Harta kekayaan. Gelar akademisi. Popularitas dan reputasi meroket dan seterusnya. Parameternya adalah “kebersihan hati dan ukiran amal-amal shalih.” Demikian Nabi saw menyebutkan di salah satu sabdanya.
Itulah potret dari kemuliaan sejati. Izzah yang didamba umat ini. Gambaran dari luhurnya peradaban Islam. Yang tidak membedakan warna kulit. Status sosial. Garis ketutunan. Harta kekayaan. Gelar akademisi. Popularitas dan reputasi meroket dan seterusnya. Parameternya adalah “kebersihan hati dan ukiran amal-amal shalih.” Demikian Nabi saw menyebutkan di salah satu sabdanya.
Sebuah kemuliaan hakiki mustahil kita bangun di atas pondasi
kekuasaan. Keturunan ningrat ataupun darah biru. Tidak pula menempel
pada gelar akademisi; Doktor, Profesor dan seterusnya. Tidak pula
dipahat pada batu berlian dan mutiara kekayaan. Atau memancar dari paras
rupawan dan berkulit putih, berpostur tubuh atletis. Atau ditopang
reputasi tinggi dan popularitas yang terus meroket. Tidak pula dengan
aliran dana yang tak terputus.
Itu semua merupakan kebanggaan dan kemuliaan semu. Yang akan
menggelincirkan pemiliknya. Yang akan menyeretnya kepada siksa abadi di
akherat sana.
Tapi jika kelapangan dan kemudahan yang Allah swt bentangkan di
hadapan kita, berupa; kekayaan, gelar akademisi, postur tubuh sempurna,
jabatan dan kedudukan, keturunan terhormat dan lain sebagainya. Hal itu
semua kita jadikan sebagai sarana taqqarub kita kepada Allah dan
berkhidmah terhadap umat serta memperjuangkan hukum-hukum-Nya. Maka
kemuliaan sejati di dunia dan akherat pasti kita gapai.
“Padahal kekuatan (izzah) itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin.” Al Munafiqun: 8.
Artinya, semakin kita dekat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
mukmin, maka kemuliaan dan izzah tak akan menjauh dari kita. Walaupun
kita tak mempunyai baju kekuasaan, dasi kekayaan, stempel ningrat,
embel-embel gelar dan seterusnya. Meskipun bisa jadi di hadapan publik,
kita adalah orang-orang yang dipinggirkan.
Ya Rabb, karuniakanlah kepada kami kemuliaan sejati, amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar