Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-2

“Hantu itu dapat berbicara seperti manusia,” pikir Mahisa Agni.
“Ya, Ki Sanak,” terdengar gurunya menjawab.
“Dan kau sengaja menemui aku?” bertanya hantu itu pula.
“Ya,” jawab gurunya pula.
“Kau terlalu sombong,” kembali hantu itu tertawa menyakitkan telinga. Kemudian katanya pula, “Ada keperluanmu menemui aku?”
“Bisa juga ia diajak berbicara,” pikir Mahisa Agni.
“Ada,” sahut Empu Purwa, “sekedar singgah di padang rumputmu ini. Aku sedang menempuh perjalanan pulang dari Tumapel.”
“Katakan keperluanmu!” potong hantu itu.
“Jangan tergesa-gesa,” berkata Empu Purwa dengan tenangnya, “Apakah waktumu terlalu sempit?”
“Aku tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” jawabnya.
Mahisa Agni berpikir pula, “Kalau begitu benar kata orang, hantu tidak mau mendengar suara ayam berkokok.”
Tetapi gurunya menjawab dengan kata yang mengejutkan hatinya. “Jangan menakut-nakuti aku Ki Sanak. Aku lebih takut kepada orang daripada kepada hantu.”
Hantu itu menggeram. Kemudian membentak, “Jawab! Apa keperluanmu!”
“Ada beberapa pertanyaan untukmu Ki Sanak,” sahut Empu Purwa. Suaranya tetap renyah dan ramah.
Dalam kesempatan itu Mahisa Agni dapat memandang wajah hantu itu dengan seksama. Benar mirip seperti manusia. Bahkan ia tidak melihat perbedaannya sama sekali selain rambutnya yang panjang terurai dengan liarnya berjuntai di atas pundaknya yang bidang. Dalam keremangan malam, tak dilihatnya apa-apa yang mengerikan pada tubuh hantu itu. Bahkan ia sependapat dengan kabar yang pernah didengarnya, hantu itu berwajah tampan.
“Tak ada waktu. Aku akan membunuh kalian dan minum darah kalian,” teriak hantu itu.
Bulu kuduk Mahisa Agni serentak berdiri. Ngeri juga ia mendengar kata-kata itu. Meskipun ia tidak takut mati, namun mati dibunuh hantu sama sekali belum pernah terlintas di dalam benaknya. Apalagi kemudian darahnya akan diminumnya pula.
“Darahku tidak sesegar air degan Ki Sanak,” jawab Empu Agni dengan tenang, “Apakah kau selalu haus?”
“Jangan berbicara lagi! Berjongkok dan aku hisap tengkukmu sampai kau mati,” hantu itu berteriak semakin keras.
Adalah di luar dugaan Mahisa Agni kalau tiba-tiba Empu Purwa menjawab, “Kalau demikian kehendakmu, apa boleh buat.”
Kemudian kepada Mahisa Agni gurunya itu berkata, “Agni adalah sudah menjadi kebiasaan hantu-hantu penghisap darah, menghisap korbannya lewat luka di tengkuknya yang ditimbulkan oleh gigi-gigi hantu itu. Kalau hantu ini akan menggigit tengkukku dan kemudian menghisap darahku aku tak akan melawannya. Karena itu lihatlah dengan seksama, bagaimana caranya melubangi tengkukku.”
Empu Purwa tidak menunggu jawaban. Segera ia berlutut di hadapan hantu itu sambil menundukkan kepalanya.
Sesaat Mahisa Agni menjadi bingung. Apa yang dilakukan gurunya itu sama sekali tidak masuk di akalnya. Tetapi tidak saja Mahisa Agni yang menjadi bingung. Hantu itu pun tiba-tiba menjadi bingung pula. Ketika ia melihat orang tua itu berlutut di mukanya, maka segera ia bergeser surut.
“Apa yang akan kau lakukan?” bentaknya.
“Memenuhi perintahmu. Berjongkok dan kau akan menghisap darahku,” jawab Empu Purwa.
Kembali hantu itu menjadi bingung. Matanya tiba-tiba bertambah liar. Kemudian katanya berteriak, “Bagus. Kau juga anak muda. Berjongkoklah dan tundukkan kepalamu.”
“Biarlah ia hidup,” potong Empu Purwa, “Biarlah ia menjadi saksi, bahwa hantu di padang rumput Karautan telah melubangi tengkukku dengan giginya, kemudian minum darahku dari lubang itu pula.”
Terdengarlah gigi hantu itu gemeretak. Ia telah benar-benar menjadi marah. Kemudian katanya, “Tidak peduli apa yang kau ketahui tentang diriku. Sebab sesaat lagi kau berdua akan mati di padang rumput ini.”
Bersamaan dengan kata-katanya itu, tiba-tiba Mahisa Agni melihat benda yang berkilat-kilat di tangan hantu itu, yang ditariknya dari pinggangnya.
“Pisau?” desis hatinya, “Adakah hantu memerlukan sebuah pisau untuk membunuh seseorang? Bukankah gurunya berkata kalau hantu melubangi tengkuk korbannya dengan giginya?”
Otak Mahisa Agni adalah otak yang cerah. Karena itu segera ia tanggap atas sasmita gurunya. Demikian ia melihat hantu itu mengayunkan pisaunya, segera ia meloncat menyerang secepat tatit.
Hantu itu terkejut melihat serangan Mahisa Agni yang demikian cepat dan dahsyat. Karena itu ia tidak sempat menancapkan pisau itu di tengkuk orang tua yang berjongkok di hadapannya. Beberapa langkah ia meloncat mundur. Dengan merendahkan diri hantu itu berhasil membebaskan diri dari serangan Mahisa Agni. Bahkan segera hantu itu pun telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.
Mahisa Agni tidak mau membuang waktu lagi. Demikian serangannya yang pertama gagal, segera ia mempersiapkan diri untuk mengulangi serangannya pula. Namun sebelum ia meloncat maju, hantu itu telah menyerangnya pula. Serangannya cepat dan berbahaya. Bahkan terasa betapa kuat tenaganya. Satu kakinya terjulur ke depan, sedang kedua tangannya seperti akan menerkamnya.
Untunglah bahwa Mahisa Agni itu murid Empu Purwa. Apa yang telah dipelajari dan didalaminya sampai kini, benar-benar merupakan bekal yang cukup baginya. Karena itu, ketika serangan hantu itu tiba, Mahisa Agni segera menghindar dengan cepatnya. Menarik satu kakinya ke belakang dan mencondongkan tubuhnya. Hantu itu seperti terbang beberapa cengkang di hadapannya. Dengan cepatnya Mahisa Agni mempergunakan kesempatan itu. Tangan kirinya segera terayun deras sekali ke arah tengkuk lawannya. Terasa pukulannya mengena. Mahisa Agni mempergunakan sebagian besar tenaganya. Maka lawannya segera terdorong ke depan dan jatuh tersungkur di tanah. Namun benar-benar mengherankan. Segera tubuh itu berguling-guling untuk kemudian melenting bangun. Sesaat kemudian hantu itu telah berdiri tegak di atas kedua kakinya. Bahkan segera pula ia melontar maju dengan tangan dan jari-jari yang mengembang seperti hendak meremas muka Mahisa Agni.
Mahisa Agni adalah anak muda yang cukup terlatih. Pengetahuannya tentang tata bela diri cukup baik. Bahkan beberapa pengetahuan dari perguruan lain pun banyak diketahuinya pula. Tetapi ia belum pernah menyaksikan cara bertempur seperti yang dilakukan hantu ini. Cepat, kuat, namun kasarnya bukan main. Bahkan seakan-akan hantu itu bertempur tanpa aturan apapun yang mengikatnya. Ia menyerang dan melawan dengan cara yang tak berketentuan. Tetapi satu kenyataan, pukulannya yang tepat mengenai tengkuk hantu itu seakan-akan tak berbekas. Kulit hantu itu benar-benar seperti berlapis batu. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak segera menjadi cemas. Pikirnya, “Asal Aku dapat merabanya seperti kulit daging manusia biasa.”
Memang Mahisa Agni pernah mendengar cerita, bahwa tubuh hantu tak akan dapat disentuh tangan. Tetapi kali ini ia telah dapat menyentuh dan merasakan sentuhan itu. Bahkan hantu itu pun jatuh tersungkur terdorong oleh tenaganya. Karena itu hatinya menjadi semakin besar. Dan sejalan dengan itu, ia bertempur semakin sengit.
Hantu itu masih bertempur dengan kasarnya. Seperti angin pusaran ia membelit kemudian menghantam dari segala arah. Kadang-kadang pukulannya sama sekali tak terarah, demikian saja meluncur dengan derasnya seperti batu meluncur dari tangan.
Mahisa Agni terpaksa harus menyesuaikan dirinya. Dengan tangkasnya ia meloncat, menghindar dan menyerang. Dicarinya celah-celah dari gerakan-gerakan yang sama sekali tak teratur itu.
Sebenarnya Mahisa Agni banyak mempunyai kesempatan. Kalau saja ia tidak sedang bertempur dengan hantu dari padang rumput Karautan, maka pukulannya yang pertama pasti telah meruntuhkan lawannya yang sama sekali tidak memiliki ilmu tata bela diri itu. Namun sekali hantu itu jatuh tersungkur sekali ia meloncat bangkit, sepuluh kali ia terguling di tanah, sepuluh kali ia melenting berdiri. Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin heran. Ia telah hampir mengerahkan segenap tenaganya. Namun hantu itu masih saja melayaninya dengan caranya yang khusus.
Mula-mula anggapannya tentang hantu itu telah hampir larut, sejak ia melihat pisau di tangan lawannya itu. Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah menimbulkan keraguan pula.
“Aneh,” pikirnya, “aku tidak mengharap bahwa pada suatu kali aku akan bertempur melawan hantu berpisau.”
Empu Purwa sudah tidak berjongkok lagi. Ia berdiri tegak mengawasi muridnya yang lagi bertempur. Ia melihat betapa Mahisa Agni dengan lancar mempergunakan ilmu yang telah diturunkannya kepada anak muda itu. Cepat, lincah dan tangguh. Kadang-kadang muridnya itu seperti terbang melingkar-lingkar, tetapi kadang-kadang seperti batu karang yang tegak tertanam di pasir pantai. Sekali-kali orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, namun sekali-kali tampak ia mengerutkan keningnya. Lawan muridnya itu benar-benar aneh. Ia melihat dengan pasti, tangan muridnya telah menyentuh tubuh lawannya, namun lawannya itu benar-benar seperti kebal, kalis dari segala macam bahaya yang menimpanya.
Mahisa Agni masih bertempur dengan sengitnya. Kini ia telah mengerahkan segenap tenaganya. Bahkan segala macam ilmu yang dimilikinya telah ditumpahkannya untuk melawan hantu yang tidak pandai dalam ilmu tata bela diri, namun tak dapat dijatuhkannya itu. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin kabur. Hantu padang rumput itu menyerang membabi buta. Semakin lama semakin kasar. Ia meloncat-loncat maju dan menerjang dengan kaki, tangan dan pisaunya. Sekali-kali ia terpental surut oleh pukulan lawannya dan jatuh terjerembab, namun sesaat kemudian ia telah maju pula...[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar