Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi bingung, bagaimana menyelesaikan pertempuran itu, bahkan Empu Purwa pun beberapa kali menarik nafas dalam-dalam. Muridnya memiliki tenaga yang kuat seperti seekor banteng. Namun tenaga muridnya itu seakan-akan tak berarti.
Tiba-tiba Empu Purwa mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Matanya yang lunak bening menjadi seakan-akan menyala. Dan dadanya bergetar seperti gempa.
Empu Purwa yang tua itu melihat bayangan cahaya yang kemerah-merahan di atas kepala hantu padang Karautan itu. Samar-samar, namun jelas baginya. Jelas bagi orang setua pendeta itu. pendeta yang telah masak dalam berbagai ilmu lahir batin, yang kasatmata dan tidak kasatmata. Namun pendeta itu yakin bahwa muridnya pasti tak dapat melihatnya. Karena itu Empu Purwa menjadi gelisah. Sekali-sekali ia menarik nafas panjang.
Malam yang kelam, semakin lama menjadi semakin dalam. Angin yang dingin mengalir perlahan-lahan membelai batang-batang rumput di padang Karautan. Meskipun demikian betapa panas hati Mahisa Agni, dan betapa panas pula hati lawannya. Sebenarnyalah bahwa lawannya itu pun menjadi marah sekali. Tak pernah ia menemukan lawan setangguh Mahisa Agni. Karena itu segera dikerahkannya segenap kekuatannya. Dengan menggeram ia menyerang sejadi-jadinya. Dan kemarahannya itulah yang telah menyalakan warna semburat merah di ubun-ubunnya.
Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin dahsyat. Gerak Mahisa Agni menjadi semakin cepat dan kuat, sedang lawannya menjadi semakin keras dan kasar.
Empu Purwa melihat bayangan warna merah itu dengan cemas. Ia masih memerlukan beberapa saat untuk meyakinkannya. Dan akhirnya sekali lagi pendeta tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dari mulutnya terdengar ia berdesis, “Brahma. Hem, aneh. Kenapa Dewa Brahma membiarkan anak itu menjadi hantu di padang rumput ini? Tidak adakah pekerjaan yang lebih baik daripada menyamun, membunuh dan memerkosa?”
Kembali ia memandangi warna merah di ubun-ubun lawan muridnya. Warna itu masih ada. Bahkan semakin jelas baginya.
“Menurut pendengaranku, beberapa orang menyatakan bahwa warna itu adalah ciri keturunan Brahma,” sambungnya.
Tiba-tiba pendeta tua teringat pada pusakanya. Sebuah trisula. Amat kecil dan berwarna kuning. Didapatnya trisula itu dari almarhum gurunya. Turun temurun dari guru ke murid. Dan trisula itu pun kelak akan diserahkannya kepada Mahisa Agni. Menurut cerita gurunya, trisula itu pertama-tama turun ke bumi sebagai sinar yang membelah langit, kemudian seperti guruh meledak di lereng Gunung Semeru.
Yang pertama-tama menemukan trisula itu adalah Empu Wikan. Seorang Empu Sakti yang bertapa di kaki bukit Semeru. Ketika Empu Wikan mendengar guruh meledak di malam hening, maka timbullah kecurigaan di dalam hatinya. Maka dengan hati yang berdebar-debar dipanjatnya tebing Gunung Semeru. Dari kejauhan ia masih melihat sinar yang memancar tegak sebesar lidi jantan menusuk langit. Ketika ia mendekati sinar itu terasa betapa panasnya, sehingga Empu sakti itu pun harus bersemadi. Dalam semadinya terdengar suara gemuruh di atas kepalanya.
Berkata suara itu, “Empu Wikan yang bijaksana, yang dijauhi oleh segala bencana di sekitarnya. Apabila sinar itu nanti lenyap, datanglah ke titik tegaknya di bumi. Kau akan menemukan sebuah trisula sebagai tanda kebesaran Siwa. Aku hadiahkan trisula itu kepadamu sebagai tanda kebesaran namamu. Simpanlah pusaka itu dan serahkanlah turun temurun kepada murid-murid terkasih. Tetapi ingat Empu Wikan, pusaka itu sama sekali bukan alat pembunuh. Tetapi ia akan dapat mempengaruhi hati musuh yang bagaimanapun saktinya.”
Kenangan Empu Purwa pecah ketika lawan muridnya jatuh hampir menimpanya. Sekali terguling, namun sesaat kemudian telah tegak kembali dan dengan garangnya menerkam muridnya seperti seekor serigala lapar menerkam kambing. Tetapi Mahisa Agni bukanlah seekor kambing. Dengan merendahkan diri, diangkatnya kaki kanannya langsung menghantam perut lawannya. Sekali lagi lawannya terpental dan terbanting. Namun sekali lagi hantu padang rumput itu meloncat bangkit. Telah berpuluh kali ia terjatuh, namun ia masih segar, sesegar mula-mula mereka bertemu.
Akhirnya Empu Purwa kasihan juga melihat muridnya. Tandangnya sudah mulai susut. Peluh telah membalut seluruh tubuhnya dilekati debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki mereka yang bergulat antara hidup dan mati itu.
“Agni, kau tak akan mampu mengalahkannya,” pikir pendeta tua itu. Karena itu, maka segera ia harus menolongnya. Membebaskan muridnya dari libatan lawannya yang keras dan kasar.
Tetapi ia tidak dapat menghilangkan pengaruh warna merah di kepala lawan muridnya itu dari angan-angannya.
Sekali lagi ia menimbang-nimbang. Hantu padang rumput itu adakah kekasih Brahma, sedang pusaka di tangannya adalah hadiah Siwa. Karena itu maka perlahan-lahan ia maju mendekati titik pertempuran.
Lawan muridnya itu, ketika melihat Empu Purwa mendekati mereka, berkata dengan parau, “Ayo, kau yang tua sekali. Majulah bersama-sama. Selama kau masih belum mampu menangkap angin, selama itu kau jangan mengharap lepas dari padang rumput ini.”
“Agni,” berkata Empu Purwa tanpa menjawab kata-kata hantu itu, “Lepaskan lawanmu!”
Mahisa Agni heran mendengar tegur gurunya. Selama ini apabila gurunya melepasnya bertempur, tak pernah ditariknya kembali sebelum tubuhnya menjadi lemas atau bahaya maut telah hampir menelannya. Meskipun ia merasa tenaganya telah surut, namun hantu itu pun tak mampu menyentuhnya. Karena itu ia merasakan suatu keanehan pada gurunya kali ini. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak berani menolak perintah itu. Dengan satu loncatan panjang ia melepaskan lawannya.
“Jangan lari!” terdengar kembali suara hantu itu. Suara parau dan kasar.
“Tak ada gunanya ia meneruskan.”
“Tidak!” jawab Agni, “Aku tak akan lari.”
“Ia tak akan lari,” sahut Empu Purwa, “tetapi ia tak akan melawanmu dengan cara demikian.”
“Cara apapun yang akan dipergunakannya. Mari maju bersama-sama,” potong hantu itu.
“Tidak,” jawab Empu Purwa, “Aku sudah terlalu tua. Tetapi aku ingin berlaku adil.”
“Kenapa?” sahut lawan Agni.
“Kau mempergunakan senjata,” jawab pendeta tua itu.
“Pakailah senjata!” teriak hantu padang Karautan itu.
“Aku akan memberinya senjata,” sahut Empu Purwa.
“Jangan banyak bicara. Berikan sekarang. Kemudian aku akan segera membunuhnya,” lagi-lagi hantu itu berteriak.
Perlahan-lahan Empu Purwa menarik trisula dari dalam sarung kecilnya, berwarna kuning berkilauan.
“Agni,” katanya, “pergunakan trisula ini. Tetapi ingat, jangan kau tusukkan ke tubuhnya. Pengaruhi saja perasaannya dengan senjata itu.”
“Gila!” potong lawan Agni, “Kau berkata demikian sengaja supaya aku mendengarnya. Tusukkan ke tubuhku. Aku tak akan mati.”
Tetapi tiba-tiba suara terhenti. trisula itu di mata hantu seakan-akan cahaya yang menyilaukan matanya.
Karena itu ia berteriak, “Kalian curang. Sekarang kalian yang tidak berlaku adil. Kalian bertempur dengan alat untuk menyilaukan mataku.”
Empu Purwa menarik nafas. Ia sendiri tidak tahu, kenapa lawan muridnya itu menjadi silau, sedang muridnya sendiri tidak. Demikianlah agaknya khasiat trisula itu meskipun kali ini harus berhadapan dengan kekasih Brahma.
Maka terdengar jawaban pendeta tua itu, “Senjata itu sama sekali tak menyilaukan mataku dan mata anakku. Kenapa kau menjadi silau?”
“Senjata itu agaknya kau peroleh dari setan-setan yang mempunyai daya seperti tenung,” bantah lawan Agni dengan kasarnya, “sekarang kau akan menenungku.”
“Seandainya senjata itu aku terima dari setan-setan, bukankah hantu dapat melawan setan-setan. Sebab hantu dan setan mempunyai persamaan tabiat. Keduanya tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” sahut Empu Purwa.
Hantu padang rumput itu menggeram keras sekali. Ia tidak mau berbicara lagi, dengan satu loncatan panjang ia menyerang Empu Purwa. Meskipun serangan itu datangnya tiba-tiba sekali, namun Empu Purwa dengan cepat dapat menghindarkan dirinya. ia adalah seorang pendeta yang mumpuni. Meskipun tak ada hasratnya untuk berkelahi, namun adalah hak setiap hidup untuk mempertahankan hidupnya.
Mahisa Agni pun tidak tinggal diam. Segera ia meloncat menyerang hantu padang rumput. Dan kembali terjadi perkelahian yang sengit antara hantu berpisau dan Mahisa Agni dengan trisula di tangan. Meskipun demikian Mahisa Agni sama sekali tidak tahu apakah gunanya senjata itu apabila sama sekali tidak boleh ditusukkan ke tubuh lawannya. Namun ia tidak berani melanggar pantangan itu.
Karena itu dipegangnya trisula itu dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya dengan tangkas menangkis setiap serangan dan bahkan beberapa kali untuk menyerang lawannya. Dengan trisula di tangan kiri itu sebenarnya gerak Mahisa Agni justru terganggu. Tetapi terasa suatu keanehan terjadi atas lawannya itu. Tiba-tiba ia tidak segarang semula. Berkali-kali lawannya terpaksa meloncat menjauhi dan kadang-kadang tangannya terpaksa melindungi matanya. Mahisa Agni menjadi heran. Agaknya lawannya itu benar-benar menjadi silau.
“Inilah khasiat trisula ini,” pikir Mahisa Agni. Dengan demikian ia dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Digerakkannya trisula itu melingkar-lingkar seperti kemamang yang menari-nari di udara. Dan lawannya menjadi semakin terdesak. Dengan demikian Mahisa Agni dapat mengenainya lebih banyak, dan betapapun keras kulit hantu itu namun lambat laun terasa juga nyeri-nyeri di kulit dagingnya. Tenaga Mahisa Agni benar-benar sekuat raksasa. Pada umurnya menjelang seperempat abad itu, Mahisa Agni benar-benar merupakan seorang pemuda yang pilih tanding...[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar