Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-27

“Aku ingin mengatakannya kepadamu. Tetapi bukankah kau sudah mengetahuinya?” sahut emban itu, “karena itu tentu sudah tidak akan menarik lagi bagimu. Tetapi Ngger, keinginanku melihat kalian berdua hidup bersama bukan karena alasan yang terlalu sederhana itu. Bukan itu. Dan aku tidak berkeinginan untuk memaksamu atau mempengaruhi keikhlasanmu, seandainya kau benar-benar melihat kenyataan itu. Bahkan aku ingin melihat kau melampaui kegagalan ini dengan hati jantan.”
“Ah,” Agni berdesah.
“Tetapi,” orang tua itu meneruskan, “aku menjadi gelisah karena aku melihat keadaanmu.”
“Biar, biarlah aku dalam keadaanku,” sahut Agni.
“Angger, kau masih mau mendengar sebuah cerita?”
Agni menoleh. Ditatapnya kembali wajah yang sudah berkeriput oleh garis-garis ketuaannya. Tetapi kembali Mahisa Agni menatap titik di kejauhan. Gumamnya acuh tak acuh, “Cerita tentang harapan di masa depan. Bukan tentang gadis.”
Orang tua itu menggeser duduknya. Kemudian sambil menundukkan kepala ia mulai dengan kisahnya, “Dahulu adalah seorang gadis yang sederhana. Sederhana ujudnya dan sederhana hatinya. Tetapi di luar setahunya dan kemauannya, beberapa orang pemuda telah mencintainya bersama-sama. Sudah tentu bahwa gadis itu tak akan dapat memilih lebih dari satu di antaranya. Karena itu di luar pengetahuan siapa pun, gadis itu telah berjanji untuk hidup bersama-sama dengan salah seorang dari mereka. Seorang laki-laki yang keras hati dan berkemauan teguh. Untuk bekal hidup mereka kelak maka laki-laki itu memutuskan untuk pergi merantau, mencari daerah-daerah baru yang akan dapat memberi mereka tanah untuk garapan, supaya mereka dapat hidup dengan tenang dan tidak kekurangan makan. Gadis itu pun tidak berkeberatan. Dilepasnya laki-laki itu dengan janji, bahwa gadis itu akan menunggunya sampai ia kembali.”
Mahisa Agni mendengar juga cerita itu. Kata demi kata. Tetapi ia sama sekali tidak menaruh minat. Ia mendengarkan hanya karena ia tidak mau menyakitkan hati emban tua itu. Apalagi ternyata cerita itu sama sekali tak menyinggung-nyinggung hubungan antara masa depan perempuan tua itu dengan masa depannya. Dan ia masih mendengar emban itu berkisah terus, “Setahun, dua tahun sehingga akhirnya sampai pada tahun ketiga. Namun laki-laki itu tak kunjung datang. Harapan-harapan yang telah dianyam oleh mereka berdua, sedikit demi sedikit rontok dari hati gadis itu. Apalagi kemudian ayah bundanya, dan keluarga di sekitarnya, telah mendesaknya untuk segera meninggalkan masa-masa mudanya. Akhirnya gadis itu tak dapat berbuat lain daripada memilih satu dari sekian banyak pemuda yang melamarnya. Laki-laki yang pergi itu tak akan dapat diharapnya kembali.”
Perempuan tua itu berhenti sejenak Dipandanginya wajah Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni tidak berpaling. Anak muda itu masih memandang jauh ke depan, melewati pintu biliknya, menyeberangi ruang dalam dan menembus dinding di sebelah sana.
“Kau mendengar ceritaku?” bertanya emban itu.
“Ya, ya, tentu,” Agni terperanjat.
Perempuan tua itu menarik nafas. Ia tahu bahwa Mahisa Agni tidak berminat atas ceritanya, namun ia bercerita terus. Pada suatu saat anak muda itu pasti akan menaruh perhatian kepada ceritanya itu. Maka ia pun meneruskan, “Maka sampailah masanya gadis itu memanjat ke hari-hari perkawinannya. Laki-laki yang dipilihnya kali ini pun adalah laki-laki yang berhati teguh. Ia mengharap bahwa suaminya akan dapat melindunginya apabila sekali-sekali kesulitan datang. Sebab tidak mustahil, apabila anak-anak muda yang menjadi kecewa kelak akan bermata gelap. Namun meskipun laki-laki itu berhati teguh. dan beradat keras, namun ternyata adalah seorang suami yang baik. Dilihatnya kepentingan sendiri, namun. tak diabaikannya kepentingan istrinya itu Sehingga akhirnya, perkawinan itu menjadi semakin terjalin oleh anaknya yang pertama. Laki-laki.”
Sekali lagi perempuan itu berhenti. Matanya menjadi semakin sayu, dan wajahnya menjadi semakin tunduk. Hampir-hampir ia tidak dapat meneruskan ceritanya, karena lehernya serasa tersekat oleh setiap kata-kata yang akan diucapkannya. Namun ia memaksa bercerita terus. Katanya, “Tetapi pada suatu saat, datanglah badai yang mengguncangkan ketenteraman hidup mereka. Laki-laki yang telah disangkanya hilang itu, akhirnya datang kembali. Dengan bangga ia mencari gadis yang telah berjanji menunggunya. Dengan luka-luka di tubuhnya yang didapatnya dalam setiap persoalan di sepanjang jalan, namun dengan dada menengadah ia berkata, ‘Aku sekarang adalah seorang yang kaya raya’ ”
Tetapi akhirnya Mahisa Agni menjadi jemu mendengar cerita itu. Karena itu ia mendahului, “Aku sudah tahu kelanjutan cerita itu. Kedua laki-laki itu akan bertempur satu sama lain. Laki-laki yang merantau itu akan menang, dan perempuan itu akan kembali kepadanya.”
Emban tua itu menjadi sedih. Katanya, “Sayang Ngger, cerita itu berkesudahan lain.”
“Oh,” sahut Agni, “jadi laki-laki yang pulang dari rantau itulah kalah?”
“Tidak,” jawab perempuan tua itu.
“Juga tidak. Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Agni.
Perempuan itu menarik nafas. Seakan-akan sedang mengatur gelora di dadanya. Kemudian ia meneruskan, “Gadis yang telah menjadi ibu itu pun mendengar bahwa laki-laki yang pernah ditunggunya itu datang. Maka ia pun menjadi bingung. Terkenanglah ia pada masa-masa gadisnya. Janjinya kepada anak muda itu. Dan kembali terkenang masa-masa yang penuh gairah menghadapi masa depan. Sebenarnyalah ia masih belum dapat melenyapkan laki-laki itu dari hatinya. Namun disadarinya, bahwa untuk meninggalkan suaminya tak akan dapat dilakukannya. Pergaulan hidup yang selama ini dialaminya, adalah kehidupan yang manis. Karena itu, perempuan itu tak tahu bagaimana ia harus menyelesaikan persoalannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa kedua-duanya adalah orang-orang sakti yang sukar dicari tandingnya.”
“Maka ketika ia tidak dapat menyembunyikan keadaan itu, akhirnya ia memutuskan untuk berkata berterus terang kepada suaminya, dan ia mengharap daripadanya ia akan mendapat pikiran-pikiran baru untuk menyelesaikan persoalan itu.”
“Ketika laki-laki itu mendengar pengaduan istrinya, perasaan-perasaannya dan pengalaman-pengalamannya dengan jujur, laki-laki itu terkejut. Ditatapnya mata istrinya dengan penuh keganjilan. Tetapi laki-laki itu tidak berkata sepatah kata pun. Dibiarkannya istrinya menangis. Bahkan kemudian laki-laki itu pun meninggalkannya seorang diri. Perempuan itu menjadi cemas, bahwa suaminya akan menemui laki-laki yang seorang lagi. Ia takut kalau terjadi perkelahian di antara mereka. Karena itu, maka ia pun segera berlari ke rumahnya. Tetapi suaminya tak ditemuinya di sana. Bahkan laki-laki yang telah pulang dari rantau itulah yang menemuinya. Namun perempuan itu pun tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya dapat menangis. Akhirnya laki-laki itulah yang berkata, ‘Pulanglah. Aku sudah tahu apa yang terjadi. Dan aku akan merantau kembali membawa hatiku yang terbelah. Aku pulang dengan membawa harapan. Tetapi laki-laki itu lebih memerlukan kau daripada aku. Kembalilah kepadanya, dan peliharalah baik-baik’”
“Perempuan itu mengeluh. Diterimanya nasihat itu, namun disadarinya bahwa ia telah merusak sebuah hati. Ia tidak tahu, apakah hati yang dilukainya itu akan dapat sembuh kembali. Dengan sedih perempuan itu pulang ke suaminya. Namun suaminya tak ditemuinya di rumah. Akhirnya di dengarnya bahwa malapetaka telah menimpanya tanpa disangka-sangkanya. Seorang pembantunya yang setia datang kepadanya sambil berkata ‘Suamimu telah pergi. Ditinggalkannya pesan untuk Nyai, hidup berbahagia dengan laki-laki yang telah bertahun-tahun ditunggunya’”
“Perempuan itu hampir pingsan mendengar berita itu, apalagi ketika pembantu setianya itu berkata, ‘Anakmu laki-laki telah dibawa serta oleh suamimu, Nyai’”
Emban tua itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Mahisa Agni yang tiba-tiba menjadi merah. Dengan tiba-tiba pula Mahisa Agni berdiri, dan dengan suara yang bergetar ia berkata lantang, “Bibi, adakah kau sedang menyindir aku. Apakah kau sangka aku laki-laki cengeng seperti kedua laki-laki itu? Tidak. Atau kau sedang menganjurkan kepadaku, supaya aku menjadi seperti kedua laki-laki yang hanya mampu berpura-pura itu?”
“Katakanlah ia berbuat kebajikan. Keluhuran budi, namun kedua-duanya tidak jujur. Bukankah Bibi mengatakan bahwa hati mereka terbelah?”
“Agni..,” potong perempuan tua itu.
Namun Agni berkata terus, “Ataukah kau menghendaki supaya aku bersikap jantan? Menantang laki-laki yang menghalang-halangi aku. Dengan bertaruh nyawa untuk mencapai idaman hati? Tidak. Tidak. Jangan gurui aku. Sebab aku mempunyai pendirian sendiri. Perempuan itulah yang bersalah. Bukankah dengan demikian, ia memecah dua buah hati sekaligus, atau apabila mereka laki-laki yang rakus, bukankah mereka telah bertempur. Apabila salah seorang dari mereka itu mati atau kedua-duanya, siapakah yang bersalah? Pasti perempuan itu. Gadis itu.”
“Agni. Agni,” perempuan tua itu memekik kecil. Sehingga Agni terkejut. Dengan demikian ia menjadi terdiam. Bahkan ia pun kemudian sadar, bahwa ia telah berbicara terlalu keras, sehingga apabila seseorang mendengarnya, pastilah orang itu menyangka bahwa ia sedang bertengkar.
Tetapi Mahisa Agni menjadi lebih terkejut lagi ketika dilihatnya mata perempuan tua itu. Mata itu tiba-tiba menjadi bercahaya, dan mata itu menatapnya dengan tajam. Dan dilihatnya bibir wanita itu bergetar. Perlahan-lahan namun pasti perempuan tua itu berkata, “Kau benar Agni. Perempuan itulah yang bersalah. Ia telah mengecewakan kedua-duanya. Karena itulah maka perempuan itu harus dihukum. Kau benar anak muda. Perempuan itu harus dihukum. Dan perempuan itu pun telah menghukum diri sendiri. Betapa ia membuang diri dari lingkungannya. Dari keluarga dan sanak kadang. Hiduplah ia kemudian sebagai seorang budak yang hina.”
Emban itu berhenti sejenak. Matanya masih menyala. Kemudian ia meneruskan, “Tetapi apakah yang dilakukan oleh kedua laki-laki itu. Meskipun mereka tidak bertempur satu sama lain, namun tak banyaklah artinya daripada itu. Mereka menumpahkan kepahitan hidupnya pada orang-orang lain. Dan kedua laki-laki itu pun tak berumur panjang. Sebelum matinya, laki-laki yang membawa anaknya itu selalu berkata kepada anaknya, bahwa ibunya telah meninggal dunia. Dan akhirnya ayahnya pun meninggal pula.”
Ketika perempuan tua, emban Ken Dedes itu berhenti sejenak Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Masih dilihatnya mata emban itu memandangnya dengan tajam..[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar