Jumat, 28 Oktober 2011

Pelangi di Langit Singosari-28

Dan tiba-tiba saja terasa seakan-akan sinar mata itu menusuk ulu hatinya, sehingga Mahisa Agni pun dengan tergesa-gesa berpaling.
Kemudian terdengar emban itu meneruskan, “Tetapi ke tahuilah Agni. Perempuan itu, ibu anak yang ditinggalkan ayahnya itu, sebenarnya belum mati.”
Dada Mahisa Agni berdesir. Terasa sesuatu bergolak di dalam rongga dadanya. Apalagi ketika ia mendengar emban itu meneruskan dengan suara lembut, namun dalam sekali, “Agni, kau ingin melihat perempuan yang berdosa itu. Yang telah mengecewakan dua orang lelaki sekaligus?”
Agni tidak menjawab. Tetapi ia memandang mata perempuan tua itu. Dan telinganya mendengar emban itu berkata, “Inilah perempuan itu.”
“Oh,” Agni terperanjat. Dan tak sesadarnya ia berkata, “Maafkan aku Bibi.”
“Kau benar Ngger. Tak ada yang harus aku maafkan,” perempuan tua itu menundukkan wajahnya. Dan kembali air matanya menetes satu-satu. Tetapi kini Agni melihat betapa sedih hati perempuan itu. Justru karena ia menyadari, bahwa ia telah menghancurkan harapan dari dua orang laki-laki bersama-sama.
Agni pun menundukkan wajahnya. Ia menyesal akan ketelanjurannya. Ia menyesal bahwa ia telah bersikap terlalu kasar kepada perempuan tua itu. Kini sedikit demi sedikit terguratlah di dinding hatinya, maksud sebenarnya dari perempuan itu. Mungkin perempuan itu akan mengatakan kepadanya, bahwa Ken Dedes pun tak dapat disalahkannya. Meskipun perempuan itu tidak membantah, bahkan mengakui, bahwa dirinya telah berdosa, tetapi tersimpan juga pertanyaan di hatinya ‘Apakah sebenarnya aku bersalah?’.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Mungkin, katanya di dalam hati. Mungkin perempuan itu akan memberi nasihat kepadaku, supaya aku tidak mendendam dan menjalani sisa-sisa hidup dengan pedih dan duka. Tetapi Mahisa Agni tak berkata sepatah pun.
Untuk sesaat ruangan itu menjadi sunyi. Agni pun kemudian menundukkan wajahnya. Dan perempuan tua itu sedang sibuk mengusap air matanya dengan ujung kainnya.
Tetapi sampai saat itu Mahisa Agni masih belum dapat menghubungkan, betapa perempuan itu menyimpan harapan sejalan dengan masa depannya.
Sesaat kemudian terdengar emban itu berkata, “Angger, kini kau tahu dengan siapa kau berhadapan. Bagaimanakah anggapanmu kepada perempuan yang demikian? Masihkah ia berhak menyebut dirinya di antara keluarganya?”
Mendengar pertanyaan itu, Mahisa Agni menjadi bimbang. Apakah perempuan itu bercerita tentang dirinya, ataukah ia sedang menjajaki tanggapannya terhadap Ken Dedes? Tetapi melihat sinar matanya, maka Agni merasa, bahwa perempuan itu berkata dengan jujur. Meskipun demikian Agni tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Sehingga perempuan itu terpaksa sekali lagi mengulangi.
“Angger, bagaimanakah anggapanmu terhadap perempuan yang demikian? Apakah ia mutlak bersalah dan harus dihukum untuk seumur hidupnya?”
Dengan serta merta Agni menjawab di luar kemauannya, “Tidak. Tidak Bibi.”
Perempuan itu menarik nafas. Kemudian ia bertanya pula, “Bagaimanakah seandainya, perempuan itu termasuk salah seorang keluargamu. Kakakmu misalnya atau adikmu perempuan?”
Kini Agni menjadi semakin bimbang. Hampir ia kecewa terhadap perempuan itu. Apakah aku harus menentukan tanggapanku terhadap Ken Dedes? Sekali lagi tebersit pertanyaan di dalam hati. Namun akhirnya Mahisa Agni tak dapat lagi menyimpan pertanyaan itu, sehingga akhirnya terlontar dari mulutnya, “Adakah Bibi sedang ingin mengetahui, apakah aku mendendam kepada Ken Dedes?”
“Tidak Ngger. Tidak,” jawab perempuan tua itu cepat-cepat, lalu disambungnya, “Aku bertanya kepadamu sejujur hatiku. Kalau perempuan itu datang kepadamu Agni, apakah akan kau usir dia?”
Agni memandang perempuan tua itu dengan tajamnya. Ketika dilihatnya wajah yang sayu, maka ibalah hatinya. Ia tidak mau menambah pedih hati yang luka itu. Karena itu ia menjawab, “Tentu Bibi. Seandainya aku salah seorang dari keluarga bibi, maka akan aku terima Bibi kembali kepadaku.”
“Oh,” perempuan itu akan berkata, namun tiba-tiba kembali ia menangis. Dan Mahisa Agni pun menjadi semakin tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang terjadi dengan perempuan itu?
Disela-sela tangisnya Agni mendengar ia berkata, “Agni. Aku tidak tahu, apakah kau berkata sebenarnya, atau kau hanya ingin menyenangkan hatiku. Tetapi ketahuilah, bahwa perempuan itu, aku, benar-benar ingin kembali kepada satu-satunya keluarganya yang diketahuinya. Bahkan satu-satunya orang yang dapat menyebutnya orang tua. Agni. Ketahuilah bahwa perempuan itu ingin datang kepada anak laki-lakinya. Dan anak laki-laki itu kini telah ditemukannya. Bahkan sebenarnya sudah sejak lama. Namun perempuan itu takut melihat bayangannya sendiri.”
Perempuan itu berhenti sejenak. Kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan dada Mahisa Agni. Apalagi ketika perempuan itu berkata seterusnya. Kata demi kata, bagaikan guruh yang menggelegar di tengah-tengah hari yang cerah, “Agni. Anak-anak laki-laki itu kini berada di sini pula. Di ruangan ini.”
“Bibi,” potong Agni terbata-bata, “Apakah yang dimaksudkan dengan anak laki-laki itu aku?”
Perempuan itu mengangguk. Lemah dan ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata pasti, “Ya Agni. Kau.”
“Jadi….?” Agni ingin berkata lagi. Namun tiba-tiba terasa mulutnya seperti tersumbat dan jantung serasa beku. Tubuhnya yang kokoh itu pun bergetar dan akhirnya terhuyung-huyung ia melangkah maju, sambil berdesis, “Ibu. Benarkah?”
Perempuan itu mengangguk lemah. Lemah sekali.
Peristiwa itu benar-benar tak akan disangka-sangka sebelumnya. Karena itu Mahisa Agni menjadi bingung. Sesaat ia berdiri mematung, namun kemudian ia meloncat dua langkah maju dan berjongkok di hadapan perempuan tua itu. Katanya, “Jadi benarkah bahwa yang duduk di hadapanku ini ibuku?”
“Ya, Agni,” jawab perempuan itu, “ibu yang melumuri tubuhnya dengan dosa. Tak ada yang pernah aku kerjakan sebagai seorang ibu untuk anaknya. Dan sekarang terserah kepadamu Agni. Apakah kau ingin menerimanya atau kau akan menolaknya.”
Agni tidak menjawab. Tetapi dengan gemetar ia memeluk kaki perempuan tua itu. Dadanya yang bergelora serasa akan meledak. Setetes demi setetes air mata perempuan tua itu menitik di atas kepalanya.
Kembali bilik itu menjadi sepi. Yang terdengar adalah nafas Mahisa Agni yang berdesak-desakan memburu keluar dari lubang-lubang hidungnya. Seperti orang yang kehilangan kesadaran. Agni tenggelam dalam suatu gelora perasaan yang dahsyat. Pertemuan itu benar-benar mengejutkannya. Sebab telah tertanam di dalam hatinya suatu pengertian, bahwa ibunya telah meninggal dunia. Kini perempuan itu berkata, bahwa ia adalah ibunya. Meskipun kata-kata itu tak akan dapat dibuktikannya, namun Agni mempercayainya. Dengan suatu keyakinan, yang tumbuh di dalam hatinya, ia pasti, bahwa perempuan itu adalah ibunya...[Bersambung ke Jilid-3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar