Dalam setiap khutbah-khutbah
Jum’at, kita selalu diingatkan oleh sang Khatib, “ittaqullah, ittaqullah,
ittaqullaha haqqa tuqatih.” Bertaqwalah kamu, bertaqwalah kamu, dan bertaqwalah
kamu dengan sebenar-benar taqwa. Ya ayyuhalladzina amanu ittaqu Allaha haqqa
tuqatih, wa la tamutunna illa wa antum muslimun. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya. Dan
janganlah sekali-kali kamu mati, melainkan dalam keadaan beragama Islam (Q.S.
3:102).
Definisi takwa yang mudah, yang
populer, dan yang sudah seringkali kita dengar adalah “menunaikan segala yang
diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan Allah”. Sedangkan
pengertian sebenar-benar takwa, artinya adalah menjadikan Allah ditaati, tidak
disanggah, diingat, tidak pernah dilupakan, disyukuri, tidak diingkari. “Tidak
akan seorang hamba bertaqwa kepada Allah sebenar-sebenar taqwa sampai ia sadar
bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset dari dia, dan apa yang luput dari
dia memang tidak akan mengenainya”, demikian penjelasan Rasulullah.
Adapun contoh tindakan taqwa yang
benar-benar itu, seperti yang diceritakan oleh Ali ibn Abi Thalib dari Ibnu
Abbas adalah ‘berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad, tidak
dipengaruhi, demi Allah, oleh celaan tukang cela dan berdiri untuk Allah dengan
sikap adil, walau terhadap diri sendiri, bapak maupun anak’.
Dalam kehidupan keseharian kita,
implementasi dari sebenar-benar taqwa bukanlah persoalan yang ringan. Bukan
saja bagi kita sekarang ini, tetapi juga bagi para sahabat. Karenanya, mengenai
turunnya ayat ini, Ibnu Zaid berkomentar, “sudah datang perkara yang sungguh
sangat berat’; lalu para sahabat berkata, ‘siapa yang tahu batasnya?,
siapa yang bisa mencapainya?” karena itu, Allah kemudian menurunkan ayat yang
lain, “Bertaqwalah kepada Allah sejauh kalian mampu” (Q.S. 64:16). Fattaqu
Allaha mastatha’tum was-ma’u wa athi’u wa anfiqu khairan li anfusikum, wa man
yuqa syukhkha nafsihi fa ula’ika humul muflihun. Maka bertaqwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah; dan nafkahkanlah
nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung (Q.S.
64:116).
Dalam kaitan ini, Zamakhsyari,
pengarang kitab tafsir al-Kasysyaf menyatakan bahwa perintah taqwa dalam ayat
“ittaqullaha haqqa tuqatih”, sebenar-benar taqwa di atas sama sekali bukan jauh
lebih berat dibandingkan dengan perintah taqwa dalam ayat ‘bertaqwalah
kamu sejauh kalian mampu’. Sebab, “fattaqu Allaha mastatha’tum”, berarti:
‘bertaqwalah sedemikian rupa, sehingga kamu tidak meninggalkan satu hal pun
yang sebenarnya kamu mampu’.
Jika kita kembali pada
dasar-dasar pembebanan ajaran islam (taklif), bahwa Allah tidak mungkin
memberikan beban kepada umat manusia kecuali yang mampu dilakukannya. Maka
pembebanan kewajiban taqwa “ittaqu Allaha haqqa tuqatih” pada dasarnya tidaklah
melampaui kemampuan yang dimiliki oleh seorang manusia. Jika demikian maka ayat
yang kedua, yang menyatakan kewajiban taqwa “fattaqu Allaha mastatha’tum”,
bukanlah penghapus terhadap ayat sebelumnya, tetapi hanyalah penegasan terhadap
maksud dan kandungannya.
Artinya, antara kewajiban taqwa
sebenar-benar taqwa dengan kewajiban taqwa sejauh kemampuan kita pada dasarnya
adalah sama. Kewajiban taqwa kita kepada Allah SWT adalah sejauh kemampuan yang
kita miliki. Manakala kita telah bertaqwa kepada Allah dengan segenap
kesungguhan dan kemampuan kita, maka itulah taqwa yang sebenar-benar taqwa. Wallahu
A’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar