Agama bagi sebagian besar orang dianggap sebagai sebuah keyakinan yang taken
for granted; cukup diyakini tanpa banyak tanya, tanpa perlu logika, tanpa reasoning.
Agama difahami sebagai sesuatu yang kompleks, abstrak dan diluar jangkauan akal
manusia. Agama hanya berurusan dengan hati, dan bukan dengan akal. Saya masih
ingat ketika kuliah agama dulu, dalam text book pengantarnya
disebutkan: Ilmu pengetahuan diawali dengan pertanyaan, sedangkan agama diawali
dengan keyakinan. Maka jangan pernah minta bukti terhadap kebenaran suatu
agama.
Pertanyaannya, apakah keyakinan itu? Bagaimana manusia secara alamiah bisa
meyakini sesuatu? Bagaimana kita bisa meyakini sesuatu itu benar? Tidak perlu
teori rumit atau kutipan wikipedia untuk menjawab pertanyaan ini. Jika Anda
kebetulan menyambung kabel listrik di rumah yang terbuka, bagaimana Anda bisa
yakin kabel tersebut tidak nyetrum? Bagaimana Anda bisa meyakini
kebenaran dari kabel tersebut? Katakanlah ada seseorang yang berkata kepada
Anda: Kabel itu Aman, yakinlah! Apakah Anda secara otomatis akan menjadi yakin?
Anda yakin dengan keyakinan Anda? Atau Anda masih ragu-ragu? Jika skenarionya
diganti dengan menyambung kabel SUTET (saluran ekstra tinggi) yang tegangannya
bisa mencapai lebih dari 100.000 volt, apakah Anda bisa secara alamiah yakin
hanya dengan ucapan: Yakinlah! Ketika Anda bertanya apa alasannya, dia kembali
mengatakan: POKOKNYA ANDA HARUS YAKIN! Dan tiba-tiba rasa mantap yakin lahir
batin itu hadir menyeruak di dalam dada Anda? Atau anda masih ragu-ragu?
Jika ada magic word yang bisa memisahkan antara keyakinan dan
keragu-raguan, apakah itu? Apa yang kita perlukan agar kita bisa meyakini
sesuatu? Yups, kita perlu bukti. Kembali kepada kasus tadi, bukti yang kita
butuhkan adalah pengamatan terhadap lampu apakah menyala atau mati, sekring
dalam kondisi on atau off, atau test pen yang tidak
menyala. Tidak ada perkataan, mantra atau sihir yang bisa menggantikan
keyakinan seseorang, seyakin pengamatan dia secara langsung terhadap
bukti-bukti yang terindera. Sama seperti seorang hakim yang memerlukan
bukti-bukti kuat untuk mengubah status seseorang dari tersangka menjadi
terdakwa. Kegiatan mencari bukti itulah yang disebut dengan berfikir.
Di dalam Al-Quran, dugaan atau persangkaan disebut dengan istilah dzhan,
sedangkan keyakinan atau pengetahuan disebut dengan istilah ‘ilm. Dan
disebutkan bahwa dzhan tidak akan bisa mengantarkan kepada
kebenaran (al-haqq). Berikut ini beberapa penggalan ayatnya:
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (10:36).
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada
berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran (53:28).
Kembali kepada agama, menurut saya agama itu sama sederhananya dengan
pilihan hidup yang kita ambil setiap harinya. Hanya saja dalam domain dan
lingkup yang lebih luas. Agama itu membumi, agama itu pilihan, dan sebagaimana
halnya pilihan yang akan kita ambil, sudah sewajarnya kita berfikir, menelaah
dan menimbang berbagai konsekuensinya dengan seksama, based on fact and
evidence. Atas dasar apa kita meletakkan agama di tempat yang tinggi dan
nun jauh di sana? Sehingga kita merasa tidak layak dan berdaya membahasnya.
Padahal ini berkaitan dengan hidup kita, bahkan hidup dan mati kita. Apakah
kita tidak mau memastikan semuanya baik-baik saja?
Sikap menelan mentah-mentah keyakinan agama, sekalipun itu Islam, disebut
dengan isilah taqlid. Dan taqlid dalam hal keimanan (aqidah)
adalah hal yang terlarang. Imam Syafi’i dalam kitab Fiqhul Akbar
berkata:
“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf (orang
yang dikenai kewajiban agama) adalah berfikir dan mencari dalil
(bukti) untuk ma’rifat (mengenal dengan yakin) kepada Allah Ta’ala.”
Dorongan untuk berfikir atau tafakkur mencari bukti-bukti
kebenaran, bertebaran di banyak ayat Al-Quran, diantaranya adalah:
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka [3:191].
Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar
(2:111).
Jika sejak awal agama diposisikan sebagai dogma, maka akan lenyap kekuatan
akal budi dan daya kritisnya. Akibatnya, agama dengan mudah dijadikan kuda
tunggangan politik untuk meraih tujuan-tujuan pragmatis. Sebaliknya jika sejak
awal agama dielaborasi dengan nalar, maka segala bentuk kebijakan dan sikap
politik pun akan dievaluasi dengan kritis pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar