Allah SWT berfirman (yang artinya): Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (QS Fathir:
28).
Ayat ini secara kasatmata menyebutkan bahwa yang
menjadikan sebutan ulama begitu istimewa dibandingkan dengan hamba-hamba Allah
yang lain adalah rasa takut mereka kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah SWT
itulah yang menjadi sifat para ulama yang paling menonjol. Karena itulah, Nabi
menyebut ulama sebagai pewaris para nabi (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan kriteria ulama
pewaris para nabi ini. Menurut beliau mereka adalah hamba Allah yang beriman,
menguasai ilmu syariah secara mendalam dan memiliki pengabdian yang tinggi
semata-mata karena mencari keridhaan Allah SWT; bukan keridhaan manusia.
Dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq, baik dalam
masalah ibadah maupun muamalah. Menurut beliau, beberapa ciri-ciri ulama
pewaris nabi antara lain:
- Memiliki keimanan yang kokoh, ketakwaan yang tinggi, berjiwa istiqamah dan konsisten terhadap kebenaran;
- Memiliki sifat-sifat kerasulan: jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas (fathanah) dan menyampaikan (tablig);
- Faqih fi ad-Din sampai rasikhun fi al-Ilm’;
- Mengenal situasi dan kondisi masyarakat;
- Mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah SWT.
Mereka tabah dan sabar menghadapi segala macam
tantangan dan halangan demi memperjuangkan Islam dan umatnya; bukan demi
membela kepentingan pribadi, pimpinan, atau kelompoknya. Mereka selalu
menegakkan kewajiban dan mencegah kemungkaran. Mereka tidak menyembunyikan
apalagi memutarbalikkan syariah Islam.
Ulama tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak
mendukung kezaliman dan siapapun yang berbuat zalim. Tegas sekali Allah SWT
berfirman (yang artinya): Janganlah kalian cenderung (la tarkanû) kepada
orang-orang yang berbuat zalim, yang dapat mengakibatkan kalian disentuh api
neraka (QS Hud [11] : 113).
Ibnu Juraij menyatakan bahwa kata la tarkanu berarti jangan
cenderung kepadanya. Qatadah menyebutkan, jangan bermesraan dan jangan
menaatinya. Abu Aliyah menerangkan bahwa kata itu berarti jangan meridhai
perbuatan-perbuatannya.
Ulama hanya takut kepada Allah. Sebaliknya, mereka
tidak pernah takut kepada selain-Nya, meski dia adalah seorang penguasa dunia.
Bahkan mereka senantiasa berada di garis depan menentang setiap kezaliman yang
dilakukan para penguasa. Hasan al-Bashri adalah salah seorang di antara para
ulama yang begitu besar rasa takutnya kepada Allah. Seba-liknya, ia tak pernah
gentar terhadap penguasa dunia yang lalim.
Beliau berani menentang penguasa Hijaj bin Yusuf
ats-Tsaqafi, penguasa Irak yang lalim pada zamannya. Ia berani mengungkap
keburukan perilaku penguasa tersebut di hadapan rakyat dan menyampaikan
kebenaran di hadapannya. Beliau sangat terkenal dengan ucapannya, “Sesungguhnya
Allah telah mengambil perjanjian dari para pemilik ilmu untuk menjelaskan ilmu
yang dimilikinya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.” Karena
keberaniannya itulah beliau harus menanggung penderitaan.
Demikian pula Sufyan ats-Tsauri. Rasa takutnya kepada
Allah begitu besar. Sebaliknya, keberaniannya terhadap penguasa lalim pun tak
diragukan. Ia pernah menentang apa yang dilakukan penguasa Abu Ja’far
al-Manshur ketika dia mendanai dirinya dan para pengikutnya yang beribadah haji
ke Baitul-Haram dalam jumlah yang sangat besar, yang diambil dari Baitul Mal
milik kaum Muslim. Dengan sikapnya ini, hampir saja polisi al-Manshur membunuh
Sufyan.
Abu Hanifah pernah menolak jabatan yang ditawarkan Abu
Ja’far al-Manshur dan menolak uang 10 ribu dirham yang akan diberikan
kepadanya. Kemudian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang Anda berikan kepada
keluarga Anda, padahal Anda telah berkeluarga.” Beliau menjawab, ”Keluargaku
kuserahkan kepada Allah. Sebulan aku cukup hidup dengan 2 dirham saja.”
Dalam riwayat lain disebutkan, suatu ketika Khalifah
Muawiyah hendak memulai pidatonya. Saat itu Abu Muslim al-Khaulani segera
berdiri dan berkata bahwa ia tidak mau mendengar dan menaati Khalifah. Ketika
ditanya alasannya, beliau menjawab, “Karena engkau telah berani memutuskan
bantuan kepada kaum Muslim. Padahal harta itu bukan hasil keringatmu dan bukan
harta ayah-ibumu.”
Mendengar itu Khalifah Muawiyah sangat marah. Ia lalu
turun dari mimbar, pergi dan sejenak kembali dengan wajah yang basah. Ia
membenarkan apa yang dikatakan Abu Muslim dan mempersilakan siapa saja yang
merasa dirugikan boleh mengambil bantuan dari Baitul Mal (Al-Badri, Al-Islâm
bayna al-Ulamâ’ wa al-Hukkâm, hlm. 101).
Secuil
kisah di atas hanyalah meng-gambarkan sedikit contoh ulama-ulama akhirat.
Mereka adalah ulama yang selalu menjadikan akhirat sebagai tujuan,
sementara dunia hanya mereka jadikan sebagai ‘kuda tunggangan’; bukan
sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar